Share

BAB 4 SUKU BERBEDA

"Begini, langsung saja. Yoga, kamu tahu 'kan? Adat istiadat keluarga kita?"

Sampai di sini mataku sudah ingin melebar mendengar lontaran dari Bu Ine. 

"Maksud Mama?"

***

"Maksud Mama apa ya?" tanya sang anak pada ibunya. Aku sudah mempersiapkan kemungkinan yang akan terjadi. Dan aku harus siap.

Duduk pun ini sudah tak enak. Karena sebentar lagi, mungkin aku akan diminta untuk diantarkan oleh Mas Yoga. Atau, kemungkinan buruk, aku disuruh pulang sendiri.

"Begini, kamu tahu suku adat keluarga kita 'kan? Kita ini berasal dari Medan dan Minang. Sedangkan Maya berasal dari Betawi."

Bu Ine menjelaskan. Aku sudah tahu, memang mereka keturunan Medan dan Minang. Sedangkan aku ya, aku asli Betawi yang merupakan keturunan dari keluarga sederhana.

"Lalu maksud Mama apa?" Mas Yoga sudah heran dengan apa yang ibunya katakan. Sedangkan aku sejak saat ini sudah harus menerima konsekuensi, kalau hubungan kami tak baik bila diteruskan. Dari kasta pun kita berbeda.

Bu Ine saat ini duduk dengan elegan belum melanjutkan lagi apa yang sebenarnya ia ingin katakan. Maksudnya, inti dari pembicaraan ini belum tersampaikan.

Aku tak bisa bicara banyak, hanya diam menunduk dan mempersiapkan kata-kata mohon maaf yang sebesar-besarnya pada keluarga mereka.

"Mah? Mama ada masalah apa dengan keturunan?" Lagi-lagi Mas Yoga bertanya setelah sebelumnya melirikku. Ya, pasti kami memang berbeda keturunan.

Napasku kini berhembus ragu dan sudah pasrah.

"Begini, ini masalah kamu dengan Maya."

Aku jelas kaget, tapi memang aku harus apa. Diam, hanya itu yang aku lakukan.

"Masalah? Masalah apa?" tanya sang anak kembali.

"Begini. Menurut Mama, adat ketiganya itu harus dipadukan dalam resepsi pernikahan. Maka dari itu, Mama mau adat Minang, Medan dan juga Betawi digabungkan. Atau, meskipun tidak digabung, kalian cari caranya bagaimana supaya dalam waktu sehari semalam, tiga adat tersebut bisa tertampilkan."

Tegh!

Sebuah lontaran kalimat yang mencuat di telinga dengan tajam membuatku merasa keliru.

Kulirik Mas Yoga yang sedari tadi resah kini malah menyeringai perlahan. "Maksudnya?" tanya Mas Yoga.

Bu Ine tanpa senyuman sepertinya ingin menjawab. Sedangkan aku sudah beberapa kali meneguk liur ingin berusaha mengartikan. Apa sebenarnya yang Bu Ine utarakan itu?

"Maksudnya, kalau kalian sudah serius, lebih baik cepat menikah. Tak baik lama-lama berhubungan dekat tanpa ikatan. Tapi ingat, itu kalau serius. Kalau tak serius, lebih baik jaga jarak kalian berdua."

Mulutku sontak menganga. Apa yang aku dengar barusan, apakah itu sebuah restu yang berlebihan?

Kulirik kecil Mas Yoga dan dia malah tersenyum. Saat ini, tubuhku benar-benar gemetar. Aku tak pernah ada di posisi ini sebelumnya. Saat akad dengan Mas Anang pun, suasananya tidak begini, karena tak ada persiapan kemungkinan aku akan ditolak. Karena kami jelas telah mendapatkan restu. Tapi sekarang, aku sungguh kaget sekali. Andai ada Ibu di sini, ingin sekali aku menjerit dan bertanya pada Ibu. Apakah Ibu tahu arti dari kata-kata Bu Ine?

"Mama? Mama … restui aku menikah dengan Maya?" ujar Mas Yoga seakan mempersiapkan kesumringahan. 

