Share

BAB 5 TOKO PERHIASAN

BAB 5

***

Kami telah sampai di toko perhiasan. Sebelum sampai ke rumahku, Mas Yoga memang memintaku untuk memilih cincin yang aku inginkan.

Namun, baru saja turun dari mobil, dari kejauhan sana sudah nampak pria dan wanita yang aku kenal. Itu Mas Anang dan pacarnya tadi. Sungguh, ini dunia sempit sekali. Apa jadinya kami harus berpapasan lagi?

Mas Anang baru saja keluar dari mobil dan kini menggandeng wanita itu. Aku dan Mas Yoga masih ada di dalam mobil.

Di samping kamu sekarang datang sebuah motor bebek dan parkir di samping mobil Mas Yoga.

***

"Mas? Kamu ngapain?" tanyaku pada Mas Yoga masih di dalam mobil.

"Ini, aku mau buka sepatu. Gerah banget. Aku mau pakai sandal ini saja."

Mas Yoga lepas sepatu pantofel kinclong bermereknya itu dan mengganti dengan sandal gunung.

Aku pun hanya meninggikan alis sambil sedikit tersenyum.

"Yuk!" ajaknya.

Aku malah ragu, karena di sana pasti bertemu dengan Mas Anang. Tapi, untuk apa juga mengurungkan niat hanya karena orang semacam mereka?

Dengan begitu, aku putuskan untuk turun saja. Masuk berdua ke toko perhiasan dengan Mas Yoga.

Tiba-tiba ...

"Eh, ada siapa nih? Sayang, lihat?"

Baru saja kami menginjak lantai marmer di toko perhiasan ini, pacar Mas Anang sudah melihat dan mengejekku lebih dulu.

Mas Yoga melirikku dengan maksud bertanya.

"Mereka orang yang aku ceritakan di mobil tadi, Mas," jelasku dengan nada pelan pada Mas Yoga. Setelah itu, Mas Yoga pun manggut-manggut.

"Siapa, Sayang?" Mas Anang menoleh menanggapi apa kata wanitanya itu.

"Eh, eh, eh, eh. Dunia sempit sekali ya? Kalian mau apa ke sini? Mau beli perhiasan juga? Oh, orang kaya ya?" 

Mas Anang tanpa ada etika bicara pada kami. Sampai-sampai pelayan toko pun menjadikan kami sebagai pusat perhatian. Aku malu sekali di depan Mas Yoga.

"Mas, ayok kita pulang lagi saja. Kita cari tempat lain," saranku pada Mas Yoga. Namun, dia seakan ingin meneruskan pertemuan tak sengaja ini.

"Ada apa kamu ejek-ejek kami?" kata Mas Yoga.

"Aduh, aduh. Jangan-jangan kalian mau beli perhiasan untuk menikah juga ya? Memang mampu beli di sini? Oh ya, mungkin kalian sudah kaya ya?" Kata-kata Mas Anang sungguh nyeleneh sekali. Dia tidak punya malu atau bagaimana?

"Kami memang bukan orang kaya. Saya memang bukan orang terhormat seperti Anda. Tapi, saya akan kumpulkan uang untuk membelikan apapun demi wanita spesial di hati saya."

Deg!

Hatiku berdebar-debar kencang mendengar kalimat tegas nan romantis keluar dari mulut Mas Yoga. Meleleh sekali jadinya. Sekarang, Mas Anang dan pacarnya ibarat upil yang belum terbuang. Aku jadi semakin memiliki kekuatan untuk melawan Mas Anang.

"Wow, keren sekali. Kamu sadar diri ternyata. Mendingan, kamu cari saja perhiasan yang lebih murah. Biar bisa resepsi dengan tampilan mewah."

Jijik sekali mendengar ocehan Mas Anang. Dan apa yang ia katakan itu membuat kami semakin dilirik orang. Ada beberapa orang yang sedang memilih perhaisan pun sejenak menjadikan kami sebagai pusat perhatian.

Ada yang senyum puas, ada juga yang nampak senyum resah. Apa mungkin dari mereka ada gang yang tahu siapa yang sedang dijelekkan ini?

"Oh maaf, Mas. Resepsi kami memang sederhana. Tapi, kalau saya mau beli perhiasan yang bagus, boleh dong, Mas?" gumam Mas Yoga. Sebenarnya, aku tak tahu apa yang akan dilakukan Mas Yoga. Apa dia akan sama membangkitkan diri atau bagaimana?

"Alah, jangan sok-sokan. Naik apa kamu ke sini?" ucap Mas Anang mengejek. Mentang-mentang dia datang dengan mobil Pajero keluaran terbaru, dia sesumbar itu. 

Dan apakah Mas Yoga akan menunjukkan kalau kami datang dengan Lamborghini keluaran tahun kemarin? 

"Itu kendaraan yang kami bawa, Mas. Memang kenapa?" 

Mas Yoga menunjuk ke arah mobilnya yang berwarna silver itu. 

"Mas? Lihat, dia juga cuma pakai sandal. Barusan dari kondangan seperti pakai jas. Sekarang cuma kemeja dan sandal oblong gitu." Pacar Mas Anang juga tak ada akhlak. Dia mencemooh tampilan Mas Yoga yang memang jasnya dilepas di mobil. Dan sepatutnya juga dilepas. Tapi, biarkan saja sampai mulut mereka berbusa.

"Hemh!" Mas Anang tersenyum sinis.

"Mana? Mana kendaraan kamu? Mobil keren itu? Atau Avanza itu? Atau yang itu? Yang itu?" Mas Anang menunjuk satu persatu mobil termasuk kendaraan yang kami tumpangi.

"Itu kendaraan kami. Memang tak bagus, tapi insyaallah nanti kami bisa beli yang bagus."

Aku sempat kaget ketika Mas Yoga menunjuk sebuah motor bebek di samping kendaraan miliknya. Sepertinya roda dua itu milik si Bapak yang ada kepentingan ke toko sebelah toko perhiasan ini. Namun, karena satu area, jadi dia parkir di sana juga.

"Haha. Motor bebek itu?" 

Aku heran karena Mas Anang menyangka namun keliru. Bagaimana dengan Mas Yoga?

"Em, iya. Memang itu yang kami miliki. Eh, maksudanya, yang saya miliki. Dan sebentar lagi, itu akan jadi milik kami berdua. Oh ya, Anda mantan suami wanita yang saya cintai ya?" Mas Yoga beralih tema menjadi bertanya.

Aku salut, Mas Yoga tak memperlihatkan jati dirinya walau dalam situasi seperti ini. Aku kagum, tapi sedikit ingin tertawa melihat Mas Anang yang menyangka kalau pasanganku ini miskin. Tapi, biarlah, mungkin lebih baik beginu. Ada saatnya dia akan malu karena omongannya sendiri. Mungkin bukan sekarang.

"Ya ampun. Motor bebek sok mau beli perhiasan mahal. Dan iya, dia itu bekas aku. Apa kamu masih mau sama barang bekas hah? Dia itu sudah jadi sampah buat aku." 

Benar-benar apa yang dikatakan Mas Anang membuatku sakit hati. Dia berani melontarkan kata sampah di depan calon suamiku. Apa Setelah ini Mas Yoga akan jijik padaku?

Tapi, aku tak boleh bicara apapun. Diam akan lebih baik. Aku ingin tahu, apa jawaban Mas Yoga.

"Oh begitu? Kalau begitu, wanita di samping kamu juga telah memungut sampah ya?" sindir Mas Yoga. "Dan perlu diingat, ada berlian di tumpukan sampah karena seseorang tak sengaja atau dengan keliru membuangnya. Iabrat pepatah, sesuatu benda akan berharga pada letak dan tempat yang tepat. Kalau bagi Anda mantan istri Anda ini tidak berharga, itu karena memang di tempat Anda, Anda pun kurang berharga. Tapi, bagi saya wanita ini begitu berharga, karena di tempat saya berada, saya telah membuat dirinya menjadi berharga. Silahkan jual ikan hias ke tempat ikan hias lagi. Pasti akan dihargai standar. Tapi coba jual ikan hias itu pada orang yang tahu apa kemampuan dari ikan tersebut. Pasti, harganya akan beribu kali lipat dari penawaran tukang ikan hias. Begitulah, bagi Anda tak berharga, tapi saya teramat berharga. Dan ingat, sekali lagi Anda bicara menjelekkan calon istri saya, itu artinya Anda telah menyesal melepaskannya. Bukan begitu?"

Panjang lebar apa yang dilontarkan Mas Yoga pada Mas Anang. Hingga saat ini pria yang menjadi ayah dari anakku itu diam dan bungkam dengan beribu kekesalan. 

Jelas saja, kalau dia bicara lagi, itu artinya dia menyesal telah melepaskanku.

Ya ampun, Mas Yoga membuat aura ketampanan dan kejantanannya itu semakin memancar. Sedangkan Mas Anang, kini dia seperti mati kutu di depan banyak orang.

Pacarnya pun nampak mengulum emosi karena malu atas apa yang diucap oleh Mas Yoga. Banyak bicara, ya artinya pasangannya menyesal telah melepaskanku. Haha.

"Sindy, ayok kita pergi. Kita cari toko perhiasan yang lebih bagus dan lebih mahal!"

Dengan cepat Mas Anang menarik tangan wanitanya itu. 

"Tapi, Mas?"

"Jangan tapi-tapi. Di sini jelek-jelek." Itu alibi Mas Anang pada teman wanitanya itu. Sedikit banyak pemandangan ini telah membuatku tertawa dalam hati. Rasakan kamu, Mas! 

"Silahkan, kamu mau pilih yang mana?"

Kini giliran Mas Yoga yang bicara. Kami tidak bergandengan tangan untuk menjaga marwah kami berdua. Alhamdulillah, semoga kami segera sah di mata agama dan hukum.

"Mas, maaf atas kelakuan mantan suamiku ya?"  resahku padanya.

"Santai." Hanya itu Jawa Mas Yoga. 

Semua orang telah kembali normal beraktivitas. Kalau tadi mereka sejenak menyaksikan sedikit adu mulut antara kami, kini semuanya kembali seperti semula. 

Yang pel lantai, yang memilih perhiasan, kini kembali pada kesibukan mereka masing-masing.

"Ada apa tadi, Pak?" 

Tiba-tiba seorang wanita berpenampilan rapi dan elegan menghampiri. Sepertinya dia baru tahu kalau tadi ada sedikit keributan.

"Oh, tidak apa-apa, Bu. Hanya masalah kecil." 

Sepertinya Mas Yoga kenal dengan wanita itu.

"Oh begitu. Saya mohon maaf atas kejadian tadi. Karena ada di toko kami." Wanita itu sepertinya kerja di toko ini juga.

"Mel, tolong berikan pelayanan yang terbaik pada customer kita ini. Berikan mereka berlian limited edition yang baru itu ya," suruh wanita yang tadi menyapa kami dengan anggun pada pelayan toko. Apa dia owner toko perhiasan ini?

"Tentu, Bu." Pelayan mengangguk dengan ramah dan santun. 

"Oke. Pak Lintar, saya kembali dulu ke ruangan saya. Enjoy the shopping."

Mas Yoga yang memang ramah disebut Pak Lintar itu pun manggut-manggut.

Wow, aku baru tahu, kalau dia adalah pelanggan spesial di sini. 

"Silahkan, Pak, Bu. Ini limited edition dengan gaya dan corak yang elegan."

Berdebar-debar semakin jantung ini. Benarkah aku akan menikah dengan Mas Yoga?

"Sayang, ayok pilih! Jangan ngelamun!"

Aku pun menyeringai tipis. Beberapa batuan berharga fantastis kini tersuguh di pandangan.

"Mas, ini mahal ya?" bisikku.

Dia malah tersenyum. "Apa yang mahal? Tak ada yang mahal untuk wanita spesial."

Aku malu karena pelayan toko pun kini merasa sebagai lalat diantara kami. Jelas saja, bukankah kita juga sering malu sendiri saat melihat orang lain menggombal di depan kita?

"Ish. Mas!" Aku mengeur Mas Yoga karena malu.

Dua pelayan yang menghadapi kami nampak mengulum senyum. Tapi, mereka harus jaga sikap.

"Ini bagus, Pak, Bu. Ini juga riasannya sederhana namun elegan. Apa mau dicoba?" tawar pelayan yang sudah lengkap dengan pelindung. Maksudnya, tangan si pelayan memakai sarung tangan untuk meraba berlian tersebut. Mereka juga memakai masker supaya kami berbelanja lebih nyaman dari gangguan udara pernapasan mereka.

"Boleh. Coba, Sayang."

Mas Yoga memintaku untuk mencobanya, namun aku ragu.

"Coba pilihkan lagi. Dia ini malu-malu," kata Mas Yoga sambil menggerakkan alisnya beberapa kali saat menatapku. Ya sudah, pelayan pun ikut malu.

"Coba dong, Sayang," pinta Mas Yoga. "Apa mau aku pakaikan?" imbuhnya.

"Eh, enggak usah. Iya, aku coba."

Aku dengan ragu mencobanya. Pas sekali. Bagus, cantik sekali. Pintar juga pelayan memilihkan. Lagipula, aku tak mau pilih-pilih. Semuanya bagus.

"Pas?" tanya Mas Yoga. Aku pun manggut-manggut dengan ragu.

"Mau itu? Atau yang mana?"

Aku bingung. "Em, ini aja, Mas."

"Yaelah, mentang-mentang disaranin yang itu. Ya sudah, kalau kamu suka. Menurut aku juga bagus." Dia juga berkomentar.

"Jadi ini saja," katanya lagi. Aku kembali manggut-manggut.

"Ya sudah, ini saja. Tolong yang ini ya?" suruh Mas Yoga pada pelayan.

"Harganya 448.900.000."

Deg!

Aku kaget saat pelayan ucap harga empat ratus empat puluh delapan juta sembilan ratus ribu rupiah. Semahal itu?

"Oke. Ini."

Tapi, tak ada raut kaget sedikitpun dari mimik wajah Mas Yoga. Uang sebanyak itu dia bilang gesek saja. Ya ampun, aku baru ada di posisi ini.

Dia dengan santai berikan kartu kredit dan selesai.

"Hey, ayok!" 

Aku terbuyar dari lamunan uang sebanyak itu. Astaga! 

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wiwi Dwiyaningsih
bagus sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status