Arsitek itu sedang memandangi gambarannya. Ia merasa ada bagian yang masih kurang dari gambar tersebut. Akan tetapi, setelah lebih dari setengah jam ia putar-putar kertas itu, tetap saja ia tidak menemukan dimana letak kurangnya.
"Serius amat arsitek satu ini!" sebuah suara mengagetkannya.
Arjuna yang sedang suntuk melihat kekasihnya langsung tersenyum. Arjuna memeluk kekasihnya dan memberikan kecupan hangat.
"Udah selesai kuliahnya?" tanya Arjuna seraya tetap memeluk tubuh langsing perempuan di hadapannya.
"Udah dong. Mulai besok aku mau persiapan buat pameran. Nanti kamu dateng di pameran aku, kan?"
Arjuna melepaskan pelukannya. Ia mengangkat dagu kekasihnya sebelum akhirnya mencium bibirnya. "Sayang, kamu kan tau aku pria sibuk. Kerjaan aku banyak banget. Aku nggak bisa dateng di pameran kamu. Maaf ya!"
Nadhine, kekasih Arjuna langsung melepaskan tangan Arjuna dari wajahnya. "Kamu tuh apa-apa sibuk. Apa-apa yang diduluin kerjaan. Sesekali kamu tuh sempetin waktu buat aku kenapa sih? Emang cuma dateng ke pameran satu atau dua jam bikin kamu miskin ya? Enggak, kan?"
Arjuna menghela napas panjang. Ia senang ketika Nadhine begitu manja padanya. Tetapi ketika sifat kekanakannya muncul seperti ini, Arjuna harus lebih memperbanyak rasa sabarnya.
"Bukan gitu, Sayang. Tapi ini proyek lagi banyak banget. Aku harus tetep profesional sama semua kerjaan aku. Kamu tau sendiri aku disegani karena selalu kerja profesional. Aku cuma nggak mau mengecewakan klien."
"Dan lebih memilih untuk mengecewakan aku gitu?" nada bicara Nadhine sudah semakin meninggi. Walaupun di dalam ruangannya cukup kedap suara, tetapi Arjuna tetap khawatir jika suara Nadhine bisa tembus keluar dan membuat rekan kerjanya yang lain mendengar.
"Nadhine, profesionalisme kerja itu segalanya dalam dunia bisnis. Aku nggak mau ngecewain klien. Akupun juga nggak mau ngecewain kamu. Tolong ngertiin posisi aku sekarang, ya."
Nadhine menghentakkan kakinya. "Pokoknya aku mau kamu dateng ke pameran aku, titik!" perempuan itu segera berjalan ke arah pintu dan keluar. Tak lupa Nadhine menutup pintu dengan kasar hingga membuat semua orang yang ada di dekat ruangan Arjuna terkejut bukan main.
"Selalu, paling bisa membuat malu!" gumam Arjuna seraya menggeleng.
***
Arjuna memarkir mobilnya tepat di belakang mobil sang Papa. Ia segera keluar dari mobil dengan wajah super kusut. Satpam di rumahnya sampai segan ketika akan menyapa Arjuna.
"Selamat malam, anak kesayangan Mama!" sapa Andini dengan senyum lebar ketika Arjuna baru saja melangkahkan kakinya masuk rumah.
Arjuna sedikit heran, tumben sekali Mamanya menyapa dengan keceriaan seperti itu. Biasanya hanya menyapa sekenanya. Tidak pernah terlihat seceria ini.
"Malam, Ma!" Arjuna langsung mencium tangan Mamanya dan pipinya. Ia langsung duduk di meja makan, kebetulan Mamanya sedang menyiapkan makan malam.
"Gimana kerjaan, Jun?" Giliran Wirawan yang menyambut Arjuna dengan pertanyaan. Mereka memang jarang sekali bertemu karena kesibukan masing-masing.
Arjuna mengangguk. "Ya, lumayan lancar, Pa. Makin banyak proyek. Makanya sampai malem!"
Wirawan mengangguk sebelum akhirnya menyendok nasi. Ia memang tidak terbiasa dilayani istrinya. Ia tidak mau menjadi lelaki yang harus dilayani 24 jam.
Ketiganya makan malam dengan khidmat. Hanya suara sendok dan garpu yang berdenting. Hingga kemudian, Wirawan berdeham membuat Arjuna menoleh.
"Ada yang ingin Papa bicarakan sama kamu. Papa harap kamu tidak terlalu kaget dengan apa yang akan Papa bicarakan. Dengarkan dulu apa yang Papa bicarakan, baru nanti tanggapi setelah Papa selesai. Bisa?"
Arjuna mengangguk dengan masih menikmati makanannya.
"Jadi, semasa kuliah dulu, Papa pernah membuat janji dengan teman Papa, Lesmana. Kalau kami akan menjodohkan anak kami nantinya."
Uhuk! Arjuna langsung tersedak. Sang Mama yang berada di sebelahnya panik dan segera menyodorinya minum.
"Pelan-pelan, Juna!" Mamanya mengelus punggung Arjuna.
"Papa nggak salah?"
Kening Wirawan berkerut. Apakah ini sebuah penolakan dari anaknya?
"Kamu menolaknya?"
Arjuna melongo. "Ya jelas menolak, Pa! Masak Papa mau ngejodohin aku sama Rio! Papa kira aku udah nggak doyan cewek? Cewek masih enak, Pa. Ngapain sama cowok!"
Andini yang menyadari lebih dulu langsung tertawa terbahak-bahak. Sementara Wirawan hanya menggeleng sambil menahan tawanya.
"Lah, kok Mama malah ketawa sih?"
"Kamu salah paham, Sayang." Andini menghabiskan sisa tawanya. "Papa juga siih nggak jelasin dulu!"
"Maksudnya?" Arjuna nampak kebingungan.
"Jadi anak Lesmana itu ada dua. Laki-laki dan perempuan. Memang yang kamu kenal selama ini si Rio, tapi dia punya adik perempuan. Dia yang mau Papa jodohkan sama kamu. Bukan sama Rio. Ada-ada saja kamu ini!"
Arjuna menepuk jidatnya seraya tertawa. "Kirain!"
"Gimana? Kamu menerimanya?" giliran Andini yang menawarkan.
Arjuna mengelap mulutnya dengan tisu. Ia membetulkan posisi duduknya.
"Tapi, Ma. Mama kan tau sendiri Arjuna punya pacar. Arjuna masih punya Nadhine, Ma," Arjuna menjelaskan dengan sangat lembut. "Arjuna tau Mama nggak suka sama Nadhine karena dia seorang model. Tapi, Arjuna kan nggak bisa tiba-tiba ninggalin dia gitu aja, Ma."
"Bukan hanya karena dia model, tapi karena dia juga terlalu banyak menyita waktumu!" nada bicara Andini mulai ketus.
Arjuna tersenyum. Ia menggamit tangan Mamanya dan mengelusnya. "Ma, Arjuna tetap anak Mama kok. Arjuna nggak akan pernah pergi dari Mama. Bahkan Nadhine sekalipun nggak akan pernah bisa bawa Arjuna kemana-mana, jauh dari Mama."
Andini tersenyum. "Kalau kamu memang anak Mama, kamu menerima perjodohan ini? Kamu sayang Mama, kan?"
Apabila sang Mama sudah mengeluarkan kalimat itu, tentu Arjuna tidak bisa menolaknya.
"Papa tidak memaksa kamu langsung bertunangan dengannya. Kalian tentu perlu saling mengenal terlebih dahulu. Papa akan beri kamu waktu untuk menjalani semuanya."
Arjuna nampak menimbang ucapan Papanya. Ia adalah anak penurut. Apapun yang dipilihkan orang tuanya, ia akan dengan senang hati menerima itu.
"Mama yakin, kamu pasti suka sama dia kalau sudah ketemu."
Arjuna tersenyum. "Kasih aku waktu buat berkenalan dulu ya, Ma. Juna janji nggak akan mengecewakan Mama."
Andini tersenyum dan balik mengelus tangan Arjuna. Kalau Andini sudah tersenyum begini, tentu sangat sulit bagi Arjuna untuk tidak mewujudkan keinginannya. Belum lagi Mamanya sangat benci karir Nadhine. Ia bilang, model sudah pasti sering dibawa laki-laki kemana-mana, mau ditiduri hanya demi mendapatkan banyak job pemotretan. Mamanya tidak mau Arjuna mendapatkan wanita dengan profesi yang suka memamerkan bentuk tubuhnya di depan khalayak ramai. Tentu saja hal ini menjadi tantangan paling berat selama lima bulan Arjuna berpacaran dengan Nadhine.
Tiba-tiba ponsel Arjuna berbunyi. Menandakan ada pesan masuk. Segera ia membukanya.
