Cahaya matahari perlahan mulai menampakan cahayanya dari balik awan. Seorang gadis berambut coklat panjang tersenyum saat mendapati langit mulai terlihat cerah.
"Akhirnya hujan sudah berhenti." Gadis itu dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya mulai berdiri dari posisi duduk. Merapikan pakaian yang terlindungi jas hujan biru muda, ia lalu mengambil dua keranjang yang berada di sebelah kanannya. Di tangan kanannya terdapat sebuah keranjang berukuran sedang berisi berbagai jenis jamur, sedangkan di tangan kiri gadis itu terdapat keranjang berukuran lebih besar yang berisi berbagai macam buah.
"Saatnya pulang, aku harap mereka puas dengan ini semua." Gadis itu berjalan perlahan menyusuri hutan. Sesekali senandung kecil terdengar dari mulutnya sebagai teman perjalan pulang.
Udara terasa lebih dingin dari biasanya, terlebih setelah hujan cukup lebat membasahi hutan tersebut. Beberapa kali gadis itu mengeluh merasakan dingin yang menusuk tubuhnya hingga ke tulang, terlebih dirinya hanya menggunakan pakaian dan jas hujan yang tipis. Ingin berjalan lebih cepat, tetapi kondisi tanah yang licin setelah hujan mengurungkan niatnya. Sebenarnya pemandangan di dalam hutan tidak buruk, bahkan bisa dibilang mengagumkan. Hanya saja udara yang sedang tidak bersahabat membuat pemandangan tersebut terasa susah untuk dinikmati.
Menghela nafas pelan, wajah gadis itu terlihat kesal. Ia mempercepat sedikit langkah kakinya berharap akan segera sampai ke rumah dan bisa menghangatkan diri. Sayangnya, karena keinginan untuk cepat menghangatkan diri tersebut membuatnya salah melangkahkan kaki hingga ia terjatuh, membuat isi kedua keranjang yang sedang ia bawa berhamburan. Mengerang kesal, gadis itu segera memasukan kembali buah-buahan serta berbagai jenis jamur ke dalam keranjang. Dengan perlahan ia segera bangkit dan melanjutkan langkahnya, masih dengan langkah yang terkesan cepat tetapi lebih berhati-hati agar tidak terjatuh lagi. Wajahnya terlihat semakin kesal. Bagaimana tidak, wajah dan pakaiannya kotor karena bekas tanah, di bagian lutut kanan dan siku kirinya terdapat luka kecil yang terasa agak perih. Di betis kiri terdapat lebam yang cukup besar, sepertinya akan membuat betis kirinya dihiasi warna biru untuk beberapa hari kemudian.
Senyum kecil terukir di bibirnya saat gadis itu melihat jalan setapak di ujung jalan yang ia lalui, menandakan sebentar lagi ia akan keluar dari hutan. Gadis itu semakin mempercepat langkahnya, mengabaikan lutut dan siku yang terasa lebih perih dari sebelumnya. Saat kakinya memijak jalan setapak, ia berseru senang seakan baru saja memenangkan uang bernilai besar, membuat orang-orang yang berjalan di sekitar hutan memandangnya heran sebelum tertawa kecil.
"Apa kau baru kembali dari mencari jamur dan buah-buahan seperti biasanya, Gardenia?" tanya seorang wanita tua dengan ramah. Di samping wanita tua itu terdapat seekor anjing Saint Bernard.
Gardenia tertawa kecil dan mengangguk pelan. "Hum, wanita menyebalkan itu seperti biasa memintaku untuk mencari jamur serta buah-buahan di hutan. Padahal jika ia memberikanku uang, aku bisa mendapatkannya dengan mudah di pasar. Dasar wanita yang pelit," ucap Gardenia kesal.
"Bagaimanapun juga ia ibumu, tidak baik mengatakan ia seperti itu," ucap wanita tua itu lalu tertawa pelan. Dengan lembut, tangan yang penuh keruput itu mengelus pelan pipi Gardenia yang terdapat noda tanah, membuat Gardenia tersenyum kecil mendapat perlakuan lembut.
"Sayangnya dia bukan ibuku, Nyonya Lloyd. Dia hanya seorang wanita asing yang dinikahi ayahku setelah beberapa bulan kematian ibuku."
Gardenia terlihat tidak senang saat mengatakan hal tersebut. Menghela nafas berat, Gardenia mengukir senyum tipis di bibirnya.
"Apa kau sedang berjalan-jalan sore bersama Tommy, Nyonya Lloyd? Tapi sekarang udara sedang terasa lebih dingin dari biasanya, apa kau tidak apa-apa berjalan-jalan saat kondisi udara seperti ini?"
Nyonya Lloyd tertawa kecil, wanita tua itu kembali mengelus pelan pipi Gardenia. "Walau aku seorang wanita tua sekarang, jangan lupakan aku salah satu mantan pelatih hebat di akademi, Gardenia. Udara seperti ini tidak akan berpengaruh padaku. Dan terimakasih sudah mengkhawatirkan keadaanku Gardenia. Sebaiknya kau segera pulang dan bersihkan dirimu, aku yakin kau tidak ingin mendengarkan ceramah dari ibumu itu kan?"
"Dia bukan ibuku, Nyonya Lloyd. Berhati-hatilah, aku pulang dulu. Sampai jumpa lagi Nyonya Lloyd." Gardenia mengelus sebentar kepala Tommy, anjing nonya Lloyd, dan kembali berpamitan sebelum kembali melangkahkan kakinya menuju rumah.
Sepanjang perjalanan pulang, Gardenia menyapa ramah orang-orang yang berpapasan dengannya, terkadang mengobrol sebentar untuk berbasa-basi. Senyum kecil selalu terukir di bibirnya, tetapi saat melihat pintu pagar rumah tempat ia tinggal, senyum itu segera hilang, tergantikan dengan raut wajah kesal dan sedikit sorot mata yang dihiasi amarah. Gardenia menghela nafas berat untuk kesekian kalinya.
"Ini aku, Gardenia Nelson, cepat buka pagarnya!" ucap Gardenia dengan suara keras dan terkesan berat.
Dari dalam terdengar suara langkah kaki yang terburu buru menuju pintu gerbang dan segera membukanya. Terlihat seorang pria paruh baya dan dua orang wanita muda yang sedikit membungkukan badan menyambut kedatangan Gardenia.
"Selamat datang kembali, Nona Gardenia."
Gardenia segera melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah dan membalas sapaan ketiga orang yang menyambut kepulangannya dengan ramah. Dua orang wanita tadi segera mengambil keranjang yang dibawa Gardenia, dan pergi membawa keranjang tersebut. Gardenia kembali melanjutkan langkahnya di temani pria paruh baya yang menyambutnya.
"Paman Lewis, apakah wanita itu dan anaknya ada dirumah?"
"Nyonya Nelson dan Nona Loreen sedang pergi berbelanja, Nona Gardenia."
Gardenia tersenyum kecil mendengar perkataan pria paruh baya tersebut. Dengan wajah bahagia ia segera memasuki rumah dan segera menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Selesai membersihkan diri dan mengobati lukanya, Gardenia segera turun menuju dapur. Di dapur Gardenia melihat beberapa pelayan yang sedang menyiapkan makanan untuk makan malam. Dengan santai Gardenia mendekati seorang pelayan yang terlihat sudah tua, dan memeluknya.
"Bibi, aku lapar, apa aku bisa makan sekarang?" ucap Gardenia dengan suara sedih
Pelayan yang sedang Gardenia peluk tersenyum kecil. "Saya akan menyiapkan makanan untuk Anda. Nona Gardenia bisa menunggu saya di kamar."
Gardenia mengangguk pelan dan segera pergi. Sebelum keluar dari dapur Gardenia terlebih dahulu mengambil sepotong roti dan memakan roti tersebut sambil berjalan menuju kamarnya. Saat berada di lorong rumah, dari arah luar terdengar suara kereta kuda yang datang. Tidak berselang lama terdengar suara dua orang wanita yang sedang berbincang-bincang mendekat ke arah Gardenia berada. Gardenia memandang malas dua orang wanita yang sekarang sudah berada di depannya. Dua orang yang sangat tidak ingin ia lihat. Gardenia tidak membenci mereka, hanya sangat tidak menyukai kedua wanita itu. Ibu tirinya, Jeanetta Nelson dan kakak tirinya, Loreen Nelson.
"Oh, kau sudah pulang ternyata, Gardenia."
