BAB 6
"Mas? Kamu kok beli cincin mahal banget?" protesku pada Mas Yoga.
"Mahal? Sebenarnya kalau untuk hal lain pasti itu bagiku mahal. Tapi, buat kamu, berapapun akan aku keluarkan. Alhamdulillah, aku punya cukup uang untuk beli apapun sekarang ini. Asal otak dan fisik kita sehat, uang itu akan datang lagi."
"Makasih ya, Mas."
Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Kami sekarang sedang berada di jalan pulang ke rumah ibuku. Jalan lumayan agak sedikit macet karena di depan ada lampu merah.
"Oh ya. Aku belum tanya kamu serius. Jadi, kamu mau menikah dengan aku 'kan? Kamu ijinkan aku jadi bagian hidup kamu?"
Di lampu merah saat kendaraan berhenti sejenak dia bertanya hal yang sebenarnya tak perlu ia pertanyakan.
"Menurut kamu, apa aku menolak setelah kamu ajak beli cincin dan cincinnya pun sudah ada di sini?" Aku menunjuk dus kecil.
Dia malah tersenyum. "Ya, kamu 'kan iya-iya saja. Sebenarnya, kamu benar menerima aku sebagai calon suami kamu?" tanyanya kembali.
"Insyaallah, aku menerima kamu. Lagipula, aku yang harus bertanya, Mas. Aku ini janda, lulusan SMA, sudah punya satu putra. Dan kamu, apa kamu dan keluarga kamu bisa menerima itu tanpa alasan?" Aku yang balik bertanya.
"Ini yang membuat kamu spesial di mataku. Maaf, kamu cuma lulusan SMA, tapi kamu juga tidak kalah cerdas dengan mereka yang lulusan strata ataupun magister. Kamu sudah memiliki satu putra, dan aku menerima itu. Kamu bisa mengerjakan hal dengan mudah setelah aku jelaskan satu kali saja." Dia mengutarakan hal yang ia kagumi dariku.
"Jadi, itu alasannya?" ujarku.
"Itu alasan kenapa kamu dengan mudah menduduki jabatan kamu sekarang. Tapi, kalau untuk alasan kenapa aku memilih kamu jadi pendamping aku, itu karena hati ini yang berkata, kalau kamu memang tepat untuk mengisi hatiku. Karena cinta dan sayang itu tumbuh perlahan dengan spontan. Sungguh, aku tak memaksakannya. Hati ini yang inginkan sendiri cari pendampingnya."
Aku lumayan tersipu malu, tapi mana mungkin aku memperlihatkan kecentilan.
"Gombal kamu, Mas? Kok bisa ya kamu gombal?" kelakarku.
"Tuh 'kan? Kamu saja tidak menyangka kalau aku bisa gombal. Itu artinya, kamu tidak pernah melihat aku menggombali wanita. Memang hanya kamu yang aku gombali. Aku bukan pria tukang PHP loh."
Dia malah membawa obrolan ke candaan.
Tidn!
Tidn!
Tidn!
Sesaat kami bertatapan ketika menunggu lampu merah usai. Namun, suara klakson beberapa mobil mengagetkan kami. Alhasil, aku dan Mas Yoga pun tersentak kaget penuh malu.
"Mas, ayok jalan! Mereka udah bunyikan klakson tuh!"
Aku menyadarkan Mas Yoga. Sambil senyam-senyum dia pun injak pedal gas dan kini mobil kembali melaju.
***
Aku sudah sampai di rumah sejak satu jam yang lalu. Badan sudah bersih, dan aku juga sudah cerita soal persetujuan orang tua Mas Yoga atas hubungan kami berdua.
Ibu lumayan kaget bercampur gembira. Apalagi setelah aku beritahu kalau aku akan dilamar Minggu ini lalu menikah bulan depan.
Tok tok tok!
Setelah aku usai bicara dengan Ibu, tiba-tiba pintu rumah diketuk. Ini sudah sore sekali, tapi siapa yang bertamu?
Putraku sekarang sedang ada di kamar, dia sedang mengerjakan tugas sekolah.
Karena pintu terus diketuk, aku pun segera membukanya. Ibu sepertinya di dapur, dia tak mendengar ada tamu datang.
