Setelah berkata demikian Mila langsung berlalu masuk ke kediaman. Sedangkan warga yang tadi bersama istri ketua RT. Mengusap punggung wanita tersebut.
"Sabar Bu, dia emang gitu."Wanita tersebut menghela napas dan menatap orang yang berbicara. Ia mengulas senyum kecil lalu mengangguk."Kasian Viona ya. Ya udah yuk gak usah ikut campur urusan orang, kita pergi aja," seru perempuan itu.Setelah berkata demikian, ia langsung menatap Nisa."Kamu juga jangan lupa minta maaf ke Viona, kamu awal yang nyebar gosip itu," nasihatnya.Nisa menganggukan kepala, mereka langsung bubar. Sedangkan Mila yang mengintip di dalam kediaman lewat jendela. Mengepalkan tangan, amarah sangat memuncak di dada."Sial! Ini semua dalang utamanya Viona, dia harus tanggung jawab," geram perempuan itu.Perempuan paruh baya itu segera menutup gorden, ia melangkah ke ruang tamu. Karena sudah tidak tahan ingin menelepon anaknya, wanita tersebut segera menghubungi Dimas. Beberapa kali Mila terus menelepon, sampai tersambung terdengar suara anak pertamanya."Ada apa sih, Bu! Aku lagi kerja lho," gerundel Dimas.Nada suara lelaki itu lumayan terdengar kesal. Sedangkan Mila menanggapi dengan isakan."Pulang kerja kamu ke sini Dim," pinta perempuan tersebut.Pria tersebut mengerutkan kening, ia juga memelankan suara saat mendengar tangisan Ibunya."Ibu kenapa? Kok nangis," tanya Dimas khawatir.Mila semakin terdengar terisak, Dimas sangat khawatir."Bu ... Ibu kenapa, nanti pulang kerja Dimas ke rumah Ibu. Ibu sabar ya, kalau ada sesuatu telepon Viona aja," tutur Dimas."Aduh, Bu. Aku matiin dulu ya, Bos datang ke sini soalnya," lanjut lelaki itu.Setelah berkata demikian Dimas langsung mematikan sambungan telepon. Sedangkan wanita itu menyeringai, ia lekas melirik jam. Beberapa jam lagi anak perempuannya pulang."Rasain kamu Vio! Aku bakal balas kelakuan kamu," sinis Mila.Sedangkan di kediaman istri Dimas, wanita itu terbatuk saat meneguk air. Ia menepuk dadanya setelah reda ia menghela napas."Kayanya ada yang ngomongin aku," gumam perempuan tersebut.Viona segera menaruh gelas lalu menoleh saat mendengar gedoran pintu. Ia mengerutkan kening dan memilih melangkah menuju pintu utama."Vio!" pekik Sinta.Mendengar teriakan wanita itu Viona terkejut. Matanya sampai membulat sempurna, Sinta melihat hal tersebut meringis. Ia menggaruk kepala yang tak gatal lalu tersenyum kecil memamerkan gigi."Hehe ... maaf Vio, habisnya aku seneng kebangetan deh," cerocos Sinta.Perempuan tersebut mengerutkan keningnya. Sedangkan Sinta langsung berubah cemberut membuat Viona bingung."Kamu ini ah, gak peka banget!" gerundel Sinta.Dua wanita itu memang dekat karena tetanggaan."Kamu gak ajak aku duduk dulu gitu? Atau masuk ke dalam gitu buatin kopi plus nyuguhin cemilan," lontar perempuan itu.Saat mendengar perkataan Sinta wanita itu baru paham. Ia menganggukan kepala lalu menarik lengan tetangganya itu."Akh ... iya lupa, gara-gara kamu sih. Main teriak-teriak aja kaya dihutan," kelakar Viona.Santi memanyunkan bibir mendengar candaan Viona. Sedangkan wanita itu langsung merangkul tetangganya dan mengajak masuk duduk di kursi."Ayo duduk, aku buatin kopi plus bawa cemilan dulu," kata wanita itu.Viona yang hendak beranjak pergi langsung dicekal oleh Sinta. Membuat wanita itu menoleh menatap tetangganya ini."Aku kan cuma bercanda, Vio! Ayo duduk," serunya.Wanita tersebut menggeleng, lalu melepaskan cekalan Sinta."Gak papa, aku ambilin cemilan sama kopi dulu. Kaya biasa kan," ucap istri Dimas.Sinta menganggukan kepala sambil mengulas seringai."Hehe ... aku jadi enak deh."Viona hanya memutarkan bola matanya, Sinta yang pasti akan bosan memilih mengikuti wanita tersebut."Kamu ini, kalau