Aku langsung menatapnya tajam, "kamu kebiasaan deh suka cium-cium. Otak mesumnya dikurangin bisa?" Protesku padanya.
Jendra tertawa mendengar protesku, lalu mencubit pelan hidungku, "sakit tahu" aku menepis tangannya yang mencubit hidungku."Kamu sih ngegemesin, nikah aja yuk""Mulutnya, jangan aneh-aneh ya" ancamku padanya untuk meningkahi salah tingkahku karena ucapan Jendra barusan.Lagi Jendra menatapku dengan lembut, "aku serius sayang, lagian tadi di depan wartawan kan aku udah bilang kalau kamu calon istriku."Aku berdecih, "ck itu mah jawaban ngaco kamu biar gak di kejar-kejar pertanyaan wartawan mulu. Oh iya kok bisa ada pertanyaan dari wartawan tentang calon istri ya?"“Biasa wartawan suka gitu, lihat aku sama cewek aja langsung digosipin. Makanya udah gak kaget kalau ada pertanyaan kayak gitu.” Aku memutar bola mata malas mendengernya.Lalu aku teringat sesuatu, "Dra, tadi kan ada yang mencet bel, kenapa ga di bukain pintu?""IAku berjalan ke dalam kamar mandi membawa kaos dan handuk yang tadi diberikan oleh Jendra. Di dalam kamar mandi, aku berhenti di depan kaca. Menatap bayangan diriku disana, memegang pipiku yang memerah malu. Aku masih tidak percaya, rasanya seperti mimpi kalau Jendra benar mencintaiku. Menggelengkan kepala, aku kembali mengusap wajahku yang masih ada sisa-sisa air. Selesai mandi, ternyata Jendra masih berada di dalam kamar. Dia saat ini sedang duduk di ujung kasur dengan kepala tertunduk, sibuk dengan ponselnya. Begitu mendengar aku memanggilnya, Jendra baru menegakkan kepalanya. Bukannya menjawab panggilanku, dia malah diam sambil terus menatapku. Aku menunduk melihat penampilanku, kaos hitam yang tadi diberikan Jendra saat aku kenakan hanya bisa menutupi bagian atas tubuhku 5 cm dari lutut, aku tidak menggunakan celana kerjaku lagi, karena menurutku akan membuatku gerah. "Dra, kenapa sih ngeliatinnya gitu?kependekan ya?aku pake celana kerjaku lagi aja deh." Ucapku, yang
"By the way emang kamu gak apa-apa besok cuti. Bukannya jadwal Walikota lagi padat-padatnya?" "Gak apa-apa lah, selama ini aku juga belum ada cuti sama sekali. Malah kadang sabtu atau minggu aku masih kerja." "Kok bisa kamu kepikiran buat cuti hari ini?" Tanyaku penasaran. "Ya buat jaga-jaga aja kalau kamu gak mau ketemu aku lagi, dan kamu ga mau dengerin penjelasanku, jadi aku gak perlu bolak balik." "Halah, tapi kamu pakai jebakan biar bisa ketemu aku. Kamu sogok apa Tina sampai dia mau kerjasama?" "Itu namanya trik sayang, coba kalau aku datang ke kantor kamu, pasti kamu bakalan lebih marah sama aku terus semakin sulit buat aku ketemu kamu. Atau aku ke apartemen, udah pasti kamu ga bakalan bukain pintu." "Iya sih, kalau kamu nekat datang ke kantor aku bakalan marah banget dan bakalan bikin gempar juga di kantor." Terdengar bunyi bel, segera Jendra berdiri untuk membukakan pintu. Mungkin Mas Aldo yang mengantarkan makanan. Sesaat setelah Jendra m
Oh iya, mengenai kedatanganku yang tiba-tiba semalam, kedua orang tuaku cukup terkejut karena sebelumnya aku sama sekali gak ngasih kabar akan pulang. Mama langsung mencercaku dengan pertanyaan aku pulang dengan siapa, kenapa beberapa minggu ini gak pulang, tiap di telepon susah. "Tadi siapa yang nganterin Kakak?Tumben gak naik kereta?" "Pulang bareng temen Mah, lumayan irit ongkos." dustaku pada Mama. "Kenapa gak disuruh mampir dulu, gak sopan banget kamu udah numpang tapi gak nawarin mampir." Aku hanya nyengir mendengar omelan Mama, "dia sibuk Mah, udah ditungguin juga sama keluarganya." Dan akhirnya malam itu aku dan Mama bercerita-cerita sampai malam sambil menunggu Stevan pulang. Kembali lagi tentang Jendra yang memaksaku untuk ikut pada kunjungannya. Aku sudah selesai bersiap-siap saat mendengar ponselku berdering. "Iya halo Dra. Iya ini udah selesai bentar lagi aku keluar." “Aku perlu turun gak?” tanyanya. “Ga usah macem-macem gak
