Share

Sama-Sama Hamil

Author: Naffa Aisha
last update Last Updated: 2022-05-01 20:32:47

Gara-Gara Nikah di KUA

Part 6 : Sama-sama Hamil

“Apa, kantor pengelolaan daging sapi? Kantor apaan itu? Ngarang aja deh kamu, Nai! Hahaaa .... “ Mira cekikikan dengan sambil memegangi perutnya, geli sekali hatinya itu.

“Kasihan kamu, Nai! Makanya, kalau pingin punya suami yang kerja kantoran itu, jangan asal nerima lamaran pria gembala seperti Yusril. Pilih-pilih dulu, atau juga ceraikan saja di gembala miskin itu terus nyari suami baru lagi!” timpal Bude dengan mulut yang begitu lemasnya.

“Mau bohong juga mesti pakai logika, Naima, masa gembala gak tamat SD gitu mau ngaku kerja kantoran! Hahaa ... orang kerja kantoran itu harus punya ijazah kuliah, S.1,” ujar Mira lagi dengan tatapan merendahkan, sedang aku hanya bisa gigit jari, tak bisa menjawab ejekannya.

“Lucu kamu, Nai, suami ngga berpendidikan gitu mau dibilang kerja kantoran. Kalo suami Mira sih ... Sarjana Ekonomi, lulusan Ibu Kota, pantas sekali kerja di kantoran. Ya sudah, ayo pulang, Mir! Perut Mama sakit lama-lama di sini, Si Nai mau jadi pelawak sekarang!” Bude menatap Mira, masih dengan mode tertawa melecehkan.

Aku terdiam dengan menarik napas panjang. Kedua Ibu dan anak itu berlalu dari hadapanku dengan masih cekikikan. Salahku juga sih, yang tak pandai mengarang kebohongan sehingga tak masuk akal begitu. Hmm ... jahat sekali mereka, masa suamiku dibilang nggak berpendidikan dan nggak tamat SD. Bang Yusril itu sekolahnya sampai SMA dulu kalau nggak salah sih, kalo SMP sih satu sekolah denganku dulu tapi dia dua tahun di atasku lagi. Aku saja yang cuma tamat SMP dan tak punya biaya lagi untuk lanjut ke bangku SMA. Bang Yusril itu sejak dari SMA udah jadi gembala di rumah Juragan Burhan, tapi cuma paruh waktu saja dan dia membiayai sekolahnya sendiri. Jadi, dari kecil dia sudah terbiasa hidup susah sebab orangtuanya hanya petani upahan dan tak punya sawah sendiri.

Aku masuk ke rumah dengan suasana hati yang sedikit panas, jengkel juga lama-lama dengan mulut mereka. Bang Yusril juga sih, pakai rahasia-rahasiaan segala, jadi aku tak bisa menjawab dengan jujur ke mana ia setiap hari sabtu dan minggu itu.

***

Hari terus berlalu, apa yang kami nantikan terkabul juga. Kini aku telah mengandung buah cinta kami, Bang Yusril terlihat sangat bahagia dengan kabar dari Bidan desa kemarin. Dia mulai melarangku untuk terlalu capek, padahal kesibukanku hanya pada kebun sayurku saja.

“Sayang, kamu di rumah saja, jangan terlalu banyak main di kebun lagi,” ujarnya suatu malam.

“Di rumah juga bosan, Bang. Di kebun nggak bikin capek kok, malahan Nai senang,” jawabku sambil menatapnya.

“Abang nggak melarang Adek untuk berkebun, cuma jangan terlalu capek. Ingat istirahat!” Bang Yusril mentoel hidungku.

“Bang, hari sabtu besok bakalan pergi ke Kota lagi?” tanyaku masih dengan rasa penasaran.

“Iya, emang kenapa, Sayang? Mau ikut?” Dia mengulum senyum.

Aku tersenyum senang, dan menjawab cepat, “Emang boleh ikut? Mau dong.”

“Ya ... ngga boleh, hehe .... “ Dia terkekeh.

