Gadis itu mengerutkan kening lalu cemberut. Ia menoleh menatap temannya memanggil karena pesanan mereka sudah matang. Dia mengangguk kepala sebagai jawaban.
"Nanti ya, aku habis pulang sekolah mau jalan-jalan sama pacarku," balas Hana.Mila menggeram mendengar balasan sang anak."Gak! Pokoknya kamu bawain dulu itu pesenan Ibu ke rumah, kalau enggak uang jajan kamu distop sampe sebulan," sentak Mila.Hana segera menjauhkan handphone dari telinga saat sang Ibu berteriak. Lalu menempelkan kembali dan menghela napas."Iya-iya, nanti pulang sekolah aku langsung beli dan anter ke rumah. Udah ya kalau gitu Hana mau makan dulu di kantin," sungut gadis tersebut.Wanita paruh baya itu berdecak kesal mendapati anaknya langsung memutuskan sambungan telepon."Huh, aku terlalu memanjakannya," gerundel perempuan itu.Mila menaruh handphonenya kembali lalu memilih melangkah ke kamar untuk beristirahat. Waktu berlaku begitu cepat, kini Hana baru saja keluar dari sekolah."Duh ... Aku lupa bilang sama Bagas," gumam Hana.Baru saja bergumam demikian, seseorang mendekat dan mengecup bibir. Membuat ia terkejut dan melotot menatap tajam. Sedangkan sang pelaku tidak menampilkan riak bersalah sedikitpun."Kamu apa-apaan sih, ini sekolah lho," tegur Hana pelan.Dia langsung melirik sekitar dan mengembuskan napas lega saat tidak ada yang melihat adegan tersebut. Ia lekas mendekati sang kekasih dan menarik lelaki itu."Wah ... Kamu gak sabar ya pergi ke markas," goda Bagas.Hana hanya diam setelah sampai parkiran ia segera menatap Bagas. Perempuan itu mengigit bibir membuat pria tersebut mengerutkan kening."Kamu lain kali jangan gitu dong, kalau ada yang liat gimana," omel Hana pelan.Pria tersebut hanya mengedikan bahu, lalu Bagas menarik pinggang Hana membuat jarak mereka sangat dekat. Parkiran memang sudah lumayan sepi, karena para murid bergegas pulang atau pergi jalan-jalan."Harum banget kamu, Yang."Bagas berkata tidak menyambung dengan perkataan Hana. Seperti kekhwatiran perempuan itu sangat tidak di dengar."Kamu ini apaan sih," keluh Hana.Gadis yang masih berseragam itu mengerucutkan bibirnya. Melihat hal tersebut lelaki itu dengan santai mengecup benda kenyal milik Hana kembali."Bagas!"Hana mengomel dengan nada pelan tetapi menekan. Lelaki itu langsung terkekeh, ia mengajak sang gadis untuk duduk di motor tetapi anak Mila segera menggeleng."Ada apa? Bukannya kita mau ke markas kan. Apa kamu mau pipis, sini aku temenin, mumpung sepi," seru Bagas.Hana langsung menatap kesal Bagas, sedangkan lelaki itu memamerkan senyuman tanpa dosa. Mengingat perkataan Ibunya, ia menghela napas."Bagas, aku gak bisa ikut ke markas sekarang," kata Hana pelan.Mendengar perkataan Hana, lelaki itu melotot. Ia langsung mencengkram tangan perempuan tersebut dengan kencang membuat anak Mila meringis."Sakit, Gas."Dia sama sekali tidak mendengarkan perkataan Hana. Lelaki itu melotot marah ke arah perempuan tersebut."Kamu mau ingkar janji, jalang!" geram Bagas dalam.Walau dengan suara pelan, nada suara itu sangat menekan membuat Hana menunduk kepala. Ia menggeleng, lalu segera meraih lengan Bagas saat pria tersebut menghempaskan tangannya."Aku gak maksud ingkar janji, Yang. Aku cuma ada keperluan aja, sebagai gantinya aku gak ikut. Aku