Share

BAB 4 SUKU BERBEDA

Author: Kom Komala
last update Last Updated: 2023-01-24 14:27:52

"Begini, langsung saja. Yoga, kamu tahu 'kan? Adat istiadat keluarga kita?"

Sampai di sini mataku sudah ingin melebar mendengar lontaran dari Bu Ine. 

"Maksud Mama?"

***

"Maksud Mama apa ya?" tanya sang anak pada ibunya. Aku sudah mempersiapkan kemungkinan yang akan terjadi. Dan aku harus siap.

Duduk pun ini sudah tak enak. Karena sebentar lagi, mungkin aku akan diminta untuk diantarkan oleh Mas Yoga. Atau, kemungkinan buruk, aku disuruh pulang sendiri.

"Begini, kamu tahu suku adat keluarga kita 'kan? Kita ini berasal dari Medan dan Minang. Sedangkan Maya berasal dari Betawi."

Bu Ine menjelaskan. Aku sudah tahu, memang mereka keturunan Medan dan Minang. Sedangkan aku ya, aku asli Betawi yang merupakan keturunan dari keluarga sederhana.

"Lalu maksud Mama apa?" Mas Yoga sudah heran dengan apa yang ibunya katakan. Sedangkan aku sejak saat ini sudah harus menerima konsekuensi, kalau hubungan kami tak baik bila diteruskan. Dari kasta pun kita berbeda.

Bu Ine saat ini duduk dengan elegan belum melanjutkan lagi apa yang sebenarnya ia ingin katakan. Maksudnya, inti dari pembicaraan ini belum tersampaikan.

Aku tak bisa bicara banyak, hanya diam menunduk dan mempersiapkan kata-kata mohon maaf yang sebesar-besarnya pada keluarga mereka.

"Mah? Mama ada masalah apa dengan keturunan?" Lagi-lagi Mas Yoga bertanya setelah sebelumnya melirikku. Ya, pasti kami memang berbeda keturunan.

Napasku kini berhembus ragu dan sudah pasrah.

"Begini, ini masalah kamu dengan Maya."

Aku jelas kaget, tapi memang aku harus apa. Diam, hanya itu yang aku lakukan.

"Masalah? Masalah apa?" tanya sang anak kembali.

"Begini. Menurut Mama, adat ketiganya itu harus dipadukan dalam resepsi pernikahan. Maka dari itu, Mama mau adat Minang, Medan dan juga Betawi digabungkan. Atau, meskipun tidak digabung, kalian cari caranya bagaimana supaya dalam waktu sehari semalam, tiga adat tersebut bisa tertampilkan."

Tegh!

Sebuah lontaran kalimat yang mencuat di telinga dengan tajam membuatku merasa keliru.

Kulirik Mas Yoga yang sedari tadi resah kini malah menyeringai perlahan. "Maksudnya?" tanya Mas Yoga.

Bu Ine tanpa senyuman sepertinya ingin menjawab. Sedangkan aku sudah beberapa kali meneguk liur ingin berusaha mengartikan. Apa sebenarnya yang Bu Ine utarakan itu?

"Maksudnya, kalau kalian sudah serius, lebih baik cepat menikah. Tak baik lama-lama berhubungan dekat tanpa ikatan. Tapi ingat, itu kalau serius. Kalau tak serius, lebih baik jaga jarak kalian berdua."

Mulutku sontak menganga. Apa yang aku dengar barusan, apakah itu sebuah restu yang berlebihan?

Kulirik kecil Mas Yoga dan dia malah tersenyum. Saat ini, tubuhku benar-benar gemetar. Aku tak pernah ada di posisi ini sebelumnya. Saat akad dengan Mas Anang pun, suasananya tidak begini, karena tak ada persiapan kemungkinan aku akan ditolak. Karena kami jelas telah mendapatkan restu. Tapi sekarang, aku sungguh kaget sekali. Andai ada Ibu di sini, ingin sekali aku menjerit dan bertanya pada Ibu. Apakah Ibu tahu arti dari kata-kata Bu Ine?