Tak terasa sudah hari Senin lagi. Setelah dadakan cuti hari Jumat kemarin, Shela langsung memberondongku dengan pertanyaannya. Kami baru sempat bertemu di kantor, karena kemarin aku kembali ke apart malam hari. Salahkan saja Jendra yang menahanku di apartnya begitu kami sampai di Ibukota. Dia baru mengantar ke apartku ketika dia akan kembali ke kota M."Lo kemana aja selama cuti kemarin?tumben banget cuti dadakan gak ngabarin gue dulu. Gue cari lo di unit juga gak ada.""Gue di culik Jendra, gak di pulangin ke apartemen." Jawabku cuekShela melototkan matanya, "seriusan?bukannya lo gak mau ketemu dia lagi?"Sebelumnya aku sudah menceritakan semuanya pada Shela. Karena waktu malam itu dia menemukanku menangis di apartemen sendirian. Akhirnya aku mencurahkan semuanya pada Shela."Hmmm dia nyuruh Tina buat janjian ketemuan sama gue, eh ternyata yang datang malah Jendra. Dan akhirnya di cafe itu chaos gara-gara banyak wartawan.""Oh gue tahu, gue sempet ba
Pagi ini aku terbangun dengan mata yang sembab. Tadi selesai mandi, aku berkaca dan mataku terlihat bengkak. Ternyata bukan hanya hatiku yang berantakan, tapi wajahku kini terlihat sama mengerikannya juga. Meskipun sudah menggunakan concealer untuk menyembunyikan lingkar hitam di bawah mata, tapi tidak banyak membantu. Semalaman aku terus menangis. Hatiku masih terus merasa sesak setiap mengingat foto itu. Masih teringat jelas dalam ingatanku, foto yang diambil dari sisi samping itu, menampilkan Jendra dan Tari. Tidak perlu melihatnya 2 kali, terlihat jelas wajah dan postur tubuh itu milik Jendra. Aku yang sudah pernah melihatnya shirtless ataupun saat mengenakan baju, aku langsung mengenali bahwa itu Jendra. Aku ingin menyangkal tentang kebenaran foto itu, tapi semuanya tampak nyata. Dan ancaman yang dilontarkan Tari, membuatku tidak mempunyai pilihan lain. Aku juga memikirkan bagaimana nanti aku menghadapi Jendra. Aku ingin segera mengkonfrontasinya, meskipun aku tahu na
"Ya halo?" jawabku. "Mbak Dela masih belum jauhin mas Jendra?Jangan dikira aku ga ngawasin mbak ya." Aku menghapus air mataku yang kembali menetes, "aku butuh waktu buat bicara sama Jendra." Terdengar suara Tari yang tergelak, "butuh waktu?tadi mbak udah ketemu sama mas Jendra, kenapa ga bilang langsung aja, ngapain di tunda-tunda." "Gak semudah itu Tari." "Mbak jangan anggap ancaman aku cuman gertakan aja ya, kalau sampai kesabaranku hilang. Tinggal tunggu saja kabar kehancuran mas Jendra di media massa. Aku sudah pernah bilang, aku gak masalah kalau harus hancur bareng mas Jendra." "Jangan macem-macem kamu Tari." Ucapku geram. "Makanya jangan buat kesabaranku habis. Aku tunggu kabar selanjutnya." Panggilan Tari berakhir. Aku menatap kosong ke depan, semakin kalut setelah menerima telepon dari Tari. Lama terdiam, tiba-tiba suara bell berbunyi, aku berjalan menuju pintu untuk membukanya. "Selamat malam, pesanan atas nama Dela."
Namun, dugaanku salah. Ternyata Jendra masih belum tidur. 5 menit setelah pesanku terkirim, dia langsung meneleponku. Aku yang tidak sanggup bicara dengan Jendra, memilih mengabaikannya. Puluhan kali panggilan masuk, sampai akhirnya dia mengirim pesan. Jendra : Sayang?Sayang, angkat telepon aku. Becanda kamu gak lucu ya. Aku hanya membaca dan mengabaikan pesannya. Kembali ada pesan masuk dari Jendra. Jendra : Jangan kayak gini, jelasin maksud pesan kamu sayang. Please, kita baru mulai, kenapa kamu tiba-tiba bilang kayak gitu. Kamu gak bisa ngambil keputusan gegabah Dela. Pesan dan panggilan dari Jendra terus masuk ke dalam ponselku. Aku takut saat berbicara dengan Jendra akan membuatku menyerah. Malam ini aku matikan ponselku. Aku yakin Jendra tidak akan kesini, karena besok dia masih harus bekerja. ***Ternyata perkiraanku lagi-lagi salah, pulang kerja aku menemukan Jendra di depan pintu aparte
Setelah kepergian Jendra kemarin, sama sekali tidak ada pesan atau telepon darinya. Pagi ini aku memutuskan untuk mengajak Shela membeli sarapan di luar. Aku ingin menghirup udara segar, agar bisa mengurangi sesak di hatiku. Aku menunggu Shela di lobby, karena tadi dia bilang sudah siap. Saat menunggu Shela, ada pesan masuk dari Mama yang menanyakan kabarku. Dan tentu saja aku menjawab bahwa aku baik-baik saja, dan meminta maaf karena beberapa minggu ke depan mungkin aku tidak bisa pulang. "Ya Ampun Del, mata lo parah banget sih bengkak kayak gitu." Begitu sampai Shela langsung terkejut melihat keadaan mataku. Aku mengedikkan bahu, "ntar juga kempes sendiri, tadi udah gue kompres kok." "Sumpah lo nangis berapa lama sampek bengkak gitu?semalem gue samperin lo gak mau." Semalam Shela meneleponku mengajak untuk beli makan diluar karena dia melihatku seharian kemarin lemes dan tidak bersemangat, jadi dia berinisiatif mengajakku keluar untuk refreshing. Namun saa