bakal nginep di rumah kamu malam ini, orang tua kamu selama seminggu gak di rumah kan. Makanya kamu ngajak party di markas," ucap Hana.Bagas masih menatap tajam Hana lalu ia menghela napas dan memamerkan senyuman. Pria tersebut mengulurkan tangan ke arah wajah sang kekasih membuat gadis tersebut spontan memejamkan mata karena takut."Kamu memang terbaik."Kini tangan Bagas beralih ke pergelangan lengan Hana yang tadi dipegang sangat kencang olehnya. Ia mengusap pelan dan meniup perlahan."Apa ini sakit?" tanya Bagas lembut.Dengan bibir mengerucutkan Hana langsung menganggukan kepala. Perempuan itu mengulas senyum mendapatkan perlakuan manis dari kekasih. Tak berselang berapa lama dering ponsel terdengar. Membuat keduanya saling memandang, gadis tersebut segera merogoh handphone di saku."Ibu," gumam Hana pelan.Bagas yang melihat nama yang layar handphone Hana, ia memerintahkan untuk mengangkat sambungan tersebut. Sedangkan dia duduk di motor sambil memainkan benda pipih miliknya."Kamu udah pulang kan! Udah beli belum pesenan Ibu," sentak Mila.Hana segera menjauhkan telinga dari handphone, ia mengusap kuning karena merasa sakit akibatan teriakan sang Ibu. Bagas melihat hal tersebut mengerutkan kening lalu gadis tersebut kembali mendekatkan ponsel ke alat pendengarnya."Ibu aku denger kok, gak perlu teriak dong. Telingaku sakit tau," gerutu Hana.Mendengar gerutuan anaknya, Mila mendengkus. Wanita itu baru saja bangun dari tidur, lalu segera menelepon Hana saat melihat jam dinding."Kamu ini, kalau Ibu gak telepon nanti kamu lupa. Soalnya barang yang Ibu titipkan sangat penting! Ayo cepat pulang dan jangan lupa belikan pesenan Ibu. Jangan sampe Masmu datang duluan ke sini," seru Mila.Hana menyipitkan mata mendengar seruan Ibunya."Emang itu buat apa, Bu? Apa Mas Dimas kecelakaan," pekik perempuan itu.Mila langsung mengomeli anaknya karena berkata sembarangan. Hana memberengut mendengar ocehan sang Ibu."Kamu ini! Asal ngomong aja, kalau Masmu sakit. Nanti siapa yang ngasilin uang dan kasih kita uang, emang kamu mau kerja buat makan dan memenuhi keinginan kita," sembur Mila.Hana menggeleng sangat cepet membuat Bagas yang melihat menyipitkan mata."Enggaklah, Bu. Kalau gitu, itu buat apa? Apa Ibu yang terluka?" cerocos perempuan itu.Wanita paruh baya itu semakin mengomeli putrinya membuat Hana meringis."Kamu ini doain Ibu biar sakit! Dasar, mendingan turunin aja permintaan Ibu dan cepet pulang. Nanti juga kamu tau," seru Mila.Setelah berkata demikian Mila langsung mematikan sambungan telepon. Sedangkan Hana mengerutkan kening karena penasaran. Bagas melihat sang kekasih selesai bertelepon, ia lekas bangkit dan memegang bahu Hana."Kamu kenapa Yang? Oh iya aku gak bisa antar kamu pulang. Soalnya orang di markas udah telepon suruh ke sana," ujar pria tersebut.Perempuan itu mendongak menatap Bagas, karena lelaki tersebut lumayan tinggi. Ia menggeleng dan mengangguk membuat pria tersebut menyipitkan mata. Melihat sang kekasih kebingungan dia terkekeh dan memegang jemari Bagas."Ya udah gak papa, lagian kasian mereka nunggu di sana. Jangan lupa tungguin aku ya di rumah, aku bakal secepatnya ke sana," lontar Hana.Bagas mengangguk lelaki itu segera pergi. Melihat kepergian pria tersebut, Hana