Gara-Gara Nikah di KUA
Part 5 : Para Penagih Hutang
Bude Yani terlihat berusaha menenangkan tiga orang wanita di depan rumahnya itu, sedang Mira tak terlihat di sana. Ibu mengajakku untuk segera masuk kembali ke dalam.
“Entar, Bu, Nai mau lihat adegan seru ini dulu. Siapa tahu nanti Bude Yani dijambak tiga tamunya itu?” ujarku dengan menahan senyum.
“Emangnya kamu ngapain? Mau nolongin Budemu?” Ibu terlihat menautka alis.
“Iya, mau nolong ... nolong buat nyorakin.” Aku terkekeh.
“Hus, nggak boleh gitu, kualat kamu nanti!” Ibu melotototiku.
Aku menutup mulut, menahan tawa. Kini mata kami kembali ke pemandangan depan rumah. Eh, suasana semakin memanas, Bude menyiram satu ember air kepada tiga tamunya itu.
“Ya Tuhan!” Ibu memegangi dadanya menyaksikan kebrutalan Kakaknya itu.
Tiga tamunya itu semakin meradang dan kini mengurubuti Bude Yani. Beberata tetangga yang kebetulan menyaksikan adegan itu hanya menonton saja.
“Nai, ayo bantuin Budemu sana!” Ibu menarikku turun dari rumah.
“Nggak usah, Bu, Nai yakin ... pasti Bude yang menang kok!” Aku masih menahan tawa.
Ibu yang memang takut dengan perkelahian, tak bisa berbuat apa-apa melihat Kakaknya kini dikerubuti tiga wanita penagih hutang kayaknya. Melihat ekspresi Ibu yang kebingungan, aku mencoba melerai perkelahian itu.
“Maaf, Ibu-ibu ... kok main kekerasan begini? Apa semua masalah akan selesai dengan cara seperti ini?” Aku menarik Bude dari tiga wanita kesetanan itu, lalu berdiri di tengah-tengah mereka.
“Mau membela Budemu, Nai?” Salah satu dari mereka melototi aku.
“Nggak sih, Cuma gak etis saja kalau main keroyok begini. coba satu lawan satu, kan kayak nonton acara tinju di tv,” ujarku lagi.
Mendengar ocehanku, kini Bude melotot kepadaku dengan membenarkan rambutnya yang acak-acakan akibat ulah tiga wanita di hadapan kami.
“Oke, jadi kami mau kepastian saja dari mulutmu, Nani! Kapan kamu mau bayar hutang! Dan satu lagi, jaga etikamu, kami ke sini mau menangih hutang jadi tak sepantasnya kamu malah menyiram kami!”
“Iya, betul itu. Kalau tak mau ditagih ke hutang, jangan berhutang. Ingat, ya, Yani, hutangmu di warungku ketikan nikahan Mira itu masih satu juta,” ujar Ibu pemilik warung yang berada di ujung jalan.
“Hutang riasan pengantin masih sisa lima ratus ribu lagi!” Sang tukang rias menambahkan.
“Hutang kue pernikahan juga ada enam ratus ribu, barangkali kamu lupa, ini kami ingatkan lagi!” Kini pemilik toko kue yang angkat bicara.
“Nanti kubayar kok, salah kalian sendiri, disuruh pergi baik-baik tapi malah nggak mau dan malah teriak-teriak di depan rumahku. Bikin malu saja! Pulang kalian semua, bulan depan kubayar kok,” ujar Bude Nani dengan nada ketus.
“Dari kemarin bilangnya juga bulan depan dan bulan depan, tapi tak juga ada dibayar,” jawab sang tukang rias. “Coba anakmu yang banyak gaya itu disuruh keluar, soalnya dia sudah memblokir nomor hapeku.”
“Mira tak ada, pulang kalian sana! Nanti dibayar kok!” ujar Bude dengan sambil melangkah menuju rumahnya lalu menutup pintu dengan sangat keras.
