"Ya. Kamu kehilangan api dalam dirimu. Kamu kehilangan gairah. Kamu kehilangan... kamu." Reno menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Dan aku pikir, itu karena kamu sudah sembuh dari trauma bersamanya. Tapi ternyata, kamu tidak sembuh. Kamu hanya mati rasa.""Aku tidak mati rasa.""Kapan terakhir kali kamu tertawa lepas? Kapan terakhir kali kamu marah sungguhan? Kapan terakhir kali kamu menangis karena bahagia?" Reno menggelengkan kepalanya. "Kamu hidup dalam mode survival, Alena. Dan bersamaku, kamu merasa aman untuk terus hidup seperti itu.""Mungkin memang begitu yang aku butuhkan.""Bukan. Kamu butuh seseorang yang membuatmu merasa hidup. Bahkan jika itu artinya kamu harus menderita.""Aku tidak mau menderita lagi.""Kamu sudah menderita. Selama dua tahun ini, kamu menderita dalam diam. Kamu menderita karena mencoba menjadi seseorang yang bukan dirimu."Alena mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Lalu apa yang harus kulakukan? Kembali padanya? Kembali ke siklus toksik y
Bab 283: Keretakan di HatiAlena terdiam, tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya yang begitu kacau. Dia ingin mengatakan bahwa ia masih mencintai Reno, tetapi kenyataannya jauh lebih rumit dari itu. Cinta yang ia rasakan untuk Reno sudah mulai memudar sejak ia terlibat dengan Adrian, dan ia merasa bahwa ia telah menghancurkan semua yang baik dalam hidupnya."Reno..." suaranya bergetar, hampir seperti bisikan. "Aku tidak tahu lagi apa yang aku rasakan."Mata Reno menatapnya dengan campuran kekecewaan dan pengertian. Selama dua tahun bersama, ia sudah belajar membaca setiap ekspresi wajah Alena. Dan sekarang, ia melihat kebenaran yang telah lama disembunyikan."Kamu sudah tahu jawabannya, kan?" kata Reno pelan. "Kamu hanya belum siap mengakuinya.""Bukan begitu. Aku benar-benar bingung—""Tidak, Alena. Kamu tidak bingung. Kamu takut." Reno menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit café seolah mencari jawaban di sana. "Kamu takut mengakui bahwa yang kamu cari bersama
Dia akhirnya siap mengakui kebenaran yang selama ini mencakar dadanya.Dia siap mengakui bahwa dia tidak pernah benar-benar berhenti mencintai Adrian.Pikiran itu menghantamnya seperti hantaman fisik, mencuri napasnya. Tangannya bergetar saat ia meraih ponsel—lalu berhenti. Apa yang harus ia katakan? Kalimat seperti apa yang bisa mewakili kekacauan emosi yang berputar dalam dirinya?Aku salah. Aku berbohong pada diriku sendiri. Aku berbohong padamu. Aku berbohong pada semua orang.Kupikir aku bisa memilih rasa aman daripada hasrat. Kupikir aku bisa memilih kestabilan daripada kekacauan yang datang bersamaan dengan mencintaimu.Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa pura-pura lagi.Suasana kafe dipenuhi dengung pelan kehidupan orang lain. Mahasiswa mengetik di laptop, pasangan berbincang lirih, teman-teman tertawa pelan. Semua orang itu hidup dalam dunia yang mendadak terasa asing baginya.Dia sudah hidup dalam dunia itu selama dua tahun. Dunia cinta yang normal, dapat diprediksi, dan ama
“Kamu mencintaiku seperti mencintai tempat yang aman. Seperti mencintai pelarian yang nyaman. Tapi kamu nggak jatuh cinta padaku. Kamu jatuh cinta pada dia.”“Dia itu beracun, Reno. Dia manipulatif, dia—”“Tapi dia yang membuatmu hidup. Dia yang menantangmu. Dia yang bikin kamu merasa penuh. Sesuatu yang nggak bisa aku berikan.”“Itu bukan cinta. Itu obsesi.”“Mungkin. Tapi itu yang kamu mau. Yang selalu kamu mau.”“Aku nggak mau dikendalikan.”“Bukan dikendalikan yang kamu cari. Kamu cari intensitas itu. Kamu cari api itu. Kamu cari rasa hidup yang meledak-ledak, meski itu bisa membakar habis kamu.”“Api membakar, Reno.”“Dan kenyamanan itu membosankan.”Kata-katanya seperti tamparan. Alena menatapnya, terdiam.“Aku ini ‘aman’ buat kamu, ya?” lanjut Reno. “Aku pria yang kamu pilih bukan karena kamu nggak bisa hidup tanpaku, tapi karena aku baik untukmu. Karena aku mudah untuk dicintai.”“Itu nggak benar.”“Itu sangat benar. Dan aku sudah terlalu lama pura-pura nggak tahu. Tapi aku n
“Karena setiap aku bersamamu, aku langsung masuk ke peran 'pacarnya Reno'. Aku berhenti mikirin keinginanku sendiri, dan mulai mikir tentang keinginanmu.”“Aku gak pernah minta itu.”“Kamu gak perlu minta. Itu sudah jadi kebiasaan. Sudah jadi bagian dari caraku mencintai.”Reno menatapnya, seperti tak percaya.“Jadi semua ini... hanya pura-pura?” bisiknya.“Bukan pura-pura. Aku mencintaimu. Tapi aku mencintaimu sambil kehilangan diriku sendiri. Aku mencintaimu sambil terus bertanya dalam hati: ‘Apa yang Reno butuhkan?’ dan melupakan apa yang aku butuhkan.”“Kamu hanya sedang terlalu mikir. Kita bisa atasi ini. Kita bisa belajar komunikasi yang lebih baik. Memberi ruang.”“Aku sudah coba, Reno. Aku coba tetap punya kehidupan sendiri. Teman-teman sendiri. Pendapat sendiri. Tapi sedikit demi sedikit, semuanya hilang. Sama seperti waktu aku bersama Adrian. Hanya beda bentuk.”“Aku bukan Adrian.”“Aku tahu. Kamu bukan dia. Kamu baik. Kamu perhatian. Kamu mendukungku. Tapi aku tetap hilang
Reno duduk di dalam mobilnya, terparkir di depan apartemen Alena. Kedua tangannya menggenggam erat setir, sampai buku-buku jarinya memutih. Sudah dua puluh menit ia duduk di sana, memandangi jendela unit Alena, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melakukan hal yang harus ia lakukan.Ponselnya bergetar—balasan yang tak kunjung datang dari pesan terakhirnya, tiga jam lalu. Sama seperti lima pesan sebelumnya. Sama seperti belasan pesan kemarin. Polanya sudah terlalu familiar dan menyakitkan dalam beberapa minggu terakhir.Ia memejamkan mata, mengingat sosok perempuan yang ia cintai dua tahun lalu. Alena yang dulu selalu tersenyum saat melihatnya, yang tak pernah lupa mengirimkan pesan ‘selamat pagi’, yang selalu menyempatkan diri meski sesibuk apa pun. Gadis itu kini terasa seperti kenangan dari kehidupan yang berbeda.Alena yang sekarang... asing. Jauh. Pikirannya selalu di tempat lain, matanya lebih sering menatap layar ponsel, mulutnya dipenuhi alasan. Bahkan saat bersamanya, rasany