Bagi Nadira, menikahi Aryan adalah impian yang ia genggam sejak lama. Lelaki itu adalah cinta sekaligus sahabat terbaiknya, sosok yang membuatnya merasa aman. Namun, Mala—ibu mertua—menatapnya bukan sebagai menantu, melainkan ancaman. Nadira berharap, setelah resmi menjadi istri, sikap Mala akan melunak. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Perlakuan dingin berubah menjadi serangan halus yang perlahan meretakkan rumah tangga mereka. Bahkan, di saat Nadira membutuhkan Aryan untuk berdiri di sisinya, lelaki itu justru memilih tunduk pada ibunya. Mampukah Nadira mempertahankan pernikahan yang diperjuangkannya mati-matian? Ataukah ia harus melepaskan cinta yang selama ini ia genggam ... hanya karena restu yang tak pernah ia terima?
View MoreNadira berdiri terpaku di pinggir trotoar, matanya membelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin melompat keluar dari dada. Ia menggelengkan kepala berulang kali, mencoba menolak kenyataan yang terpampang jelas di hadapannya.
Tidak mungkin.
Itu bukan Aryan.
Itu bukanlah lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya dalam hitungan hari.
“Aryan nggak mungkin berselingkuh dariku. Kita sebentar lagi akan menikah, kan. Kita sudah menyiapkan semuanya dengan sempurna,” gumamnya lirih dengan suara tercekat, nyaris tak terdengar oleh dirinya sendiri.
Air mata menggenang. Nadira menyeka pipinya yang basah, lalu berlari menyeberangi jalan tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Kendaraan yang melintas membunyikan klakson dengan meraung-raung, namun tak dihiraukannya. Pandangannya hanya tertuju pada satu hal—lelaki yang sedang memeluk wanita lain di bangku taman kota.
Sesampainya di depan Aryan, tanpa pikir panjang, Nadira langsung melayangkan tamparan keras ke pipi lelaki itu. Suara tamparannya menggema di antara bisik-bisik orang yang yang mulai memperhatikan keributan mereka.
“Tega kamu! Berkhianat dariku di saat pernikahan kita kurang beberapa hari lagi! Aku nggak sangka kamu brengsek kayak gini, Aryan!” teriak Nadira, matanya memerah dan wajahnya penuh luka kecewa.
Aryan tampak kaget dan canggung. Beberapa pasang mata memandanginya seolah ia penjahat. Rasa malu yang membakar wajahnya membuatnya segera menarik tangan Nadira menjauh dari kerumunan.
“Nad, sini. Kita bicara berdua dulu,” katanya cepat.
Sementara itu, wanita yang tadi dipeluk Aryan hanya berdiri kikuk, menunduk dalam diam.
“Kamu tunggu di sini, ya? Aku akan jelaskan semuanya dulu dengannya,” ucap Aryan padanya. Wanita itu hanya mengangguk pelan, wajahnya jelas menunjukkan kegugupan.
Beberapa langkah menjauh, Nadira mencoba melepaskan genggaman tangan Aryan. Matanya masih berkaca-kaca, tapi kini sorotnya berubah menjadi tajam dengan kemarahan yang meledak-ledak.
“SEJAK KAPAN?! Sejak kapan kamu berkhianat dariku, hah? Atau jangan-jangan, dari awal hubungan kita, kamu nggak pernah sekalipun setia ke aku?” bentaknya lantang, telunjuknya menuding wajah Aryan dengan gemetar.
Aryan menangkap telunjuk itu, menggenggamnya erat. “Nad, kamu denger aku dulu. Aku nggak pernah selingkuh darimu. Sama sekali nggak pernah terlintas buat aku kepikiran begitu. Apalagi, pernikahan kita tinggal beberapa hari lagi, mana mungkin aku tega main gila di belakangmu?”
Aryan menghela napas panjang. Ia menatap mata Nadira yang masih basah oleh amarah dan kekecewaan, lalu melanjutkan ucapannya dengan suara serak.
“Pernikahan yang udah aku nantikan sama orang yang kucintai, nggak mungkin aku rusak dengan kelakuan bodoh yang bisa melukai hatimu. Aku tahu ini kelihatan salah. Tapi aku mohon, dengarkan aku dulu, Nadira. Kamu cuma salah paham. Wanita itu bukan siapa-siapa. Dia—”
“Jangan bilang dia bukan siapa-siapa, karena jelas-jelas tadi kamu peluk dia dengan dua tanganmu sendiri! Kalau dia cuma orang biasa, kenapa kamu terlihat begitu peduli?!” potong Nadira cepat.