“Dasar, nggak Ibu, nggak anak, kalo ditagih ke hutang, susahnya minta ampun. Aws saja kalau bulan depan juga belum bisa bayar!” ketus tiga wanita itu dan kemudian meninggalkan rumah Bude.
Para tetangga yang tadi meononton langsung bubar, Ibu menggandengku untuk pulang.
“Bu, banyak juga, ya, hutang Bude Yani,” ujarku saat masuk kembali ke rumah Ibu.
“Entahlah, Nai. Kita jangan ikut campur, itu urusan mereka,” jawab Ibu dengan sambil menghidupkan api tungku untuk menumis kangkung yang tadi sudah kupotong-potong.
“Tapi kok ... beli mobil baru bisa, ya, Bu, mereka?” tanyaku lagi.
“Ya sudah, kita jangan ngomongin Budemu lagi. Gimana kabar rumah tanggamu dengan Yusril? Kalian ‘kan nikah tanpa pacaran kayak anak muda lainnya, apa dia baik sama kamu?” tanya Ibu yang sepertinya ingin mengalihkan topik pembicaraan.
“Alhamdulillah, baik-baik aja, Bu. Bang Yusril pria terbaik, Nai beruntung bisa dipersunting olehnya. Kalau melihat Bude yang terlilit hutang di sana-sini hanya karena pernikahan Mira, Nai sangat bersyukur nikah di KUA. Emang sih, semua itu tetap ada dampak negatif dan buruknya.” Aku tersenyum tipis.
Ibu tak menjawab ocehanku, ia terlihat masih sibuk memasak. Setelah menumis kangkung, ia melanjutkan dengan menumis cabai untuk membuat sambal geranti tempe dan ikan teri. Aku mengamatinya dan berhenti membicarakan saudara dari ibuku itu, mungkin dia tak mau kami menggunjingkan saudara kandungnya.
***
Beberapa minggu berlalu. Hari ini hari minggu, Bang Yusril tadi pagi pamit untuk pergi ke kota lagi setelah subuh-subuh pergi mencari rumput terlebih dahulu untuk majikannya itu.
Setiap sore, aku selalu menyibukkan diri dengan halaman juga tamaman cabai dan sayuran yang kutanam di samping rumah. Ada terong, timun, labu dan kacang panjang. Dengan begini, aku tak perlu repot beli sayur lagi, malahan kalau hasil tanamanku banyak, bisa dijual ke pasar.
Dari arah depan rumahku, terlihat Bude Yani dan Mira singgah. Tumben sekali mereka ke sini Cuma berjalan kaki saja.
“Nai, Bude mau minta cabemu, ya,” ujarnya dengan sambil mendekat ke arah tanaman cabaiku yang memang sudah berwarna merah.
“Iya, Bude, ambil saja! Kalau mau sayuran juga ambil saja! Tunggu sebentar Nai ambilin kantong plastik dulu,” jawabku dengan sambil berlari masuk ke dalam rumah.
Mira hanya sibuk bermain ponsel saja, sedang Bude Nani mulai mengambil cabai juga sayur-sayuranku lainnya.
Taklama berselang, Bang Yusril sudah kembali ke rumah, aku menyambutnya di depan pintu.
"Assalammualaikum," ujarnya dengan sambil tersenyum ke arahku juga Bude dan Mira.
"Waalaikumsalam, Bang." Kuraih tangannya untuk salim.
Setelah menyapa Bude dan Mira, Bang Yusril pamit masuk ke dalam rumah.
Bude mendekat ke arahku dengan kantong plastik yang sudah terisi aneka sayuran.
"Dari mana itu suamimu, Nai? Gembala kok rapi gitu, kayak kerja di kantor desa saja! Banyak gaya sekali!" cibirnya dengan nada sinis.
Darah terasa naik ke ubun-ubun juga mendengarnya, udah dikasih sayuran, eh malah sempat-sempatnya menghina suamiku.
"Satu plastik penuh gitu Bude cukup bayar Rp25.000," ujatku tiba-tiba dengan sambil menadahkan tangan di hadapan wanita yang hoby bergincu merah dengan dandanan glamar dengan emasnya yang bergelantungan di tubuh subur itu.
"Hah, jadi bayar? Bukannya tadi kamu yang nyuruh ambil sayurnya?" Bude merengut.
"Zaman sekarang nggak ada yang gratis, Bude! Nikah di KUA juga bayar loh biaya administrasinya. Buruan bayar, dilarang ngutang!" ujarku dengan nada sinis, meniru gayanya.
Dengan wajah jengkel, Bude meminta uang dengan Mira lalu menyodorkannya kepadaku.
"Berarti Bude masih hutang Rp5.000,- lagi, ya," jawabku dengan sambil menyimpan uang Rp20.000 itu ke saku celana.
Taklama kemudian, Bang Yusril sudah pamit untuk pergi lagi dengan setelann ala gembala, sungguh berbeda dengan penampilannya yang tadi.
"Loh, suamimu pergi lagi, Nai? Sok sibuk sekali dia!" Bude Nani kembali berkomentar.
Aku memutar otak otak, berusaha untuk mengarang kebohongan agar mulut Budeku ini bisa tersumpal.
"Bang Yusril mau ke rumah Juragan Burhan untuk memasukkan ternak ke kandang. Kalo tadi ... Dia dari Kota, suami Nai 'kan kerja di sana," ujarku dengan memutar otak kembali, memikirkan kerjaan yang tak jauh-jauh dari sapi.
"Kerja apa Si Yusril di Kota?" Mira yang sedari tadi hanya sibuk dengan ponsel, ikutan nimbrung juga.
"Kerja di kantor pengelolaan daging sapi .... " Aku menggigit lidah, karena kebohongan yang tak masuk di akal ini soalnya nggak ada deh nama kantor kayak gitu.
Bude dan Mira terlihat saling tatap, aku menarik napas panjang, sepertinya sebentar lagi mereka akan menetertawaiku.
Bersambung ....
Gara-Gara Nikah di KUAPart 6 : Sama-sama Hamil“Apa, kantor pengelolaan daging sapi? Kantor apaan itu? Ngarang aja deh kamu, Nai! Hahaaa .... “ Mira cekikikan dengan sambil memegangi perutnya, geli sekali hatinya itu.“Kasihan kamu, Nai! Makanya, kalau pingin punya suami yang kerja kantoran itu, jangan asal nerima lamaran pria gembala seperti Yusril. Pilih-pilih dulu, atau juga ceraikan saja di gembala miskin itu terus nyari suami baru lagi!” timpal Bude dengan mulut yang begitu lemasnya.“Mau bohong juga mesti pakai logika, Naima, masa gembala gak tamat SD gitu mau ngaku kerja kantoran! Hahaa ... orang kerja kantoran itu harus punya ijazah kuliah, S.1,” ujar Mira lagi dengan tatapan merendahkan, sedang aku hanya bisa gigit jari, tak bisa menjawab ejekannya.“Lucu kamu, Nai, suami ngga berpendidikan gitu mau dibilang kerja kantoran. Kalo suami Mira sih ... Sarjana Ekonomi, lulusan Ibu Kota, pantas sekali kerja di kantoran. Ya sudah, ayo pulang, Mir! Perut Mama sakit lama-lama di sini
Gara-gara Nikah di KUAPart 7 : Mangga Harga Sejuta“Nai, jaga ucapan kamu!” bentak Ibu tiba-tiba. “Minta maaf sama Budemu!” sambungnya dengan melotot ke arahku.Aku menggaruk dahi, merasa bersalah juga dengan ucapan yang meluncur begitu saja itu. Rasanya memang tidak pantas aku berkata demikian, duh ... Mulut ini kok mendadak jadi gini, suka nggak bisa dikontrol kata-katanya.“Maaf, Bude,” ujarku lirih.“Huh, penyakit iri dengki itu memang selalu menjadi penyakit yang berbahaya yang hanya bisa diobati jika sudah kaya benaran. Kamu sih bisa jadi kaya, cuma mimpi aja, Nai! Palingan cuma bakal kaya hati saja! Hahaaa .... " cibir Bude Nani lagi dengan sambil menetertawaiku lalu membalikkan tubuhnya. “Kasihan calon anakmu itu, dia akan terlahir dan hidup dalam kemiskinan karena bapaknya cuma gembala kere,” sambungnya dengan sinis kemudian menyeberang jalan untuk pulang ke rumahnya.Ya Allah, jahat sekali mulutnya Bude Nani. Aku tak pernah iri dengan Mira, sepupuku itu, walau nasib kami be