Lillian merasa bingung apa yang harus ia lakukan. Dua puluh satu tahun ia hidup, ia tidak pernah membayangkan bisa berada di satu tempat sempit yang sangat berdekatan dengan seorang bangsawan tingkat tinggi, terlebih bangsawan itu merupakan tuannya. Lillian hanya bisa menundukkan kepalanya. Ia tidak tahu merasa takut atau gugup saat ini, bahkan kedua tangannya saling menggenggam erat.Gardenia yang duduk di samping Lillian ingin tertawa, tetapi ia juga merasa kasihan dengan gadis itu. Ia sedikit paham perasaan yang Lillian rasakan, walau ia tidak mengerti sepenuhnya karena ia sering bertemu bangsawan tingkat atas lainnya saat di pesta atau hanya kunjungan minum teh antar bangsawan. Dengan lembut ia menggenggam tangan Lillian, membuat gadis itu menatapnya bingung. Gardenia hanya tersenyum kecil tanpa mengatakan apapun.Wilfred yang berada di tempat yang sama hanya memperhatikan apa yang dilakukan ole
Tidak ada yang berbicara setelah semua selesai menyantap makan siang, bahkan setelah Gardenia selesai membersihkan peralatan makan yang telah selesai mereka digunakan. Wilfred dan Cain hanya saling pandang, tidak ada yang berniat untuk memulai pembicaraan. Merasa tidak ada hal yang diperlukan ketiga laki-laki itu, Gardenia mendorong troli makanan menuju pintu keluar."Aku belum memberimu ijin untuk keluar, Gardenia."Langkah kaki Gardenia terhenti saat suara Duke memasuki indera pendengarannya. Ia menatap bingung Duke yang sekarang menatapnya. Laki-laki itu tidak mengatakan hal apapun dan hanya menatapnya saja."Maaf, saya hanya ingin mengembalikan peralatan makan yang sudah kotor in
Ia berjalan mendekati Lillian yang sedang sibuk menata kukis ke dalam stoples berukuran sedang. Gardenia hanya mengamati apa yang sedang Lillian lakukan, tidak ada niat untuk memulai percakapan hingga Lillian selesai menata kue di dalam stoples pertama. Lillian yang sedang fokus pada pekerjaannya tidak menyadari kehadiran Gardenia yang berada di belakang dirinya dan sedang memperhatikan apa yang ia lakukan. Selesai menata dengan rapi dan terlihat cantik, Lillian bermaksud untuk meletakkan nampan yang ia gunakan untuk memanggang kue ke tempat pencucian. Saat membalikkan badan Lillian terkejut dengan keberadaan Gardenia yang sekarang berada di depannya."Astaga, sejak kapan kau ada di sini, Gardenia? Kau membuatku terkejut.""Tidak lama. Maaf membuatmu terkejut, Lillian. Aku hanya menunggumu selesai menata semua kukis.""Kau bisa menyapaku, kau tahu. Tungg
Gardenia memperhatikan tetesan air yang masih setia membasahi halaman mansion Duke Forsythia dan wilayah sekitarnya. Ia ingin hujan segera berakhir agar ia bisa pergi ke Coilleach bersama Lillian lalu memberi beberapa batang cokelat, Gardenia jadi ingin makan cokelat. Gardenia sedikit terkejut saat merasakan seseorang menepuk pundaknya dengan pelan. Dengan segera ia mengalihkan pandangannya dari halaman ke arah seseorang yang tadi menepuk pundaknya. Ia melihat Duke yang berdiri di belakangnya dengan senyum kecil menghiasi wajah laki-laki itu."Maaf membuatmu terkejut," ucap Duke."Tidak apa, Duke Forsythia. Apa
Hujan deras yang turun sejak malam masih bertahan hingga saat ini. Gardenia menghela nafas pelan sambil menatap tetesan air yang membasahi halaman dari balik jendela. Dilihatnya jam saku yang ia pegang, pukul 9 lewat 15 menit pagi. Hari ini seharusnya ia pergi bersama Lillian untuk membeli keperluan dapur ke kota Coilleach dan sebenarnya mereka mempunyai rencana untuk membeli beberapa cokelat nantinya, tetapi karena hujan yang belum berhenti mereka terpaksa membatalkan janji tersebut.Kembali menghela nafas, Gardenia mengalihkan pandangannya pada tiga orang laki-laki yang sedang duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Duke Forsythia, Cain dan Wilfred terlihat sedang serius membahas sesuatu. Sejujurnya Gardenia merasa kurang nyaman sendirian berada di dekat ketiga orang itu. Biasanya ia akan bersama Lillian, tetapi gadis itu saat ini diminta untuk membant
Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini Lillian kembali mengajak Gardenia untuk melakukan sesuatu. Berkat bujukan Lillian dan izin yang diberikan oleh Bibi Isabella sekarang mereka berada di kebun belakang yang berada di dekat dapur. Gardenia tidak pernah menyangka di dalam mansion mewah Duke Forsythia terdapat kebun sayur dan buah yang cukup luas yang tersembunyi di balik taman belakang. Terdapat tanaman mawar yang tumbuh subur sebagai pemisah antara taman dan kebun."Ini kebun yang dibuat oleh kepala dapur atas izin Duke. Mereka bilang berkebun bisa mengurangi stress mereka."Gardenia menganggukkan kepalanya mendengar penjelasan Lillian. Ia kembali memperhatikan kebun itu, terdapat beberapa sayur yang sudah siap panen dan terlihat
Laki-laki itu menghela nafas pelan, ia lalu memijat keningnya dengan pelan. Tumpukan kertas yang tidak ada habisnya membuat kepalanya terasa sedikit pusing. Melirik cangkir teh yang berada di pojok meja dan kembali menghela nafas."Sepertinya aku perlu beristirahat terlebih dahulu. Berjalan-jalan sebentar sepertinya bukan ide yang buruk."Laki-laki berambut merah sebahu itu segera merapikan tumpukan kertas di atas meja. Ia meletakan tumpukan kertas yang sudah ia baca ke atas meja lain agar tidak tercampur dan membuatnya mengulang pekerjaan membaca tumpukan kertas itu untuk kedua kalinya. Selain itu, ia juga meletakkan kertas bertuliskan 'sudah selesai' di atas tumpukan kertas itu.Merasa meja kerjanya sudah lumayan rapi, walau masih terdapat banyak tumpukan kertas, ia segera keluar dari ruang kerjanya. Di depan pintu seorang laki-laki yang mempunyai warn
Gardenia berjalan dengan riang menuju dapur. Ia menyapa dengan ramah setiap pelayan yang ia temui di lorong. Pekerjaannya menjadi pelayan pribadi ternyata tidak terlalu merepotkan seperti yang ia bayangkan. Duke bukan orang yang banyak protes, hanya saja jika sesuatu tidak berjalan sesuai penjelasan yang telah ia jabarkan, perkataan Duke akan sangat mengerikan, itu yang dikatakan oleh para pelayan. Gardenia masih belum melihat sisi mengerikan Duke seperti yang pelayan lain katakan walau ia sudah menjadi pelayan Duke selama seminggu. Bahkan saat ia menyajikan teh yang berbeda, Duke hanya menatapnya meminta penjelasan dan akan mengangguk pelan setelah ia menjelaskan mengapa teh yang disajikan berbeda. "Gardenia!" Gardenia menghentikan langkahnya saat ia mendengar suara seseorang memanggil namanya. Di ujung lorong menuju taman ia melihat Lillian yang berja
Kereta kuda yang membawa pulang Tuan Nelson sudah memasuki halaman depan kediaman Keluarga Nelson. Nyonya Nelson dan Loreen terlihat sudah berdiri di depan pintu masuk. Tuan Nelson tersenyum kecil saat kakinya memijak teras depan rumahnya. Di belakangnya terlihat Wilfred dengan raut wajah yang datar turun dari kereta kuda."Selamat datang kembali, suamiku."Nyonya Nelson segera memeluk Tuan Nelson setelah ia menyambut kepulangan suaminya dengan hangat. Loreen tersenyum senang melihat ayah tirinya sudah pulang."Selamat datang, ayah," ucap Loreen dengan suara lembut.Wilfred yang melihat hal itu dari belakang Tuan Nelson menghela nafas pelan. Ia segera mengambil kopernya dan berjalan memasuki rumah. Loreen yang melihat kepergian Wilfred menggenggam tangan laki-laki itu, membuat langkah Wilfred terhenti.