Jantung Louis seketika berdebar kencang mendengar teriakan Gio. "Gio! Gio, ada apa? Apa yang terjadi?" "Ada orang jahat mau masuk kamar, Kak! Tolong!" "Apa? Orang jahat mau masuk kamar apa? Katakan yang jelas, Gio!""Orang jahat, Kak ...." "Akhh!" Tiba-tiba terdengar teriakan Hanna sampai Louis mendadak gemetar. "Sial! Hanna! Hanna! Tunggu aku!" Tanpa menunggu lama, Louis pun langsung berlari turun ke parkiran. Bahkan, Louis tidak memberitahu Refi tentang kepergiannya karena yang ada di otaknya saat ini adalah bahwa ia harus segera ke rumah Hanna. "Apa yang terjadi di sana? Sial! Aku tidak pernah percaya pada Tama! Aku akan membunuhnya kalau dia sampai menyakiti Hanna! Sial!" Louis terus memukul setirnya dengan frustasi dan melajukan mobilnya makin cepat. Louis juga sempat menelepon Samuel untuk menyusul ke rumah Hanna juga dan membantunya.Samuel pun dengan cepat menyusul, walaupun belum ada yang tahu apa yang terjadi sebenarnya. Sementara di rumah, tadinya Hanna masih mena
Beberapa hari berlalu dan Hanna punya kebiasaan baru yang menyenangkan.Setiap hari Tama yang akan mengantar jemput Gio bersama sopir. Tama juga membersihkan rumah dan memasak untuk Hanna, walaupun Sena tetap mengirimkan makanan sehat. Terkadang kalau banyak makanan, Tama akan masak lebih sedikit, begitu juga sebaliknya. Tama masih bertahan sebagai kakak yang baik, malahan Tama mulai mengajari Gio belajar walaupun ia sering frustasi. "Sebenarnya kau itu kelas berapa, mengapa pelajarannya susah sekali! Pikir saja sendiri!" "Tapi Gio tidak bisa, Kak Tama. Ajari yang ini, besok Gio ulangan." "Ck, ulangan saja kau takut! Dengarkan Kakak, kau tahu apa yang paling penting saat kita menghadapi ulangan?" Gio menaikkan alisnya. "Belajar! Selama sudah belajar, pasti bisa!" "Salah!" ralat Tama cepat. "Lalu apa yang penting saat ulangan?" "Yang penting itu percaya diri! Kalau kau percaya diri, pasti kau bisa mengerjakannya!" "Eh, kalau percaya diri tapi tidak tahu jawabannya bagaimana?"
Malam itu, Louis datang lagi ke rumah Hanna membawa beberapa macam makanan. Louis pun baru saja turun dari mobilnya saat ia menemukan Tama yang sedang berdiri bersandar di dinding di luar rumah sambil menyalakan rokoknya. Louis pun memicingkan matanya dan langsung saja mendekati pria yang sialnya, merupakan kakak iparnya itu. "Apa yang kau lakukan? Kau mau dihajar, hah?" Tama sempat tersentak kaget dan membelalak menatap Louis. "Mau apa kau kemari lagi?" "Tentu saja mau melihat istriku, lalu kau, apa yang kau lakukan?" "Apa maksudmu? Apa kau tidak bisa melihatnya? Aku sedang istirahat, aku mau merokok, apa kau mau, hah?" "Sial, Tama! Bisa-bisanya kau merokok! Kau tahu adikmu sedang hamil kan? Dia tidak boleh menghirup asap rokok! Selain itu, Gio juga baru saja sembuh dari sakit jantungnya dan masih dalam tahap pemulihan, apa kau tidak punya otak dan bisa-bisanya merokok di dekat mereka, hah?" Tama mengerjapkan matanya sejenak karena sungguh, ia tidak berpikiran sampai ke sana.
Louis menghentikan mobilnya di depan rumah Hanna siang itu. Louis kalah dan semua orang mendadak setuju pada Tama. Walaupun Sena sendiri begitu berat meninggalkan Hanna pulang ke rumahnya sendiri, tapi ini demi Hanna juga. "Ya ampun, Hanna, bagaimana kalau nanti Mama menyiapkan rumah untukmu dan keluargamu saja. Mama tidak enak membiarkan kalian tinggal di sini, jauh dari rumah Mama." "Mama janji tidak akan memaksamu tinggal bersama kami, tapi jangan terlalu jauh dari Mama ya," ucap Sena akhirnya saat mereka sudah keluar dari mobil. Hanna yang mendengarnya pun tersenyum. "Tante, aku masih punya rumah dan ini juga satu-satunya peninggalan orang tuaku. Aku sangat nyaman tinggal di rumahku sendiri." "Begitu ya? Ah, baiklah kalau begitu," sahut Sena akhirnya. "Tapi tolong jangan panggil Tante lagi! Panggil Mama ya, Mama ini sudah menjadi Mamamu sekarang, Sayang." Sena menatap Hanna hangat. Bukannya Sena begitu mudah berpaling dari Indira pada Hanna. Sungguh, Sena tidak pernah membed
Tiga hari berlalu dan semua kondisi berangsur normal kembali. Tidak ada lagi keributan karena Indira langsung pergi ke luar negeri setelah diusir oleh sang ayah dari perusahaan. Indira terpaksa setuju bercerai dan pengacara sedang memprosesnya, tapi Indira tidak mau menunggu prosesnya dan memilih pergi duluan meninggalkan semuanya, bahkan meninggalkan Ruben juga. Tidak terdengar kabar dari Ruben dan Louis juga tidak mau mencari pengkhianat itu. Bagi Louis, menjaga kehamilan dan hubungannya dengan Hanna adalah yang terpenting saat ini. Kondisi Hanna sendiri membaik dengan cepat. Flek-flek yang keluar sudah berhenti. Hanna pun akhirnya diijinkan pulang hari itu dengan syarat tetap bedrest di rumah. "Syukurlah semuanya baik-baik saja," seru Sena yang terus menjenguk Hanna setiap hari. Louis sendiri pun begitu setia menginap di rumah sakit, walau sesekali Hanna masih merasa canggung. Entah bagaimana menjelaskannya, saat sedang lega karena anak di kandungannya selamat, Hanna bisa pas
"Hanna, kau baik-baik saja? Maafkan aku baru mendengar tentang kecelakaan yang kau alami." Martin menjenguk Hanna pagi itu.Setelah pergi ke luar kota beberapa hari, Martin pun kembali untuk menyelesaikan semua tanggung jawabnya di rumah sakit, sebelum akhirnya ia akan pindah, menetap di luar kota, seperti yang pernah ia katakan pada Hanna waktu itu. "Martin? Oh, rasanya sudah lama sekali aku tidak melihatmu!" Hanna tersenyum sumringah menatap Martin, teman baiknya yang sedang melangkah mendekati ranjangnya. Tidak ada orang lain di kamar Hanna karena Louis yang menemaninya sedang keluar untuk menerima telepon. "Bagaimana kondisimu, Hanna?""Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku harus bed rest karena kandunganku masih sangat lemah, tapi aku bersyukur mereka masih ada di sini, Martin." Hanna membelai dan menatap haru pada perut ratanya. Martin sendiri ikut melirik perut Hanna sambil mengangguk. "Syukurlah! Aku ikut lega mendengarnya." "Terima kasih sudah mencemaskan aku
"Bagaimana Louis, Tante?" Hanna begitu cemas menunggu kabar dari Louis dan Tama. Hanna sendiri sudah dipindahkan ke kamar rawat inap biasa dan keluarga Louis sudah berkumpul di sana. Xander, Adrianna, juga Samuel. "Masih tidak bisa dihubungi juga." "Apa aku susul saja, Ma?" tanya Samuel. "Kita tidak tahu mereka di mana. Lagipula Mama rasa tidak perlu. Louis tahu apa yang harus dilakukan. Semoga tidak ada yang melakukan hal aneh-aneh," harap Sena. Hanna pun sama sekali tidak bisa beristirahat, sampai hampir setengah jam kemudian, akhirnya pintu kamarnya diketuk. Louis masuk ke sana, tidak sendiri. Ada Tama yang dipapah oleh Susan. Dan ada Hendra yang membuat debar jantung Hanna langsung memacu kencang. "Pak Hendra!" sapa Xander dan Sena bersamaan. "Pak Xander, Bu Sena!" sapa Hendra juga dengan ramah. "Maaf aku baru ke sini. Maaf ...." Ucapan Hendra terhenti saat melihat Hanna terbaring di ranjang pasien. Hendra begitu iba melihat Hanna di sana, asisten Indira yang selama ini
Louis menyetir mobilnya sambil tidak berhenti mengumpat. Bukan hanya karena Indira adalah dalang yang mencelakakan Hanna, tapi karena Tama yang begitu gegabah mencari Indira. Louis melihat jelas bagaimana Tama naik taksi tadi, tapi saat Louis berlari mengejar Tama, Louis malah menabrak seorang wanita yang membawa banyak barang. Gerakan Louis terjeda. Setelah ia mengangkat semua barang milik wanita itu, barulah ia melajukan mobilnya mengejar Tama yang sudah entah ada di mana. Namun, perasaan Louis mengatakan Tama pasti ke kantor. "Kalau ada orang dengan penampilan acak-acakan yang menerobos masuk, segera hentikan dia!" pesan Louis di telepon pada resepsionis tadi. Dengan cepat, Louis tiba di kantor dan resepsionis melapor bahwa orang itu sudah keburu naik ke ruang rapat. "Sial! Maksudmu Indira juga sedang ada di kantor ini?" "Bu Indira baru saja mulai masuk hari ini, Pak. Security juga sudah di atas." Louis makin mengumpat dan segera berlari ke ruang rapat, hanya untuk menemuka
Tama menyeret tubuhnya yang kaku keluar dari taksinya sore itu. Ia harus bertemu dengan Indira dan memberi wanita itu pelajaran, walaupun sungguh, ia tidak tahu harus mencari wanita kejam itu ke mana. Satu-satunya tempat yang terpikirkan oleh Tama adalah perusahaan Indira. Tentu saja ia hafal betul perusahaan besar tempat adiknya itu bekerja dan karena Indira adalah bos Hanna, maka wanita itu pasti ada di perusahaan yang sama. Tama sempat dihadang oleh security yang melihat penampilannya yang kacau, tapi untungnya saat itu kebetulan Susan ada di lobby. Susan yang mengenali Tama pun buru-buru menghampirinya. "Eh, ada apa ini, Pak? Kau ... Kak Tama kan?" "Pria ini mau menyusup masuk dengan penampilan seperti ini! Tidak bisa!" seru sang security tegas. Namun, Tama terlihat tidak sabar. "Aku sudah bilang aku harus bertemu Indira, apa dia ada di sini? Biarkan aku bertemu Indira!" "Tidak bisa, Pak! Perusahaan punya aturan! Bu Indira tidak boleh asal ditemui dan orang dengan penampilan