Gara-gara Nikah di KUAPart 8 : Tujuh BulananKututup kembali kardus buah-buahan itu dan berusaha menahan diri untuk tak memakannya sebab tak tahu itu milik siapa, barangkali saja punya orang nitip sama Bang Yusril sebab rasanya mustahil suamiku yang hanya gembala itu bisa membeli buah-buahan mahal. “Assalammualaikum.” Terdengar suara Bang Yusril dari depan pintu.Aku segera melangkah keluar dari dapur, di depan pintu terlihat suamiku dengan setelan khas saat menjadi gembala, yaitu baju dan celana panjang serta topi.“Waalaikumsalam, Bang,” sambutku dengan tersenyum ke arahnya, walau orang melihat Bang Yusril itu dekil dan awut-awutan, tapi bagiku dia tetap tampan dengan kulit kuning langsat itu juga perawakan yang tinggi tegap.Bang Yusril masuk ke dalam dengan membawa sepatu botnya, aku mengekor di belakang. Aku memberikan handuk agar ia mandi dan membersihkan diri, sedang aku membuatkannya kopi seperti biasanya.“Bang, itu kardus buah punya siapa?” tanyaku tak sabar saat Bang Yusr
Gara-gara Nikah di KUAPart 9 : Mira Pergi LahiranHari terus berlalu, aku mulai jarang keluar rumah karena malas dengan ghibahan para tetangga yang sengaja membesarkan volume suara jika melihatku lewat di jalan. Walau berusaha untuk tak memasukkan kata-kata mereka ke relung hati, tapi nyatanya aku terasa juga.“Jangan banyak melamun, Sayang!” Suara Bang Yusril mengagetkanku.Aku mendongakkan kepala saat melihat pria jangkung itu muncul dari balik pintu dengan tampilannya yang baru saja pulang dari mengembala. Dengan berpegang ke dinding, aku berusaha bangkit sebab beban semakin berat sehingga aku selalu kesusahan jika hendak bangun dari duduk atau juga bangkit dari berbaring.Dengan sigap, Bang Yusril memegang lenganku dan membantu untuk berdiri. Aku tersenyum dan hendak memeluknya.“Jangan, Dek! Nanti saja kalau Abang udah wangi.” Bang Yusril mundur ke belakang.Aku menahan tawa melihat tingkahnya yang kini malah setengah berlari menuju dapur. Aku mengekor di belakangnya untuk menyi
Gara-gara Nikah di KUAPart 10 : MengenaskanAku duduk di lantai dapur Ibu sambil menunggu kue lempeng yang sudah di dalam kuali, tinggal menunggu mateng aja. Berkali-kali aku menelan liur karena sudah tak sabar untuk menyantap kue yang tadi malam masuk ke dalam mimpi."Ini, Nai, udah mateng kue lempengnya." Ibu meletakan kue dengan bentuk lempengan itu di hadapanku."Wangi sekali, Bu." Aku mengendus bau wangi kue berbahan dasar tepung terigu itu."Ibu bikinin air teh dulu, ya, biar nggak seret makannya," ujar Ibu sambil bangkit menuju meja kayu di pojokan, tempat penyimpanan kopi gula."Maaf, Bu, Nai merepotkan." Aku nyengir dengan sambil mencomot kue lempeng buatan Ibu."Hmm ... Jarang-jarang nggak apa, jangan setiap hari saja," jawab Ibu sambil tersenyum.Aku menahan tawa dan terus menikmati kue yang memang sudah lama ingin kumakan, bahkan sampai terbawa ke alam mimpi.***Saat membuka mata subuh ini, aku langsung terbayang kue putu kuning yang dijual Mak Long Salwa di ujung jalan.
