Gara-gara reuni, Adelia Putria kembali bertemu dengan Jendra Andriansyah, teman sebangkunya. Pria itu bahkan sudah menjabat sebagai wali kota! Hanya saja, Dela tak menyangka jika keduanya semakin dekat, tetapi status sosial di antara mereka membuat Dela ragu. Terlebih, Ibu Jendra menginginkan menantu dari keluarga yang setara untuk mendukung pria itu di periode kedua. Lantas, bagaimana kisah keduanya?
Lihat lebih banyak"Hadeuh," lirihku malas melihat ponselku yang terus saja berbunyi.
Ya, meskipun setiap hari selalu begitu karena grup W******p dari anak-anak kantor, kali ini jauh lebih berisik karena grup W******p reuni SMP yang baru aku ikuti.
Yang membuatku sebal, sejak tadi mereka masih ribut melakukan pengambilan suara untuk menentukan tanggal pelaksanaannya. Mereka masih menemui jalan buntu karena sebagian besar teman-temanku di perantauan—hanya beberapa yang masih menetap di Kota Aare.
Anyway, namaku Adela Putria, biasa dipanggil Dela. Usiaku menginjak 28 tahun ini, bekerja sebagai salah satu pegawai di kantor pemerintahan setingkat kota administratif di Kota Metropolitan Milton—ibu kota .
Aku berbeda dengan orang lain yang harus dipaksa untuk menjadi seorang pegawai pemerintahan. Pekerjaanku sekarang adalah salah satu impianku dan orang tuaku. Selain ingin mengikuti jejak ayahku, aku ingin di hari tua nanti mempunyai uang pensiun setiap bulannya. Terjamin, kan?Kembali lagi ke reuni SMP ini. Sejujurnya, aku malas ikut acara seperti ini, sudah lebih dari 15 tahun tidak berkontak dengan teman-teman, bahkan aku mulai lupa beberapa wajah dan nama. Bukannya sombong, hanya saja aku baru ganti ponsel karena yang lama sudah rusak. Aku belum banyak menyimpan kontak lagi. Masuknya aku ke grup reuni ini juga gara-gara Tina, sahabatku sedari SMP.Akhirnya, aku cuma jadi silent reader di grup reuni. Dulu, di SMP, aku hanya punya beberapa teman akrab, sedangkan yang lainnya hanya teman sekadar kenal karena sistem rolling class yang membuat kami harus saling berkenalan setiap tahunnya."Ngapain lo mantengin ponsel mulu, pake manyun segala?"Yang bertanya itu Shela, teman kantorku sekaligus tetangga apartemenku sejak kuliah di ibu kota ini. Saat masih kuliah, kami sama-sama menyewa kos sekitaran kampus. Setelah bekerja dan memiliki tabungan yang cukup, kami memutuskan pindah ke apartemen karena privasi kami lebih terjaga. Apalagi setelah bekerja, kami sangat membutuhkan waktu istirahat yang cukup."Ini, nih, grup SMP gue, berisik banget bahas-bahas reuni. Gue males mau datengnya," jawabku sambil merengut kesal."Dateng ajalah, siapa tahu lo dapat jodoh dari reuni itu. Emang kapan, sih, acaranya?""Tau, nih, masih voting buat tanggalnya.""Ya udahlah, lo dateng aja. Gratis juga, kan, acaranya? Lagian lo juga udah lama gak pulang.""Hmm ... ntar gue pikirin lagi, deh."Tapi, memang benar kata Shela, aku sudah lama tidak pulang ke rumah. Mungkin sudah saatnya aku pulang sekalian bertemu lagi dengan teman-teman lama.Setelahnya kami sama-sama diam sambil menatap ponsel masing-masing. Aku dan Shela sedang makan malam di dekat apartemen. Setelah pulang kerja kami memutuskan langsung mampir beli makan. Jarak dari kantor ke apartemen hanya sekitar 15 menit, setiap hari aku membawa motor kesayanganku bersama Shela. Sesekali—terutama kalau cuaca sedang tidak menentu—bergantian dengan Shela, aku menumpang mobilnya.***Jumat ini aku memutuskan untuk pulang ke Aare , kota kelahiranku. Setor muka ke orang rumah sekalian datang ke acara reuni yang akan diadakan hari Sabtu besok. Karena desakan Tina, aku akhirnya memutuskan untuk hadir di reuni.Sepulang kerja, aku langsung menuju ke stasiun untuk pulang ke kotaku. Menggunakan alat transportasi kereta api di saat akhir pekan seperti ini adalah pilihan yang bijak, mengingat banyaknya pekerja yang pulang sekaligus melepas penat di Kota Aare. Menggunakan kereta, perjalanan dari ibu kota Milton ke Kota Aare hanya memakan waktu dua jam. Jauh lebih cepat dibanding harus bermacet-macetan di jalan. Jika lancar saja bisa memakan waktu tempuh satu setengah jam dari Kota Milton ke Kota Aare, bagaimana