lekas mengeluarkan handphone dan memesan ojek online. Setelah datang ia meminta di antar ke apotek untuk membeli pesanan sang Ibu. Setelah selesai dia memerintahkan agar cepat melajukan kendaraan menuju kediamannya.Mendengar suara deru kendaraan roda dua, Mila yang tengah memangkas daun yang layu di Tanaman yang ia rawat langsung menatap sang anak. Dia segera menaruh gunting dan mendekati Hana."Kamu ini lama banget sih! Sini cepet, nanti kalau Masmu keburu datang gimana," omel Mila.Hana mengikuti langkah sang Ibu tidak lupa membayar ongkos ojek tersebut. Ia mengerutkan kening melihat apa yang dilakukan Mila."Ibu ngapain, kan gak luka ngapain coba diperban."Mila mendelik kesal mendengar putrinya yang terus mengoceh."Kamu ini berisik banget sih, nanti Ibu ceritain biar kamu juga ikut menyakini Masmu," ujar Mila.Perempuan itu memiringkan kepala menatap sang Ibu yang berkata demikian. Ia semakin tidak paham dengan perkataan Mila."Cepet ambil beling terus pecahin, oh iya jangan lupa pakein darah palsu juga nih. Untung Ibu gak telat ngasih tau kamu buat beli ini," perintah Mila.Mila yang gemas karena Hana masih belum paham akhirnya menjelaskan. Perempuan itu langsung menganggukan kepala dan melakukan tugasnya.Beberapa jam kemudian ketukan pintu terdengar. Hana segera membukanya dan Mila berbaring di kamar."Ibu kemana, Han? Kenapa tadi Ibu nelepon sambil nangis, Ibu gak kenapa-napa kan."Mata Hana sedikit bengkak karena tadi berusaha terus menangis. Melihat netra sang adik, Dimas semakin merasa khawatir."Ibu di kamar Mas."Hanya kata itu yang terlontar, Dimas langsung berlari ke kamar wanita yang melahirkannya. Ia melotot kala melihat tangan Mila yang diperban. Dia lekas mendekat dan memegang pelan lengan perempuan tersebut."Akh ... sakit," ringis wanita itu.Dimas mengepalkan tangan mendengar cerita Ibunya. Sedangkan Hana menyeringai melihat hal tersebut. "Berani banget dia nyakitin Ibu!" geram Dimas.Tangan lelaki itu terkepal, urat leher sangat terlihat. Bahkan wajah pria tersebut sampai memerah. Melihat reaksi anaknya, Mila sangat ingin bersorak senang. "Iya, Dim. Masa dia malah sebarin ke grup, Ibu jadi disudutkan sama semua orang," adu wanita tersebut.pria tersebut melotot, seperti mata lelaki itu hendak keluar dari tempatnya. Dengan penuh emosi, Dimas memukul kasur karena terlampau marah. "Bener-bener, gak tau diri banget sih. Pasti dia begitu karena gak terima aku kasih uang dikit!"Mila mengerutkan kening mendengar perkataan Dimas. Tetapi ia malas bertanya, yang penting pembalasannya akan segera tersampai bukan?"Aku harus pulang sekarang! Buat beri pelajaran Viona," seru lelaki itu.Lelaki itu langsung bangkit lalu melangkah pergi. Mila dengan gerakan mata menyuruh putrinya untuk mengikuti Dimas."Ajak makan dulu, setelah i
Wanita itu memegang pipi yang di tampar. Sedangkan Dimas masih menatap sangar sang istri karena masih tidak puas. "Dasar, istri sialan!" maki pria tersebut.Viona mendongak menatap Dimas, mata perempuan itu berkaca-kaca. Tangannya memegang pipi yang baru saja ditampar sang suami. "Kamu apa-apaan sih, Mas! Harusnya aku yang marah di sini," sungut wanita itu.Mata lelaki itu melebar seperti hendak keluar dari kelopak. Pria tersebut menarik lengan Viona lalu mendorong ke arah sofa. "Apa kamu bilang! Kamu marah karna apa. Karna aku ngasih uang lima ratus ribu ke Ibu, gitu," hardik Dimas.Setelah berkata demikian, lelaki itu langsung mengambil sapu."Sebenernya pembalas ini belum setimpal dari apa yang kamu lakuin ke Ibuku!" lontar pria tersebut.Dimas langsung memukul Viona dengan batang sapu. Wanita itu memekik kesakitan. Mendengar teriakan perempuan tersebut sangat kencang. Lelaki yang berstatus suaminya, pergi ke ruangan lain. "Akh ... sakit," erang Viona.Wanita itu memegang paha
Dua hari berlalu, Dimas tidak pulang ke kontrakan. Ia sama sekali tidak merasa menyesal telah menyiksa sang istri. Langit kini telah menyemburkan semburat jingga, yang tandanya akan berganti menjadi malam. Viona memakai pakaian panjang agar tidak ada yang tau jika ia terluka."Vio, luka kamu udah sembuh belum?" tanya Sinta. Wanita itu bertanya saat ia tengah bersama beberapa perempuan yang sama penghuni kontrakan. Mendengar pertanyaan Sinta, mereka mengerutkan kening karena bingung. "Emang Viona kenapa, Sin," lontar salah satu dari mereka.Baru aja Sinta hendak menyahuti, Viona sudah menarik wanita itu. "Eh, Sin. Suamimu udah ada di dalam rumah tuh, tadi nyariin kamu lho," seru Viona.Mendengar itu mata Sinta membulat, ia langsung pamit masuk ke kontrakannya. Sedangkan teman bersama wanita itu tadi memilih pergi tidak lupa berpamitan dengan Viona."Vio ... kenapa kamu bohong?" tanya Sinta. Sinta tersadar kala pintu kontrakan masih terkunci. Biasanya sang suami tidak akan mengunci
Viona memegang pipi yang terasa panas sampai sekarang akibat tamparan sang suami."Mas ... kamu nampar aku lagi, bahkan rasa sakit akibat tamparan dua hari yang lalu aja masih membekas, Mas!" Awalnya ucapannya pelan lalu langsung meninggi. Dimas yang mendengar itu melotot, sedangkan Mila masih diam memperhatikan."Kamu masih berani mengeluarkan suara!" sentak Dimas.Dimas yang hendak menyakiti Viona langsung ditahan oleh Mila. Sedangkan wanita itu langsung menunduk dan menutup wajahnya."Jangan berlebihan, Dim. Disini tuh rumah berdempetan. Nanti kedengaran, apalagi sekarang masih sore," ucap Mila.Mila memegang lengan anaknya membuat Dimas menoleh. Lelaki itu menghela napas dengan napas memburu. Sedangkan Viona menatap tak percaya pada sang suami. "Apa kamu gak ingin mendengar penjelasanku dulu, apa yang Ibumu omongin sama kamu! Sampe kamu berani menyakitiku," seru Viona.Wajah lelaki itu memerah, bahkan urat leher sampai terlihat. Tangannya terkepal dan menunjuk wajah Viona. "Ma
Setelah kepergiaan anaknya, Mila mengeryitkan alis. Ia bingung dengan perkataan terakhir Dimas, lelaki itu sama sekali tidak memberitahu. Malah menyuruhnya untuk menunggu."Apa yang dimaksud Dimas sih, jadi gak sabar nunggu besok," gumam wanita itu.Baru saja wanita itu hendak membuka pintu. Suara seseorang membuat ia menoleh. "Itu tangannya kenapa kok diperban? Perasaan tadi gak kenapa-napa lho," lontar seseorang.Mendengar lontaran tersebut, Mila mendelik. Wanita yang bertanya tadi kini berada di hadapannya. "Kepo banget sih, urusin aja urusanmu," sungut Mila.Mendapatkan jawaban seperti itu dari Mila. Perempuan tersebut mendelik, ia memilih pergi tanpa pamit."Mit amit punya tetangga gini amat," ucapnya pelan. Setelah berkata demikian ia segera berlari bergegas masuk ke kediaman. Karena Mila mengambil sapu lalu mendekatinya."Apa yang kamu bilang!" sentak Mila. Wanita itu langsung menggedor-gedor pintu kediaman perempuan yang tadi bertanya. Sedangkan sang empu menghela napas da
"Jadi laki beraninya cuma sama cewek," sinis suami Sinta. Melihat kedatangan Panji yang langsung memegang tangan Dimas yang hendak melayangkan tamparan pada Viona. "Kamu mendingan pergi sana, bawa istrimu sekalian. Ganggu aja," usir Dimas geram. Panji tadi langsung menerobos para wanita yang berdiri tadi. Lalu dengan cepat menahan tangan Dimas, tatapan kesal terus dilayangkan suami Viona."Mas ... udah, jangan berantem," pinta Viona.Wanita itu memegang lengan Dimas, merasakan pegangan tangan Viona. Lelaki tersebut langsung menghempaskan dengan cepat, ia menatap kesal sang istri. "Kamu gak usah ikut campur, ini semua gara-gara kamu juga kan. Makanya jangan berteman sama dia," seru Dimas. Dia menunjuk wajah Sinta, membuat Panji kesal dan menepis tangan suami Viona. "Jaga sikapmu! Main tunjuk-tunjuk aja," sentak Panji.Viona menatap semua orang, ia malu karena masalah rumah tangganya jadi tontonan. Wanita itu segera memegang lengan sang suami kembali. "Mas ... udah ya, aku gak
"Lepas! Mas ... kenapa kamu jahat banget sama aku," isak wanita itu.Setelah puas menangis menumpahkan air mata, wanita itu sesegukan. Dimas merasakan sang istri telah tenang lalu membalikan tubuh perempuan tersebut agar menatapnya. "Maaf ... kamu maafin Mas, kan. Mas hanya manusia biasa, gak luput dari kesalahan," lontar Dimas sekali lagi.Viona tidak mengangguk ataupun menggeleng, apalagi mengeluarkan kata-kata. Wanita itu memilih menjauhkan tangan sang suami dari badan lalu melangkah dengan lemah untuk duduk di sofa."Viona ... kamu maafin aku kan," kata lelaki itu. Dia berkata saat berjongkok dihadapan sang istri. Wanita tersebut hanya menghela napas, ia segera menarik tangan kembali kala digenggam Dimas. "Mendingan Mas pake baju gih! Aku mau lanjut masak," usir Viona halus.Mendengar usiran halus sang istri, Dimas menghela napas. Ia mengangguk lalu berdiri, lelaki tersebut memegang bahu Viona."Kalau gitu aku pakai baju dulu ya, nanti kita masak bareng. Maafin aku yang pas k
Dimas masih syok dengan apa yang ia rahasiakan terbongkar. Lelaki itu menatap sang istri yang meluapkan emosi. "Kenapa kamu diam aja, Mas! Tadi bukannya menuduhku," sentak Viona.Pria tersebut menghela napas, ia langsung mendekati istrinya tetapi wanita itu mundur. "Jangan sentuh aku, Mas! Kenapa kamu bohong, ha!"Lelaki itu langsung menarik lengan Viona lalu wanita tersebut didudukan ke kursi. "Kamu duduk, dengerin aku!" ucap lelaki itu.Sang istri mengerucutkan bibir, wajahnya terlihat datar. Tak ada garis senyuman sama sekali, hati wanita tersebut sedang kacau balau. "Kamu jangan mikir macam-macam dong," lontar lelaki itu.Dimas memegang dahu sang istri tetapi ditepis wanita itu. "Jangan pegang-pegang, Mas! Sekarang kamu mau jelasin apalagi? Apa masih mau memperpanjang kebohonganmu," seru wanita tersebut.Dimas langsung memasukan tangan ke saku, ia menatap istrinya dengan tatapan sulit diartikan. "Oke, aku gak pegang-pegang. Sekarang kamu tenang dulu dong," ucap Dimas.Viona