Share

Bab 2

    Arsitek itu sedang memandangi gambarannya. Ia merasa ada bagian yang masih kurang dari gambar tersebut. Akan tetapi, setelah lebih dari setengah jam ia putar-putar kertas itu, tetap saja ia tidak menemukan dimana letak kurangnya.

    "Serius amat arsitek satu ini!" sebuah suara mengagetkannya.

    Arjuna yang sedang suntuk melihat kekasihnya langsung tersenyum. Arjuna memeluk kekasihnya dan memberikan kecupan hangat.

    "Udah selesai kuliahnya?" tanya Arjuna seraya tetap memeluk tubuh langsing perempuan di hadapannya.

    "Udah dong. Mulai besok aku mau persiapan buat pameran. Nanti kamu dateng di pameran aku, kan?"

    Arjuna melepaskan pelukannya. Ia mengangkat dagu kekasihnya sebelum akhirnya mencium bibirnya. "Sayang, kamu kan tau aku pria sibuk. Kerjaan aku banyak banget. Aku nggak bisa dateng di pameran kamu. Maaf ya!"

    Nadhine, kekasih Arjuna langsung melepaskan tangan Arjuna dari wajahnya. "Kamu tuh apa-apa sibuk. Apa-apa yang diduluin kerjaan. Sesekali kamu tuh sempetin waktu buat aku kenapa sih? Emang cuma dateng ke pameran satu atau dua jam bikin kamu miskin ya? Enggak, kan?"

    Arjuna menghela napas panjang. Ia senang ketika Nadhine begitu manja padanya. Tetapi ketika sifat kekanakannya muncul seperti ini, Arjuna harus lebih memperbanyak rasa sabarnya.

    "Bukan gitu, Sayang. Tapi ini proyek lagi banyak banget. Aku harus tetep profesional sama semua kerjaan aku. Kamu tau sendiri aku disegani karena selalu kerja profesional. Aku cuma nggak mau mengecewakan klien."

    "Dan lebih memilih untuk mengecewakan aku gitu?" nada bicara Nadhine sudah semakin meninggi. Walaupun di dalam ruangannya cukup kedap suara, tetapi Arjuna tetap khawatir jika suara Nadhine bisa tembus keluar dan membuat rekan kerjanya yang lain mendengar.

    "Nadhine, profesionalisme kerja itu segalanya dalam dunia bisnis. Aku nggak mau ngecewain klien. Akupun juga nggak mau ngecewain kamu. Tolong ngertiin posisi aku sekarang, ya."

    Nadhine menghentakkan kakinya. "Pokoknya aku mau kamu dateng ke pameran aku, titik!" perempuan itu segera berjalan ke arah pintu dan keluar. Tak lupa Nadhine menutup pintu dengan kasar hingga membuat semua orang yang ada di dekat ruangan Arjuna terkejut bukan main.

    "Selalu, paling bisa membuat malu!" gumam Arjuna seraya menggeleng.

    ***

    Arjuna memarkir mobilnya tepat di belakang mobil sang Papa. Ia segera keluar dari mobil dengan wajah super kusut. Satpam di rumahnya sampai segan ketika akan menyapa Arjuna.

    "Selamat malam, anak kesayangan Mama!" sapa Andini dengan senyum lebar ketika Arjuna baru saja melangkahkan kakinya masuk rumah.

    Arjuna sedikit heran, tumben sekali Mamanya menyapa dengan keceriaan seperti itu. Biasanya hanya menyapa sekenanya. Tidak pernah terlihat seceria ini.

    "Malam, Ma!" Arjuna langsung mencium tangan Mamanya dan pipinya. Ia langsung duduk di meja makan, kebetulan Mamanya sedang menyiapkan makan malam.

    "Gimana kerjaan, Jun?" Giliran Wirawan yang menyambut Arjuna dengan pertanyaan. Mereka memang jarang sekali bertemu karena kesibukan masing-masing.

    Arjuna mengangguk. "Ya, lumayan lancar, Pa. Makin banyak proyek. Makanya sampai malem!"

    Wirawan mengangguk sebelum akhirnya menyendok nasi. Ia memang tidak terbiasa dilayani istrinya. Ia tidak mau menjadi lelaki yang harus dilayani 24 jam.

    Ketiganya makan malam dengan khidmat. Hanya suara sendok dan garpu yang berdenting. Hingga kemudian, Wirawan berdeham membuat Arjuna menoleh.

    "Ada yang ingin Papa bicarakan sama kamu. Papa harap kamu tidak terlalu kaget dengan apa yang akan Papa bicarakan. Dengarkan dulu apa yang Papa bicarakan, baru nanti tanggapi setelah Papa selesai. Bisa?"