“Bang, bilang deh terus terang ... Abang itu ke mana setiap hari sabtu dan minggu? Abisnya Adek nggak bisa jawab kalau ada yang nanyain kepergian Abang itu.” Aku mengerucutkan bibir menatapnya.

“Bilang saja ke Kota, beres ’kan?” Dia masih saja tersenyum.

“Tapi masih aja ada yang nanyaain, ngapain itu ke Kota?” Aku masih bersungut kesal dengan menirukan gaya Ibu-ibu kepo di desa ini.

“Bilang aja, mau tahu aja atau mau tahu banget?” Bang Yusril menggerak-gerakan alisnya.

“Isshh ... nyebelin!” Aku merengut dengan melipat kedua tangan di dada.

“Hmm ... nanti kalau sudah tiba waktunya, Abang akan bilang kok, Sayang. Yang jelas, apa yang sedang Abang lakukan ini, untuk masa depan kita nanti. Semoga saja, pas calon anak kita lahir, kehidupan kita sudah berubah sedikit menjadi lebih baik. Terima kasih, ya, sudah bersedia mendampingi suami miskin seperti Abang dan rela merayap dari nol.” Bang Yusril berkata dengan raut serius.

Aku tersenyum sembari menganggukkan kepala.

“Amin, Bang. semoga usaha yang sedang Abang rahasiakan itu juga lancar biar Naima bisa dikasih tahu dan nggak mati penasaran,” jawabku.

“Huss, nggak boleh bilang gitu. Ayo tidur, sudah malam!” Bang Yusril membaringkan tubuhnya di kasur dan memberi isyarat agar aku juga segera berbaring di sampingnya.

***

Sore ini, aku sengaja pergi ke rumah Ibu dengan membawakan beberapa sayuran untuknya sambil mengintai pohon mangga tetangga barangkali saja ada yang berbuah, soalnya pohon mangga di depan rumahku tak ada yang berbuah, padahal aku sedang ngidam mangga muda.

Di depan rumah Bude Nani terlihat ada beberapa orang yang sedang berdiri di teras, aku menatap tajam sembari berbelok ke rumah Ibu.

“Assalammualaiku, Bu,” ujarku sembari duduk meleseh di lantai teras rumah Ibu.

“Waalaikumsalam, Nai, ayo masuk!” Ibu muncul ke depan pintu.

“Duduk di sini saja, Bu, sambil mantau info terkini, kali aja bakal ada adegan jambak-jambakan lagi,” jawabku dengan sambil menunjuk rumah Bude Nani.

“Hus, kamu ini, Nai, ada-ada saja. Lagi hamil muda gitu kok senangnya lihatin orang berantem,” sungut Ibu dengan kesal, namun duduk juga di sampingku.

“Lagi bawaan orok kali, Bu, hehe .... “ Aku nyengir kuda dengan sambil mengulurkan kantong plastik yang berisi sayuran itu kepada Ibu.

“Terima kasih, Nai,” jawab Ibu dengan raut senang lalu menyimpan sayurnya masuk kemudian kembali lagi kemudian duduk di sampingku.

“Gimana, Bu, kabarnya Bude Nani, apa para penagih hutang kemarin itu datang lagi?” tanyaku kepo.

“Nggak tahu deh, Nai. Kayaknya udah dibayar deh, soalnya besok Budemu itu mau ngadain syukuran atas kehamilannya Mira,” jawab Ibu.

“Mira hamil juga, Bu? Emang udah berapa bulan sampai mau bikin acara syukuran?!” tanyaku dengan sedikit kaget.

“Heh, orang susah ... orang kaya mah bebas mau ngadain pesta kapan pun! Julid amat!” Suara Bude Nani terdengar dari samping kami.

Aku dan Ibu sama-sama menoleh ke arah suara dan seperti ketangkap basah saja, yang dighibah malah nongol di depan mata. Aduduuu ... habislah kami.

“Ya deh orang kaya, semoga nanti kaya benaran dan nggak cuma kaya hutang!” jawabku ketus dengan kata-kata yang tak dapat kukontrol.