gak ngikut kayanya gak seru ya. Pasti mau ngajak ngerumpi," seru Viona.Wanita itu langsung menggeleng cepat, ia kini berada di samping Viona yang tengah menyeduh kopi."Bukan ngerumpi, Vio! Aku punya kabar bagus buat kamu," lontar Sinta.Dia hanya melirik sebentar Sinta lalu kembali melakukan kerjaan lagi."Ih ... aku serius Viona ...."Ia memegang kedua bahu istri Dimas, membuat wanita itu menghadapnya."Nama kamu udah bersih, Vio. Aku tadi eum ... ngerekam percakapan kita, aku cuma mau buktiin kamu gak salah. Gak seperti yang dituduhkan sama mertua kamu," jelas wanita itu.Viona berpura-pura terkejut, ia membulatkan matanya bahkan mulut terbuka sangat lebar, melihat hal tersebut Sinta segera membuat bibir tertutup rapat kembali."Awas nanti lalat masuk lho," soroh perempuan ini.Perempuan tersebut menelan ludah melihat Viona terus diam. Sama sekali tidak menggerakan bibir, bahkan tatapan wanita tersebut lurus menatapnya."Vio ... maafin aku ya, aku cuma mau bantu kamu aja."Sinta menangkupkan tangan sedangkan Viona langsung tertawa. Membuat wanita tersebut mengeryitkan kening."Aku tau, maksud kamu baik. Aku paham kok, makasih ya," seru menantu Mila.Tetangganya itu langsung menghela napas, tangan diletakan di dada. Ia menepuk bahu Viona membuat wanita tersebut kembali menatap karena tadi tengah menuangkan air mendidih ke gelas berisi kopi."Kamu ini, ngomong dari tadi ke. Bikin jantungan aja," gerundel perempuan itu.Ia menggaruk kepala yang tak gatal lalu tersenyum kecil. Wanita itu segera menyodorkan secangkir kopi pada Sinta. Sedangkan dirinya mengambil cemilan yang kemaren ia buat."Nih, coba cicip cemilan buatanku," seru Viona.Tetangganya itu mengangguk lalu mengambil toples yang di sodorkan Viona. Ia segera membuka tempat tersebut lalu melahap kripik pisang lumer."Akh ... enak banget, Vio," pekik Sinta.Viona hanya menggelengkan kepala mendengar pekikan tetangganya. Ia langsung menatap tajam membuat wanita tersebut meringis."Gimana dong, habisnya buatmu selalu enak aja. Kapan di jual ini Vio?" tanya wanita itu.Wanita berambut cokelat itu terus memasukan cemilan itu ke mulutnya. Sedangkan Viona hanya mengulas senyum melihat hal tersebut. Ia menarik lengan Sinta agar ikut duduk lesehan di lantai."Tenang aja lantainya bersih kok, baru aja di pel," tutur Viona.Mereka sudah duduk di lantai, Viona meminta bantuan Sinta agar menawar atau mempromosikan cemilannya ini. Karena wanita tersebut sangat cocok, mendengar hal itu ia mengangguk kepala.Sedangkan di kediaman Mila, wanita itu segera menelepon putrinya."Ada apa Bu? Ganggu aja sih. Kan ada Mbak Viona."Mila memutarkan bola matanya saat mendengar omelan sang putri. Ia mengembuskan napas kasar lalu membenarkan duduk agar nyaman."Kamu ini! Apa gak mau diganggu Ibu," sentak wanita itu."Kalau kamu gitu terus gak dikasih uang jajan lagi nih," ancamnya.Hana panik mendengar ancaman Ibunya, ia langsung meminta maaf berulang kali. Mila mendengkus geram karena gadis itu selalu aja harus diancam."Kamu ini ya, bener-bener banget!""Beliin Ibu obat merah yang banyak sama perbannya," perintah wanita itu.Gadis itu mengerutkan kening lalu cemberut. Ia menoleh menatap temannya memanggil karena pesanan mereka sudah matang. Dia mengangguk kepala sebagai jawaban."Nanti ya, aku habis pulang sekolah mau jalan-jalan sama pacarku," balas Hana.Mila menggeram mendengar balasan sang anak. "Gak! Pokoknya kamu bawain dulu itu pesenan Ibu ke rumah, kalau enggak uang jajan kamu distop sampe sebulan," sentak Mila.Hana segera menjauhkan handphone dari telinga saat sang Ibu berteriak. Lalu menempelkan kembali dan menghela napas. "Iya-iya, nanti pulang sekolah aku langsung beli dan anter ke rumah. Udah ya kalau gitu Hana mau makan dulu di kantin," sungut gadis tersebut. Wanita paruh baya itu berdecak kesal mendapati anaknya langsung memutuskan sambungan telepon."Huh, aku terlalu memanjakannya," gerundel perempuan itu.Mila menaruh handphonenya kembali lalu memilih melangkah ke kamar untuk beristirahat. Waktu berlaku begitu cepat, kini Hana baru saja keluar dari sekolah. "Duh ... Aku lupa bilang s