Gara-gara Nikah di KUAPart 11 : Lahiran JugaYa Allah, keadaan Mira kok mengenaskan gitu? Aku jadi takut, perasaan ini jadi tak menentu sepanjang jalan pulang ke rumah. Kuusap perut ini berkali-kali dan berdoa agar proses bersalinku nanti lancar dan bisa lahiran normal.“Naima, dari mana? Mau saya antar?” Suara Bu Bidan Maya mengagetku, dia menghentikan sepeda motornya di sampingku.“Eh, Bu Bidan .... “ Aku sedikit terkejut dengan sapaan wanita berpakaian serba putih itu, dia bidan desa yang bekerja di Pukesmas Sejahtera, dia mengontrak rumah di ujung jalan sana. “Mau ke mana kamu? Ayo saya antar!” tanyanya lagi dengan sambil tersenyum ramah.“Nggak usah, Bu Bidan, terima kasih. Saya mau pulang. Bu Bidan mau ke mana?” Aku membalas senyum ramah sang bidan.“Saya mau ke rumah Mira. Sepupu kamu ‘kan dia? Dia baru habis lahiran caesar seminggu yang lalu,” ujar Bidan Maya.“Iya, Bu Bidan, Mira sepupu saya. Eh, keadaan Mira kok bisa mengenaskan gitu? Tadi saya baru habis jenguk dia, kasih
Gara-gara Nikah di KUAPart 12 : 40 HariEmpat puluh hari berlalu, hari ini di pondok sederhanaku baru saja selesai acara bebersih sekalian naik ayunan untuk putriku, Nazia. Itulah nama pemberian Bang Yusril, katanya Nazia itu berarti seorang putri yang membawa kemulian bagi keluarganya. Aku setuju-setuju saja dan menyukai nama itu.Hari ini hari pertamanya aku dan Nazia akan keluar rumah sebab menurut tradisi di desaku ini, seorang ibu yang baru saja melahirkan boleh keluar rumah hanya setelah 40 hari melahirkan. Aku menurut saja walau seharian habis lahiran saja, aku sudah bisa jalan di rumah. Kasihan juga suamiku dan Ibu, selama 40 hari itu, merekalah yang membantu belanja. Untung saja, suamiku ini memang siaga, dia selalu menyediakan kebutuhan di rumah sebelum berangkat bekerja. Dia juga yang mencuci pakaian selama empat puluh hari ini walau aku sudah menolak, selama habis lahiran ini, dia benar-benar memanjakanku. Tugasku hanya mengurus Nazia saja, sedang tugas rumah dia yang men
Gara-gara Nikah di KUAPart 13 : Hutang Jawaban“Owee ... oweee .... “Belum sempat Bang Yusril menjawab todongan pertanyaan dariku, Nazia malah menangis tiba-tiba. Yah, kayaknya nih bayi lagi komplotan ama Ayahnya, aku mengerucutkan bibir, menahan kesal di hati.“Abang masih berhutang jawaban, ya, sama Nai!” ujarku dengan mengacungkan telunjuk ke arah Bang Yusril lalu naik ke atas tempat tidur.“Hmm .... “Bang Yusril masih terlihat gelagapan, ia tak hentinya menggaruk kepala sambil cengengesan tak jelas.Aku segera menepuk pantat Nazia, tapi ia masih saja menangis. Mau tak mau, aku berbaring juga dengan sambil memberikan ASI, barulah tangisnya mereda.Aku menoleh sekilas ke belakang, terlihat Bang Yusril sedang mengelus dadanya dengan tarikan napas yang melega. Kutepuk kembali pantat Nazia, agar ia segera terlelap agar aku bisa melanjutkan introgasi kepada Ayahnya yang selalu main rahasia-rahasiaan denganku, ‘kan sebel jadinya. Otak detektifku ‘kan jadi menjerit-jerit.Kutarik ASI se