    Arjuna mengangguk dengan masih menikmati makanannya.

    "Jadi, semasa kuliah dulu, Papa pernah membuat janji dengan teman Papa, Lesmana. Kalau kami akan menjodohkan anak kami nantinya."

    Uhuk! Arjuna langsung tersedak. Sang Mama yang berada di sebelahnya panik dan segera menyodorinya minum.

    "Pelan-pelan, Juna!" Mamanya mengelus punggung Arjuna.

    "Papa nggak salah?"

    Kening Wirawan berkerut. Apakah ini sebuah penolakan dari anaknya?

    "Kamu menolaknya?"

    Arjuna melongo. "Ya jelas menolak, Pa! Masak Papa mau ngejodohin aku sama Rio! Papa kira aku udah nggak doyan cewek? Cewek masih enak, Pa. Ngapain sama cowok!"

    Andini yang menyadari lebih dulu langsung tertawa terbahak-bahak. Sementara Wirawan hanya menggeleng sambil menahan tawanya.

    "Lah, kok Mama malah ketawa sih?"

    "Kamu salah paham, Sayang." Andini menghabiskan sisa tawanya. "Papa juga siih nggak jelasin dulu!"

    "Maksudnya?" Arjuna nampak kebingungan.

    "Jadi anak Lesmana itu ada dua. Laki-laki dan perempuan. Memang yang kamu kenal selama ini si Rio, tapi dia punya adik perempuan. Dia yang mau Papa jodohkan sama kamu. Bukan sama Rio. Ada-ada saja kamu ini!"

    Arjuna menepuk jidatnya seraya tertawa. "Kirain!"

    "Gimana? Kamu menerimanya?" giliran Andini yang menawarkan.

    Arjuna mengelap mulutnya dengan tisu. Ia membetulkan posisi duduknya.

    "Tapi, Ma. Mama kan tau sendiri Arjuna punya pacar. Arjuna masih punya Nadhine, Ma," Arjuna menjelaskan dengan sangat lembut. "Arjuna tau Mama nggak suka sama Nadhine karena dia seorang model. Tapi, Arjuna kan nggak bisa tiba-tiba ninggalin dia gitu aja, Ma."

    "Bukan hanya karena dia model, tapi karena dia juga terlalu banyak menyita waktumu!" nada bicara Andini mulai ketus.

    Arjuna tersenyum. Ia menggamit tangan Mamanya dan mengelusnya. "Ma, Arjuna tetap anak Mama kok. Arjuna nggak akan pernah pergi dari Mama. Bahkan Nadhine sekalipun nggak akan pernah bisa bawa Arjuna kemana-mana, jauh dari Mama."

    Andini tersenyum. "Kalau kamu memang anak Mama, kamu menerima perjodohan ini? Kamu sayang Mama, kan?"

    Apabila sang Mama sudah mengeluarkan kalimat itu, tentu Arjuna tidak bisa menolaknya.

    "Papa tidak memaksa kamu langsung bertunangan dengannya. Kalian tentu perlu saling mengenal terlebih dahulu. Papa akan beri kamu waktu untuk menjalani semuanya."

    Arjuna nampak menimbang ucapan Papanya. Ia adalah anak penurut. Apapun yang dipilihkan orang tuanya, ia akan dengan senang hati menerima itu.

    "Mama yakin, kamu pasti suka sama dia kalau sudah ketemu."

    Arjuna tersenyum. "Kasih aku waktu buat berkenalan dulu ya, Ma. Juna janji nggak akan mengecewakan Mama."

    Andini tersenyum dan balik mengelus tangan Arjuna. Kalau Andini sudah tersenyum begini, tentu sangat sulit bagi Arjuna untuk tidak mewujudkan keinginannya. Belum lagi Mamanya sangat benci karir Nadhine. Ia bilang, model sudah pasti sering dibawa laki-laki kemana-mana, mau ditiduri hanya demi mendapatkan banyak job pemotretan. Mamanya tidak mau Arjuna mendapatkan wanita dengan profesi yang suka memamerkan bentuk tubuhnya di depan khalayak ramai. Tentu saja hal ini menjadi tantangan paling berat selama lima bulan Arjuna berpacaran dengan Nadhine.

    Tiba-tiba ponsel Arjuna berbunyi. Menandakan ada pesan masuk. Segera ia membukanya.

    Hai. Apa kabar? Aku rindu pelukanmu dan sentuhanmu di leherku.

    Membaca pesan ini jantung Arjuna tiba-tiba berdetak dengan cepat. Darimana perempuan itu mendapatkan kontakku?

    ***

    

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status