Aryan menundukkan kepala sejenak. Ia mengusap wajahnya kasar, terlihat begitu frustrasi dengan situasi peliknya. Tatapannya kemudian kembali menatap Nadira dalam-dalam.
“Namanya Erlina. Dia sepupu jauhk—”
Nadira tertawa miris, pahit terdengar di telinga siapa pun yang mendengarnya. “Sepupu? Serius, Aryan? Kamu peluk sepupu kamu di taman malam-malam kayak gitu? Kamu pikir aku bodoh?”
Aryan membuka mulut, tapi tidak segera menjawab. Lalu, seakan menguatkan diri, ia berkata tegas. “Erlina datang ke kota hari ini dalam keadaan hancur. Dia baru saja ditipu. Uangnya habis, dia bahkan nggak tahu lagi harus ke mana tanpa sepeser pun uang. Satu-satunya yang dia ingat hanyalah kalau ibuku tinggal di kota ini. Dan saat dia sampai ke rumah ibu, malah disuruh datang ke aku.”
Nadira menatap Aryan dengan napas terengah. Tangannya terkepal di sisi tubuh, menahan diri agar tidak kembali meledak.
“Dan kamu pikir itu alasan yang pantas untuk memeluknya?”
“Dia menangis, Nadira. Dia diselimuti kebingungan dan ketakutan. Pelukan itu hanya semata untuk menenangkan, bukan karena ada maksud lain. Aku hanya mencintaimu. Aku bahkan belum pernah melirik perempuan lain selama kita bersama. Kau satu-satunya yang kupuja, percayalah.”
Untuk sesaat, keheningan menggantung di antara mereka. Nadira masih memandang Aryan dengan tatapan penuh luka, tapi kemarahan itu mulai meredup. Ia juga mencintai Aryan, itu sebabnya ia tak mau kehilangan dirinya.
Namun sebelum Nadira sempat merespons, suara langkah pelan mendekati mereka. Erlina, dengan mata sembab dan wajah pucat, berdiri di samping mereka dengan ragu.
“A—aku minta maaf. Seharusnya aku tidak datang dan membuat kekacauan seperti ini,” ucap Erlina lirih.
Nadira menoleh, menatap wanita itu dari ujung kepala sampai kaki. Wajahnya masih sulit dibaca—antara muak, curiga, dan iba.
“Aku cuma takut pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini. Aku nggak punya siapa-siapa di sini, kecuali keluarga Aryan. Aku ... aku akan pergi kalau memang merepotkan.”
Aryan langsung menoleh. “Jangan, Lin. Kamu nggak merepotkan sama sekali. Ini hanya salah paham antara aku dengan pasanganku saja. Aku akan jelaskan semuanya ke Nadira sehingga dia tidak perlu khawatir, apalagi sampai mencurigaimu.”
Erlina mengangguk pelan dan kembali menjauh, membiarkan mereka berdua berbicara.
Setelah kepergiannya, Nadira menatap Aryan lagi, kali ini terlihat lebih lelah daripada marah. Ia mengusap wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangan, mencoba menenangkan pikirannya yang masih bergejolak.
“Kamu bahkan tak menanyakan pendapatku. Apa kamu tak peduli soal perasaanku sama sekali? Aku masih belum bisa memaklumi alasanmu dengan logis, Aryan. Aku masih diselimuti kecurigaan pada wanita itu,” keluh Nadira dengan rasa kecewa.
Aryan menatap Nadira dengan wajah penuh sesal. Sorot matanya jelas menunjukkan kegundahan. Ia ingin memeluk Nadira, ingin meyakinkannya bahwa tak ada kebohongan yang ia sembunyikan, tapi ia tahu, Nadira belum siap untuk disentuh saat ini.
“Nad, aku nggak bermaksud menyakitimu. Tapi aku juga nggak bisa membiarkan Erlina terlunta-lunta malam-malam begini. Dia keluargaku. Masa iya aku tega bersikap seolah aku nggak kenal?” Aryan berusaha sepelan mungkin menyampaikan niatnya, takut membuat Nadira makin salah paham.
Nadira diam. Ia menatap Aryan lama, lalu mengalihkan pandangan ke arah Erlina yang berdiri beberapa meter dari mereka, memeluk tas kecilnya seolah itu satu-satunya harta yang ia punya.
“Kalau aku di posisimu, mungkin aku juga nggak akan tega. Tapi kamu harus tahu, aku masih belum bisa sepenuhnya tenang. Aku butuh waktu untuk memercayai semuanya,” ucap Nadira akhirnya, pelan.
Aryan mengangguk cepat. “Kita akan bicarakan ini lagi, di waktu yang lebih baik. Tapi untuk sekarang, aku minta izin ya. Aku mau antar Erlina ke rumah Ibu dulu. Nanti aku antar kamu pulang, biar aku bisa pastikan kamu sampai dengan selamat.”
Mereka bertiga lalu meninggalkan taman. Sepanjang perjalanan menuju rumah orang tua Aryan, suasana di dalam mobil terasa canggung. Nadira duduk diam di kursi depan, menatap jalanan yang mulai sepi, sementara Erlina duduk di belakang, sesekali mengusap air matanya diam-diam.
Setibanya di rumah, Aryan turun lebih dulu untuk mengetuk pintu. Ibu Aryan menyambut mereka dengan ekspresi datar, tak banyak bicara selain meminta Erlina masuk.
Setelah memastikan Erlina masuk dengan aman, Aryan kembali ke mobil dan menatap Nadira dengan ekspresi bersalah.
“Aku antar kamu pulang sekarang.”
Nadira hanya mengangguk pelan.
Perjalanan pulang mereka dipenuhi keheningan. Tak ada pembicaraan, hanya suara mesin dan jalanan malam yang semakin lengang. Setibanya di depan rumah kontrakan Nadira, Aryan membukakan pintu mobil, lalu menatap wajah perempuan yang ia cintai itu dengan lembut.
“Nad, terima kasih karena masih mau dengar penjelasanku. Aku janji, nggak akan ada kebohongan di antara kita. Aku nggak mau kehilangan kamu, apalagi sekarang.”
Nadira mengangguk sekali, lalu masuk ke rumahnya tanpa sepatah kata pun.
Di dalam rumah, ia menurunkan tas kerjanya dan duduk lemas di sofa. Pandangannya kosong, pikirannya masih bercabang-cabang. Tangannya mengusap wajah yang masih terasa panas oleh sisa tangis dan emosi yang meledak sejak tadi.
“Apa ini keputusan yang benar? Kenapa menjelang hari pernikahan malah muncul ujian seperti ini?” gumamnya lemah pada diri sendiri.
Pertanyaan itu menggantung, tanpa jawaban.
Aryan yang memperhatikan dari ruang tamu segera menghampiri Nadira. “Sayang, keluar sebentar, yuk,” ajaknya sambil menyentuh pelan punggung istrinya.Nadira mengerutkan dahi. “Ke mana?”“Jalan-jalan sebentar. Anginnya enak, lumayan buat santai setelah perjalanan.”Tanpa memberi waktu Nadira membantah, Aryan menggandengnya keluar lewat pintu samping. Begitu udara malam menyapa kulit, langkah Nadira terasa lebih ringan, tapi hatinya masih menyisakan ganjalan.Aryan tersenyum kecil, mencoba menenangkan. “Jangan dipikirin, ya. Ibu mungkin belum terbiasa sama kamu, jadi mohon maklum dulu. Lagi pula, bisa jadi ibu bersikap begitu karena emang nggak mau bikin kamu capek, kita habis dari perjalanan lumayan jauh.”Nadira menatapnya lama. “Aku ngrasa ibu emang nggak mau dekat denganku. Aku lihat sendiri giliran sama Erlina terlihat sangat akrab, padahal dia cuma kerabat jauh. Sedangkan sama aku yang jelas-jelas istrimu, ibumu terlihat dingin.”Aryan terdiam sejenak, seperti menimbang jawabannya
Seminggu berlalu tanpa terasa. Persiapan yang penuh ketegangan itu kini terbayar lunas dengan hari yang ditunggu-tunggu, yaitu hari sakral yang menyatukan Aryan dan Nadira dalam ikatan suci.Gaun putih sederhana yang membalut tubuh Nadira memantulkan cahaya lembut. Di hadapan penghulu, dengan tatapan mantap, Aryan mengucapkan ijab kabul yang hanya sekali ucap langsung dinyatakan sah. Tepuk tangan dan ucapan selamat mengalir dari para tamu. Nadira menunduk haru, sementara tangan Aryan menggenggamnya erat, seolah berjanji akan menjaga genggaman itu selamanya.Keluarga Nadira yang datang dari desa tampak begitu terharu. Ayahnya berkali-kali mengusap mata, ibunya tersenyum penuh syukur, dan adik lelakinya yang masih duduk di bangku sekolah tak berhenti memotret dengan ponselnya.“Akhirnya, kamu menemukan bahagiamu sendiri, Nak,” bisik sang ibu sambil memeluknya erat.“Terima kasih karena sudah menjagaku selama ini, Ibu,” balas Nadira membalas pelukannya tak kalah erat.*****Tiga hari set
Aryan menarik napas pelan. Ia tahu, apapun yang keluar dari mulutnya saat ini tidak akan cukup untuk memadamkan bara api di hati Nadira. Maka ia memilih langkah lain.Perlahan, ia melepaskan pelukannya. Nadira menunduk, menyeka sisa air mata yang menggantung di pipinya. Aryan menoleh ke belakang, tepat ke arah Erlina yang sejak tadi berdiri membisu seperti patung. Matanya kosong, wajahnya pucat, dan jelas terlihat bahwa ia merasa tidak nyaman berada di tengah pertengkaran itu.“Erlina,” panggil Aryan, tenang namun tegas.Gadis itu mendongak cepat. “Iya?”“Kamu tunggu di mobil, ya. Aku ingin bicara dengan Nadira cukup lama. Kalau bosen di mobil, kamu juga bisa jalan-jalan sekitar kompeks sini, nanti kalau kita udah beres pasti aku telepon.”Ragu sesaat, Erlina akhirnya mengangguk. Ia melangkah mundur dengan pelan, kembali masuk ke dalam mobil seperti yang diperintahkan. Pintu tertutup rapat, menyisakan hanya Aryan dan Nadira di teras yang sepi.Tanpa berkata apa-apa, Aryan menggandeng
Pagi itu, Nadira terbangun dengan mata bengkak dan kepala berat. Tidur tidak lelap, pikirannya terus dihantui adegan di taman malam tadi. Meski Aryan sudah menjelaskan, bayangan pelukan itu terus mengganggu benaknya seperti rekaman yang tak henti diputar ulang.Ia berjalan ke dapur dengan langkah malas, membuat secangkir susu cokelat seperti biasanya. Ia membawa mug nya menuju teras depan untuk duduk menenangkan pikiran. Hari ini ia ada jadwal dengan Aryan untuk fitting baju pernikahan, jadi keduanya memutuskan ambil cuti kerja.Udara masih segar dengan sisa-sisa embun yang belum sepenuhnya menguap. Nadira memejamkan mata sejenak, membiarkan ketenangan menyusup ke dalam benaknya. Aroma tanah basah dan kicauan burung jadi hiburan kecil yang ia nikmati di tengah hati yang masih kacau.Namun kedamaian itu seketika terusik oleh suara mesin mobil yang berhenti di pelataran rumahnya. Nadira membuka mata, menoleh pelan ke arah gerbang. Sebuah mobil hitam yang amat ia kenali—mobil Aryan.Seny
Nadira berdiri terpaku di pinggir trotoar, matanya membelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin melompat keluar dari dada. Ia menggelengkan kepala berulang kali, mencoba menolak kenyataan yang terpampang jelas di hadapannya.Tidak mungkin.Itu bukan Aryan.Itu bukanlah lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya dalam hitungan hari.“Aryan nggak mungkin berselingkuh dariku. Kita sebentar lagi akan menikah, kan. Kita sudah menyiapkan semuanya dengan sempurna,” gumamnya lirih dengan suara tercekat, nyaris tak terdengar oleh dirinya sendiri.Air mata menggenang. Nadira menyeka pipinya yang basah, lalu berlari menyeberangi jalan tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Kendaraan yang melintas membunyikan klakson dengan meraung-raung, namun tak dihiraukannya. Pandangannya hanya tertuju pada satu hal—lelaki yang sedang memeluk wanita lain di bangku taman kota.Sesampainya di depan Aryan, tanpa pikir panjang, Nadira langsung melayangkan tampara
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments