Alena pertama kali mendengar nama Claire Hamilton dari percakapan yang tidak sengaja ia dengar di pantry kantor. Dua rekan kerjanya sedang berbisik-bisik sambil membuat kopi, tidak menyadari kehadirannya.
"Dengar-dengar Claire Hamilton balik ke Jakarta, lho. Kamu ingat kan, mantan Adrian yang itu?"
"Yang journalist internasional itu? Wah, pasti awkward banget buat Alena."
"Eh, mereka kan sudah putus. Lagipula Claire kan level-nya beda banget sama Alena."
Alena merasa dadanya sesak mendengar kalimat terakhir itu. Ia mundur perlahan dari pantry, jantungnya berdebar kencang. Claire Hamilton. Nama yang pernah Adrian sebutkan sekali dua kali dalam percakapan mereka, tapi selalu dengan nada yang... berbeda. Nada yang menyiratkan bahwa Claire adalah bagian penting dari masa lalunya.
Kembali ke mejanya, Alena mencoba fokus pada laporan yang sedang ia kerjakan, tapi pikirannya terus melayang. Meski sudah berbulan-bulan mereka tidak berkomunikasi, mendengar
Matahari mulai turun, sinarnya masuk pelan-pelan lewat jendela besar yang menghadap halaman belakang. Ruang tamu rumah itu terlihat megah seperti biasa—dinding putih bersih, lantai marmer mengilap, dan perabotan mewah berbaris rapi seolah tak pernah tersentuh. Tapi keheningan yang mengisi ruangan sore itu bukan karena kenyamanan—melainkan karena sesuatu yang menunggu untuk diucapkan.Alena duduk di ujung sofa panjang, tangannya menggenggam mug teh yang sudah dingin. Adrian duduk di seberangnya, satu kaki disilangkan, matanya sesekali melirik jam dinding, tapi tak ada yang benar-benar ia tunggu selain jawaban dari keheningan Alena.Akhirnya, Alena bicara.“Sore ini tenang banget, ya,” katanya pelan, mencoba membuka sesuatu yang lebih besar dari sekadar percakapan.Adrian mengangguk, tapi tidak menjawab.Alena menatap dinding di depannya, bukan Adrian. “Kita nggak pernah duduk bareng kayak gini. Nggak ngomongin kerjaan.
Langit sore mulai memerah saat Alena duduk di sudut studio kecilnya, menatap dinding kosong sambil memutar-mutar cangkir teh di tangannya. Aroma melati dari bunga yang ia beli di pasar kemarin masih tercium samar, mengisi ruang mungil itu dengan ketenangan yang sulit ia temukan selama ini.Namun di balik ketenangan itu, hatinya berat. Ada satu hal yang belum ia selesaikan. Satu percakapan yang terus ia tunda karena tahu betapa rumit dan menyakitkannya nanti.Adrian.Bukan karena tidak sayang. Tapi karena cinta yang salah cara bisa melukai lebih dalam daripada benci yang terang-terangan. Dan selama ini, Adrian mencintainya... dengan cara yang terlalu mengekang.Alena menarik napas panjang. Ia membuka ponselnya, membuka kontak Adrian, lalu menulis:“Bisa ketemu? Kita perlu bicara.”Pesan itu dikirim. Dan dalam hitungan menit, balasan datang.“Kapan? Di mana?”“Besok pagi. Di
Pagi itu, Alena bangun lebih awal dari biasanya. Tidak ada jadwal meeting. Tidak ada undangan makan siang di hotel bintang lima. Tidak ada gaun mahal yang harus dipilih. Hanya dirinya sendiri dan niat untuk keluar dari rumah dengan niat yang sederhana: mencari ketenangan.Ia mengambil tas kecil, mengenakan sepatu kanvas lamanya, dan memutuskan untuk kembali ke tempat-tempat yang dulu pernah jadi bagian dari harinya—sebelum dunia berubah menjadi ruang penuh ekspektasi.Tujuan pertamanya: taman kecil di belakang kampus.Taman itu tidak banyak berubah. Bangku kayunya sudah mulai lapuk, tapi masih bisa diduduki. Air mancur di tengahnya masih memercik pelan. Dan suara burung dari pepohonan membuat suasana terasa seperti rumah yang menyambut dengan pelukan.Alena duduk di salah satu bangku. Ia memejamkan mata, membiarkan suara alam menggantikan suara batin yang biasanya gaduh.Di sinilah dulu ia dan Reno sering duduk sore-sore. Kadang diam. Kadang bicara soal hal-hal remeh. Tidak ada topik
