"Bagaimana kau mendapatkan nomorku?" tanya Alena dengan suara tegang, jantungnya berdebar kencang. Ia melirik sekeliling kantor, memastikan tidak ada yang memperhatikannya.
"Dari direktori kantor desainmu. Maaf menelepon tiba-tiba, tapi ini penting," jawab Reno. Suaranya tidak terdengar mengancam atau terobsesi seperti yang Adrian gambarkan. Malah, ia terdengar... khawatir?
"Apa maumu?" tanya Alena, berusaha terdengar tegas meskipun dalam hati ia ketakutan.
"Dengar, aku tahu kau mungkin takut dan bingung sekarang. Adrian pasti sudah menceritakan banyak hal tentangku—kebanyakan tidak benar." Reno terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Aku baru kembali dari Bali kemarin dan mendapati namaku disebut dalam laporan polisi—tuduhan menguntit dan melecehkan. Aku bahkan tidak tahu di mana apartemenmu, Alena."
Alena merasa seperti tercekik. "Kau tidak membuat keributan di depan apartemenku dua minggu lalu?"
"Dua minggu lalu aku berada di Bali untu
"Pergilah, Adrian," Dina akhirnya bersuara, berdiri di depan pintu yang masih terkunci. "Alena tidak ingin bicara denganmu sekarang.""Kau tidak mengerti," Adrian terdengar frustasi. "Reno sangat berbahaya. Dia memanipulasi Alena, seperti dia memanipulasiku dulu. Aku hanya ingin melindunginya!""Alena bisa menjaga dirinya sendiri," jawab Dina tegas. "Dan jika kau tidak pergi sekarang, aku akan memanggil keamanan."Hening sejenak. Lalu, suara Adrian terdengar berbeda—dingin dan mengancam. "Ini belum berakhir. Sampaikan pada Alena bahwa aku akan selalu menemukannya. Dia milikku."Langkah kaki Adrian yang menjauh terdengar di koridor. Dina mengintip lewat lubang pintu sekali lagi untuk memastikan ia benar-benar pergi, sebelum berbalik menghadap Alena yang gemetar di sofa."Kita perlu pergi sekarang," kata Dina dengan urgensi dalam suaranya. "Kemas barangmu. Kita langsung ke hotel."Alena mengangguk lemah, masih syok mendengar nada ancaman dalam suara Adrian. Pria yang ia pikir mencintain
"Dia datang ke sini," kata Alena, suaranya nyaris tidak terdengar. "Apa yang harus kulakukan?""Kita perlu pergi sekarang," tegas Dina. "Ambil tasmu, kita keluar lewat pintu belakang.""Tapi pekerjaanku—""Aku akan bicara dengan Pak Dirga. Keselamatanmu lebih penting." Dina sudah mulai mengumpulkan barang-barang Alena. "Ayo, sebelum dia masuk ke gedung."Dengan terburu-buru, mereka mengemas barang Alena. Dina menghampiri supervisor mereka dan berbicara singkat. Dari kejauhan, Alena melihat Pak Dirga mengangguk serius, sesekali melirik ke arahnya dengan wajah prihatin."Pak Dirga setuju kau butuh istirahat. Dia juga akan memastikan satpam tidak mengizinkan Adrian masuk," kata Dina setelah kembali ke meja Alena. "Ayo, lewat sini."Mereka bergegas menuju lift yang mengarah ke tempat parkir bawah tanah, bukan ke lobi utama. Jantung Alena berdebar kencang sepanjang perjalanan turun. Lift berdenting terbuka, dan mereka setengah berlari menuju mobil Dina."Kau akan tinggal di tempatku malam