Hai. Apa kabar? Aku rindu pelukanmu dan sentuhanmu di leherku.
Membaca pesan ini jantung Arjuna tiba-tiba berdetak dengan cepat. Darimana perempuan itu mendapatkan kontakku?
***
Reni mengatur napasnya. Kali ini, lukisannya harus selesai dengan sempurna. Palet ditangannya yang masih bersih segera ia isi dengan bermacam-macam warna pastel cat air. Kali ini, ia melukis kamera dengan aksen warna pastel karena tema lukisan untuk pameran kali ini adalah relaxed of life. Reni segera menggoreskan kuasnya ke kanvas yang sudah berisi gambaran. Ia meningkatkan konsentrasinya karena lukisan kubismenya terlalu mendetail. Terlalu banyak kotakan yang ia buat sehingga ia harus memolesnya dengan cat air secara hati-hati.Ia melirik Rendi yang ada di sebelahnya. Lelaki yang beberapa waktu terakhir diam-diam disukainya itu juga sedang asyik mengarahkan kuasnya ke kanvas. Reni mengintip gambaran Rendi. Di kanvasnya terdapat gambaran dua buah gelas dengan isi yang berbeda. Teh dan kopi. Reni tau bahwa Rendi sangat menyukai kedua minuman tersebut.“Serius banget!” celetuknya membuat Rendi yang hendak menyentuhkan kuasnya ke kanvas mengurungkan niatnya.
Pameran tinggal dua hari lagi. Mahasiswa jurusan seni lukis benar-benar sibuk. Mereka tidak hanya sibuk mempersiapkan pameran, tetapi juga menyelesaikan tugas yang lain. Pameran adalah akhir sebelum libur semester. Mereka harus mendapatkan nilai minimal B jika tidak ingin mengulang di tahun depan. Reni sudah menyelesaikan lukisannya. Ternyata langit sudah gelap saat Reni menoleh ke arah jendela. Sembari menunggu lukisannya kering, Reni membantu persiapan lain di aula jurusan Aula di jurusan seni lukis tidak terlalu besar karena memang hanya digunakan untuk pameran antarkelas di jurusan seni lukis. Di fakultas kesenian ada tiga aula yang lebih besar untuk pameran antarjurusan Reni hanya mengekor di belakang Nadya. Di dalamnya sudah terdapat beberapa teman sekelas mereka “Jadi mereka melarikan diri ke sini?” gumam Reni Nadya yang mendengarnya berbalik meno
Ruangan meeting itu sudah kosong sejak pukul sembilan tadi. Meeting kali ini memang dilaksanakan pagi karena klien Arjuna yang baru memiliki jadwal yang padat. Mau tidak mau meeting harus dimulai pukul tujuh pagi. Ponsel Arjuna berdering dari semalam. Nadhine tak henti-hentinya mengiriminya pesan untuk mengingatkan bahwa hari ini adalah pameran Nadhine. Arjuna tidak membukanya, ia hanya membacanya dari notifikasi yang muncul di atas layar. Jangan lupa, besok pameran. Masih ingat fakultasku, kan? Di aula yang waktu itu kamu jemput aku Aku tunggu besok pagi. Hun, jangan lupa. Pameran dimulai jam sembilan. Jangan belagak sibuk, aku tau kamu baca chatku! Pokoknya aku tunggu, nggak mau tau!! Itulah sederet pesan Nadhine dari kemarin malam. Arjuna sampai merasakan kepalanya berdenyut tiap kali ponselnya
Nadhine melongokkan kepalanya ke segala arah. Sedari tadi ia belum menemukan Arjuna padahal ia ingin Arjuna melihatnya saat memamerkan busana nanti. “Kemana sih, Juna? Kok ngilang gitu aja?” gerutunya sambil mencoba menghubungi Arjuna. “Angkat dong, Jun!” serunya gemas saat teleponnya tak kunjung diangkat oleh kekasihnya. “Kenapa sih kok mondar-mandir terus dari tadi kayak setrikaan?” seru suara di belakang Nadhine membuatnya tersentak dan menoleh. “Ini lho, Feb! Aku tadi kan ngajak Arjuna ke sini buat liat hasil desain aku. Aku bilang ke dia kalo bentar lagi aku mau memeragakan busana. Eh, dianya sekarang ngilang!” Seseorang yang disebut Feb itu mendekat. “Mungkin dia udah pulang kali. Si Juna itu kan sibuk banget.” “Ya sibuk sih sibuk. Tapi masa’ liat aku bentaran aja dia nggak sempet sih!?”