“Apa, Nai, kamu bilang apa barusan?!” Bude Nani melotot geram seakan siap menelanku hidup-hidup.

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gara-Gara Nikah di KUA   Tamat

    Gara-gara Nikah di KUABab 40 : TamatNani terdiam, sedangkan Mira sudah digandeng Duta untuk menempati kursi singgasana pengantin yang sudah disiapkan.“Ayo duduk, Bude!” Naima menggandeng Budenya yang terlihat menahan tangis karena malu akan pakaiannya yang salah kostum itu.Yusril menggendong Rayyan dan mengantarnya ke dekat Mira dan Duta. Sedangkan Naima mengajak Nani duduk di kursi paling depan, di meja yang sudah tertulis keterangan ‘keluarga inti.’“Nai, apa nggak bisa kita duduknya di kursi paling belakang aja? Nggak udah di depan seperti ini!” bisik Nani saat mata para tamu tertuju kepadanya.“Nggak bisa, Bude, ini meja yang sudah disiapkan untuk kita. santai aja, Bude, lagian nggak ada yang kenal juga kok dengan kita,” jawab Naima.“Eh, Naima, para tamu ini sepertinya para orang kaya deh. Apa duta itu orang kaya?” Husni yang sedari tadi hanya diam dan mengekor di belakang, kini angkat bicara juga.“Keluarganya Duta memang kaya-kaya, kalau dia sih nggak. Paman dan Bude, ayo k

  • Gara-Gara Nikah di KUA   Nikah di KUA

    Gara-gara Nikah di KUAPart 39 : Nikah di KUA“Doakan semuanya lancara kalau gitu, ya, Ma. Mira akan video call Mas Duta sekarang untuk memberitahukan kabar gembira ini, dia pasti senang.” Mira tersenyum dengan sambil mengeluarkan ponselnya dan melakukan panggilan video.Taklama kemudain, panggilan video langsung tersambung kepada Duta dan tampaklah seorang pria yang sedang mengaduk kopi di meja dapur kantor.“Assalammualaikum, Mira,” ucap Duta.“Waalaikumsalam. Mas, aku ada berita gembira, Mama udah menyetujui rencana pernikahan kita,” ujar Mira dengan tersenyum senang dengan sambil mengarahkan ponsel ke arah dirinya dan Nani yang sedang duduk di pinggir tempat tidur.“Alhamdulillah kalau begitu, Mir. Terima kasih, ya, Ma, sudah mau merestui rencana pernikahan kami. Kalau begitu, besok saya akan mengurus berkas-berkas pernikahan kita,” jawab Duta dengan senyum senang.“Hmm ... nikahnya ... benaran bakal di KUA?” tanya Nani ragu-ragu.Duta menahan tawa melihat raut wajah calon mertaun

  • Gara-Gara Nikah di KUA   Yakin Kamu, Mir?

    Gara-gara Nikah di KUAPart 38 : Yakin Kamu, Mir?“Baiklah, Mira terima lamaran Mas Duta. Mama akan menyetujui rencana kami ‘kan?” Mira berkata dengan cepat, sebelum Mamanya mengeluarkan kata-kata pedas.Nani menatap tajam Mira yang kini menatapnya dengan menganggukkan kepala, agar sang Mama menyetujui keinginannya.“Hmm ... yakin kamu, Mir?” Nani menghela napas panjang.“Yakin, Ma, Mira mohon Mama setuju, ya. Mira sudah dewasa dan sudah bisa menentukan jalan hidup sendiri, apalagi sekarang sudah ada pelajaran dari pernikahan pertama Mira yang gagal. Mira yakin Mas Duta bisa menjadi pendamping yang terbaik.” Mira tersenyum sambil menatap Duta lalu beralih kepada Mamanya.“Hmm ... terserah kalian sajalah. Kalau kamu memang tak memerlukan pendapat dari Mama, jadi ngapain juga pakai menyuruh pacarmu ini melamar segala, langsung nikah aja sekalian tak usah memberitahu Mama saja!” ketus Nani dengan sambil bangkit dari sofa dan melangkah dari ruang tamu.“Ma!” panggil Mira dengan hati yang

  • Gara-Gara Nikah di KUA   Lamaran

    Gara-gara Nikah di KUAPart 37 : LamaranMira masuk kembali ke rumah dan langsung masuk ke dalam kamar, hatinya terasa amat nyeri dengan air mata yang mulai berjatuhan.“Kenapa hatiku sakit melihat Mas Duta yang bukan tipeku itu bersama wanita lain?” gumam Mira dengan tak mengerti, mengapa air matanya luruh saat ini.Diraihnya ponsel dan memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang? Mira menyapu pipinya yang basah lalu menggigit bibirnya.“Pantas saja sikapnya dingin begitu, ternyata Mas Duta sudah punya wanita lain.” Mira membatin, ia tak bisa kalau tak memikirkan Duta.Untuk beberapa saat, Mira terdiam. Ia ingin memastikan perasaannya sekarang sebab ia tak bisa menghentikan pikiran tentang Duta walau sebenarnya ia tak mau memikirkan sosok duda itu.Malamnya, Mira tak dapat lagi menahan dirinya untuk mengirim chat kepada Duta. Ia ingin memastikan siapa wanita berhijab tadi, agar ia bisa menentukan sikap sebab kini ia yakin kalau ia menyukai Duta.[Assalammualaikum, maaf mengganggu,

  • Gara-Gara Nikah di KUA   Nasihat Naima

    Gara-gara Nikah di KUAPart 36 : Nasihat NaimaSorenya, Mira memutuskan untuk berjalan-jalan ke rumah Naima, sekalian menjenguk sepupunya yang baru saja melahirkan anak keduanya itu.“Mau ke mana kamu, Mir?” tanya Nani dengan sambil menggandeng tangan Rayyan, ia mengerutkan dahi melihat tampilan Mira yang mengenakan gamis walau tanpa jilbab.“Mau ke warung, Ma,” jawab Mira asal.“Ajak Rayyan, Mir!” ujar Nani dengan menunjuk cucunya.“Nggak ah, Ma.” Mira membalik badan, lalu turun dari teras rumah.Nani menghela napas, Mira semakin tak perduli dengan Rayyan. Ia begitu membencinya, padahal bocah itu tak bersalah apa pun. Akan tetapi Mira membencinya, sama seperti ia membenci Bapaknya, Amir.Taklama kemudian, langkah Mira telah tiba di rumah Naima. Ia langsung masuk sebab pintunya terbuka. Di ruang tengah, terlihat Nazia sedang bermain dan di sampingnya terdapat box adiknya yang sedang tertidur.“Naima!” ujar Mira dengan sambil duduk di sofa depan televisi.Naima yang sedang berada di da

  • Gara-Gara Nikah di KUA   Ribut

    Gara-gara Nikah di KUAPart 35 : Ribut“Astaga Mira, mau jadi apa kamu ... lewat tengah malam begini baru pulang!” omel Husni saat membukakan Mira pintu.Mira tak menjawab, ia segera masuk dan membuka sepatu hak tingginya.“Kamu dan Mamamu itu bisanya hanya bikin malu saja! Udah jadi janda aja, masih banyak tingkah! Apa yang kamu lakukan di luaran sana sampai pukul 01.00 begini baru pulang, Mira!” Husni menghalangi langkah Mira, ia tak puas jika keponakannya itu hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya.Mira menghela napas panjang, ia sedang malas ribut, suasana hatinya sedang tak baik saat ini.“Kak Nani, coba keluar sini! Urusan anak jandamu ini, jangan dibiarkan berkeliaran setiap malam begini, bikin sial rumah saja!” Husni berteriak nyaring dengan maksud ingin membangunkan seisi rumah agar keluar dari kamar masing-masing, terutama kakaknya.“Paman apa-apaan sih? Kok jadi bikin heboh begini,” jawab Mira ketus, ia kesal dengan Husni yang kini menghalangi langkahnya untuk menuju kamar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status