Share

BAB 7 BERTEMU KEMBALI DENGAN SI SOMBONG

Hari ini ada meeting dengan wedding planner. Aku akan dijemput oleh Mas Yoga dan kini sedang menunggu di ruang tamu.

Kebetulan hari ini libur, jadi bertemu dengan WP dijadwalkan sekarang oleh Mas Yoga.

"Mah, Arya mau main ke rumah Ivan boleh?" kata anakku ijin.

"Boleh, Sayang. Tapi mau main apa?" tanyaku pada putra tercinta.

"Mau main bola, Mah di lapangan sana itu. Boleh ya, Mah? Em, Arya juga bakal kotor-kotoran dikit," kata anakku sembari memasang mimik wajah meringis takut kumarahi.

"Boleh, kotor sih enggak apa-apa, Sayang. Asal hati-hati, jangan ke jalan raya ya? Nanti pulang juga jangan kesorean. Mama mau keluar dulu." Aku memberinya saran sembari memberitahukan ke mana aku akan pergi.

"Iya, Mah. Mama mau pergi sama Om Yoga?" ucapnya.

Aku tersenyum. "Iya, Nak. Sebentar lagi Om Yoga jemput Mama. Kamu ijinin 'kan?" ujarku sambil mengelus-elus lembut rambut kepalanya.

"Iya, Mah. Mama juga hati-hati. Arya mau berangkat sekarang ya, Mah?" katanya lagi.

"Kamu enggak bawa sepatu?" heranku.

"Mau kaki telanjang ya, Mah? Boleh ya?" Dia menyeringai.

Aku geleng-geleng kepala lalu menanggapi. "Boleh. Tapi hati-hati. Jangan berantem loh!" pesanku.

"Siap, Mah!" 

Ia pun segera berlari setelah kecup punggung tangan. Di dekat sini memang ada lapangan sepak bola untuk bermain anak-anak. Aku tak begitu cemas, karena ini bukan yang pertama kali.

Lusa ayahnya datang kemari untuk pertama kali. Tapi Arya tak sebegitu histeris, entah kenapa. Padahal aku tidak menghasut Arya untuk melupakan ayahnya itu. Sepertinya dia juga punya pendapat sendiri tentang seorang ayah yang tak pernah menjenguknya. 

Mas Anang waktu ke sini bicara sendiri. Aku dan Ibu meninggalkan dia sendiri karena kami lebih baik diam di dapur membuat sambal terasi pedas. Kalau dia macam-macam, tinggal kucolekkan ke bola matanya. Pedih plus bau terasi.

Saat itu dia juga panggil-panggil Arya. Sayang, anaknya hanya menanggapi biasa saja. Mungkin malu, Mas Anang pun gegas pulang tanpa pamit. Aku dan Ibu pun hampir tak mengerti bagaimana jalan pikiran seorang GM di perusahaan besar. Tapi ini Mas Anang, mungkin orang lain di jabatan tersebut punya sopan santun dan tata krama yang lebih baik.

Tidn!

Lima menit setelah Arya meninggalkan rumah, bunyi klakson roda empat terdengar nyaring di telinga. Dari bunyinya, kendaraan tersebut sudah ada di halaman rumah Ibu. Setelah kutoleh dari kaca, ternyata mobil Mas Yoga. Dia sudah datang menjemputku. Kali ini mobil yang ia pakai berbeda dengan yang sering ia bawa ke kantor. 

"May? Mau pergi sekarang?" Ibu menghampiri lalu bertanya. Ia menghampiri karena mendengar klakson mobil. Ibuku sudah tahu kalau kami--aku dan Mas Yoga akan pergi menemui wedding planner.

Aku pun bangkit sembari menjawab, "iya, Bu."

Tiba-tiba, ada suara langkah kaki dan ketukan pintu. Sebenarnya pintu terbuka, tapi masih tetap diketuk.

"Assalamualaikum!"

Usaiku minta ijin pada Ibu, Mas Yoga nyatanya sudah berdiri di ambang pintu. Dia ucap salam dan kini menyalami Ibu.

Sikap Pak Yoga, em, maksudku Mas Yoga, yang santun dan ramah, itu jadi nilai plus bagi aku dan Ibu.

Sebenarnya aku memang sering keceplosan panggil dia dengan sebutan formal di kantor. Belum terlalu terbiasa menyebut 'mas' apalagi hubungan kami pun baru tiga bulan. Kalau masuk kerja sudah dari sembilan bulan yang lalu.

"Nak, Yoga," sapa Ibu balik. 

