Share

4. Teror

Happy Reading

*****

Setengah badannya tampak di cermin sangat kusam. Kerutan-kerutan halus mulai tampak di ujung dan bawah mata. Usia Yanti memang tidak muda lagi, tetapi saat perempuan lain dengan perawatan tubuh dan wajah yang rutin masih terlihat cantik, dia justru sebaliknya. Lusuh, kusam dan tak terawat, apalagi kulitnya yang cenderung lebih gelap dari perempuan-perempuan bermusim tropis, semakin menambah kesan jelek padanya.

Selama ini dia tak memperhatikan penampilan. Berusaha sebaik mungkin merawat anak dan suami, tetapi justru sekarang hal itulah yang memicu perselingkuhan Basuki. Yanti mengelap setitik air yang jatuh di pipi. Menambahkan bedak tabur agar mata sembabnya tak terlihat. Cukup sudah kesedihan itu, dia segera berdiri dan keluar kamar.

"Ayo, Kak. Mama sudah siap," ucap Yanti di depan kamar si sulung. Sore ini mereka harus ke rumah orang tua Basuki. Ibu mertuanya mengadakan haul meninggal sang suami, begitu informasi yang disampaikan pada Yanti.

"Adik beneran nggak ikut, Ma," tanya Chalya.

"Katanya sih nggak. Lagi banyak tugas. Biarinlah, lagian Papa juga berangkat dari kantor kalau Adik ikut Mama bareng siapa?"

Chalya menautkan alis, sedikit curiga mengapa Basuki langsung berangkat dari kantor. Namun, gadis itu tak menanyakan apa pun. Cepat dia membuka pagar rumah sementara sang Mama masih berpamitan pada Bagas.

*****

Suara klakson berbunyi saat Chalya sampai di halaman rumah neneknya dan melihat sepupu yang juga adik kelas di sekolah. Yanti menyipitkan mata, ada mobil Basuki di halaman itu, padahal ini belum waktunya dia pulang. Masih ada sekitar satu setengah jam lagi.

"Kak, Mama masuk dulu, ya. Kalian lanjutin ngobrolnya. Nggak enak sama Nenek belum bantu-bantu." Yanti masuk ke rumah dengan hati berdebar, seperti ada sesuatu yang akan terjadi.

Debaran jantung perempuan dua anak itu semakin cepat ketika suara tawa keluarga menggema. Jarang-jarang sang mertua tertawa sekeras ini. Semakin dekat dengan sumber suara, Yanti melihat siluet Basuki. Lelaki itu duduk dengan seorang perempuan yang rambutnya diikat ke belakang sedikit tinggi hingga lehernya yang putih mulus terlihat. Tangan kanan si suami tersampir di bahu perempuan itu.

Astagfirullah, apalagi ini?

"Assalamualaikum," salam Yanti pada semua orang. Lirikan sang mertua dan adik iparnya cukup membuat nyali perempuan itu menciut.

"Waalaikumsalam. Sudah selesai masak dan beres-beres baru datang. Mau bantu apa kamu, Yan?" kata mertuanya sinis.

"Ibu punya mantu gitu amat, ya." Si adik ipar menimpali. "Bener Mas, dah. Tuker aja, istri macam dia."

Ilyana tersenyum remeh pada Yanti. Merasa menang karena mendapat dukungan keluarga Busuki.

"Tante bayangin diri sendiri, deh. Gimana kalau kata-kata itu terucap dari adiknya, Om," kata si sulung tepat saat tantenya selesai berkata Chalya memegang tangan mamanya. "Kalau kedatangan Mama cuma untuk dihina seperti ini, lebih baik kami pulang. Ayo, Ma!" ajaknya yang sudah berbalik dan berjalan.

"Kakak!" panggil Basuki keras.

"Apa, Pa? Mau bilang nggak sopan? Bilang itu sama mereka semua. Usia tua, tapi akhlak nggak banget. Lalu, di mana salah Kakak?" ucap Chalya yang mendapat gelengan kepala dari Yanti.

Basuki berdiri dan menghampiri putri sulungnya dengan wajah merah dan tatapan yang menakutkan. Tangan kanan lelaki itu cepat mengayun pada pipi Chalya. Yanti menjerit kaget memanggil suaminya.

"Kamu boleh mojokin aku, hina aku dengan semua perkataan jahat, tapi jangan dia. Apa akalmu sudah benar-benar hilang, Mas?" Yanti menurunkan volume suaranya.

"Biarin aja, Ma. Biar Papa puas melampiaskan kemarahan, lagian selama ini Nenek dan keluarga Papa yang lain nggak pernah menghormati kita. Lebih baik Mama pisah aja sama Papa. Toh, ada perempuan itu yang bakal ngurus." Chalya semakin menantang sang Papa.

