Share

Bab 1

    "PERJODOHAN??!!" pekik Reni saat Papanya selesai berbicara. Santi, sang Mama mengelus punggung Reni agar putri kesayangannya ini tidak meledak-ledak.

    "Iya, Sayang! Jadi Papa dan Mama itu sudah janji dengan teman kami sewaktu kuliah dulu. Kalau kami punya anak perempuan dan mereka punya anak laki-laki, begitu pula sebaliknya, kami akan menjodohkan anak kami ketika dewasa kelak!"

    WTF!

Reni tak henti-hentinya mengumpat. Ia benar-benar tak habis pikir kenapa orang tuanya masih berpikiran kolot seperti itu. Padahal, sedari dulu Reni sangat bangga dengan kedua orang tuanya. Bagaimana tidak, kedua orang tuanya adalah orang tua yang sangat diidamkan oleh teman-temannya. Mereka tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada sang anak.

    "Pa, ini udah era milenial loh, Pa! Kenapa jadi kayak jamannya Siti Nurbaya sih, harus pake dijodohin segala?" Reni masih terus berusaha memberontak.

    "Reni..." giliran sang Mama berusaha menenangkannya. "Perjodohan itu nggak melulu ada di masa lalu. Kalau dirasa sekarang perlu dilakukan ya nggak masalah!"

    "Dan Mama rasa perjodohanku sama orang asing ini perlu?"

    Sang Mama mengangguk membuat Reni berdiri dari duduknya. "Ma, aku selalu menghormati apapun keputusan Mama dan Papa tentang hidupku. Aku selalu bahagia punya Mama dan Papa yang nggak pernah memaksakan kehendaknya pada anak. Kalian adalah dream parents untuk semua teman-teman aku! Tapi, pandangan ini sepertinya harus berubah sekarang. Papa sama Mama mulai nggak memikirkan perasaanku sebagai anak!"

    Lesmana ikut berdiri. "Karena kami memikirkan perasaanmu, makanya Papa ingin melakukan perjodohan ini, Sayang."

    "Di sisi mananya Papa mikirin perasaan aku?" Reni masih terus berapi-api. Ia tidak akan menyerah untuk beradu argumen dengan kedua orang tuanya sampai ia menang.

    "Kamu tidak akan jatuh ke pelukan orang yang bisa saja dengan mudah menyakiti perasaan kamu. Setelah menyakiti perasaanmu, bisa saja orang asing ini akan pergi meninggalkanmu begitu saja tanpa perasaan. Sementara kalau dengan anak teman Papa ini, kamu tidak akan merasakan itu."

    "Tau apa Papa tentang dia? Papa pasti ketemu juga baru sekali dua kali, kan? Penilaian Papa ini nggak berdasar!"

    "Lalu tau apa kamu tentang cinta orang lain di luar sana?" nada bicara Lesmana mulai meninggi. Ia terpancing emosi putrinya.

    "Papa nggak akan pernah tau isi hati orang lain dari sekali ketemu, Pa! Oke, dia menampilkan sikap baik di depan Papa dan Mama. Tapi apa ada jaminan dia akan terus baik ke aku sampai aku tua? Apa jaminannya, Pa?"

    Lesmana dan Santi bungkam. Kalimat terakhir Reni memang belum bisa mereka jawab. Tetapi, mereka akan mencari jawaban itu.

    "Papa akan mencari jaminan itu!" jawab Lesmana tegas.

    "Oke, selama Papa cari jawaban itu, aku nggak mau pulang ke rumah!" Reni menyambat tasnya dan segera berjalan keluar rumah.

    "Ren, Papa belum selesai bicara! Reni!" Lesmana memanggil putrinya, namun Reni tetap acuh.

    Santi berlari mengejar Reni. Ia menggamit lengan Reni. "Sayang, semua ini bisa dibicarakan baik-baik. Kamu jangan ngambek-ngambek kayak gini ya, Sayang!"

    Reni menoleh dengan tatapan tidak mengerti. "Ma, aku tuh nggak ngambek! Aku bukan anak kecil yang ketika ngambek dikasih permen langsung selesai ngambeknya. Aku butuh waktu buat mikir. Mama dan Papa juga harus mikirin keputusan konyol ini kalau masih mau aku pulang ke rumah!"

    Ia langsung membuka pintu mobil dan menghempaskan tubuhnya. Reni tidak lagi mempedulikan Mamanya yang menggedor pintu mobil. Segera ia menancap gas dan keluar dari pekarangan rumah.

    Lesmana menghampiri sang istri dan memeluknya.