Dimas mengepalkan tangan mendengar cerita Ibunya. Sedangkan Hana menyeringai melihat hal tersebut. "Berani banget dia nyakitin Ibu!" geram Dimas.Tangan lelaki itu terkepal, urat leher sangat terlihat. Bahkan wajah pria tersebut sampai memerah. Melihat reaksi anaknya, Mila sangat ingin bersorak senang. "Iya, Dim. Masa dia malah sebarin ke grup, Ibu jadi disudutkan sama semua orang," adu wanita tersebut.pria tersebut melotot, seperti mata lelaki itu hendak keluar dari tempatnya. Dengan penuh emosi, Dimas memukul kasur karena terlampau marah. "Bener-bener, gak tau diri banget sih. Pasti dia begitu karena gak terima aku kasih uang dikit!"Mila mengerutkan kening mendengar perkataan Dimas. Tetapi ia malas bertanya, yang penting pembalasannya akan segera tersampai bukan?"Aku harus pulang sekarang! Buat beri pelajaran Viona," seru lelaki itu.Lelaki itu langsung bangkit lalu melangkah pergi. Mila dengan gerakan mata menyuruh putrinya untuk mengikuti Dimas."Ajak makan dulu, setelah i
Wanita itu memegang pipi yang di tampar. Sedangkan Dimas masih menatap sangar sang istri karena masih tidak puas. "Dasar, istri sialan!" maki pria tersebut.Viona mendongak menatap Dimas, mata perempuan itu berkaca-kaca. Tangannya memegang pipi yang baru saja ditampar sang suami. "Kamu apa-apaan sih, Mas! Harusnya aku yang marah di sini," sungut wanita itu.Mata lelaki itu melebar seperti hendak keluar dari kelopak. Pria tersebut menarik lengan Viona lalu mendorong ke arah sofa. "Apa kamu bilang! Kamu marah karna apa. Karna aku ngasih uang lima ratus ribu ke Ibu, gitu," hardik Dimas.Setelah berkata demikian, lelaki itu langsung mengambil sapu."Sebenernya pembalas ini belum setimpal dari apa yang kamu lakuin ke Ibuku!" lontar pria tersebut.Dimas langsung memukul Viona dengan batang sapu. Wanita itu memekik kesakitan. Mendengar teriakan perempuan tersebut sangat kencang. Lelaki yang berstatus suaminya, pergi ke ruangan lain. "Akh ... sakit," erang Viona.Wanita itu memegang paha
Dua hari berlalu, Dimas tidak pulang ke kontrakan. Ia sama sekali tidak merasa menyesal telah menyiksa sang istri. Langit kini telah menyemburkan semburat jingga, yang tandanya akan berganti menjadi malam. Viona memakai pakaian panjang agar tidak ada yang tau jika ia terluka."Vio, luka kamu udah sembuh belum?" tanya Sinta. Wanita itu bertanya saat ia tengah bersama beberapa perempuan yang sama penghuni kontrakan. Mendengar pertanyaan Sinta, mereka mengerutkan kening karena bingung. "Emang Viona kenapa, Sin," lontar salah satu dari mereka.Baru aja Sinta hendak menyahuti, Viona sudah menarik wanita itu. "Eh, Sin. Suamimu udah ada di dalam rumah tuh, tadi nyariin kamu lho," seru Viona.Mendengar itu mata Sinta membulat, ia langsung pamit masuk ke kontrakannya. Sedangkan teman bersama wanita itu tadi memilih pergi tidak lupa berpamitan dengan Viona."Vio ... kenapa kamu bohong?" tanya Sinta. Sinta tersadar kala pintu kontrakan masih terkunci. Biasanya sang suami tidak akan mengunci
