Istri Sah Dibuang Pelakor Dibela

Istri Sah Dibuang Pelakor Dibela

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-05-03
Oleh:  Azzahra NafezzaOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
5Bab
6Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Dua tahun membangun rumah tangga tanpa restu, Vita terus bertahan di tengah dinginnya sikap mertua dan tekanan yang tak henti. Dicap tak berguna karena belum hamil, Vita harus menelan hinaan demi hinaan dari keluarga Gibran. Hingga akhirnya, sebuah ultimatum dilontarkan—terima dimadu atau lepaskan suaminya. Di hadapan pilihan yang menyakitkan, akankah Vita tetap menggenggam cinta yang terus dilukai, atau memilih pergi demi menjaga harga dirinya? Sebuah kisah tentang ketegaran seorang istri yang berjuang di tengah badai rumah tangga.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1. Mandul

Gibran menghentikan langkah di ambang pintu, tatapannya langsung tertuju pada ibunya yang baru saja masuk bersama Vita. Wajah keduanya menyiratkan sesuatu—lelah bercampur kesal. Ia menunggu sejenak sebelum akhirnya bertanya.

“Ibu sama Vita habis dari mana?” Gibran mencoba mencairkan suasana dengan nada ringan.

Puspa melepas sandal dan menjatuhkan diri ke sofa. “Dari rumah Bu Dhe Tutik. Nengok Hani,” jawabnya singkat. Sementara itu, Vita langsung masuk ke kamar tanpa sepatah kata.

Gibran mengernyit. Ada yang janggal. “Hani kenapa, Bu?”

Puspa menghela napas, sorot matanya terasa berat. “Hani habis melahirkan. Kamu gak tahu?”

Gibran menggeleng, duduk di sofa di sebelah ibunya. “Enggak, Bu. Kami jarang komunikasi. Tapi kalau gitu, kenapa tadi Ibu kelihatan... nggak senang?”

Puspa mendengus kecil, pandangannya berubah masam. “Senang gimana, Gibran? Di sana tadi semua orang sibuk nanya kapan Ibu punya cucu. Ibu bingung mau jawab apa!”

Gibran menatap ibunya, berusaha tetap tenang. “Jawab aja, Bu. Kalau memang belum ada, rezeki itu kan urusan Tuhan.”

Puspa langsung menatapnya tajam, nadanya menggigit. “Kamu pikir itu jawaban yang mereka mau dengar? Dua tahun, Gibran! Dua tahun kalian menikah, tapi gak ada tanda-tanda Vita hamil. Ibu malu! Hani aja, baru dua bulan nikah langsung isi. Jangan-jangan...” Ia menggantungkan kalimatnya, tapi nadanya penuh tuduhan. “Istrimu itu mandul.”

Gibran menegakkan tubuh, rahangnya mengeras. “Astagfirullah, Bu. Jangan ngomong sembarangan begitu. Kalau Vita dengar, dia pasti sakit hati.”

“Biar aja! Sekalian dengar!” sergah Puspa dingin, tanpa rasa bersalah.

Gibran menarik napas dalam-dalam, menahan emosi yang mendesak keluar. “Bu, Vita sehat. Aku yakin dia bisa hamil. Mungkin kita cuma perlu bersabar.”

“Sabar?” Puspa mengangkat suaranya. “Sampai kapan, Gibran? Dua tahun itu gak sebentar. Ibu ini pengen gendong cucu seperti orang lain!”

Gibran terdiam sejenak, matanya menatap lantai. “Aku ngerti, Bu. Aku juga pengen punya anak. Tapi ini bukan salah Vita. Kalau Tuhan belum kasih, apa yang bisa kita lakukan?”

Puspa mendengus, nada kecewa menguasai suaranya. “Kamu gampang banget ngomong begitu. Tapi yang kena omongan orang itu Ibu! Sampai kapan harus begini?” Tatapannya menajam, menusuk. “Apa kamu sendiri gak pengen punya anak?”

“Pengen, Bu,” jawab Gibran lirih. “Tapi memaksa sesuatu yang belum waktunya gak akan menyelesaikan apa-apa.”

Puspa berdiri, matanya tajam menghujam Gibran. “Ibu sudah capek, Gibran. Kalau Vita memang gak bisa punya anak, 𝐣 harus cari solusi. Ibu gak mau menunggu lebih lama lagi.”

Ia menghela napas panjang, lalu menambahkan dengan nada penuh sindiran, “Seandainya saja kamu dulu nurut omongan Ibu, pasti ibu sekarang udah punya cucu. Gak kayak sekarang? Istrimu juga kerjaannya di rumah cuma makan tidur aja, mending kalau kerja.”