"Ya?" ucapku pada tamu setelah membuka pintu. Wajahnya belum nampak, tapi dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, sekarang aku sudah melihatnya.
"Mas Anang?"
Yang datang adalah mantan suami yang sejak tadi menghinaku.
Pasca bercerai, baru kali ini lagi Mas Anang datang ke rumah. Dia pun tak pernah beri uang bulanan untuk Arya. Jangankan uang bulanan, menengok saja pun tidak pernah. Maka pantas, kalau Arya tidak begitu mengharapkan kehadirannya selama ini. Dulu Arya memang sering menangis, tapi, setelah beberapa bulan, akhirnya dia bisa diam. Arya sudah tahu, bagaimana dia harus menjalani masa-masa kecilnya tanpa seorang ayah.
"Arya? Arya?"
Tanpa sopan santun ia malah nyelonong masuk ke dalam rumah Ibu. Etikanya buruk sekali.
"Kamu enggak ada sopan santun ya, Mas? Nyelonong masuk ke rumah orang!" tegurku.
Ibu dan Arya pun keluar.
"Papa?" Arya memanggil papanya.
"Apa kabar, Arya? Kamu kangen sama Papa?" ujar Mas Anang pada putranya.
"Arya?" Ibu menyapa mantan menantunya dengan bingung.
"Papa ke mana saja, Pah? Kenapa baru datang?" kata anakku menjawab. Sepertinya Arya juga kecewa dengan papanya.
"Sayang, Papa ini 'kan datang ke sini. Mau jenguk kamu." Mas Anang sok manis di hadapan putranya.
Aku masih geleng-geleng kepala melihat tingkahnya pada Arya.
"Arya kangen sama Papa, tapi saat Arya butuh Papa, Papa gak ada datang sekalipun. Sekarang, Papa mau apa? Arya baik-baik saja kok."
Aku lumayan heran dengan sikap Arya. Apa dia juga kecewa pada papanya?
"Arya, Sayang. Kamu tak mengerti ya? Mama dan Papa itu sudah berpisah. Jadi, kita harus jaga jarak," jelas Mas Anang.
"Bukan sama Mama, Pah. Tapi bagaimana kasih sayang Papa sama Arya?" Anakku sudah pintar menjawab.
"Arya, ini, Papa bawa mainan buat kamu."
Mas Anang merayu putranya. Arya pun menerima bingkisan dari papanya.
"Makasih, Pah. Arya mau ke kamar dulu. Arya punya PR."
Tak kusangka Arya menerima bingkisan tapi dia meninggalkan seorang ayah yang selama setahun ini tak pernah mencarinya. Tapi, memang Mas Anang harus diberi pelajaran.
"Ada apa kamu main nyelonong masuk, Mas? Arya enggak mau ketemu kamu juga pantas. Punya ayah seorang GM, tapi sama sekali enggak pernah menemuinya apalagi memberi biaya padanya." Aku mencemoohnya sedikit. Ibu masih berdiri menyaksikan.
"Itu juga gara-gara kamu yang ganti nomor. Jadi, mana bisa aku hubungi kamu?" alasannya.
"Berani sekali kamu datang? Setelah setahun ini kamu menelantarkan anak kandung kamu? Main masuk ke rumah orang!" Ibuku ikut angkat bicara. Sepertinya dia juga kesal.
Dia malah duduk di kursi dengan santai. Dasar tak tahu malu. Tapi, lihat saja, aku ingin tahu, apa sebenarnya maksud dan tujuan dia datang.
"Bu, biarkan dia duduk santai. Kita berdiri saja. Mungkin dia rindu jadi Tuan di rumah." Aku berkata pada Ibu dengan mengejek Mas Anang.
Dia menyilang kedua lengan di belakang kepalanya. Melirik kesana-kemari sok memperhatikan sekeliling.
"Bu, apa Ibu membiarkan anak Ibu menikah dengan tukang ojek?" Mas Anang tiba-tiba bicara dengan nada yang sinis. Ibu pun melirik ke arahku dan memasang mimik wajah heran.
"Udah, Bu. Diemin aja," ujarku pada Ibu. Sepertinya ia mengerti apa yang aku maksud.
"Tukang ojek lebih berakhlak darimu!" tukas Ibu kesal.
"Hah? Akhlak saja gak cukup, Bu. Uang itu yang perlu."
Ibu kini terkekeh dengan pernyataan mantan suamiku. Sebenarnya aku tak mengerti, apa yang Ibu tanggap darinya.
"Ibu tahu kamu seorang GM dengan penghasilan yang wah bagi istri kamu dulu. Tapi, menurut Ibu, tukang ojol akan kasih lebih pada Maya. Kamu, seorang GM hanya memberi uang pada istri tidak lebih dari 3 juta perbulan. Itu plus biaya listrik dan jajan dan semuanya. Kamu bayangkan dong. Ojol dengan penghasilan 100 ribu sehari, dia akan kasih semua uangnya ke Maya. Apalagi dia itu tidak punya keinginan dan kemewahan yang aneh-aneh. Lah, ya bagi saya, lebih baik akan saya menikah dengan tukang ojol dengan penghasilan minim tapi sayang pada anak saya. Untuk apa jabatan, sama istri pengiritan."
Aku tak menyangka kalau Ibu bisa bicara begitu. Sampai-sampai Mas Anang kini terenyah bak terhina. Tapi, apa yang dibilang Ibu itu seratus persen betul sekali. Sekali-kali, buat mantan sadar itu harus. Supaya dia tidak terlalu angkuh. Hemh.
"Ibu samakan saya dengan ojol?" Dia beranjak.
"Tidak. Tapi kamu lebih rendah dari ojol." Ibu melawan.
"Bu, sudahlah. Ayok kita ke dapur. Jangan layani dia. Udah bosan juga akan pergi."
Aku ajak Ibu ke dapur. Dan kubiarkan pria tak tahu diri itu emosi sendiri di ruang tamu. Dasar, tak tahu malu sekali.
"Maya!"
Mas Anang berteriak memanggilku. Tapi maaf, kita sudah mantan. Tak ada keinginan di hati ini untuk menggubrisnya. Kalau tak punya malu, mau diam saja di sini silahkan.
Andai pacarnya tahu dia ke sini, pasti murka sekali dia. Ya, bisa jadi ia menganggap kalau dirinya rendah. Karena pacarnya masih mendekati mantan yang dibilang sampah.
***
Hari ini ada meeting dengan wedding planner. Aku akan dijemput oleh Mas Yoga dan kini sedang menunggu di ruang tamu.Kebetulan hari ini libur, jadi bertemu dengan WP dijadwalkan sekarang oleh Mas Yoga."Mah, Arya mau main ke rumah Ivan boleh?" kata anakku ijin."Boleh, Sayang. Tapi mau main apa?" tanyaku pada putra tercinta."Mau main bola, Mah di lapangan sana itu. Boleh ya, Mah? Em, Arya juga bakal kotor-kotoran dikit," kata anakku sembari memasang mimik wajah meringis takut kumarahi."Boleh, kotor sih enggak apa-apa, Sayang. Asal hati-hati, jangan ke jalan raya ya? Nanti pulang juga jangan kesorean. Mama mau keluar dulu." Aku memberinya saran sembari memberitahukan ke mana aku akan pergi."Iya, Mah. Mama mau pergi sama Om Yoga?" ucapnya.Aku tersenyum. "Iya, Nak. Sebentar lagi Om Yoga jemput Mama. Kamu ijinin 'kan?" ujarku sambil mengelus-elus lembut rambut kepalanya."Iya, Mah. Mama juga hati-hati. Arya mau berangkat sekarang ya, Mah?" katanya lagi."Kamu enggak bawa sepatu?" hera
Kenapa Mas Anang merendahkan kami serendah itu? Dasar, dia kurang ajar sekali. Sebenarnya aku malu pada Mas Yoga, tapi, bagaimana juga dia hanya menyuruhku diam saja. Ikut alur yang akan ia suguhkan.Aku saat ini dengan Mas Yoga masih menunggu tukang kerak telor selesai membuat. Tapi Mas Anang dan pacarnya terus saja mengejek kami."Ayoklah, jangan sok jual mahal. Sekali-kali kalian makan enak di resto mewah." Kata-kata Mas Anang itu tak sopan sekali. Mana ada tata krama seorang General Manager semacam dia? Oh ya ada, memang dia."Ayok, boleh, Mas. Kebetulan kami juga sedang lapar. Tadinya kami akan makan di warteg sana."Tegh!"Warteg. Haha!" Mas Anang tertawa puas.Keningku mengernyit kaget tapi ingin tersenyum mendengar jawaban Mas Yoga. Dia mau diajak makan oleh mantanku?"Mas!" Aku menyinggung sedikit tangannya dengan jariku.Saat ini Mas Yoga nampak santai setelah mengiyakan ajakan Mas Anang dan pacar sombongnya."Jangan disenggol-senggol gitu, Maya. Kamu malu hah? Tuh pacar ka
"Mohon maaf, Pak, saldo di kartu ATM ini tidak cukup!"Deg!Aku dan Mas Yoga saling melirik mengulum senyum. Sesumbar itu, tapi dia tidak cek m-banking? Aku yakin, dia miliki aplikasi itu. "Hah? Tidak cukup?" Mas Anang kaget, pun dengan pacarnya. Mereka seperti terpukul bokong oleh Tuan Crab dalam serial kartun."Huahahahaha." Dalam batinku tertawa lebar. Ingin sekali aku bergoyang di depan mereka berdua, tapi aku tak bisa lakukan itu karena aku tak begitu.Saat ini aku dan Mas Yoga saling lirik sembari mengulum tawa. Sekarang wajah Mas Anang dan pacarnya memerah. Pelayan pun masih menunggu dan sudah mengembalikan lagi kartu ATM tersebut."Mas? Kok nggak cukup?" protes pacarnya dengan kesal. Ada mimik malu di hadapan aku dan Mas Yoga.Mas Anang mempertahankan wibawanya. "Ah, masak sih? Salah kali! Atau mesinnya rusak!"Aku semakin ingin tertawa lebar. "Mas, mana ada mesin rusak bisa mendeteksi enggak cukup? Kalau enggak bisa dipakai, baru itu rusak!" ledekku dengan puas.Mas Yoga ter
Bu Ine kini hadir di tengah-tengah kami. Tapi, yang aneh adalah, manajer resto menjelaskan semua masalah pada beliau. Apa benar, resto ini milik Ibu Mas Yoga juga? Wah, aku baru tahu kalau benar."Jadi, apa yang bisa saya bantu, Pak?" Bu Ine cuek pada aku dan anaknya. Tapi kini dia bicara pada Mas Anang."Ibu siapa? Owner restoran ini 'kah?" tanya Mas Anang heran."Ya. Ini restoran milik saya. Benar apa kata manager saya kalau Anda makan tapi tidak bisa bayar?" Aku super kaget. Dugaan benar, kalau resto ini milik orang tua pria yang kini ada di sampingku. Tapi, kenapa Bu Ine tidak kaget ada anaknya di sini? Bahkan, dia juga tidak menyapa anaknya. Pantas saja tadi pelayan resto kaget saat melihat Mas Yoga datang, itu karena dia pasti kenal. Secara, Mas Yoga anak bos mereka.Ck ck ck!Lalu, bagaimana sekarang?"Saya Ine, pemilik sah resto ini. Bisa saya minta penjelasan dari Anda? Penjelasan dari manajer saya saja tidak cukup," kata Bu Ine dengan lugas. Aku kini menyenggol Mas Yoga,
"Iya, mereka berdua. Mereka yang sudah kuras uang saya." Mas Anang menunjuk Mas Yoga dan aku.BAB 11"Betul sekali, Bu Owner. Jadi gini, wanita ini mantan istri pacar saya yang ganteng dan yang memiliki jabatan General Manager ini. Tadi mereka itu jajan di pinggir jalan. Ya, karena kasihan lihat orang miskin di jalan, kami pun ajak mereka makan. Sekali-kali lah orang miskin makan di resto mewah milik Ibu ya." Aku amat terenyah dengan penjelasan dari wanita yang menjadi pacar Mas Anang. Dia berani sekali menghina anak di depan ibunya. Apalagi sebut-sebut miskin dengan tatapan meledek. Tak ada sopan santun."Oh, jadi kalian berdua ingin traktir mereka berdua tapi tak ada uang?" kata Bu Ine menanggapi."Bu, jaga bicara Ibu. Kalau Ibu bukan owner resto mewah ini, saya mungkin sudah adukan kata-kata Ibu ini ke hukum. Saya bukan tidak ada uang, tapi uang saya masih ada di rumah. Saya akan bawa dulu, apa susahnya sih? Restoran macam apa ini?" Degh!Mas Anang malah nyolot. Sepertinya dia be