Pagi itu, Jakarta diselimuti kabut tipis. Matahari malu-malu menembus jendela studio kecil tempat Alena kini tinggal. Udara masih segar, belum sempat dikotori polusi dan rutinitas. Alena duduk di depan jendela, membungkus tubuhnya dengan sweater tipis, dan menatap jalanan sempit yang mulai hidup.Di hadapannya, secangkir kopi sachet mengepul pelan. Aroma sederhana itu membawa pulang kenangan—kenangan yang tidak bisa dibeli, hanya bisa dirasakan.Ia membuka laptop tuanya, bukan untuk mengecek email kerja atau jadwal sosial. Tapi untuk membuka folder yang sudah lama ia abaikan: “Draf Cerita – Reno.”Sebuah folder berisi catatan, puisi, dan fragmen kehidupan yang dulu pernah ia tulis diam-diam, ketika hari-hari masih penuh kebebasan, sebelum semuanya berubah menjadi pertunjukan.Alena menggeser kursor, membuka salah satu file.“Kopi pagi di teras sempit. Langit abu-abu, tapi hati terang. Reno duduk di sebelah, matanya belum sepenuhnya bangun. Tapi senyumnya... senyumnya utuh. Kadang diam
Langit malam Jakarta dipenuhi cahaya. Gedung-gedung pencakar langit berkilauan, lalu lintas padat tak pernah tidur, dan suara klakson bersahut-sahutan membentuk irama khas kota besar. Tapi di tengah keramaian itu, Alena merasa hampa.Baru saja ia pulang dari makan malam bersama Adrian—sebuah acara formal dengan klien penting, diselimuti tawa palsu, anggukan basa-basi, dan diskusi bisnis yang membuatnya merasa seperti figuran dalam hidup sendiri. Meja makan penuh hidangan mewah, kursi empuk, dan dekorasi berkelas. Tapi semua itu tidak bisa menutupi kenyataan bahwa hatinya... kosong.Sesampainya di lobi apartemen, Alena tidak langsung naik. Ia hanya menatap bayangannya sendiri di dinding kaca. Riasan wajahnya masih sempurna, gaunnya tak kusut sedikit pun, tapi dalam pantulan itu... ia tak mengenali siapa yang ia lihat.Dengan langkah ringan tapi penuh beban, Alena keluar dari gedung. Ia tidak tahu ke mana kakinya akan membawanya malam itu, tapi ia tahu satu hal: ia perlu menjauh. Dari g
Hari itu, langit Jakarta cerah. Tapi hati Alena tetap mendung. Bukan karena hujan, tapi karena terlalu lama tak tahu arah.Ia duduk di kafe kecil di daerah Blok M—tempat yang dulu sering ia datangi bersama teman-teman lamanya sebelum hidupnya berubah total. Tidak ada lampu kristal, tidak ada wine mahal. Hanya kursi kayu sederhana, suara musik indie dari speaker tua, dan aroma kopi yang menenangkan.Ia melirik jam tangannya. Sudah hampir pukul empat sore. Satu per satu, wajah-wajah yang dulu akrab mulai bermunculan.“Alena?” suara itu memecah lamunannya.“Raya!” Alena berdiri, memeluk sahabatnya yang dulu satu organisasi kampus. Menyusul di belakangnya ada Bimo, dan kemudian Dira. Mereka bertiga, sahabat lama yang dulu tahu persis siapa Alena sebelum dunia glamor menelannya.“Wah, lama banget nggak ketemu! Gue hampir nggak ngenalin lo, Len!” ujar Bimo sambil tersenyum lebar.“Gue juga,” ti