"May? Kamu kenapa?" tanya Mas Yoga ketika aku sudah duduk di sampingnya. Kami sudah keluar dari area gedung, dan kini sudah ada di jalan raya menuju rumah orang tuanya.
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Mas Yoga. "Enggak, Mas. Cuma agak sedikit mual saja."
Seketika Mas Yoga kaget. "Hah? Mual? Kamu masuk angin?" Sepertinya dia was-was.
Aku pun sedikit terkekeh. "Bukan, Mas. Kamu tahu enggak? Tadi ada mantan suamiku dan pacarnya?"
Mas Yoga menautkan kedua alisnya. Lalu, sekarang ia seperti bernapas lega. "Oh, syukurlah kalau bukan sakit. Mau Flashback mantan ya?" ucapnya nyeleneh. Dari wajahnya, sepertinya dia pasrah saat ingin mendengar jawaban dariku.
"Ya ampun, bukan flashback, Mas. Aku sih sebenarnya enggak tahu ada mereka. Cuma, pas tadi kamu ijin untuk ke toilet, mereka berdua hampiri aku. Mereka itu ejek-ejek dan hina-hina aku."
Mas Yoga memotong. "Di depan orang?"
"Iya, Mas. Tapi, kamu tahu aku 'kan? Aku santai saja. Aku hanya diam. Masak iya aku beretika buruk di hadapan orang. Nah, tadi, pas Mas ambil mobil, kenapa mereka datang lagi coba. Mereka hampiri aku di depan gedung itu. Mereka ejek-ejek aku lagi. Bahkan lebih parah. Mereka juga angkuh sekali. Dasar, aku sampai geli dengernya."
Mas Yoga kembali kaget. Sepertinya dia juga agak kesal. "Hah? Masak iya? Wah, bener-bener tuh mereka!"
"Eh, jangan emosi, Mas. Aku juga enggak apa-apa kok. Santai lah, Mas. Aku memang hanya mual aja melihat etika mereka berdua. Sombong sekali, Mas. Aku juga diejek di depan orang. Ya, tapi biarlah, aku diam, menunjukkan kalau aku lebih baik dari mereka."
"Ya ampun, beneran kamu cuma diam?" tanya Mas Yoga.
"Enggak, aku loncat-loncat," kelakarku.
"Eh, kamu nih!" Dia kesal.
Aku pun terkekeh. "Ya aku diem lah, Mas. Aku enggak ada kerjaan urusin mereka."
"Memang, dia itu kok bisa diundang ke pernikahan manajer aku?" kata Mas Yoga.
"Oh, jadi yang menikah itu manajer kamu, Mas?" heranku.
"Iya. Yang menikah itu manajer baru di perusahaan. Dia itu seusia sama aku. Apa mungkin rekannya ya?" ucap Mas Yoga.
"Em, enggak tahu sih, Mas. Mas Anang mantan suamiku 'kan GM di perusahaan. Mungkin lah mereka kenal." Aku menjelaskan.
"GM? Di perusahaan mana?" tanyanya.
"Iya, di Mandala Corps kalau belum keluar. Tapi, sepertinya dia masih di sana." Aku memberitahu.
"Oh, Mandala Corps? Itu 'kan perusahaan saingan kita? Kamu enggak tahu ya? Jadi, mantan suami kamu General Manager di perusahaan itu?" jawab Mas Yoga. Aku baru tahu.
"Oh gitu ya, Mas? Aku sih baru tahu."
"Iya, katanya perusahaan itu sedang mengalami penurunan. Entah kenapa juga. Bahkan, mereka sampai akan menjual saham."
Aku lumayan kaget. "Menjual saham?"
Mas Yoga manggut-manggut.
"Kok bisa, Mas?" heranku.
"Apa yang tidak bisa kalau dalam dunia bisnis? Dulu memang perusahaan itu sering dapat penghargaan. Tapi, semakin ke sini memang semakin menurun kualitasnya. Bahkan, proyek besar yang biasa mereka menangkan pun sekarang sepertinya susah. Klien lebih memilih perusahaan kita."
Mendengar informasi sampai di sini, aku lumayan terhibur. Jadi, perusahaan tempat Mas Anang kerja sedang ada dalam masalah? Hemh, andai kita bisa dipertemukan dalam masalah ini. Dan dia tertampar oleh keangkuhannya. Eh, apa yang aku pikirkan?
"May?"
Mas Yoga mengagetkanku.
"Eh, iya, Mas?"
"Are you okay?" tanyanya.
Aku pun menyeringai unjuk gigi. "Hehe. Very nice, Mas. Aku baik-baik saja kok."
Mas Yoga melempar balik senyuman untukku.
Dia itu manis sekali. Kulitnya tak putih bak keturunan Inggris, tapi agak-agak sawo matang, tapi lebih putih dari sawo matang. Ya, begitulah. Dia itu pria idaman sekali. Pintar, tampan, santun dan juga ramah pada siapapun. Tapi, dia juga sangar pada orang Jahat.
Sampai pembicaraan di sini, aku juga agak heran. Kembali ke awal, kenapa bisa Mas Anang kenal dengan manajer perusahaan Mas Yoga? Apa mereka rekan dekat?
"Oh ya, Mas? Apa mantan suamiku dan manajer perusahaan kamu itu bisa ada kemungkinan punya hubungan baik ya, Mas? Soalnya 'kan nih, Mas, em, manajer perusahaan kamu apa iya undang manajer perusahaan lain kalau bukan sahabat? Kalau sahabat, sepertinya bukan deh, Mas. Rumah mereka jauhan. Atau aku enggak tahu ya, Mas?" Aku melontarkan pertanyaan atas keanehan yang kutangkap.
"Sepertinya mereka sahabat atau teman sekelas kali? Usianya juga mungkin sama."
"Em, gitu ya, Mas?" ucapku menanggapi.
Sebenarnya aku ada sedikit curiga kalau Mas Anang itu bukan rekan Pak Andi yang tadi menikah. Apa jangan-jangan ada bisnis diantara mereka? Ah, mana mungkin. Mereka jelas-jelas mengendarai kendaraan yang berbeda. Mas Anang di Mandala Corps, dan Pak Andi di Halilintar Corps. Secara akal sehat, mereka 'kan bersaing dan tak mungkin dekat. Tapi, siapa tahu, mereka memang rekan dulu. Karena teman-teman Mas Anang pun aku tak tahu.
Jarak ke rumah Mas Yoga masih agak jauh. Tapi, dia malah mengajakku mempir ke sebuah restoran. Apa dia akan makan sejenak? Tapi, kami baru saja menyantap makanan di kondangan. Apa Mas Yoga masih lapar?
"Loh, Mas? Katanya mau ke rumah orang tua kamu?" heranku setelah mobil yang kami naiki berhenti di halaman resto.
"Siapa bilang mau ajak kamu ke rumah? Aku bilang, Mama aku mau ketemu sama kamu." Dia tersenyum sambil melepas sabuk pengaman.
Aku pun sedikit malu. "Hemh." Seringaian senyumku terlontar.
Dia turun lebih dulu, dan aku dijemputnya seperti biasa. Sepertinya dia selalu ada niatan untuk membukakan pintu, tapi aku tak enak. Dia itu bosku, bos spesial. Apa iya aku menunggu untuk dibukakan pintu?
"Mama aku katanya ngajak ketemu di sini aja biar deket nanti aku antar kamu pulang. Kalau ke rumah 'kan harus putar balik, lama. Kasihan keluarga kamu nunggu di rumah." Mas Yoga menjelaskan padaku saat berjalan memasuki restoran mewah berbintang. Baru kali ini aku di bawa ke tempat ini. Memang lokasinya lumayan jauh dari kantor dan dari rumah kami berdua. Tapi, ada hal genting apa?
"Selamat siang, Mas? Silahkan, Ibu sudah menunggu di ruang VIP."
Pelayan menyambut Mas Yoga saat kaki kami berhasil menginjak lantai marmer pertama di pintu masuk. Tapi mereka juga tersenyum padaku. Sampai disambut segala. Orang kaya berlebihan ya mungkin begini.
Aku diajak Mas Yoga untuk kembali jalan setelah menyapa balik waiters dengan santun. Berjalan ke depan agak jauh, namun ekor mataku tak henti menatap kesana-kemari memandangi keindahan resto ini. Desainnya bagus dan modern.
"Tuh, Mama. Yuk!" kata Mas Yoga.
Aku sebelumnya memang pernah dua kali bertemu dengan Ibu Mas Yoga. Aku pernah dibawa ke rumahnya, juga pernah bertemu di kantor. Dan sekarang, rasanya jantungku ingin copot menghadapi situasi ini. Apa ini akan seperti di sinetron-sinetron? Orang kaya akan menjauhkan anaknya dariku yang hanya orang sederhana?
Ibu Mas Yoga itu bagaimana ya? Dia tidak terlalu lugas tapi juga tidak begitu dingin. Dia juga sebenarnya agak cuek, tapi sejauh ini baik. Maka dari itu, sekarang aku tak mampu menebak. Apa yang akan dibicarakan oleh seorang Ibu pada anaknya jika disuruh untuk membawa wanitanya.
Sebenarnya, kami malu kalau harus bilang pacaran. Karena aku juga seorang janda beranak satu. Di usiaku yang 26 tahun ini, aku sudah gagal berumah tangga. Ya Tuhan, akan apa yang dikatakan oleh Ibu Mas Yoga?
"Assalamualaikum, Bu," sapaku pada Bu Ine menyusul setelah anaknya menyapa sang Ibu. Kami kini sudah sampai.
"Waalaikum salam."
Aku dan Mas Yoga langsung duduk di kursi terpisah namun masih satu meja. Ada sedikit getaran-getaran bila bertemu dengan orang seperti Bu Ine. Seperti ada rasa takut, malu, tahu, semuanya bercampur aduk.
"Mah, ada apa Mama ajak Maya ketemu?"
Mas Yoga lebih dulu bertanya pada ibunya. Sedangkan aku masih diam seribu bahas melihat mereka berdua bergiliran.
"Ehm!"
Bu Ine berdehem. Sontak aku pun sedikit banyak agak kaget. Apalagi, yang aku takutkan kalau Bu Ine malah tidak menginginkan aku hadir di dalam hidup anaknya.
Sebenarnya aku sudah tahu diri sejak awal saat Mas Yoga sempat ingin dekat. Aku janda beranak satu, sedangkan Mas Yoga itu masih lajang walaupun usianya satu tahun lebih tua dariku. Aku 26 dia 27. Tapi, memang Mas Yoga belum menikah.
"Begini, langsung saja. Yoga, kamu tahu 'kan? Adat istiadat keluarga kita?"
Sampai di sini mataku sudah ingin melebar mendengar lontaran dari Bu Ine.
"Maksud Mama?"
PoV Maya***"Oh, jadi kamu Mas biang kerok semua ini? Aku gak nyangka kamu begini ya Mas!" Aku begitu marah. Wajahnya memerah nanar menatap pria itu."Arkh, apaan kalian, dasar tukang tuduh!" Dia itu berdecak. Dia berdalih dan tidak mengakui hal yang sebenarnya terjadi.Kami sekarang sedang berada di sebuah tempat. Dimana sekarang di sini kami sudah berhadapan dengan Mas Diwan yang ternyata memang biang kerok dari semuanya.Di sini juga tidak hanya ada aku dan suami juga anak buahku. Tapi di sini juga ada Hans yang baru saja datang. Aku sengaja ingin memperlihatkan kepadanya kalau anak buahnya selama ini telah melakukan hal yang buruk.Mas Diwan mencuri identitas dirinya untuk menerorku. Dan seakan-akan Hans lah yang ingin menggencarkan rumah tanggaku bersama Mas Yoga. Pijit sekali kelakuannya.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi nya Mas Diwan oleh telapak tanganku. Mas Yog
Dada omah mundur ke belakang. Bibirnya tertarik ke atas seperti tak mengindahkan apa yang aku duga. "Ya ampun, Yoga. Kamu menduga istrimu itu hanya jadi korban orang lain? Takut itu kah kamu istri kamu pergi? Pasti benar, dia itu sudah selingkuh. Kamu ini kok kaya melindungi banget istri kamu?" Dugaanku benar, Oma menyalahkan istriku."Bukan begitu, Oma. Tapi aku sama Mas Yoga juga sedang menyelidiki siapa orang yang selalu meneror aku dengan barang-barang seperti ini. Aku benar-benar enggak tahu, Oma, aku yakin ini ada unsur disengaja." Istriku mendekat membela dirinya.Aku coba meredam kemarahan Oma. "Oke, Oma tenang dulu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Yoga sama Maya mau ke kamar dulu. Ada hal yang ingin kita bicarakan.""Nah, itu bagus!" Oma setuju, "pasti kamu ingin memarahi dia kan? Bagus itu, ayok sana. Jangan pernah mau kalah sama istrimu. Nanti dia bakal kebiasaan," tandas Oma.Istriku masih terus rerpojok
PoV Yoga***"Semua informasinya sudah aku kirim lewat email."Pesan masuk setelah aku keluar dari ruang meeting. Temanku yang detektif ini menjanjikan waktu sebentar, tapi karena katanya dia ada meeting penting sehingga pekerjaannya dia tunda dulu. Dan baru sekarang dia mengirimkan semuanya. Katanya sudah lewat email.Aku Pun bergegas menuju ruang bekerja. Membuka laptop dan segera mencari tahu informasi terbaru yang masuk lewat email yang yang aku pakai untuk mendapatkan informasi darinya.Tanpa basa-basi aku pun segera membaca dan melihat bukti lokasi yang telah temanku itu selidiki.Degh!Aku kaget ketika dua nomor yang berbeda itu ternyata berada di lokasi yang sama. Bahkan bukan berdekatan, tapi memang di titik yang sama.Satu Nomor dengan identitas bernama Diwan. Dan satu lagi nomor atas nama Hans. Aku malah semakin bingung, jangan-jangan dugaan istriku benar, kalau Diwan lah yang memanfaatkan situasi ini untuk meneror istriku. Tapi apa maksud dan tujuannya?Ku tanya lagi kepad
PoV Yoga***[Maaf, kita belum bisa bertemu. Aku hanya bisa mengagumimu tanpa bisa melihatmu. Kita ini berada di posisi yang masih salah. Aku punya istri dan kamu pun punya. Aku hanya berharap suatu saat kita bersatu]Wajah istriku saat ini benar-benar murung dan ketakutan. Dia pasti berpikir kalau aku akan marah. "Mas, sumpah aku nggak tahu lho Mas salah orang ini," resahnya.Aku berusaha percaya. "Oke, sudah jelas kalau orang itu benar-benar menginginkan kamu. Tapi identitasnya terus saja dia sembunyikan.""Mas, aku yakin, ini adalah kerjaan seseorang untuk menghancurkan rumah tangga kita saja. Sumpah, aku gak tahu soal ini." Kekeh istriku seperti meresahkan pikiranku saat ini.Kami berdua diam. Namun, tiba-tiba istriku mengatakan kalau dia memiliki sebuah ide. "Mas!" Dia membuyarkan lamunanku. "Ada apa?" tanyaku.Dia malah mondar-mandir. "Gini nih, Mas, aku kok jadi suuzon kalau
PoV Yoga***"Selidikku siapa Diwan yang dimaksud oleh Hans. Saya mau kabar sebelum 24 jam!" titahku pada orang suruhan.Mereka langsung sigap mengiyakan.Aku ingin tahu nama Diwan yang disebut Hans. Mungkin saja dia adalah Diwan yang sama dengan suaminya Risma.Dari kantor dia resign katanya ingin buka usaha, tapi setelah aku telusuri ternyata Diwan tidak buka usaha di rumah. Kata ibunya istriku Diwan itu seperti masih kerja kantoran.Aku ingin segera clear kan masalah ini. Keresahan hati mengenai Hans yang ingin merebut istriku ini harus segera aku pecahkan saat ini juga. Jangan sampai ada kesalahpahaman diantara kita yang terlalu jauh.Di menit kemudian tiba-tiba ponselku berdenting. Setelah melihat nama yang tertera di nomor panggilan yang masuk, ternyata dia adalah istriku.Segera aku menjawabnya. "Ya, Sayang?" sapaku lebih dulu."Mas, aku ada kabar dari sese
Ternyata Hans sedang ada masalah keluarga. Mungkinkah dia bermasalah dengan istrinya sehingga ingin mendapatkan istriku? Benar saja dia barusan menyanjung istriku tanpa ada rasa resah."Semoga rumah tangga kalian kembali membaik ya," ujarku mengharapakan."Ya, semoga. Terima kasih."Lumayan lama berbincang-bincang ke sana-kemari. Bahkan kami juga membahas bisnis yang sedang berjalan. Namun, karena sudah pukul sebelas, aku pun gegas kembali ke kantor. Cukup untuk hari ini menjadi detektif secara langsung tanpa Hans sadari. Karena aku yakin, dia tak akan sadar kalau kecurigaan hati ini jatuh padanya. Entah kalau dia sudah tahu semuanya, sehingga dia seakan-akan memperlihatkan tak sedang terjadi sesuatu di depanku.***Saat makan siang aku ijin pada istri untuk bertemu dengan dua rekan. Yang satunya baru tiba dari luar negeri setelah pergi selama empat bulan lamanya. Dia melanjutkan studi di sana."Halo, Will, apa kabar?" Aku m