"Mama? Mama … restui aku menikah dengan Maya?" ujar Mas Yoga seakan mempersiapkan kesumringahan. 

Bu Ine dengan mimik wajah yang tak begitu meyakinkan itu pun kini manggut-manggut. "Iya. Tak baik lama-lama pacaran begini. Segera diresmikan. Dan ingat, rancang semuanya dengan bagus. Mama mau tiga perbedaan kita itu disatu padukan. Ya, terserah kalian mau bagi-baginya bagaimana. Kalian segera meeting dengan wedding planner. Mama ada kenalan yang udah profesional. Kalau mau, Mama bisa hubungi dia. Dan kalian atur. Designer untuk akad juga udah Mama siapkan, itu sahabat Mama. Mama tahu desainnya bagus-bagus."

Mas Yoga tiba-tiba semakin sumringah. "Boleh, boleh, Mah. Apapun menurut Mama. Aku oke saja. Bagaimana dengan kamu, Say … eh, May?" Mas Yoga membuatku malu dengan keceplosan ingin memanggilku dengan kata sayang. 

Bagaimana aku bisa menjawab, ini sangat gemetar sekali. Andai bukan di tempat umum, aku akan sejenak melubangi tanah lalu jingkrak-jingkrak di dalamnya.

"Maya? Bagaimana?" Bu Ine bertanya padaku.

Sejenak menelan ludah lalu berusaha menjawab. "I … Ibu bersedia menjadikan saya menantu Ibu?" ucapku gelagapan.

"Iya. Kenapa? Kamu takut karena orang Medan itu keras-keras? Keras dan tegas itu bicaranya. Hatinya itu ya baik." Bu Ine membuatku semakin malu.

"Bukan, Bu. Em …."

Bu Ine memotong kalimat yang belum usai keluar dari mulutku. "Sudah. Kamu panggil saya Mama, jangan Ibu, ya?" pinta Bu Ine.

Saat ini Mas Yoga melirikku sembari menggerak-gerakkan alisnya berkali-kali dengan tatapan yang membuat aku malu. Bisa-bisanya di depan orang tua dia menatapku begitu.

"Setelah ini Mama akan bertemu dengan sahabat Mama yang desainer itu. Wedding planner sudah Mama W******p. Nanti pihak mereka akan hubungi kamu, Ga. Oh ya, satu lagi. Libatkan adikmu dalam hal ini, dia 'kan seorang calon design interior. Sambil dia belajar."

"Siap, Mah." Mas Yoga sigap sekali.

Bu Ine kini bangkit, sedangkan aku masih serasa berada di atas awan. Melayang-layang rasanya. Ya Tuhan, ini sebuah hal yang belum sempat kuduga, tapi malah menyambut tanpa ada keraguan.

"Mama mau ke mana?" tanya Mas Yoga pada sang Ibu. 

"Eh, Mama 'kan udah bilang, Mama mau ketemu sama sahabat Mama untuk siapkan pakaian pengantin kalian khusus akad nikah. Untuk resepsi, Mama tunggu beberapa desainer yang menurut kalian bagus. Kalau mau semuanya sama sahabat Mama takutnya enggak keburu. Pernikahan kalian sudah si papa pikirkan bulan depan. Jadi, semuanya harus cepat dan perfect." 

Ternyata bukan hanya Bu Ine, tapi juga suaminya--Papa Mas Yoga. Aku juga dapat restu dirinya?

Aku semakin terkejut mendengar apa yang Bu Ine katakan barusan. Ini sungguh seperti mimpi. Apa iya aku yang janda diterima di keluarga mereka? Ah, aku harus bangun dari mimpi ini.

"Sampai ketemu nanti ya? Oh ya, pokoknya jangan lama-lama. Nanti Mama sama papa akan datang ke rumah orang tua Maya. Kalian atur jadwalnya." Begitu kata Bu Ine. Aku semakin tak bisa bicara apapun.

"Siap, Mah!" Lagi-lagi Mas Yoga sigap.

Bu Ine kini sudah berlalu setelah pamit dan sedikit mengelus pundakku sebelum ia pergi. 

Kalian tahu bagaimana suasana hatiku sekarang? Harus menangis bagaimana untuk mengekspresikan kebahagiaan ini?

"Sayang? Kamu denger 'kan?" Mas Yoga mengelus kepalaku.

"Eh, Mas. Ini …." Aku memperlihatkan gelagat supaya dia tidak belai-belai kepalaku sembarangan. Apalagi ini di depan orang. Bukan di depan, tapi, di resto ini banyak orang.

"Iya, iya. Hah … lega sekali aku. Sebenarnya aku ingin bicara ini sama Mama. Tapi, aku belum ada waktu yang tepat. Oh ya, aku belum lamar kamu ya? Mungkin maksud Mama ingin menemui orang tua kamu itu ya melamar!" Mas Yoga berkata hal yang membuatku malu.

Aku sungguh belum bisa bicara banyak. Hati kecil ini masih tak percaya dengan ini semua. Baru saja kami pulang dari kondangan, dan sebentar lagi kami akan urus surat undangan? Oh Tuhan …

Tiba-tiba gawai Mas Yoga berdenting. 

"Sebentar, Sayang."

"Mama?" katanya kembali.

"Ya, Ma?" Ia kembali bicara setelah mengangkat panggilan, namun sekarang di loud speaker. Ia taruh si Apple kroaknya di hadapan kami berdua.

"Jangan lupa beli cincin buat melamar. Masak mau langsung akad? Harus ada lamaran dulu ya? Kalau bisa Minggu ini. Tak perlu mewah-mewah, kita ke rumah Maya saja. Tapi, pilih cincinnya. Kalau uang kurang, akan Mama transfer."

Mas Yoga melirikku kembali setelah Ibunya bicara. Panggilan telah berakhir, singkat, padat dan mendebarkan.

"Baru saja aku omongin. Nah, sekarang kita berarti pergi ke toko cincin ya? Kamu bebas pilih," ucap Mas Yoga. "Mama merendahkan aku seperti tak punya uang. Uangku 'kan banyak," kelakarnya menambahkan.

"Ish!" Aku sedikit menyunggingkan bibir.

"Ya sudah, ayok! Eh, tunggu. Kamu mau bawa makanan enggak buat ke rumah? Mumpung mampir di sini. Di sini makanan lezat-lezat dan baiklah pokoknya." Mas Yoga menawarkan.

"Ah, enggak usah, Mas. Kita pulang aja," saranku.

"Yeh, mumpung ada diskon."

Aku heran. "Yaelah!" 

"Iya, di diskon sama Mama. Ini 'kan resto punya Mamaku, May. Masak kamu tidak tahu usaha milik calon mertuamu," oceh Mas Yoga. 

"Ya ampun, Mas, memangnya aku apa harus kepoin aset keluarga kamu. Kamu itu benar-benar. Tapi, ini memang resto milik keluarga kamu?" tanyaku yang penasaran. 

"Iya. Kamu beneran tidak tahu?" herannya.

"Enggak lah, Mas."

"Ya baguslah. Emang aku boong!" Dia malah terkekeh bahagia.

"Ih!"

"Iya, ini resto milik orang tuaku. Kamu jangan heran. Makanya sekarang kita boleh pesan makan minta diskon. Lumayan, diskon 50%."

Aku sedikit kesal namun kesal dalam candaan. "Mas, kamu ini. Lebih baik ayok kita pulang. Jangan banyak bercanda di tempat umum."

"Permisi, Mbak, Mas. Ini pesanannya." 

Seorang pelayan menghampiri. Lalu ia memberikan kantong kresek putih bersisi box makanan.

Aku pun heran. "Ini?"

"Makasih, Mbak. Ini gratis 'kan?" kata Mas Yoga. Pelayan itu pun manggut-manggut, lalu tak lama segera meninggalkan kami.

"Loh, Mas? Kamu kapan pesan?" heranku.

"Mama yang pesankan. Ayok!"

Alisku masih bertaut heran. Namun, aku tak ingin banyak bicara. Lebih baik, segera pergi saja daripada malu dilihat orang karena Mas Yoga yang menggodaku.

***

Kami telah sampai di toko perhiasan. Sebelum sampai ke rumahku, Mas Yoga memang memintaku untuk memilih cincin yang aku inginkan.

Namun, baru saja turun dari mobil, dari kejauhan sana sudah nampak pria dan wanita yang aku kenal. Itu Mas Anang dan pacarnya tadi. Sungguh, ini dunia sempit sekali. Apa jadinya kami harus berpapasan lagi?

Mas Anang baru saja keluar dari mobil dan kini menggandeng wanita itu. Aku dan Mas Yoga masih ada di dalam mobil.

Di samping kami sekarang datang sebuah motor bebek dan parkir di samping mobil Mas Yoga.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ganjaran Untuk Mantan Menyebalkan   156 TAMAT

    PoV Maya***"Oh, jadi kamu Mas biang kerok semua ini? Aku gak nyangka kamu begini ya Mas!" Aku begitu marah. Wajahnya memerah nanar menatap pria itu."Arkh, apaan kalian, dasar tukang tuduh!" Dia itu berdecak. Dia berdalih dan tidak mengakui hal yang sebenarnya terjadi.Kami sekarang sedang berada di sebuah tempat. Dimana sekarang di sini kami sudah berhadapan dengan Mas Diwan yang ternyata memang biang kerok dari semuanya.Di sini juga tidak hanya ada aku dan suami juga anak buahku. Tapi di sini juga ada Hans yang baru saja datang. Aku sengaja ingin memperlihatkan kepadanya kalau anak buahnya selama ini telah melakukan hal yang buruk.Mas Diwan mencuri identitas dirinya untuk menerorku. Dan seakan-akan Hans lah yang ingin menggencarkan rumah tanggaku bersama Mas Yoga. Pijit sekali kelakuannya.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi nya Mas Diwan oleh telapak tanganku. Mas Yog

  • Ganjaran Untuk Mantan Menyebalkan   155 Sampai Ke Mulut Oma (2)

    Dada omah mundur ke belakang. Bibirnya tertarik ke atas seperti tak mengindahkan apa yang aku duga. "Ya ampun, Yoga. Kamu menduga istrimu itu hanya jadi korban orang lain? Takut itu kah kamu istri kamu pergi? Pasti benar, dia itu sudah selingkuh. Kamu ini kok kaya melindungi banget istri kamu?" Dugaanku benar, Oma menyalahkan istriku."Bukan begitu, Oma. Tapi aku sama Mas Yoga juga sedang menyelidiki siapa orang yang selalu meneror aku dengan barang-barang seperti ini. Aku benar-benar enggak tahu, Oma, aku yakin ini ada unsur disengaja." Istriku mendekat membela dirinya.Aku coba meredam kemarahan Oma. "Oke, Oma tenang dulu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Yoga sama Maya mau ke kamar dulu. Ada hal yang ingin kita bicarakan.""Nah, itu bagus!" Oma setuju, "pasti kamu ingin memarahi dia kan? Bagus itu, ayok sana. Jangan pernah mau kalah sama istrimu. Nanti dia bakal kebiasaan," tandas Oma.Istriku masih terus rerpojok

  • Ganjaran Untuk Mantan Menyebalkan   154 Sampai Ke Mulut Oma

    PoV Yoga***"Semua informasinya sudah aku kirim lewat email."Pesan masuk setelah aku keluar dari ruang meeting. Temanku yang detektif ini menjanjikan waktu sebentar, tapi karena katanya dia ada meeting penting sehingga pekerjaannya dia tunda dulu. Dan baru sekarang dia mengirimkan semuanya. Katanya sudah lewat email.Aku Pun bergegas menuju ruang bekerja. Membuka laptop dan segera mencari tahu informasi terbaru yang masuk lewat email yang yang aku pakai untuk mendapatkan informasi darinya.Tanpa basa-basi aku pun segera membaca dan melihat bukti lokasi yang telah temanku itu selidiki.Degh!Aku kaget ketika dua nomor yang berbeda itu ternyata berada di lokasi yang sama. Bahkan bukan berdekatan, tapi memang di titik yang sama.Satu Nomor dengan identitas bernama Diwan. Dan satu lagi nomor atas nama Hans. Aku malah semakin bingung, jangan-jangan dugaan istriku benar, kalau Diwan lah yang memanfaatkan situasi ini untuk meneror istriku. Tapi apa maksud dan tujuannya?Ku tanya lagi kepad

