“Assalamu'alaikum.” Suara Intan menarik perhatian orang yang berkerumun di rumah Ibu Lastri. Mereka semua menoleh ke belakang melihat Intan yang berjalan ke arah rumah Ibu Lastri. Satu di antara kerumunan ibu-ibu itu menghampiri Intan dengan tergopoh-gopoh. “Ini Intan? Betul Intan, kan?” kata Ibu itu. Intan mengangguk dan ibu tadi langsung memeluk Intan dengan sangat erat. Ibu itu adalah Ibu Marni yang juga adik dari Ibu Lastri—ibunya Intan. “Ada apa ini, Bulek? Kenapa di rumah banyak orang?” tanya Intan sambil melihat sekeliling. “Ibumu, Nduk! Ibumu …” ujar Ibu Marni tanpa penjelasan apapun. “Ibu kenapa, Bulek? Ibu baik-baik saja, kan?” Intan mulai panik karena Bu Marni bicara sambil menangis. Tanpa menunggu jawaban Bu Marni, Intan langsung merangsek masuk ke dalam rumah. Dia meninggalkan Abid dengan Bu Marni, sedangkan Aldo ada digendongannya. “Ibu …” lirih Intan saat melihat ibunya terbaring di dipan ruang tamu. Ibu Lastri tak berdaya. Di samping Ibu Lastri, ada seorang l
“Ibu kenapa? Ibu kenal dengan Ibu Linda? Jawab, Bu!” Intan mulai ketakutan jika apa yang diucapkan Dona benar adanya. Jika melihat dari gelagat Ibu Lastri, Intan mempunyai keyakinan jika benar apa yang dikatakan Dona kepadanya. Tapi, dia juga tidak mau langsung menghakimi sang ibu sebelum tahu cerita dari pihak ibunya. “Jawab Intan, Bu! Ini sangat penting untuk Intan tahu,” desak Intan. “Apa benar Ibu ada hubungan dengan suami Ibu Linda?” Intan terus saja mencecar ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dia bahkan lupa kalau sang ibu baru saja sakit. “Tidak! Bukan begitu, Intan. Mana mungkin Ibu mengkhianati ayahmu. Semua itu fitnah,” sanggah Ibu Lastri dengan cepat. “Lalu, kenapa Dona berkata lain, Bu? Dia bilang kalau Ibu dan ayahnya main belakang. Yang benar yang mana? Apa Ibu tahu sekarang aku kena imbasnya?” Intan tak tahan lagi. Dia menangis sesenggukan. Menangis tanpa suara sangatlah menyakitkan. Dia sebenarnya mencoba untuk kuat, tapi nyatanya tak bisa. “Kamu kenapa, N
Setelah Intan berangkat, Ibu Lastri kembali masuk ke dalam rumah untuk menemani cucu-cucunya bermain. Badannya memang sudah lebih baik karena sudah minum obat. Jika tidak bertemu dengan anak majikannya itu, Ibu Lastri tidak tahu lagi nasibnya. Bisa jadi dia sudah beda alam dan tidak bisa lagi bertemu dengan anak serta cucu-cucunya. “Kakak sama adik main apa ini? Masya Allah akur terus, ya, cucu nenek. Nenek boleh ikut main?” ujar Ibu Lastri. Dia ikut duduk bersama kedua cucunya. Abid dan Aldo kompak menganggukkan kepala. Selain karena obat, Ibu Lastri bersemangat sembuh karena anak dan cucunya pulang. Walaupun kedatangan anaknya memberi kabar kurang baik, Ibu Lastri tetap bersyukur karena masih diberi umur untuk bertemu sang anak. Setengah menemani cucunya main selama kurang lebih satu jam, Ibu Lastri terlihat duduk di atas dipan sambil melihat kedua cucunya yang sedang menonton televisi. Pikiran Ibu Lastri kembali teringat akan pertanyaan yang dilontarkan Intan kepadanya. Ingata
“Bukannya kamu yang kemarin menolong Ibu saya?” ucap Intan ketika melihat Bagas di rumah yang dia tuju. Bagas mengangguk dan berkata, “Iya. Kenapa kamu kemari?” “Kemarin saya belum berterima kasih. Mumpung sekarang ketemu, saya ucapkan terima kasih karena berkat kamu, Ibu saya sekarang baik-baik saja,” ujar Intan sambil menunduk sebentar. “Saya kemari untuk menggantikan Ibu saya agar Ibu bisa istirahat lebih dulu,” sambung Intan lagi. “Oh begitu. Kal—“Ada siapa, Gas?” Ada seseorang yang memotong ucapan Bagas. Mata Intan tertuju pada sumber suara. Dari arah dalam rumah, muncul wanita cantik bergamis dan berjilbab bergo warna merah maroon. Wanita itu diperkirakan berumur lima puluhan tahun. Walaupun sudah kepala lima, wanita itu terlihat masih muda dan cantik. “Ini ada anak Ibu Lastri, Ma. Katanya dia mau gantiin Ibu Lastri sementara waktu,” kata Bagas menjelaskan. Ternyata wanita itu adalah ibunya Bagas yang itu berarti majikan Ibu Lastri yang bernama Ibu Dewi. Dalam hatinya, I