Bu Ine pun menanggapi balik. "Pelanggan adalah Raja. Tapi tidak ada Raja semacam Mas Ini ya? Kalau ingin dihormati dan dihargai orang, hormatilah dan hargailah diri kamu sendiri. Silahkan bayar, baru boleh pergi!" gertak Bu Ine. Sepertinya saat ini Mas Anang benar-benar dipermalukan. Betul juga kata Bu owner, mana ada Raja semacam Mas Anang?"Lalu mau Anda apa?" Mas Anang nyolot sekali.~~~ Kom Komala ~~~***"Mau saya, Anda bayar sekarang juga, atau diam di sini bersih-bersih. Anda boleh pulang setelah resto ini tutup. Kalau tak ada orang yang datang untuk membayar ganti rugi, Anda dan Mbak ini tidak boleh pergi. Kalian bantu beres-beres di resto ini. Mengerti!"Wow, sungguh ini benar-benar membuatku tertawa lebar. Bu Ine dengan yakin meminta si general manager itu untuk bersih-bersih?"Apa? Anda menghina saya?" bentak Mas Anang."Mas, nurut saja, Mas. Lagipula, saya sejak tadi mendengar kesombongan Mas pada mantan istri Mas dan pacarnya itu. Saya pikir Mas mau bayar dan banyak uang.
"Kalian lagi ngapain di sini? Bukannya kalian ada meeting dengan WP?" Bu Ine bertanya kepada aku dan juga anaknya.Kami sekarang ngobrol di luar restoran karena akan segera pergi, sedangkan Mas Anang dan pacarnya mau tidak mau harus menuruti apa yang telah jadi konsekuensinya. Rasakan kamu, Mas. Ini mungkin baru permulaan secara tak direncana.Sepertinya dia tak ada yang membantu. Jangankan kalau miskin, teman Mas Anang saat ia sedang di atas saja tak ada yang bantu. Buktinya, tadi beberapa kali dia menghubungi sahabat, tak ada satupun yang nyangkut. "Ya, kami memang ada pertemuan dengan WP, Mah. Tapi mereka kecegat itu, ada pohon tumbang di arah ke sini. Mama kok bisa di sini? Tak kena macet?" tanya sang anak pada ibunya."Mama sejak tadi juga di sini. Dengar ada keributan dari pelayan, Mama langsung hampiri. Mama kaget sih saat lihat kamu." Bu Ine memberi kami alasan. Tapi bisa sekali beliau berakting. Tapi bukan akting juga, memangnya harus apa yang ia katakan tadi untuk bahas ana
"Mama? Apa kabar, Mah?"Ternyata itu adalah mantan mertuaku. Ya, Ibu Mas Anang. Aku sodorkan tangan untuk menyalaminya. Bagaimanapun juga, dia adalah orang tua yang harus dihormati. Mantan mertua bersedia kusalami, namun wajahnya tetap angkuh sekali. Mas Anang juga keangkuhannya turun dari sang Ibu sepertinya."Baik. Kamu ngapain? Makan?" tanyanya sembari menyelidik penampilanku dari ujung kaki ke ujung kepala. Heuh, sebenarnya aku kesal dengan tatapannya itu, tapi mau bagaimana lagi."Iya, Mah. Maya akan makan di sini. Mama baru datang?" ujarku kembali."Enggak, saya ke sini cuma mau pesan makan untuk dibawa ke rumah. Oh ya, jangan panggil saya Mama lagi dong. Kamu sudah bukan menantu saya. Saya sudah punya lagi calon menantu yang lebih cantik dan baik dari kamu."Degh!Aku benar-benar terenyah dengan perkataan mantan Ibu mertua. Benar juga, kenapa aku harus panggil dia Mama? Mungkin karena sudah kebiasaan, jadi masih belum lupa."Baik, Bu. Saya panggil Ibu saja," ucapku."Nah, gitu