Aku yang sudah memakai pakaian rapi pun menyingkir sedikit mempersilahkan Mas Yoga.

"Iya, Bu. Saya mau ijin ajak putri Ibu keluar, Bu. Apa Maya sudah cerita?" ujar Mas Yoga ramah.

Ibu tersenyum. "Iya, Nak yoga, Maya sudah bilang sejak tadi subuh. Kalau begitu hati-hati ya?"

Setelah mendapat ijin lagi dari Ibu, kami pun segera berangkat. 

Sebenarnya aku bisa bertemu dengan Mas Yoga dan perwakilan wedding planner di tempat tujuan saja. Tapi, Mas Yoga menyarankan supaya ia yang jemput diriku. Ya, mana bisa kutolak bila ia kekeh.

Sebenarnya aku ada di posisi malu-malu tapi mau. Apalagi, dekat dirinya juga tidak risi. Mas Yoga ramah dan santun meskipun status kami ibaratnya pacaran.

Hanya saja, kami memang bukan anak remaja lagi. Menyikapi percintaan itu dengan lebih dewasa.

***

"Ya ampun, Sayang. Kata WP, mereka kecegat macet. Katanya ada kecelakaan yang menjadikan laju kendaraan mereka akan lambat sekali."

Di beberapa menit kemudian Mas Yoga mendapatkan kabar dari tim WP kami.

Aku pun kaget. "Innalilahi, ada kecelakaan? Tapi bukan mereka 'kan, Mas?" ujarku sedikit syok.

"Bukan, Sayang."

Mobil masih terus melaju.

"Jadi, gimana dong, Mas?" tanyaku.

"Sebentar ya, aku akan hubungi dulu. Tapi, Mama memang harus rampungkan semua ini sekarang. Em, kamu tak apa-apa 'kan kalau kita telat? Maksudnya, waktunya sedikit melenceng?" Mas Yoga mempertanyakan masalah waktu.

"Em, sebenarnya enggak apa-apa sih, Mas. Tapi, masalahnya mungil saja mereka kecegat macet lama. Kalau kita bisa ke sana, ya lebih baik kita ketemu di dekat sana saja, Mas. Macetnya di mana?"

"Em, iya juga. Oke sih, aku telepon dulu."

Sekarang Mas Yoga sudah menghubungi pihak WP. Aku pun sembari mendengarkan juga memperhatikan perjalanan.

Sebenarnya dia juga ngobrol tidak bahaya, karena di telinganya dipasang alat canggih untuk menerima panggilan secara otomatis. Jadi, bukan seperti jaman dulu kita harus pegang handphone, atau pasangkan dulu earphone ke telinga dengan ribet karena kabelnya juga panjang. Jaman sekarang, sudah praktis.

Mas Yoga usai bicara. "Gimana, Mas?" tanyaku.

"Katanya ada kecelakaan karena pohon besar tumbang. Di sana hujan lebat, ini juga 'kan gerimis. Tapi hujannya udah reda sih. Hanya untuk evakuasi pohonnya masih menunggu." Mas Yoga menjelaskan.

"Jadi gimana, Mas?" cemasku.

"Jadi ya kita tunggu saja. Kata mereka sepertinya sebentar lagi jalan kok. Tapi, untuk menghemat waktu mereka, kita ubah posisi pertemuan. Kita yang mendekat ke sana. Itu mereka 'kan kecegat macet di jalan raya satu arah. Jadi tinggal putar balik sedikit, sampai deh. Kita yang ke sana. Sambil jalan-jalan ya?" 

"Hemh? Ya, aku terserah kamu saja, Mas."

***

Kami sudah sampai di tempat yang dituju oleh Mas Yoga.

"Di sini, Mas?" ucapku menanggapi kala mobil Mas Yoga parkir ke salah satu tempat makan sederhana. Tapi tempatnya sepertinya nyaman dengan kesan tradisional adat Sunda.

"Iya. Eh, Sayang, aku mau beli itu deh. Aku mau beli kerak telor. Tadi aku lihat di belakang sana. Kamu mau?" 

Setelah mobil terparkir Mas Yoga menginginkan sesuatu.

"Hemh? Kerak telor? Emang kamu suka banget ya, Mas? Aku baru tahu." Aku berkomentar.

"Sebenarnya tak ada niat sih. Cuma, lihat aja barusan kelewat. Jadi, temani aku jalan ke sana sebentar ya? Kamu suka 'kan kerak telor?" tanyanya.

"Aku sih suka banget, Mas."

"Ya sudah, yuk!"

Mas Yoga lepas sabuk pengaman lalu turun dari mobil. Aku pun melakukan hal yang sama.

"Ke mana, Mas?" tanyaku setelah di luar mobil. 

"Itu."

Mas Yoga menunjuk ke arah belakang. Karena ini jalan satu arah, kami tidak bisa putar balik. Jalan kaki adalah pilihan kami. Mobil sudah terparkir aman, tukang kerak telor pinggir jalan pun kami hampiri.

"Tak apa jalan kaki 'kan?" ujarnya.

"Ck. Masa iya aku ngamuk, Mas? Santai aja lagi. Sambil nunggu orang yang ditunggu datang." Aku menjawab.

Jarak yang kami tempuh kurang lebih seratus meter. Tidak begitu jauh, dan hal ini yang membuatku nyaman. Mas Yoga tidak gengsian.

"Pak, bikinkan kerak telornya ya? Em, lima ya, Pak?"

Kami sudah sampai dan langsung pesan. "Banyak sekali?" komentarku.

"Buat stok di mobil." Dia menyeringai.

Letaknya memang di pinggir jalan, tapi makanan pinggiran tak kalah lezat dengan di dalam sana. Hihi.

Beberapa menit kemudian ...

"Ehm! Mas? Lihat deh? Mantan kamu ya, Mas?"

Teg!

Desis nyeleneh terdengar di telinga kiriku. Sepertinya Mas Yoga tak ngeuh, hanya aku yang mendengar. Kenapa aku heran, karena suaranya kukenali.

"Eh iya. Maya? Kamu lagi apa?"

Tidn!

Klakson pun sampai dibunyikan.

Baru sekarang Mas Yoga menoleh. Ternyata, setelah kami melihat ke sumber suara, yang nyeletuk adalah Mas Anang dan pacarnya. Seperti nyamuk saja, ada di mana-mana.

"Siapa itu, Sayang?" Mas Yoga bertanya pura-pura tak tahu dengan nada santai namun sinis.

"Em, enggak tahu, Mas. Mungkin yang mau jajan juga," ledekku memancing emosi mereka.

"Ish, maaf ya, kita gak level. Ya 'kan, Mas?" 

Aduh, pacar Mas Anang ini kampungan sekali dari cara bicaranya. Aku kok ingin terkekeh sendiri.

"Mas, turun dulu yuk! Kita lihat mereka."

Pacar Mas Anang mengajaknya turun untuk hampiri kami. Sebenarnya aku sudah tak enak dengan Mas Yog, tapi, mau bagaimana lagi. Dia bilang, tak usah aku beberkan identitas dirinya. Nanti juga akan tahu sendiri. Tak baik agungkan harta untuk hal seperti ini.

"Sayang, kamu suka 'kan? Kamu mau borong sama si abangnya?" kelakar Mas Yoga di depanku.

"Apaan sih, Mas. Kalau si bapaknya dibawa, mau jualan lagi gimana?" komentarku. Kami sibuk berdua. Namun dua kecebong malah menghampiri. Apa mereka tak punya malu?

"May, kamu lepas dari aku, cari yang bagusan dikit lah. Gaya aja sok keren. Tapi jajan di pinggir jalan. Haduh!" Mas Anang meledek kami yang sedang jajan santai.

Aku dan Mas Yoga sibuk berdua saja.

"Mas, lihat deh, kamu dikacangin! Gak ada akhlak!" sungut wanitanya. Tapi bagiku biarkan saja seperti angin berlalu.

"Mas? Jadi mereka bicara sama kita?" kataku pada Mas Yoga.

Saat ini, kutoleh dua sejoli yang sedang mengulum kekesalan itu. Sebenarnya apa mau mereka? Turun dari mobil hanya untuk mengejek. Apa tak ada urusan lain?

"Aku pikir kamu akan dapatkan pria kaya, Maya. Malah pria yang sok cakep dan kalian pasti jalan kaki ya? Mana motor butut kalian? Hah?" Lagi-lagi Mas Anang menghina kami

Kulirik Mas Yoga namun dia seperti bilang kalau aku harus tenang.

"Oh ya, Mas. Mending kamu traktir aja mereka makan di restoran mewah. Gimana? Bagi-bagi rezeki, Mas." Si wanita itu memberi Mas Anang saran.

"Em, boleh, boleh. Gimana, kalian mau kami ajak ke resto mewah? Di sini ada restoran yang elit. Mau tidak?" tawar Mas Anang.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status