  • Ganjaran Untuk Mantan Menyebalkan   153

    PoV Yoga***[Maaf, kita belum bisa bertemu. Aku hanya bisa mengagumimu tanpa bisa melihatmu. Kita ini berada di posisi yang masih salah. Aku punya istri dan kamu pun punya. Aku hanya berharap suatu saat kita bersatu]Wajah istriku saat ini benar-benar murung dan ketakutan. Dia pasti berpikir kalau aku akan marah. "Mas, sumpah aku nggak tahu lho Mas salah orang ini," resahnya.Aku berusaha percaya. "Oke, sudah jelas kalau orang itu benar-benar menginginkan kamu. Tapi identitasnya terus saja dia sembunyikan.""Mas, aku yakin, ini adalah kerjaan seseorang untuk menghancurkan rumah tangga kita saja. Sumpah, aku gak tahu soal ini." Kekeh istriku seperti meresahkan pikiranku saat ini.Kami berdua diam. Namun, tiba-tiba istriku mengatakan kalau dia memiliki sebuah ide. "Mas!" Dia membuyarkan lamunanku. "Ada apa?" tanyaku.Dia malah mondar-mandir. "Gini nih, Mas, aku kok jadi suuzon kalau

  • Ganjaran Untuk Mantan Menyebalkan   152

    PoV Yoga***"Selidikku siapa Diwan yang dimaksud oleh Hans. Saya mau kabar sebelum 24 jam!" titahku pada orang suruhan.Mereka langsung sigap mengiyakan.Aku ingin tahu nama Diwan yang disebut Hans. Mungkin saja dia adalah Diwan yang sama dengan suaminya Risma.Dari kantor dia resign katanya ingin buka usaha, tapi setelah aku telusuri ternyata Diwan tidak buka usaha di rumah. Kata ibunya istriku Diwan itu seperti masih kerja kantoran.Aku ingin segera clear kan masalah ini. Keresahan hati mengenai Hans yang ingin merebut istriku ini harus segera aku pecahkan saat ini juga. Jangan sampai ada kesalahpahaman diantara kita yang terlalu jauh.Di menit kemudian tiba-tiba ponselku berdenting. Setelah melihat nama yang tertera di nomor panggilan yang masuk, ternyata dia adalah istriku.Segera aku menjawabnya. "Ya, Sayang?" sapaku lebih dulu."Mas, aku ada kabar dari sese

  • Ganjaran Untuk Mantan Menyebalkan   151

    Ternyata Hans sedang ada masalah keluarga. Mungkinkah dia bermasalah dengan istrinya sehingga ingin mendapatkan istriku? Benar saja dia barusan menyanjung istriku tanpa ada rasa resah."Semoga rumah tangga kalian kembali membaik ya," ujarku mengharapakan."Ya, semoga. Terima kasih."Lumayan lama berbincang-bincang ke sana-kemari. Bahkan kami juga membahas bisnis yang sedang berjalan. Namun, karena sudah pukul sebelas, aku pun gegas kembali ke kantor. Cukup untuk hari ini menjadi detektif secara langsung tanpa Hans sadari. Karena aku yakin, dia tak akan sadar kalau kecurigaan hati ini jatuh padanya. Entah kalau dia sudah tahu semuanya, sehingga dia seakan-akan memperlihatkan tak sedang terjadi sesuatu di depanku.***Saat makan siang aku ijin pada istri untuk bertemu dengan dua rekan. Yang satunya baru tiba dari luar negeri setelah pergi selama empat bulan lamanya. Dia melanjutkan studi di sana."Halo, Will, apa kabar?" Aku m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status