Arjuna memasuki rumah sembari bersenandung. Entah kenapa, pameran tadi begitu ia nikmati. Apakah karena gadis dekil tadi? Ah, pasti perempuan itu tidak suka jika disebut gadis dekil. "Tumben anak Mama pulang keliatan sumringah gitu? Habis menangin tender besar ya, Sayang?" Andini merangkul bahu Arjuna dari balik sofa tempat Arjuna duduk "Eh, Mama," Arjuna mencium tangan Mamanya. "Enggak kok, Ma. Arjuna nggak menangin tender besar. Arjuna cuma habis dari pameran. Kening Andini berkerut. "Pameran? Sejak kapan anak mama ini suka lihat pameran? Arjuna tertawa kecil. Sejak dulu, ia memang tak pernah mau mendatangi tempat-tempat pameran karena menurutnya itu semua membuang-buang waktu "Yah, tadi awalnya liat pameran busana jurusannya Nadhine. Tapi cuma bentar karena aku nggak ngerti apapun tentang fashion. Akhirnya aku keluar, terus liat di gedung sebelah ada pameran
Arjuna duduk di samping Mamanya dengan gelisah. Ia berkali-kali menatap jam yang melingkar di tangan kanannya dengan gusar. “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Mamanya yang menyadari putranya tidak bisa diam. “Nggak apa-apa, Ma!” Arjuna memaksakan senyumnya. Ia mengusap keringat yang turun di keningnya. “Perasaan AC mobilnya nggak mati. Kok kamu sampai keringetan gitu, Jun?” tanya Papanya yang menatap Arjuna dari spion mobil. “Nggak tau, Pa. Mungkin gara-gara jasnya, aku jadi agak gerah!” kilahnya. “Emm, atau jangan-jangan kamu gugup ya mau ketemu calon tunangan kamu? Iya kan?” goda Mamanya. “Ih, Mama nih apaan sih?” Arjuna membuang muka membuat Mamanya tersenyum. Sesampainya di tempat tujuan, Arjuna menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia benar-bena
Reni dan Arjuna saling bertatapan. Mereka sama-sama melongo dengan tatapan tak percaya.“Lho, kalian sudah saling kenal?” tanya Andini menyadarkan keduanya.Reni dan Arjuna sama-sama membuang muka.Jadi dia! Batin keduanya.“Kita pernah ketemu di acara pameran lukisan.” jawab Arjuna saat bisa menguasai diri.“Kamu ngapain ke pameran lukisan?” tanya Wirawan dengan heran.“Kemarin itu lho, Pa. Waktu aku dateng ke acara pameran busana, aku main-main juga ke pameran lukisan. Dan ketemu sama.... Reni.” Arjuna memelankan suaranya saat menyebut nama Reni.“Wah, kebetulan banget ya! Syukurlah kalo kalian udah saling mengenal. Kita nggak perlu repot-repot memaksa kalian untuk berkenalan. Iya kan, Ndin?” seru Santi.“Iya.” Andini mengangguk. “Sekarang, mendingan kita biarkan mereka berdua dulu deh. Para orang tua jangan ngganggu!” serunya me
Jumat sore Arjuna masih terus disibukkan oleh pekerjaannya. Bahkan, ia sampai tidak sempat menikmati weekend minggu lalu. Dan kali ini ia berniat untuk menyelesaikan pekerjaannya agar ia bisa beristirahat sejenak.“Serius amat, Pak?” seru seseorang sambil melongokkan kepalanya ke dalam ruangan Arjuna. Arjuna mendongak dan detik berikutnya ia tersenyum.“Eh, Aldo? Sejak kapan di situ? Sini, masuk!” ajaknya seraya berdiri.Seseorang yang dipanggil Aldo itu melangkahkan kakinya memasuki ruangan bernuansa putih gading itu. “Lagi sibuk? Ganggu gak nih?”“Sedikit, tapi nggak pa-pa kok. Emangnya ada apa? Tumben main ke sini?”Keduanya tertawa. Aldo menyodorkan sebuah tiket ke depan Arjuna.“Nih! Besok gue mau ngadain pameran di gedung kesenian. Elo dateng ya. Sekalian, buat hiburan biar elo nggak suntuk terus bapak arsitek!” serunya.Arjuna mengulum senyum kemudian mengambil tiket d