"Seharusnya kau lihat ekspresinya tadi, Hanna! Lucu sekali! Haha ...." Susan tidak berhenti tertawa saat akhirnya mereka sudah keluar dari restoran itu. Mereka berempat sudah duduk di dalam mobil dengan Refi dan Susan di depan, sedangkan Louis dan Hanna duduk berdua di belakang. Hanna pun ikut tertawa begitu senang. "Aku tidak pernah membayangkan menang dari Elma akan terasa begitu menyenangkan, Susan! Kau tahu, sejak dulu aku dibully, aku selalu menerima. Tentu saja sesekali aku melawan, tapi aku lebih banyak mengalah." "Baru hari ini aku merasa, ternyata menang itu menyenangkan," imbuh Hanna merasakan perasaan puasnya. "Tentu saja menang itu menyenangkan, Sayang. Dan kau akan selalu menang ke depannya. Tidak perlu mengalah lagi pada orang seperti itu! Tidak perlu minta maaf kalau tidak salah, dan tidak perlu menunduk pada orang yang tidak menghargaimu!" pesan Louis singkat, tapi penuh arti. Pikiran Hanna melayang sejenak. Semua ucapan Louis adalah apa yang ia lakukan sepanjang
Refi melajukan mobilnya pulang malam itu setelah ia mendapat banyak pesan beruntun dari Susan. Refi pun buru-buru karena Louis sendiri tidak sabar. "Ponsel Hanna tidak bisa dihubungi. Dia sama sekali tidak bercerita kalau dia pernah dibully atau bertemu lagi dengan tukang bullynya, Refi! Sial! Siapa yang berani membully istriku!" geram Louis yang membatalkan janjinya setelah membaca pesan-pesan dari Susan. "Hanna yang tidak mengijinkan memberitahu Anda, Bos! Tahu sendiri bagaimana Hanna kan?" "Ck, dia selalu begitu! Lebih cepat, Refi! Aku tidak rela istriku direndahkan di sana! Aku benar-benar tidak menyangka kita tidak datang ke sana, tapi malah Hanna yang ke sana." Louis terus menggeram kesal. Ia mendapat undangan pembukaan Lunaire, tapi Louis memilih bertemu klien penting. Refi pun memacu laju mobilnya. Hingga akhirnya mereka pun tiba di restoran itu. Louis dan Refi segera memasuki restoran dan dengan cepat, mereka bisa melihat Hanna serta Susan di sana. Louis pun melangkah d
"Aku tidak percaya itu benar-benar Hanna, Elma! Wajahnya tidak banyak berubah, tapi penampilannya itu seperti wanita berkelas!" Beberapa orang teman Elma sudah berkumpul bersama dan mereka pun sama-sama mencibir penampilan Hanna yang begitu menarik perhatian malam itu. "Ck, aku yakin dia pasti sudah berdandan sejak pagi! Menggelikan sekali!" sahut Elma mencemooh. "Tapi dia juga datang dengan mobil mewah tadi, apa dia sudah menjadi orang kaya sekarang?" "Ck, jangan halu! Dia saja masih menjadi karyawan kecil yang takut terlambat kembali bekerja setelah jam makan siang usai!" "Benarkah? Tapi dia terlihat berbeda sekali sekarang!" Elma makin geram sendiri, apalagi melihat Hanna masih tidak berhenti dikerumuni oleh para pria. "Hai, Hanna, apa kabar? Apa kau masih mengingatku?" sapa seorang teman Hanna. "Ah, tentu saja aku ingat semuanya." "Wah, syukurlah kalau kau masih ingat. Haha! Aku terkejut sekali melihatmu di sini. Kita sudah lama tidak bertemu dan sekarang kau ... kau cant
Hanna melirik Louis malam itu yang masih berjalan mondar-mandir di kamar sambil menelepon. Suaminya itu sangat sibuk. Setelah tinggal bersama Louis, Hanna baru tahu seberapa sibuknya Louis. Namun, yang menakjubkan, sesibuk apa pun Louis, pria itu selalu pulang cepat untuk makan malam di rumah dan menemani Hanna. Setidaknya selama dua bulan bersama, Louis selalu melakukannya. Padahal dulu Hanna tahu jadwal Indira yang sangat sibuk sampai baru pulang larut malam. Indira tidak pernah ada di rumah karena Hanna selalu menemani wanita itu sampai malam. Lalu selama ini, siapa yang menemani Louis di rumah?Pikiran Hanna melayang sendiri sampai ia menggelengkan kepalanya. Padahal ada hal penting yang ingin Hanna tanyakan malam itu, tentang undangan reuni dari Elma, apakah Louis mau menemaninya, tapi haruskah ia datang dan membawa Louis seperti kata Susan? Hanna pun masih berkutat dengan pikirannya sendiri sampai ia tidak sadar kalau Louis sudah selesai menelepon dan mengernyit melihatnya."
Hanna selalu merasa keren saat ia bekerja. Ia merasa menjadi orang yang pintar dan ia mencintai pekerjaannya. Karena sejak awal bekerja, Hanna sudah sering berhubungan dengan perusahaan Louis, ia pun tidak merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan pekerjaan mereka lagi, apalagi ada Susan yang menjadi asistennya dan membantunya melakukan segalanya. "Ah, aku sudah lapar, ayo kita makan di luar hari ini, Hanna!" ajak Susan. Beberapa hari sejak bekerja, Hanna selalu makan bersama Louis, tapi hari ini Louis pergi dengan Refi untuk makan siang dengan kliennya. "Ah, baiklah, aku juga sudah sangat lapar." "Hehe, keponakan Aunty mau makan apa?" goda Susan sambil membelai perut Hanna yang sudah membuncit itu. Hanya saja, Hanna memakai dress formal yang agak melebar sehingga perutnya tidak tercetak jelas. Susan pun menyetir mobil kantor untuk Hanna dan mereka makan di cafe dekat kantor. Tentu saja kehidupan Hanna sudah berbeda setelah resmi menjadi istri Louis. Bukan hanya rumah mewah, pe
Dua bulan berlalu dan akhirnya Louis pun secara resmi bercerai dari Indira. Bagi banyak orang, Louis terlihat seperti duda keren saat ini. Namun, yang tidak mereka tahu adalah bahwa Louis bukan benar-benar duda karena ia sudah menikahi istri yang lain. "Jadi ... bagaimana dengan Bu Indira setelah kalian resmi bercerai?" tanya Hanna ragu. "Aku tidak tahu karena aku tidak pernah mencari tahu lagi. Tapi kudengar Indira tidak pernah pulang sejak ke luar negeri waktu itu. Aku benar-benar berharap dia bisa hidup lebih baik dengan jalan yang dipilihnya sendiri." Tatapan Hanna goyah. Terkadang, Hanna berpikir cinta yang ditunjukkan Louis pada Indira dulu sangat besar. Bukankah mustahil lenyap begitu saja? Lalu apakah Louis bisa mencintai Hanna sebesar itu juga? Atau ini hanya perasaan tanggung jawab karena Hanna hamil anak pria itu?Hanna mengembuskan napas panjang dan tidak mau berpikiran buruk. "Hmm, baiklah. Lalu ... bagaimana dengan Pak Ruben?" "Menghilang. Dia tidak ada di sini, ku
"Selamat datang di rumah, Hanna!"Sena langsung menyambut Hanna pagi itu di rumahnya. Sena begitu senang saat akhirnya Hanna mau pindah ke rumah mereka. Sena pun berpesan banyak hal pada pelayan agar semuanya bisa melayani Hanna dengan baik. Hanna pun begitu disambut di sana. "Terima kasih, Ma ... Pa ...." Hanna melirik Xander sungkan. Tidak pernah berinteraksi sebelumnya, tapi tiba-tiba memanggil Papa, rasanya masih aneh sekali, tapi Xander benar-benar tahu cara membuat orang lain nyaman. "Selamat datang di rumah, Hanna! Mulai sekarang ini adalah rumahmu juga. Jangan sungkan ya!" kata Xander dengan hangat. "Kak, di kamar sana ada mainan Gio lho! Waktu Gio nginap sini, Tante Sena kasi Gio banyak mainan!" seru Gio yang mendadak menarik Hanna bersamanya, tapi Hanna menahannya. "Gio, harus sopan! Jangan begitu!" tegur Hanna. "Haha, tidak apa, Hanna! Tadi kan Papa sudah bilang jangan sungkan, jadi tolong jangan sungkan ya. Ini juga rumahmu!" seru Sena. Hanna tersenyum dan perlahan
"Malam ini biar Gio tidur denganku saja!" Tama memulai aksinya malam itu begitu mereka pulang dari rumah sakit. Suster meminta Tama rawat inap, tapi Tama menolaknya. Bagi Tama yang sudah biasa dipukuli, lukanya sama sekali tidak berarti. Ia lebih suka tidur di tempat lain selain di rumah sakit. Hanna sendiri untungnya baik-baik saja dan tidak ada gangguan berarti pada kandungannya. "Kau masih penuh luka, nanti bisa tertendang saat tidur. Biar Gio tidur denganku saja," sahut Hanna. "Sudahlah, Hanna! Kau itu butuh istirahat, tidak perlu terus menjaga Gio! Biar aku saja! Lagipula luka di badan ini bukan apa-apa dibandingkan dengan ibu hamil. Dan juga, aku tidak mau tidur dengan suamimu! Biar kau saja!" Tama mengibaskan tangannya. Hanna pun langsung melirik Louis yang sudah berdiri tidak jauh darinya. Louis ngotot mengajak Hanna pulang ke rumahnya karena rumah Hanna berantakan dan Louis merasa tidak aman, tapi Hanna juga ngotot tidak mau meninggalkan Tama sendirian dalam keadaan se
Jantung Louis seketika berdebar kencang mendengar teriakan Gio. "Gio! Gio, ada apa? Apa yang terjadi?" "Ada orang jahat mau masuk kamar, Kak! Tolong!" "Apa? Orang jahat mau masuk kamar apa? Katakan yang jelas, Gio!""Orang jahat, Kak ...." "Akhh!" Tiba-tiba terdengar teriakan Hanna sampai Louis mendadak gemetar. "Sial! Hanna! Hanna! Tunggu aku!" Tanpa menunggu lama, Louis pun langsung berlari turun ke parkiran. Bahkan, Louis tidak memberitahu Refi tentang kepergiannya karena yang ada di otaknya saat ini adalah bahwa ia harus segera ke rumah Hanna. "Apa yang terjadi di sana? Sial! Aku tidak pernah percaya pada Tama! Aku akan membunuhnya kalau dia sampai menyakiti Hanna! Sial!" Louis terus memukul setirnya dengan frustasi dan melajukan mobilnya makin cepat. Louis juga sempat menelepon Samuel untuk menyusul ke rumah Hanna juga dan membantunya.Samuel pun dengan cepat menyusul, walaupun belum ada yang tahu apa yang terjadi sebenarnya. Sementara di rumah, tadinya Hanna masih mena