"Kakak," kata Yanti dengan gelengan kepala.

Kekecewaan yang memuncak sangat Yanti rasakan sehingga putrinya sampai mengatakan kalimat itu. Diakui atau tidak, keinginan sang putri mewakili isi hatinya. Namun, janji suci saat pernikahan dan tumbuh kembang anak-anak salah satu yang membuatnya bertahan dengan segala kesakitan ini.

"Itulah hasil didikanmu. Sekarang kamu paham 'kan. Apa alasanku melakukannya? Dasar perempuan nggak becus. Lelaki itu pergi meninggalkan mereka.

"Kak, jangan ngomong gitu lagi. Nggak boleh, Nak. Mereka semua adalah orang yang lebih tua, nggak seharusnya Kakak gitu," nasihat perempuan berambut lurus hampir sepinggang itu pada putrinya.

Chalya mengangguk paham, tak ingin membantah perkataan orang yang sangat disayanginya. "Ayo pulang, Ma. Kehadiran kita tidak diharapkan di sini."

"Sebentar, Kak. Tunggu di luar dulu. Mama mau ngasih ini ke Nenek." Yanti menunjukkan tas plastik berwarna merah yang berisi buah-buahan. Mereka membelinya saat diperjalanan tadi.

"Jangan lama-lama, Ma, atau mereka akan menghina lagi," kata Chalya yang diangguki Yanti.

Gegas Yanti memberikan bingkisan yang dibawa pada sang mertua. Kembali cibiran terlontar dari mulut mereka. Perempuan itu meneguhkan hati, dia harus tetap bertahan.

Walau sakit aku akan bertahan, meski pahit aku coba menikmati dan saat berat melanda aku akan mengikhlaskan. Takdir ini ke depannya aku tak tahu seperti apa. Bisa jadi jalan kehidupan yang penuh air mata ini, kelak akan menjadi syukur yang paling membahagiakan.

Yanti menyeka air mata, dia harus tetap terlihat tegar di depan putrinya.

Waktu yang tidak terlalu lama ditempuh orang tua dan anak itu untuk sampai ke rumah mereka. Si Adik yang sedang duduk-duduk di depan televisi sambil menikmati keripik pisang, tersedak mendengar salam mereka. Tak menyangka secepat itu Mama dan sang Kakak datang.

"Tumben bentar, Ma. Katanya pengajian Kakek masih nanti setelah salat magrib. Nih, belum magrib, lho. Baru setengah jam lalu asar." Bagas berkata dengan keripik pisang masih di tangan kanan.

"Ya, berati tugas kita di sana dah selesai, Dik," jawab Chalya santai sambil mencomot keripik juga.

"Emang acaranya di majuin gitu, Kak?"

"Pas nyampe sana acara sudah selesai, Dik. Lha daripada ngerepotin Nenek, kita pulang aja. Iya 'kan, Ma?" tanya Chalya.

"Iya." Yanti langsung masuk ke kamar setelah berkata.

*****

Yanti masih betah di dalam kamar, meskipun anak-anaknya memanggil untuk makan malam. Sebagai seorang putri yang sudah beranjak dewasa, Chalya paham jika mamanya perlu waktu menyendiri. Dia bahkan mengambil alih sebagian tugas sang Mama. Seperti menghangatkan masakan untuk makan malam kali ini. Namun sayang, orang tua yang telah melahirkannya itu kehilangan hasrat makan karena masalah yang di hadapi.

Sampai pukul sebelas malam, Basuki belum juga kembali. Resah mulai melanda Yanti, takut terjadi apa-apa pada lelaki yang masih berstatus suaminya itu. Dia mulai mencari ponsel untuk menghubungi sang suami, tetapi saat panggilannya terangkat suara perempuan terdengar.

"Dasar perempuan nggak tahu malu. Sudah nggak diharapkan masih aja ngeyel ngubungi. Mas Basuki lagi tidur, dia kecapean setelah nengok calon anaknya di perutku. Kamu pasti tahu maksudku, 'kan?" kata Ilyana diselingi tawa.

"Dia masih suamiku. Aku berhak mengkhawatirkan keadaannya." Yanti memejamkan mata, mencoba menghalau air yang akan keluar dari inderanya.

"Itu katamu, tapi Mas Basuki nggak bilang, tuh." Tawa Ilyana makin mengeras.

Jempol kanan Yanti segera menekan tombol merah, mengakhiri panggilannya. Kalah ... dia telah kalah oleh permainan takdir. Pertahanannya semakin menipis menghadapi teror verbal yang terus-menerus dia dapatkan. Mungkin inilah ujian terberat pernikahannya dengan Basuki. Jika selama ini lelaki itu sudah sering mengkhianati, tetapi tak separah keadaan sekarang hingga menyebabkan perempuan pemuas nafsunya hamil.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status