Bu Ine dengan mimik wajah yang tak begitu meyakinkan itu pun kini manggut-manggut. "Iya. Tak baik lama-lama pacaran begini. Segera diresmikan. Dan ingat, rancang semuanya dengan bagus. Mama mau tiga perbedaan kita itu disatu padukan. Ya, terserah kalian mau bagi-baginya bagaimana. Kalian segera meeting dengan wedding planner. Mama ada kenalan yang udah profesional. Kalau mau, Mama bisa hubungi dia. Dan kalian atur. Designer untuk akad juga udah Mama siapkan, itu sahabat Mama. Mama tahu desainnya bagus-bagus."

Mas Yoga tiba-tiba semakin sumringah. "Boleh, boleh, Mah. Apapun menurut Mama. Aku oke saja. Bagaimana dengan kamu, Say … eh, May?" Mas Yoga membuatku malu dengan keceplosan ingin memanggilku dengan kata sayang. 

Bagaimana aku bisa menjawab, ini sangat gemetar sekali. Andai bukan di tempat umum, aku akan sejenak melubangi tanah lalu jingkrak-jingkrak di dalamnya.

"Maya? Bagaimana?" Bu Ine bertanya padaku.

Sejenak menelan ludah lalu berusaha menjawab. "I … Ibu bersedia menjadikan saya menantu Ibu?" ucapku gelagapan.

"Iya. Kenapa? Kamu takut karena orang Medan itu keras-keras? Keras dan tegas itu bicaranya. Hatinya itu ya baik." Bu Ine membuatku semakin malu.

"Bukan, Bu. Em …."

Bu Ine memotong kalimat yang belum usai keluar dari mulutku. "Sudah. Kamu panggil saya Mama, jangan Ibu, ya?" pinta Bu Ine.

Saat ini Mas Yoga melirikku sembari menggerak-gerakkan alisnya berkali-kali dengan tatapan yang membuat aku malu. Bisa-bisanya di depan orang tua dia menatapku begitu.

"Setelah ini Mama akan bertemu dengan sahabat Mama yang desainer itu. Wedding planner sudah Mama W******p. Nanti pihak mereka akan hubungi kamu, Ga. Oh ya, satu lagi. Libatkan adikmu dalam hal ini, dia 'kan seorang calon design interior. Sambil dia belajar."

"Siap, Mah." Mas Yoga sigap sekali.

Bu Ine kini bangkit, sedangkan aku masih serasa berada di atas awan. Melayang-layang rasanya. Ya Tuhan, ini sebuah hal yang belum sempat kuduga, tapi malah menyambut tanpa ada keraguan.

"Mama mau ke mana?" tanya Mas Yoga pada sang Ibu. 

"Eh, Mama 'kan udah bilang, Mama mau ketemu sama sahabat Mama untuk siapkan pakaian pengantin kalian khusus akad nikah. Untuk resepsi, Mama tunggu beberapa desainer yang menurut kalian bagus. Kalau mau semuanya sama sahabat Mama takutnya enggak keburu. Pernikahan kalian sudah si papa pikirkan bulan depan. Jadi, semuanya harus cepat dan perfect." 

Ternyata bukan hanya Bu Ine, tapi juga suaminya--Papa Mas Yoga. Aku juga dapat restu dirinya?

Aku semakin terkejut mendengar apa yang Bu Ine katakan barusan. Ini sungguh seperti mimpi. Apa iya aku yang janda diterima di keluarga mereka? Ah, aku harus bangun dari mimpi ini.

"Sampai ketemu nanti ya? Oh ya, pokoknya jangan lama-lama. Nanti Mama sama papa akan datang ke rumah orang tua Maya. Kalian atur jadwalnya." Begitu kata Bu Ine. Aku semakin tak bisa bicara apapun.

"Siap, Mah!" Lagi-lagi Mas Yoga sigap.

Bu Ine kini sudah berlalu setelah pamit dan sedikit mengelus pundakku sebelum ia pergi. 

Kalian tahu bagaimana suasana hatiku sekarang? Harus menangis bagaimana untuk mengekspresikan kebahagiaan ini?

"Sayang? Kamu denger 'kan?" Mas Yoga mengelus kepalaku.

"Eh, Mas. Ini …." Aku memperlihatkan gelagat supaya dia tidak belai-belai kepalaku sembarangan. Apalagi ini di depan orang. Bukan di depan, tapi, di resto ini banyak orang.

"Iya, iya. Hah … lega sekali aku. Sebenarnya aku ingin bicara ini sama Mama. Tapi, aku belum ada waktu yang tepat. Oh ya, aku belum lamar kamu ya? Mungkin maksud Mama ingin menemui orang tua kamu itu ya melamar!" Mas Yoga berkata hal yang membuatku malu.

Aku sungguh belum bisa bicara banyak. Hati kecil ini masih tak percaya dengan ini semua. Baru saja kami pulang dari kondangan, dan sebentar lagi kami akan urus surat undangan? Oh Tuhan …

Tiba-tiba gawai Mas Yoga berdenting. 

"Sebentar, Sayang."

"Mama?" katanya kembali.

"Ya, Ma?" Ia kembali bicara setelah mengangkat panggilan, namun sekarang di loud speaker. Ia taruh si Apple kroaknya di hadapan kami berdua.

"Jangan lupa beli cincin buat melamar. Masak mau langsung akad? Harus ada lamaran dulu ya? Kalau bisa Minggu ini. Tak perlu mewah-mewah, kita ke rumah Maya saja. Tapi, pilih cincinnya. Kalau uang kurang, akan Mama transfer."

Mas Yoga melirikku kembali setelah Ibunya bicara. Panggilan telah berakhir, singkat, padat dan mendebarkan.

"Baru saja aku omongin. Nah, sekarang kita berarti pergi ke toko cincin ya? Kamu bebas pilih," ucap Mas Yoga. "Mama merendahkan aku seperti tak punya uang. Uangku 'kan banyak," kelakarnya menambahkan.

"Ish!" Aku sedikit menyunggingkan bibir.

"Ya sudah, ayok! Eh, tunggu. Kamu mau bawa makanan enggak buat ke rumah? Mumpung mampir di sini. Di sini makanan lezat-lezat dan baiklah pokoknya." Mas Yoga menawarkan.

"Ah, enggak usah, Mas. Kita pulang aja," saranku.

"Yeh, mumpung ada diskon."

Aku heran. "Yaelah!" 

"Iya, di diskon sama Mama. Ini 'kan resto punya Mamaku, May. Masak kamu tidak tahu usaha milik calon mertuamu," oceh Mas Yoga. 

"Ya ampun, Mas, memangnya aku apa harus kepoin aset keluarga kamu. Kamu itu benar-benar. Tapi, ini memang resto milik keluarga kamu?" tanyaku yang penasaran. 

"Iya. Kamu beneran tidak tahu?" herannya.

"Enggak lah, Mas."

"Ya baguslah. Emang aku boong!" Dia malah terkekeh bahagia.

"Ih!"

"Iya, ini resto milik orang tuaku. Kamu jangan heran. Makanya sekarang kita boleh pesan makan minta diskon. Lumayan, diskon 50%."

Aku sedikit kesal namun kesal dalam candaan. "Mas, kamu ini. Lebih baik ayok kita pulang. Jangan banyak bercanda di tempat umum."

"Permisi, Mbak, Mas. Ini pesanannya." 

Seorang pelayan menghampiri. Lalu ia memberikan kantong kresek putih bersisi box makanan.

Aku pun heran. "Ini?"

"Makasih, Mbak. Ini gratis 'kan?" kata Mas Yoga. Pelayan itu pun manggut-manggut, lalu tak lama segera meninggalkan kami.

"Loh, Mas? Kamu kapan pesan?" heranku.

"Mama yang pesankan. Ayok!"

Alisku masih bertaut heran. Namun, aku tak ingin banyak bicara. Lebih baik, segera pergi saja daripada malu dilihat orang karena Mas Yoga yang menggodaku.

***

Kami telah sampai di toko perhiasan. Sebelum sampai ke rumahku, Mas Yoga memang memintaku untuk memilih cincin yang aku inginkan.

Namun, baru saja turun dari mobil, dari kejauhan sana sudah nampak pria dan wanita yang aku kenal. Itu Mas Anang dan pacarnya tadi. Sungguh, ini dunia sempit sekali. Apa jadinya kami harus berpapasan lagi?

Mas Anang baru saja keluar dari mobil dan kini menggandeng wanita itu. Aku dan Mas Yoga masih ada di dalam mobil.

Di samping kami sekarang datang sebuah motor bebek dan parkir di samping mobil Mas Yoga.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status