Ibu Lastri kembali bercerita soal masa lalu. Ternyata Ibu Dewi dan Ibu Lastri dulunya bersahabat. Persahabatan mereka sangat erat bahkan sampai menikah pun mereka di tahun yang sama. Saat memiliki anak, keduanya berencana menjodohkan anak mereka berdua. Walaupun pada akhirnya kedua anak mereka tak berjodoh karena pada waktu itu Ibu Dewi pindah ke luar negeri ikut suaminya. “Apa kamu lupa sama Bagas, Nduk? Dulu kalian sering bermain bersama saat masih kecil. Umur kalian saat itu tiga tahunan.”“Pasti kalian berdua tidak ingat. Tapi tak apa. Itu kenangan terindah buat Ibu karena saat itu ayahmu masih hidup.” Ibu Lastri menghela nafas berat. Rasa rindu pada orang yang sudah tidak bisa dilihatnya adalah hal yang menyakitkan. Betapa beruntungnya dia memiliki seorang suami yang sangat sabar dan mau menerima kekurangannya. Menurut cerita Ibu Lastri juga, ayah dari Dona kabur begitu saja dan sampai sekarang tak diketahui rimbanya. Mungkin karena itulah Ibu Linda menjadi depresi. Intam ki
"Apa? Kok bisa?" pekik Agung saat istrinya membuat pengakuan mengejutkan. "Apa kamu gak sadar, Mas, kalau kamu sudah lebih dari setahun kerja serabutan? Anak kita sudah dua, Mas! Kebutuhan kita tambah banyak. Belum lagi untuk bayar tagihan listrik, kontrakan, wifi dan lain-lain," jawab Intan tanpa melihat ke mata Agung karena dia takut. ***Sudah lebih dari satu tahun yang lalu Intan bermain dengan aplikasi pinjaman online. Yang awalnya hanya sembilan ratus ribu, kini hutang Intan mencapai puluhan juta. Sungguh Intan tak menyangka jika yang awalnya hanya satu aplikasi kini berubah menjadi beberapa aplikasi. Itu terjadi karena Intan hanya melakukan gali lubang tutup lubang. Di saat Intan menjumlahkan jumlah hutang di beberapa aplikasi tersebut dia sangat terkejut karena tak menyangka sebanyak itu. Ada dua aplikasi yang akan jatuh tempo dua hari lagi dan saat ini di dompetnya hanya ada uang lima puluh ribu. Intan kalut dan kebingungan karena tak ada uang. Dia pun mencoba mencari-ca
Agung mematung sejenak. Dia mencoba mencerna ucapan Intan yang baru saja keluar dari mulut. "Pinjol? Kok bisa?" Pertanyaan itulah yang pertama kali diucapkan oleh Agung. "Karena semakin hari kebutuhan kita semakin banyak. Aku juga gak mengira bisa terjebak di lingkaran ini, Yah. Maafin aku, Yah!" Intan selalu meminta maaf di setiap kalimat yang dia katakan. "Berapa hutangnya?" tanya Agung dengan raut wajah yang jelas sangat kecewa dengan Intan. "Tiga puluh juta, Yah," jawab Intan. Kepalanya masih menunduk. Dia sangat ketakutan sekali jika Agung marah padanya. Sungguh Intan tak menyangka jika angka hutangnya menyentuh angka besar. Dia selama ini tidak pernah menghitungnya. Dan kemarin dia dengan iseng menulis dan menjumlahkan semuanya. Tentu saja Intan terkejut. Dia semakin pusing karena tidak tahu bagaimana akan membayarnya. "Apa? Astaga! Uang sebanyak itu kamu buat apa? Gak habis pikir aku sama kamu!" Agung pun juga terkejut. Tiga puluh juta itu bukan nominal yang kecil. Agung
Satu jam lamanya Intan berpikir antara maju dan mundur. Selama itu pula tidak ada tanda-tanda kepulangan dari Agung. Hingga akhirnya jari lentiknya mentransfer uang lima ratus ribu kepada joki pinjol. [Sudah saya transfer, Kak. Ini buktinya!] Intan mengirim pesan beserta bukti transfer pada jasa pinjol. [Baik, Kak, akan kami proses. Mohon menunggu sebentar.] balas joki itu dengan cepat. Intan kembali menunggu sambil harap-harap cemas. Dia takut kalau dia tertipu lagi. Tak sampai sepuluh menit joki itu kembali mengirim pesan kepada Intan. Inti dari pesan itu adalah keharusan memilih paket yang isinya jumlah uang yang akan cair. Paket itu mulai dari satu setengah juta rupiah hingga dua belas juta. Menurut joki itu uang yang ditransfer itu hanyalah sebagai deposit yang nantinya akan ditransfer kembali saat uang yang dijanjikan cair. [Memangnya harus deposit, ya, Kak? Saya sudah tidak punya uang lagi, Kak. Tolong saya, Kak!] Intan kembali mengiba dan merengek kepada joki pinjol. [Mo