-Anang-"Saya sudah merendahkan harga diri saya ya Bu untuk kerja di sini. Ibu jangan pancing emosi saya!" ucapku kesal."Jangan sombong! Andai kamu bisa bayar, kamu tidak akan kerja seperti ini! Sok-soan makan sampai puluhan juta dengan songong, tapi tidak bisa bayar," kritiknya semakin membuatku malu oleh para pelayan lain. Sepertinya mereka menertawakanku atas ini. Awas saja, setelah ini aku pastikan restoran ini sepi. Akan kuhasut semua orang supaya tidak makan di restoran ini."Saya bisa beli restoran ini, jangan sombong, Bu!" ujarku lagi dengan kesal padanya."Jangan sok mau beli, 35 juta saja kamu cuma bayar separuhnya. Ayok, cepat kerja! Oh ya, coba saya ingin lihat cara kamu melayani tamu!"Aku kaget dengan permintaan wanita tua di dekatku ini."Maksud Ibu bagaimana?" "Kamu coba layani tamu. Kamu ke depan dan sambut pelanggan. Ayok!" titahnya."Saya gak mau! Saya hanya bertugas di belakang ya, Bu?" Aku menolak dengan tegas.Sebenarnya cara bicara wanita tua ini adem sekali,
- Anang -Aku benar-benar malu tingkat Dewa. Wajahku sepertinya masak sekali saat diejek oleh Tante rekan Ibu. Mati aku, mati!Ibu seketika menolehku dengan tatapan super kaget dipenuhi kemurkaan. "A … Anang? Kamu ngapain di sini? Kamu … kok pakek baju pelayan sih?" ucap Ibu dengan nada jijik. Mampus aku sekarang! Sudah sial, kena malu juga."Anang? Kamu!" Ibu mendekat lalu menyelidik."Bu! Aku … aku gak bisa bayar makan di resto ini. Uangku habis gara-gara si Maya dan pacarnya. Mereka kuras uangku!" Aku menjelaskan dengan cara bisik-bisik pada telinga Ibu. "Apa? Kok bisa?" Dia kaget."Selamat siang, ada apa ini?" Suara owner datang. "Kamu cepat layani pelanggan! Jangan berdiri saja!" titahnya padaku yang sedang ada di dekat Ibu. Ibu pun menganga tak habis pikir."Hah? Jeng? Jadi beneran? Anakmu pelayan?" Rekan Ibu kaget sekali mendengar apa yang diucapkan oleh owner. "Jeng, Jeng, Jeng jangan salah paham. Em, mungkin saja ini candaan anak saya. Dia memang begitu. Hehe." Ibu coba m
PoV Anang***"Aduh, lelah banget nih, Mas! Kamu harus ganti rugi semuanya. Kulitku kusam gara-gara kelamaan di dapur!" Sindy merengek kala kami baru saja keluar dari resto tepat pukul sepuluh malam. Lelah sekali hari ini. Apalagi dua bodyguard pemilik hotel terus stand by di tempat. Mereka tak memberikan aku dan Sindy napas lega. Menyesal sekali gara-gara si Maya, uangku habis banyak. Mana itu untuk sambung hidup. Untuk gaji asisten rumah tangga juga. Yang terpenting, bagian Ibu. Kalau Ibu sampai tak dapat bulanan, ia akan ngoceh."Aku juga sama, kamu pikir kamu doang?" ketusku terus berjalan di pinggir jalan yang ramai. Mungkin saja banyak yang mentertawakan kami dari dalam mobil sana. Kami bak gembel, jalan kaki dengan wajah lusuh sekali.Saat ini kami juga harus berjalan untuk bawa kendaraan di jarak seratus meteran. Hah, semoga saja mobil tak dicuri orang.Lampu-lampu pinggir kota menerangi setiap langkah kami berdua. Kalau saja mereka hidup, pasti saat ini sedang tertawa terbah
Tubuh Ibu terhempas ke sofa. Kalau ngamuk ya begini, Ibu tak bisa dicegah. Ah, biarakan saja, aku selalu menganggapnya kaleng rombeng saja."Udah ah, Bu, aku mau masuk! Mau mandi dan berendam air hangat. Tubuhku bau keringat!" Gegas aku bangkit dan tinggalkan Ibu sendiri yang sedang riweuh karena kena malu oleh rekannya. Sebenarnya aku juga sama, Bu, tapi malas untuk cerita. Sepertinya otakku sudah benar-benar muak sekali.***"Eh, tahu enggak? Aku lihat GM kita jadi pelayan di restoran? Aku kemarin ke resto diajak pacarku. Eh, dari kejauhan aku benar-benar lihat kalau Pak Anang sedang jadi pelayan!"Jleb!Terdengar bisik-bisik karyawanku saat langkah kaki ini mulai mendekat ke arah mereka. Karena posisi duduk balik dinding, jadi mereka tak tahu kalau aku sedang ada di sekitar."Ah, masak sih? Masak Pak Anang jadi pelayan? Dia kan angkuh sekali!"Kedua bola mataku membuka lebar. Ternyata kemarin ada karyawan yang melihatku jadi pelayan? Mati aku. "Masak sih?""Iya, katanya pas makan