"Tidak," jawab Alena jujur. "Aku tidak baik-baik saja.""Apa yang terjadi?" Dina duduk di kursi sebelah Alena, memegang tangannya yang dingin.Alena menceritakan segalanya—telepon dari Reno, klaim bahwa ia berada di Bali selama dua minggu terakhir, tuduhan bahwa Adrian lah yang sebenarnya menguntit dan mengontrol, dan penemuan aplikasi pelacak di ponselnya.Dina mendengarkan dengan mata melebar, terkejut tapi tidak sepenuhnya kaget. "Aku selalu merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Adrian akhir-akhir ini," katanya perlahan. "Tapi ini... ini di luar dugaanku.""Bagaimana jika Reno yang berbohong?" Alena menatap Dina, mencari jawaban. "Bagaimana jika ini hanya taktiknya untuk memisahkan aku dari Adrian?""Mungkin," Dina mengakui. "Tapi Alena, aplikasi pelacak di ponselmu itu nyata. Dan kau sendiri yang mengatakan bahwa perilaku Adrian telah berubah drastis belakangan ini. Lebih posesif, lebih mengontrol." Dina meremas tangan Alena lembut. "Coba ingat, kapan tepatnya perubahan itu t
"Bagaimana kau mendapatkan nomorku?" tanya Alena dengan suara tegang, jantungnya berdebar kencang. Ia melirik sekeliling kantor, memastikan tidak ada yang memperhatikannya."Dari direktori kantor desainmu. Maaf menelepon tiba-tiba, tapi ini penting," jawab Reno. Suaranya tidak terdengar mengancam atau terobsesi seperti yang Adrian gambarkan. Malah, ia terdengar... khawatir?"Apa maumu?" tanya Alena, berusaha terdengar tegas meskipun dalam hati ia ketakutan."Dengar, aku tahu kau mungkin takut dan bingung sekarang. Adrian pasti sudah menceritakan banyak hal tentangku—kebanyakan tidak benar." Reno terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Aku baru kembali dari Bali kemarin dan mendapati namaku disebut dalam laporan polisi—tuduhan menguntit dan melecehkan. Aku bahkan tidak tahu di mana apartemenmu, Alena."Alena merasa seperti tercekik. "Kau tidak membuat keributan di depan apartemenku dua minggu lalu?""Dua minggu lalu aku berada di Bali untu
Kantor desain grafis tempat Alena bekerja biasanya selalu dipenuhi energi kreatif dan tawa. Tapi hari ini, suasananya terasa berbeda begitu ia melangkah masuk. Beberapa rekan kerjanya melirik dengan tatapan penasaran, lalu berbisik-bisik. Alena berusaha mengabaikannya dan berjalan lurus menuju mejanya."Hei," sapa Dina yang sudah menunggunya di sana. "Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat."Alena mengangguk lemah. "Sudah ke kantor polisi tadi.""Bagaimana?" tanya Dina, suaranya rendah agar tidak terdengar oleh yang lain."Mereka akan menyelidikinya. Tapi inspektur yang menangani kasusku mengatakan sesuatu yang membuatku berpikir..."Sebelum Alena bisa melanjutkan, ponselnya berdering. Pesan dari Adrian."Sudah sampai kantor?"Alena memutar matanya, kelelahan dengan rutinitas ini. "Ya, baru saja," balasnya singkat."Dina sudah di sana?"Alena mengernyitkan dahi membaca pesan itu. Bagaimana Adrian tahu Dina menunggunya?"Ya. Kenapa?" balasnya."Tidak apa-apa. Hanya bertanya. Jam makan siang
Alena terdiam di tengah apartemennya, pikirannya masih berkecamuk tentang pilihan sulit yang harus ia hadapi. Di satu sisi, ada Reno dengan ancaman nyatanya yang telah terbukti—foto-foto yang mengintip ke sudut paling privat kehidupannya. Di sisi lain, ada Adrian dengan cintanya yang semakin lama semakin terasa mengekang. Menghela napas panjang, ia memutuskan untuk pergi ke kantor polisi sebelum memulai harinya.Di kantor polisi, Alena menceritakan semua yang terjadi—dari keributan yang dibuat Reno di depan apartemennya dua minggu lalu, hingga foto-foto mengerikan yang Adrian tunjukkan pagi ini. Petugas polisi wanita yang menangani laporannya, Inspektur Ratna, mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mencatat detail penting."Jadi, Anda belum melihat laporan resmi tentang penyelidikan ini? Hanya foto-foto yang ditunjukkan oleh kekasih Anda?" tanya Inspektur Ratna, alisnya terangkat sedikit."Benar," jawab Alena. "Adrian bilang dia sudah melaporkan ini ke polisi dan mengontak dete
Air mata mulai menggenang di mata Adrian. "Aku melakukan semua ini karena aku mencintaimu.""Aku tahu," Alena menggenggam tangan Adrian. "Dan aku juga mencintaimu. Tapi cinta seharusnya tidak terasa seperti ini—mencekik, mengawasi, menakutkan.""Apa kau tidak percaya padaku tentang Reno?" tanya Adrian, suaranya terdengar terluka.Alena menarik napas dalam-dalam. "Aku ingin percaya. Tapi aku butuh bukti, Adrian. Kau bilang ada detektif, ada laporan, ada foto-foto. Tunjukkan padaku."Adrian melepaskan tangannya dari genggaman Alena, mundur selangkah. Ekspresinya berubah menjadi campuran terkejut dan... sesuatu yang lain. Kemarahan? Kekecewaan?"Kau tidak percaya padaku," katanya, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan."Aku ingin percaya," ulang Alena. "Tapi aku juga perlu tahu bahwa semua ini nyata, bukan hanya... ketakutanmu yang berlebihan."Adrian terdiam lama, menatap Alena dengan tatapan yang sulit dibaca. Akhirnya, ia
"Berjanjilah kau akan selalu berhati-hati," bisik Adrian di telinganya."Aku janji," balas Alena, melepaskan diri dari pelukan itu dengan lembut. "Dan kau juga perlu berhati-hati, Adrian. Jangan biarkan ketakutan mengendalikanmu."Adrian menatapnya lama, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi mengurungkan niatnya. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan.Dalam perjalanan pulang, pikiran Alena dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan. Apakah Adrian mengatakan yang sebenarnya tentang Reno? Atau itu hanyalah taktik untuk membuatnya setuju pindah? Dan jika itu benar, seberapa besar bahaya yang mengancam mereka?Satu hal yang Alena yakini—hubungan mereka telah berubah. Dan keputusan yang ia buat selanjutnya akan menentukan arah perubahan itu, entah mengembalikan apa yang pernah mereka miliki, atau mendorong mereka ke jalur yang lebih gelap.Ketika taksi berhenti di depan gedung apartemennya, Alena menatap ke sekeliling dengan waspada, mencari tanda-tanda k
"Siapa?" tanya Adrian ringan, meskipun Alena bisa mendengar nada penasaran di balik pertanyaan itu."Oh, hanya Dina. Menanyakan kabar."Adrian mengangguk pelan, meletakkan tiramisu di hadapan Alena. "Kau dan Dina sangat dekat.""Ya, dia sahabat terbaikku sejak kuliah.""Apa yang kalian bicarakan saat makan siang kemarin?"Pertanyaan itu terasa seperti pukulan mendadak bagi Alena. "Apa?"Adrian mengangkat bahu, mencoba terlihat acuh tak acuh meskipun matanya menatap tajam. "Aku hanya penasaran. Kalian terlihat serius saat berbicara di kafe itu."Alena merasakan darahnya mulai berdesir. "Kau... memata-mataiku?""Tidak, tentu saja tidak," Adrian cepat-cepat menyangkal. "Aku kebetulan lewat dan melihat kalian. Aku tidak ingin mengganggu, jadi aku tidak mampir."Alena tidak sepenuhnya yakin dengan penjelasan itu, tetapi ia memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya. "Kami hanya mengobrol tentang hal-hal biasa. Pekerjaan, kehi