"Hari ini kita akan bertemu lagi dengan Evan. Kali ini, Pak Himawan mengajak kita makan siang bersama. Apa kau siap?" Pagi itu, Samuel dan Nadine kembali bekerja bersama. Dan Nadine pun terus menguatkan dirinya karena mereka akan bertemu dengan Evan lagi. "Aku siap. Aku sudah bilang aku siap dan aku sudah move on. Tidak usah terus bertanya tentang itu!" jawab Nadine begitu tegas. Samuel mengangguk. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi dan aku percaya padamu. Ayo kita bersiap!" Nadine ikut mengangguk dan mereka pun bersiap. Kali ini, mreka akan bertemu di sebuah restoran untuk makan siang bersama. Samuel pun mengajak Nadine ke restoran itu dan mereka langsung disambut Pak Himawan dan Evan di sana. "Selamat siang, Pak Samuel!" "Selamat siang, Pak Himawan! Perkenalkan, ini Nadine, asistenku yang akan membantu dalam proyek kita nanti." "Selamat pagi, Bu Nadine! Senang berkenalan denganmu, masih muda dan tentunya sangat berbakat sampai bisa menjadi asisten Pak Samuel." "Anda bis
"Selamat malam, Tante!" Samuel menyusul Nadine pulang malam itu. Nadine pulang dengan motornya dan Samuel mengekor di belakangnya sambil membawa beberapa macam masakan untuk makan malam bersama. "Selamat malam, Samuel! Kau datang! Bagaimana Nadine bekerja di hari pertamanya?" "Ibu, ini bukan pertama kalinya aku bekerja, mengapa Ibu harus bertanya seperti itu? Aku ini wanita yang berpengalaman, Ibu," protes Nadine. Widya terkekeh. "Tapi bekerja di perusahaan Samuel tetap pengalaman pertama bagimu kan?" Nadine mengembuskan napas panjangnya, sedangkan Samuel hanya tertawa. "Nadine baik, jangan khawatir, Tante!" "Titip Nadine ya! Kalau dia nakal, biasanya Tante suka memukul pantatnya!" "Ibu, aku bukan anak kecil lagi! Lagipula apa Ibu sedang meminta Pak Samuel memukul pantatku? Ibu mesum sekali!" protes Nadine lagi yang membuat Widya kembali terkekeh. Samuel sendiri langsung tergelak mendengarnya dan mendadak melirik pantat Nadine yang tipis itu. Mungkin Nadine akan kesakitan kal
Nadine masih mematung menatap Evan di hadapannya, pria yang tidak ia sangka akan ditemui di perusahaan seperti ini. Evan sendiri juga menatap Nadine tidak percaya. "N-Nadine? Kau ... kau bekerja di sini?" Nadine terus menenangkan napasnya, sebelum ia berusaha tetap tenang dan bersikap seperti biasa saja. "Kau ... utusan Pak Himawan?" Nadine terdiam sejenak, sebelum ia teringat sesuatu. "Ah, Pak Himawan itu apa maksudnya ayahnya Aurel? Kau kan bekerja pada ayahnya Aurel?" Evan menelan salivanya dan mengangguk. "Ah, ya, aku bekerja di perusahaan ayahnya Aurel dan Pak Himawan ... ya, itu ayahnya Aurel. Ayah memintaku menangani proyek kali ini." Nadine tertawa kesal mendengar panggilan itu. "Ayah? Kau sudah memanggilnya Ayah? Selamat karena sebentar lagi kalian akan menikah!" imbuh Nadine dengan ekspresi yang tetap biasa saja. Belum sempat Evan menanggapi lagi, pintu ruangan sudah terbuka lagi. Samuel melangkah masuk ke sana dan ia langsung mematung sejenak menatap Evan, wajah yang
Nadine sudah tahu Samuel pasti akan mengerjainya dengan tugas barunya. Dan benar saja, baru saja diangkat jadi asisten pribadi, Nadine sudah mendapat tugas pertamanya. "Tugas pertamamu adalah membuatkan aku kopi, Nadine!" imbuh Samuel dengan senyum puasnya. Nadine menganga dan langsung protes. "Membuat kopi? Apa tidak salah? Itu bukan tugas asisten, itu tugas office girl." "Tapi aku maunya kau yang membuatnya. Jadi cepat buatkan kopi untukku!" "Tapi itu bukan tugas asisten!" protes Nadine lagi. "Hei, kau ingat kau berhutang banyak padaku kan? Ini caramu membayar hutang, jadi cepat buatkan aku kopi!" Nadine terdiam sejenak sambil menggeram kesal. "Sudah kuduga kau sangat pamrih! Buat kopi ya buat kopi! Aku pintar membuat kopi!" Nadine langsung menghentakkan kakinya pergi dari sana dan bertanya tempat membuat kopi. Sedangkan Samuel tidak berhenti tersenyum sendiri sambil menunggu kedatangan Nadine. Hingga tidak lama kemudian, wanita itu pun masuk lagi sambil membawa secangkir ko
Beberapa waktu berlalu dan Widya yang sudah dipindahkan ke kamar rawat inap biasa pun akhirnya diijinkan untuk pulang. Widya terus menangis karena selain sudah merasa jauh lebih baik, ini adalah pertama kalinya ia pulang sejak beberapa bulan terakhir harus terus opname di rumah sakit. "Terima kasih, Suster! Terima kasih, Dokter! Terima kasih semua!" "Selamat, Bu Widya! Akhirnya Anda pulang juga! Tetap jaga kesehatan, minum obat dengan teratur, dan jangan lupa kontrol ya," pesan sang dokter. "Pasti, Dokter! Pasti! Terima kasih!" "Sekali lagi terima kasih banyak untuk semuanya! Terima kasih!" Nadine juga terus berterima kasih pada semua orang. Sena sendiri memberikan sedikit hadiah untuk tim dokter dan suster yang sudah merawat Widya selama satu bulan terakhir ini. Setelah berpamitan, semua pun akhirnya pergi dari rumah sakit. Samuel membawa Nadine dan Widya dengan mobilnya. Kedua ibu dan anak itu tidak berhenti saling menautkan tangan sepanjang perjalanan dan Samuel ikut senang
"Ulangi apa, Pak? Jangan begini! Jauh-jauh dariku!" Nadine mendorong Samuel dengan sekuat tenaga sampai Samuel terus tergelak. Nadine benar-benar seperti wanita muda yang polos dan Samuel menyukainya. "Haha, kau benar-benar menganggap ucapanku serius ya?" "Memangnya tidak serius? Kau hanya menggodaku! Ya Tuhan, aku merasa benar-benar dilecehkan!" "Memangnya kau mau mengulanginya lagi?" "Jangan gila! Aku tidak mau! Cepat antarkan aku ke rumah sakit!" pekik Nadine salah tingkah. Samuel yang mendengarnya pun kembali tergelak, sebelum ia melajukan mobilnya. Namun, sepanjang perjalanan, Samuel tidak berhenti melirik Nadine. Samuel yang tadinya masih berusaha bersikap biasa pada Nadine mendadak tidak bisa menahan sikapnya lagi, ia sudah terlalu gemas pada wanita itu. Untungnya, mereka tiba dengan cepat di rumah sakit dan Nadine tidak mau jauh-jauh dari ibunya agar Samuel tidak bisa mendekatinya lagi. Nadine juga menginap di rumah sakit dan selalu menyibukkan diri bersama suster seti