Share

Mira Pamer Mobil

Gara-Gara Nikah di KUA

Part 3 : Mira Pamer Mobil

“Assalammualaikum, Naima,” ujar Ibu.

“Waalaikumsalam,” jawabku dengan masih terkejut sembari menciun tangan Ibu juga Bude dan Nenek.

“Hmm ... jadi ini rumah kamu Naima?” Nenek mencebik dengan tatapan merendahkan.

“Ayo, masuk, semuanya! Inilah rumah Naima,” ujar Ibu dengan senyum semringah sembari melangkah mendahului empat tamu kami.

“Ini rumah? Mira kira kandang sapi tempat Yusril kerja, ups!” Sepupuku itu pura-pura keceplosan saat masuk ke dalam rumahku, tatapannya begitu merendahkan.

Nenek terkekeh, dengan mata mengelilingi seisi rumahku. Aku masih menahan hati dan berusaha untuk tetap bersikap baik walau hati mulai jengkel dengan tingkah sengit tiga tamuku yang saat ini sedang berbisik-bisik dan menatap jijik rumah gubuk yang hanya ada tiga ruangan ini.

“Ayo silakan duduk! Maaf ... rumah Naima nggak ada kursi, jadi duduknya Cuma di lantai,” ujar Ibu lagi.

“Kami berdiri saja deh, soalnya nggak terbiasa duduk di lantai,” jawab Mira dengan angkuhnya.

“Iya nih, berdiri saja, nanti malah kotor pula pakaian mahal hadiah dari kamu ini, Mir,” jawab Nenek dengan mulut lemasnya.

Aku hanya menghela napas panjang, lagi-lagi menahan hati dan berusaha sabar.

“Nai, ayo bikin minuman!” ujar Ibu, masih dengan wajahnya yang terlihat gembira karena kedatangan tamu yang menurutku tak ada akhlak ini.

“Nggak usah deh, Bik, kita Cuma sebentar kok. Kami ke sini hanya penasaran saja, pingin lihat rumah Naima yang dibangga-banggain ama Bik Nani itu. Katanya anak perempuannya itu hebat, abis nikah langsung bisa beli rumah walau Cuma nikah di KUA. Hmm ... jadi ini rumahnya, hmm ... kalau menurut aku sih ini bukan rumah, gubuk kali! Hahaa ... dari luar terlihat seperti kandang sapi, eh sekali di dalamnya ... juga kandang sapi rupanya. Ups, maaf ya, Nai, aku ini ngomongnya selalu jujur dan tak bisa menjaga perasaan orang lain,” ujar Mira dengan sambil tertawa.

“Kalo Cuma gubuk reot seperti ini sih, kamu juga bisa ‘kan, Mir? Malahan bisa beli 100 buah kan, Mir? Nani, Nani, nggak perlu kamu banggakan kalau Cuma kandang sapi begini. coba lihat Mira dan Amir, dua minggu nikah aja udah bisa beli mobil, ini yang hebat itu!” cibir Nenek.

Raut kebahagiaan Ibu yang tadi sirna sudah, kini wajahnya muram dan seperti hendak menangis.

“Ayo pulang, ah! Lama-lama di sini bisa sesak napas karena kekurangan oksigen!” Bude mengipas-ngipasi wajahnya.

“Iya, Ma, aku juga capek nahan napas, rumah Naima bau eek sapi, cih!” Mira meludah di lantai rumahku yang terbuat dari papan itu.

Emosiku tak tertahan lagi saat ini.

“Sabar, Nai!” Ibu memegang pundakku, seakan tahu kalau anaknya ini akan meledak sebentar lagi.

Tiga wanita dengan dandanan ala orang kaya baru itu menuju pintu rumahku lalu keluar, diikuti oleh Amir yang sedari tadi hanya menjadi penonton adegan drama chanel udang terbang ini.

“Pulang sana, jangan pernah ke sini lagi kalau Cuma mau menghina dan pamer kekayaan!” ujarku dengan setengah berteriak.