“Bu, itu sudah masa lalu. Jangan diungkit lagi,” tegur Gibran cepat, khawatir suara ibunya terdengar sampai ke kamar. Ia tak sanggup membayangkan bagaimana perasaan Vita jika mendengar semuanya.

“Tapi yang ibu katakan benar, Gibran,” sahut Puspa, tatapannya tak mengendur. “Hidupmu juga semakin lama gak ada kemajuan, begini-begini aja. Gak punya anak, gak jelas mau ke mana masa depanmu. Ini kamu kualat, Gibran, karena gak dengerin omongan Ibu dulu!”

Gibran mengepalkan tangan di atas lututnya, berusaha meredam gemuruh amarah yang mulai menguasai dada. “Bu, cukup. Jangan menyalahkan Vita atau masa lalu. Ini bukan soal kualat atau keputusan yang salah. Kita gak tahu apa rencana Tuhan untuk kami.”

Puspa menatapnya dengan mata menyipit, seakan kata-kata Gibran hanya lewat tanpa arti. “Kamu terlalu pasrah, Gibran. Ibu ini cuma ingin yang terbaik buat kamu, masa kamu gak paham juga? Kalau Vita gak bisa kasih kamu anak, ya cari solusi! Jangan biarkan Ibu terus kena malu.”

Gibran bangkit berdiri, tubuhnya tegang. “Bu, Vita istriku. Aku menikahinya karena aku cinta, bukan cuma karena ingin punya anak. Kalau sekarang belum ada rezeki, kita harus sabar. Aku gak akan menyerah atau mengorbankan dia cuma karena omongan orang.”

“Omongan orang? Kamu pikir itu gak penting?” Puspa mengangkat suaranya, nadanya penuh amarah. “Ibu ini hidup di lingkungan yang semua orang sibuk pamer cucu, Gibran! Kalau kamu gak peduli, Ibu yang harus menanggung malu tiap hari!”

Gibran menggeleng pelan, suaranya lebih rendah namun tajam. “Malu karena apa, Bu? Karena aku belum punya anak? Rezeki itu datangnya bukan dari kita, tapi dari Tuhan. Kalau Ibu merasa malu, itu bukan salah Vita, dan bukan salahku.”

Puspa mendesah keras, lalu melambaikan tangan seperti ingin mengakhiri perdebatan. “Percuma ngomong sama kamu. Tetap saja kamu membela dia, padahal hidupmu gak ada perubahan sejak menikah.” Ia menatap Gibran tajam, menambahkan dengan nada dingin, “Pikirkan baik-baik. Ibu gak akan diam selamanya kalau begini terus.”

Tanpa menunggu jawaban, Puspa melangkah pergi ke kamarnya, meninggalkan Gibran berdiri sendiri di ruang tamu. Pikirannya berkecamuk, hatinya terasa berat. Ia tahu, apa yang barusan terjadi hanyalah awal dari tekanan yang lebih besar.

Saat melewati kamar Gibran, Puspa mendapati Vita berdiri di ambang pintu. Wajah wanita itu pucat, matanya memancarkan luka yang tak mampu disembunyikan. Puspa menghentikan langkah, lalu menatap Vita dengan pandangan dingin, penuh kebencian.

"Ini semua gara-gara kamu," ucapnya tajam, suaranya seperti pisau yang mengiris udara. "Gibran jadi berani membantah perkataanku. Dasar wanita pembawa sial."

Vita tak menjawab, bibirnya bergetar, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar. Hanya matanya yang berkaca-kaca, menyiratkan perasaan yang bercampur aduk—sakit, marah, tapi juga pasrah.

Puspa mendengus, seakan puas dengan reaksi Vita. “Jangan pikir kamu bisa berlindung di balik cinta Gibran selamanya. Kalau kamu gak berubah, aku sendiri yang akan pastikan dia mendapatkan yang lebih baik.”

Tanpa menunggu respons, Puspa melangkah pergi, meninggalkan Vita yang berdiri kaku. Tubuhnya seolah membeku di tempat, sementara air mata jatuh tanpa bisa ia tahan.

Vita mengepalkan tangannya, berusaha menahan isak. Napasnya memburu, pikirannya penuh dengan suara-suara menyakitkan yang terus menggema.

Lalu, dengan suara nyaris tak terdengar, ia berbisik, “Kalau sampai itu terjadi… apa aku masih punya alasan untuk bertahan?”

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
5 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status