PoV Maya***Hari ini aku resmi telah menjadi tunangan Mas Yoga. Semalam, acara lamaran dilangsungkan di rumahku secara sederhana. Yang hadir hanya keluarga saja. Dari apa yang kuketahui mengenai keluarga calon suami, nampak sekali mereka tidak gengsian. Meskipun lamaran tidak mewah, tapi yang penting sakral.Malam itu aku serasa di awang-awang. Bagaimana tidak? Aku yang bukan konglomerat malah selangkah lagi akan dipersunting oleh seorang pria keturunan Medan dan Minang.Sebenarnya untuk jadi istri keturunan orang daerah luar itu banyak sekali peraturan dan adat istiadat ternyata. Mungkin saja bila nanti aku sudah menjadi istri Mas Yoga, aku akan membeli marga dengan cara upacara adat kata Mas Yoga. Aku sih belum begitu paham. Ah, nanti saja bahas itu. Sekarang aku harus fokus kerja dulu.Sebenarnya setelah bertunangan aku merasa malu dan canggung bila bertemu dengan Mas Yoga. Ini rasanya seperti mimpi, karena ada rasa malu akan status, sehingga aku pun bersikap layaknya bos dan kary
POV MAYA***"Haha. Ya ampun, sudah kuguda. Sudah kuduga kalian memang orang-orang misikin yang ingin diakui kaya. Aduh," kekeh Mas Anang."Mas, jangan ditertawain, entar mereka nangis dan malu loh, Mas!" Sama saja, pacar Mas Anang mengejek kami berdua."Sayang, ayok, lebih baik kita duduk di tempat sana. Di sini gerah sekali," saran Mas Yoga, aku pun manggut-manggut."Hush! Pergi!" Mereka berdua mengusir kami."Mohon maaf, ada apa ini?" Tiba-tiba seorang pria yang kuduga tadi adalah manajer resto menghampiri."Enggak, ini, mereka mau duduk sembarangan di tempat duduk kami. It's oke, sudah saya usir," ujar Mas Anang dengan angkuh.Sang manajer manggut-manggut, namun ia melirik kami berdua. "Kalau begitu kami minta maaf atas ketidaknyamanannya, Mas, Mbak. Kalau begitu mari kami antar Mbak dan Mas ke ruang VIP di restoran kami ini."Deg!Manajer mempersilahkan kami dengan santun dan ramah. Aku dan Mas Yoga pun merasa tersanjung. Lalu, dua orang menyebalkan itu sekarang malah menahan kep
PoV Maya***"Selamat siang, Pak, Bu? Selamat datang."Resepsionis menyapa aku dan juga Mas Yoga dengan ramah. Yang aku lakukan hanyalah tersenyum sambil manggut.Sepertinya dia berpikir kalau aku adalah sekretaris Mas Yoga."Selamat siang. Di mana manajer Andi?" tanya Mas Yoga tanpa basa-basi. Aku masih berada di sampingnya."Manajer Andi sedang keluar, Pak." Itu jawaban resepsionis yang kuketahui namanya Santi dari tanda pengenal yang ia pakai."Keluar? Ke mana? Tinjau pekerjaan?" tanya Mas Yoga."Saya tidak tahu, Pak. Baru saja manajer Andi keluar. Apa ada yang bisa saya sampaikan, Pak?" ucap resepsionis itu."Tak usah. Saya mau menunggu saja." "Baiklah, Pak, mari saya antar," katanya dengan penuh kesantunan."Tak usah, saya bisa sendiri." Mas Yoga menjawab."Apa perlu saya hubungi Pak Andi, Pak?" saran Santi si resepsionis."Tak usah, saya yang akan hubungi dia." "Baikah, Pak."Aku dan Mas Yoga pun lanjut melangkahkan kaki ke sebuah ruangan yang tersekat hanya dengan partisi din
"A … apa maksud, Pak Bos?" tanyanya seakan ingin berdalih. Kata 'bos' yang aku tanggapi itu berarti hanya untuk pencitraan setelah merasa dirinya mungkin salah."Konsumen mengeluhkan. Kondisi bangunan barangnya tidak seperti yang diinginkan. Apakah yang salah ini perusahaan atau supplier barang?" Mas Yoga mencecar Pak Andi."Bukankah supplier juga sudah tahu apa yang kita inginkan? Kenapa jadi berubah? Pak Andi yang tak teliti atau mereka yang berhasil memasukkan barang jelek dengan harga yang sama dengan kualitas yang diinginkan?" Saat ini wajah Pak Andi mulai memucat. Dia yang baru bekerja beberapa bulan itu sepertinya harus bersiap-siap menerima surat peringatan dari perusahaan."Ma … maaf, Pak. Saya betul-betul tak tahu. Sepertinya saya juga baru tahu masalah ini." Pak Andi menjawab dengan ragu. Dia ini sedang berakting atau takut?"Tolong ambil semua laporan mengenai proyek itu," titah Mas Yoga."Baik, Pak."Sepertinya Pak Andi kaget betul dengan pertanyaan Mas Yoga saat ini. Di