Viona memegang pipi yang terasa panas sampai sekarang akibat tamparan sang suami."Mas ... kamu nampar aku lagi, bahkan rasa sakit akibat tamparan dua hari yang lalu aja masih membekas, Mas!" Awalnya ucapannya pelan lalu langsung meninggi. Dimas yang mendengar itu melotot, sedangkan Mila masih diam memperhatikan."Kamu masih berani mengeluarkan suara!" sentak Dimas.Dimas yang hendak menyakiti Viona langsung ditahan oleh Mila. Sedangkan wanita itu langsung menunduk dan menutup wajahnya."Jangan berlebihan, Dim. Disini tuh rumah berdempetan. Nanti kedengaran, apalagi sekarang masih sore," ucap Mila.Mila memegang lengan anaknya membuat Dimas menoleh. Lelaki itu menghela napas dengan napas memburu. Sedangkan Viona menatap tak percaya pada sang suami. "Apa kamu gak ingin mendengar penjelasanku dulu, apa yang Ibumu omongin sama kamu! Sampe kamu berani menyakitiku," seru Viona.Wajah lelaki itu memerah, bahkan urat leher sampai terlihat. Tangannya terkepal dan menunjuk wajah Viona. "Ma
Setelah kepergiaan anaknya, Mila mengeryitkan alis. Ia bingung dengan perkataan terakhir Dimas, lelaki itu sama sekali tidak memberitahu. Malah menyuruhnya untuk menunggu."Apa yang dimaksud Dimas sih, jadi gak sabar nunggu besok," gumam wanita itu.Baru saja wanita itu hendak membuka pintu. Suara seseorang membuat ia menoleh. "Itu tangannya kenapa kok diperban? Perasaan tadi gak kenapa-napa lho," lontar seseorang.Mendengar lontaran tersebut, Mila mendelik. Wanita yang bertanya tadi kini berada di hadapannya. "Kepo banget sih, urusin aja urusanmu," sungut Mila.Mendapatkan jawaban seperti itu dari Mila. Perempuan tersebut mendelik, ia memilih pergi tanpa pamit."Mit amit punya tetangga gini amat," ucapnya pelan. Setelah berkata demikian ia segera berlari bergegas masuk ke kediaman. Karena Mila mengambil sapu lalu mendekatinya."Apa yang kamu bilang!" sentak Mila. Wanita itu langsung menggedor-gedor pintu kediaman perempuan yang tadi bertanya. Sedangkan sang empu menghela napas da
"Jadi laki beraninya cuma sama cewek," sinis suami Sinta. Melihat kedatangan Panji yang langsung memegang tangan Dimas yang hendak melayangkan tamparan pada Viona. "Kamu mendingan pergi sana, bawa istrimu sekalian. Ganggu aja," usir Dimas geram. Panji tadi langsung menerobos para wanita yang berdiri tadi. Lalu dengan cepat menahan tangan Dimas, tatapan kesal terus dilayangkan suami Viona."Mas ... udah, jangan berantem," pinta Viona.Wanita itu memegang lengan Dimas, merasakan pegangan tangan Viona. Lelaki tersebut langsung menghempaskan dengan cepat, ia menatap kesal sang istri. "Kamu gak usah ikut campur, ini semua gara-gara kamu juga kan. Makanya jangan berteman sama dia," seru Dimas. Dia menunjuk wajah Sinta, membuat Panji kesal dan menepis tangan suami Viona. "Jaga sikapmu! Main tunjuk-tunjuk aja," sentak Panji.Viona menatap semua orang, ia malu karena masalah rumah tangganya jadi tontonan. Wanita itu segera memegang lengan sang suami kembali. "Mas ... udah ya, aku gak
"Lepas! Mas ... kenapa kamu jahat banget sama aku," isak wanita itu.Setelah puas menangis menumpahkan air mata, wanita itu sesegukan. Dimas merasakan sang istri telah tenang lalu membalikan tubuh perempuan tersebut agar menatapnya. "Maaf ... kamu maafin Mas, kan. Mas hanya manusia biasa, gak luput dari kesalahan," lontar Dimas sekali lagi.Viona tidak mengangguk ataupun menggeleng, apalagi mengeluarkan kata-kata. Wanita itu memilih menjauhkan tangan sang suami dari badan lalu melangkah dengan lemah untuk duduk di sofa."Viona ... kamu maafin aku kan," kata lelaki itu. Dia berkata saat berjongkok dihadapan sang istri. Wanita tersebut hanya menghela napas, ia segera menarik tangan kembali kala digenggam Dimas. "Mendingan Mas pake baju gih! Aku mau lanjut masak," usir Viona halus.Mendengar usiran halus sang istri, Dimas menghela napas. Ia mengangguk lalu berdiri, lelaki tersebut memegang bahu Viona."Kalau gitu aku pakai baju dulu ya, nanti kita masak bareng. Maafin aku yang pas k