“Kamu marah, Nai? Kamu ngiri lihat aku bisa dapat suami kaya raya sedang kamu ... aih, suaminya jauh dari kelayakan. Tabahkan hatimu, ya, Nai!” Mira membalik tubuhnya dengan mengibas-ngibaskan tangannya ke udara.

“Nggak ngiri sama sekali, Mira! Semoga kehidupanmu selalu bahagia dan bergelimang harta sebab kalau kamu jatuh miskin setelah kaya, aku akan menetertawaimu,” jawabku sinis.

“Naima, jangan berbicara seperti itu!” bisik Ibu.

“Nggak akan, Nai, yang ada ... aku akan makin kaya tentunya. Kalau kamu sih, aku yakin kamu akan makin miskin!” ketus Mira. “Yuk ah, Ma, Nek, kita pulang!”

“Naima, jaga ucapanmu! Mira ini akan semakin kaya raya, kalau kamu mau kayak dia ... bisa saja kok. Ceraikan suami gembalamu, lalu minta carikan suami yang kaya sama Amir, dia punya teman-teman yang sama kayanya.” Bude tertawa sinis.

“Kalau ngarapin Yusril sih, kamu akan miskin sampai tua! Kasihan nasibmu, Nai, dapat suami yang sudah kere sejak dari zigot,” timpal Nenek dengan sambil masuk ke dalam mobil baru milik Mira.

Taklama kemudian, terlihat suamiku datang dengan motor bututnya. Seperti biasa, tampilan dia sepulang bekerja menjadi gembala itu pasti awut-awutan, karena keseharian ia mengembala sapi-sapi sang juragan dengan sambil mencari rumput ke hutan. Memang, tampilan suamiku kalah jauh dari suami Mira yang selalu mengenakan kemeja baru dengan celana panjang bermerek itu.

“Eh, ada tamu, Nai. Ibu,” ujar Bang Yusril menyalami Ibuku, lalu menatap Mira dan Bude yang masih belum masuk ke dalam mobilnya.

“Kami pulang dulu, Yus!” ujar Bude dengan sambil masuk ke dalam mobil, mengikuti Nenek yang sudah masuk terklebih dahulu.

Dengan mencebik sinis, Mira masuk juga ke mobil. Amir menyalakan mobilnya, tapi kemudian mematikannya kembali. Dia membuka kaca mobil dan menoleh kepada kami.

“Yus, bisa bantu dorong gak?” ujarnya dengan sambil tersenyum.

Aku mengerutkan dahi, masa mobil baru udah mogok.

“Iya, Mir, tunggu sebentar!” Suamiku itu berlari kecil dan mendekati mobil itu.

“Kenapa mobilnya, mogok atau habis minyak?” tanya Bang Yusril.

“Nggak tahu juga, tolong dorongin deh, Yus!” ujar suami dari Mira itu.

Aku melangkah turun dari rumah lalu mendekat ke jalanan, merasa tak ikhlas saja melihat suamiku yang capek pulang kerja malah disuruh dorong mobil sendirian.

Dengan susah payah, Bang Yusril mendorong mobil dengan beban lumayan berat itu. Mobil langsung menyala dan mengeluarkan asap hitam dari knalpotnya. Tubuh suamiku yang memang sudah lusuh itu semakin terlihat berantakkan saja.

“Hahahaaa ... kasihan kamu, Yus! Anggap aja latihan buat mimpi beli mobil juga, untuk sekarang makan asapnya saja dulu!” teriak Amir dengan sambil mengeluarkan kepalanya dari kaca mobil.

Hati ini terasa sangat sesak melihat perlakuan mereka kepada suamiku. Tak hanya aku yang dihina mereka hari ini, Bang Amir juga. Awas saja, roda kehidupan pasti akan berputar Amir, Mira. Suatu saat, akan kubalas perbuatan kalian. Untuk saat ini, akan kucatat dulu dan kuanggap kasbon, sebab nanti akan kubayar secara tunai!

Bersambung .... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status