    "Kita coba pikirin lagi ya. Aku yakin, Reni pasti bersedia menerima perjodohan ini. Ini cuma masalah waktu."

    ***

    Jalanan cukup lengang karena waktu memasuki pukul sepuluh malam. Reni memacu mobilnya lebih cepat. Ia melipir di depan sebuah halte.

    "Apa sih yang Mama Papa pikirin sampe mau jodohin aku? Dikira aku nggak bisa cari jodoh sendiri apa ya?" Reni masih saja menggerutu. Ini pertama kalinya permintaan kedua orang tua yang sangat disayanginya terdengar tidak masuk akal. Biasanya, kedua orang tua Reni memberikan pilihan, tidak begitu saja memberikan keputusan final.

    Reni memejamkan matanya. Ia berusaha untuk membuang semua amarah agar tak sampai berlarut panjang. Reni tidak suka hanyut dalam amarah karena Papanya selalu bilang akan banyak penyesalan ketika kita mengambil sikap saat sedang marah.

    Tiba-tiba ponselnya berbunyi.

    Ma Bro.

    Telepon dari Rio, kakaknya.

    "Halo!" Reni mengangkat telepon tersebut setelah menghela napas berkali-kali.

    "Lo ngapain keluar dari rumah?" suara Rio masih sangat tenang.

    "Tanya aja sendiri sama Papa sama Mama!" Reni masih sedikit sewot.

    "Jangan aneh-aneh lu yee! Gue nggak suka punya adek ngambil keputusan pas lagi emosi!"

    Reni menghela napas lebih panjang. Entah kenapa, kali ini ia lebih emosional seperti biasanya. Mungkin karena orang tuanya memilih waktu yang tidak tepat untuk membicarakan ini semua. Kondisi Reni sedang suntuk karena harus persiapan untuk pameran minggu depan. Belum lagi bulan depan akan ada pameran fotografi di salah satu galeri tutornya. Ia benar-benar suntuk bukan main.

    "Gue sementara ini nginep di apartemen. Gue nggak bakalan aneh-aneh. Gue cuma butuh waktu! Papa sama Mama juga butuh waktu buat mikirin keputusan konyol mereka ini!"

    Terdengar Rio melenguh di sana. "Oke, kalau emang lo baik-baik aja. Selalu kabarin gue kalau ada apa-apa."

    "Thanks!"

    "Anytime." Kemudian telepon terputus.

    Reni sebenarnya sangat beruntung. Ia memiliki keluarga harmonis. Orang tua yang pengertian dan juga kakak yang menyayanginya adalah hal yang selalu diidamkan banyak orang. Reni pun diperbolehkan mengambil kuliah jurusan seni dan minor fotografi karena orang tuanya memiliki pemikiran bahwa setiap anak memiliki bakat dan minat mereka masing-masing. Rio boleh saja lebih tertarik dengan bisnis dan dunia arsitektur. Tapi Reni lebih tertarik pada dunia seni. Sedari kecil, Reni paling suka menggambar sampai menghabiskan puluhan buku gambar dalam satu tahun.

    "Nggak apa-apa kalau Reni mau ambil jurusan seni. Yang penting Reni harus bahagia menjalani itu, karena itu pilihan Reni." Itu kalimat dari Mama yang selalu terngiang-ngiang di dalam otaknya setiap kali ia merasa lelah dengan rutinitasnya.

    Tapi kali ini, pemikiran orang tuanya berbalik. Mereka jadi mengatur Reni dan menentukan garis hidupnya harus seperti apa. Reni tidak terima itu.

    Setelah cukup tenang, Reni kembali menjalankan mobilnya. Ia segera meluncur ke apartemennya yang tidak jauh dari kampus.

    Ketika mendekati wilayah kampus, Reni seperti melihat bayangan teman sekelasnya. Ia memelankan laju mobilnya. Ternyata benar.

    "Rendi!" panggil Reni dari dalam mobil. Yang dipanggil terkejut dan menoleh ke arah Reni.

    "Eh, ha-halo Ren!" Rendi tampak gugup dan seperti menyembunyikan sesuatu di balik bajunya.

    "Kamu ngapain malam-malam gini masih di sini? Lembur?"

    "Eh, enggak kok. Ini udah mau pulang. Tadi kebetulan aja habis nongkrong." Rendi tersenyum tipis. "Kamu sendiri ngapain di sini?"

    Gantian Reni yang gelagapan. "Eh, aku mau ke apartemen. Ya udah ya!"

    Reni menutup kaca mobilnya dan segera melajukan mobil dengan masih gugup.

    ***

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status