kalau macet?Itulah salah satu alasanku menyewa tempat tinggal di dekat kantor. Aku tak sanggup kalau harus setiap hari pulang pergi. Sudah lelah bekerja, aku tidak sanggup kalau masih harus berkutat dengan kemacetan saat perjalanan pulang.Adikku, Stevan, menjemput di stasiun. Adik kesayanganku dan satu-satunya. Kami 2 bersaudara, maka tidak heran jika kami sangat dekat. Saat ini Stevan sedang menjalani kuliah semester 4."Hai, Kak. Gimana perjalanannya?" sapanya sambil memelukku."Capek banget, lumayan penuh tadi keretanya. Jemput pakai apa lo ke sini?" tanyaku sambil mengikuti Stevan ke parkiran."Tuh, naik motor. Malas pakai mobil, pasti macet banget.”Aku yang melihat motornya hanya bisa melongo. "Lo gak salah bawa motor ini?""Emang kenapa, sih, Kak?" tanyanya tanpa merasa bersalah sedikit pun.Karena yang lo bawa itu motor ninja, Stevan! Kedua tanganku mulai risi menarik-narik rok seragam kerjaku supaya menutupi bawah lutut—walau sebenarnya tidak berefek apa pun sama sekali."Lo gak lihat gue pakai rok, hah!" seruku pada Stevan."Ck, ribet banget dah lo. Nih, pakai jaket gue. Lagian kenapa tadi gak ganti baju dulu?"Aku merengut menatap Stevan. "Mana sempet! Kan gue harus ngejar kereta, ntar kemaleman!"“Ya udahlah, naik aja, sih. Ntar makin kemaleman kalo lo ngomel terus.”Aku mencebik. Akhirnya, dengan sangat terpaksa aku menaiki motor Stevan—itu pun harus dibantu tangan Stevan saat aku menaikinya. Apa dia tidak sadar, motor ini tinggi, sedangkan aku pendek dan menggunakan rok pula. Dasar adik durhaka.Motor Stevan melaju membelah jalanan Kota Aare. Benar saja, jalanan mulai padat kendaraan. Seperti biasa setiap weekend, pasti Kota Aare selalu macet karena banyaknya wisatawan yang mengunjungi tempat-tempat wisata di sini. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai rumah."Dela pulang, Ma, Pa!" teriakku pada Mama dan Papa yang sedang menungguku di ruang tamu."Duh, akhirnya anak Mama ingat pulang juga," jawab Mama menyindirku.Begitulah sambutan Mama setiap aku lama tak pulang. Padahal baru sebulan yang lalu aku pulang ke rumah, tapi memang waktu sebulan terhitung lama bagi Mama."Dih, apaan sih, Ma? Baru juga bulan lalu pulang," protesku tak terima pada Mama."Ya ... kamu. Dari ibu kota ke sini, kan, deket banget, malah jarang pulang.""Sudah, sudah. Anaknya baru dateng udah diajak berantem." Papaku pun ikut menyahut untuk menengahi kami.Seperti biasa, setiap pulang ke rumah, hal pertama yang kulakukan adalah menuju meja makan. Aku sudah rindu masakan Mama. Di ibu kota banyak makanan enak, tapi masakan Mama tetap paling juara.Mama menyusulku ke ruang makan, sedangkan Papa tetap di ruang tamu melanjutkan membaca koran, dan Stevan sudah masuk ke dalam kamarnya."Gimana, Kak, besok jadi ke acara reuni yang diadain Wali Kota baru itu?""Iya, jadi, Ma. Besok jam 4 sore," jawabku sampai melahap soto ayam buatan Mama."Kakak berangkat sendiri atau bareng temen?""Sama Tina. Mama inget, kan, sama Tina?""Ingetlah, yang dulu sering main ke sini, kan?"Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. Mama memang mempunyai daya ingat yang kuat. Setiap teman dekatku yang kukenalkan pada Mama, Mama pasti ingat."Sekalian kamu cari jodoh, Kak. Udah usia 28 tahun, loh, masak masih jomlo juga."Aku mengibaskan tangan di depan wajah. Mama mulai lagi, tiap pulang pasti ditodong tentang jodoh."Mulai, deh, mama. Ntar juga dateng sendiri jodohnya.""Masak kakak kalah sama Stevan? Dia aja udah punya cewek, tuh."Menelan kunyahan terakhir makananku, aku pun menjawab cibiran mama. "Kan, si Stevan emang playboy, Ma. Ceweknya pasti beda dari yang bulan lalu."Setelah mengucapkan itu, aku beranjak dari meja makan dan mencuci piring bekas makanku."Udah, ya, Ma, bahas jodohnya. Jodoh gak bisa dipaksain. Kalau udah waktunya pasti datang sendiri. Kakak naik ke kamar dulu, ya, mau mandi," pamitku sekaligus mengakhiri pembahasan tentang jodoh ini. Sekilas aku mendengar dengkusan Mama karena jawabanku. Yah, mau bagaimana lagi. Jodoh, kan, memang tidak bisa ditebak kapan datangnya.Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen