Share

5. Dua Perempuan

Happy Reading

*****

"Temui aku di kafe sembilan enam, dekat rumahmu. Sekarang nggak pake lama!" pinta Ilyana di telepon.

"Maaf, aku masih banyak kerjaan," jawab Yanti ramah.

"Halah, kerjaan cuma ngurus rumah aja sok. Jangan buat aku marah, deh. Aku bisa laporin ke Mas Basuki biar kamu tahu rasa."

"Setengah jam lagi, itu kalau kamu mau. Kalau nggak, ya, sudah." Yanti menjawab santai.

"Oke, jangan molor kayak karet." Ilyana menutup panggilannya.

Yanti menatap layar ponsel tak percaya. Ada angin apa sehingga Ilyana meminta bertemu. Jika untuk memaki-maki, rasanya tidak mungkin. Bukankah yang bersalah adalah perempuan itu. Perempuan muda itu yang hadir di tengah rumah tangga antara dirinya dan Basuki.

Semoga hati dan pikirannya sudah terbuka untuk tidak mengganggu hubungan rumah tanggaku. Doa Yanti dalam hati.

Kurang dari setengah jam, perempuan dengan tinggi sekitar 155 sentimeter itu sudah keluar rumah. Mengendarai motor matic butut milik sang suami sejak jaman mereka sekolah, Yanti menuju kafe tempat janjian. Suasana kafe sepi, mungkin karena jam kantor sehingga pengunjung, hanya ada beberapa orang saja.

Masuk lebih dalam ke kafe, Yanti melihat lambaian tangan Ilyana. Santai, tenang, dia berjalan mendekati perempuan yang hadirnya mengusik ketenangan rumah tangga. Tak ada senyum atau sapaan salam dari kedua perempuan itu. Wajah tegang dan serius menyelimuti.

"Duduk! Aku sudah pesankan minuman tadi," ucap Ilyana, "aku ngajak kamu ketemuan bukan untuk makan-makan atau bersenang-senang. Tanda tangani surat ini!"

"Apa ini? Aku nggak mau asal membubuhkan tanda tangan," jawab Yanti.

"Surat perceraianmu dengan Mas Basuki. Keluargaku nggak mau aku dipoligami. Satu-satunya jalan kalian harus bercerai." Ilyana menatap sinis pada perempuan yang masih sah sebagai istri kekasihnya.

"Aku nggak salah dengar? Kenapa bukan kamu yang pergi dari hidup Mas Basuki. Kamu tahu, antara aku dan dia ada anak-anak. Nggak mungkin kami seenaknya bercerai."

"Tapi Mas Basuki udah nggak cinta lagi sama kamu. Di dalam perutku juga ada calon anaknya. Ngalah aja kenapa? Lagian kamu cuma jadi benalu dalam hidupnya." Ilyana berkata sedikit keras.

"Di perutmu itu cuma calon anak. Inget, ya, cuma calon dan itupun belum diketahui bener janin suamiku atau bukan."

Ilyana menggebrak meja. "Jangan sembarangan, ya! Aku tahu siapa bapak janin yang sedang kukandung ini."

"Halah! Aku yakin, perempuan macam kamu, bukan hanya tidur dengan satu laki-laki. Ngaku aja, deh." Entah ketenangan dari mana yang Yanti peroleh saat ini. Luapan emosi perempuan itu nyaris tak keluar.

"Sudahlah! Tanda tangani surat perceraian itu atau aku akan melaporkan hinaanmu saat ini pada Mas Basuki."

"Aku nggak mau!" ucap Yanti keras, "nggak ada yang mau diomongin lagi, 'kan. Aku pulang." Perempuan itu berdiri dan berjalan pergi meninggalkan Ilyana.

"Apa Mbak nggak kasihan sama bayi ini? Dia butuh kasih sayang orang tua seutuhnya. Gimana perkembangan spikologinya kalau papanya punya istri. Belum, malu yang akan ditanggung keluargaku. Tolonglah, Mbak. Tanda tangani surat perceraian itu."

Wajah memelas dengan indera yang mulai berkabut tampak oleh Yanti. Nyaris perempuan itu menaruh rasa iba, sebelum Ilyana mengangkat telepon dan tersenyum.

Perempuan macam apa dia. Belum ada sedetik sudah berubah haluan.

Yanti melanjutkan langkahnya. Namun, kekasih gelap sang suami kembali memanggil.

"Mbak, aku belum selesai ngomong. Gimana, sih?" Ilyana menghentakkan kaki.

Yanti berbalik. "Apalagi?"

"Nih!" Ilyana menyodorkan sebuah map, "cepet tanda tangani itu!"

"Kamu egois! Jika otakmu punya rasa malu dan bisa berpikir gimana nasib janin itu, lalu di mana kamu taruh pikiranmu untuk anak-anakku," ucap Yanti. Dia mengembuskan napas panjang kemudian berkata, "kenapa tidak kamu gugurkan kandunganmu saja."

"Gila kamu, ya." Setengah teriak Ilyana menjawab. Beruntung keadaan kafe sepi, jadi bisa mengurangi sedikit rasa malu.

"Jika aku gila, lalu sebutan buat kamu apa?" Yanti tak peduli lagi dengan perempuan yang masih berpakaian seksi itu.

Keluar dari kafe, Yanti tak langsung pulang ke rumah. Di persimpangan beberapa meter dari tempat tinggalnya, dia berbelok arah menuju taman hijau yang sengaja dibuat untuk tempat bermain anak-anak di perumahan sekitarnya. Menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk menenangkan hati yang semakin bergejolak. Percakapan yang mampu membuat otak mendidih, pertemuan macam apa seperti itu.

Jika dengan perempuan lain, maka habis sudah Ilyana dicaci maki. Namun, hal itu tidak dilakukan oleh Yanti sekalipun kalimat yang terlontar tadi cukup menyakitkan juga. Perempuan yang mengenakan dress sederhana itu menaruh kepala pada sandaran bangku taman, menutup mata membayangkan awal hubungannya dengan Basuki.

Bermula dari cinta monyet pada masa putih biru. Keduanya mengukuhkan janji saat duduk di bangku sekolah menengah. Janji untuk tetap bersama, meskipun sang kekasih menempuh pendidikan yang lebih tinggi di luar kota tak mampu menggoyahkan cinta mereka.

Satu tahun di jenjang perguruan tinggi mereka menghalalkan hubungan. Sempat keluarga menentang pernikahan karena Yanti dianggap akan mengganggu keberhasilan dan kesuksesan Basuki. Namun, lelaki itu mampu membuktikan semua pada keluarganya.

Ujian pertama pernikahan mereka saat Yanti tengah mengandung Chalya. Suaminya itu sempat mengatakan jatuh cinta pada salah satu teman kuliah dan tahun-tahun berikutnya masalah dan ujian serupa kembali datang. Basuki terus menguji kesabaran Yanti sebagai pendamping hidup.

Sejak pengangkatannya sebagai pegawai negeri sipil di kecamatan, kelakuan Basuki menggila. Kabar perselingkuhan berseliweran menghampiri sang istri. Puncak semua itu adalah kabar kehamilan Ilyana.

Yanti membuka mata. "Ya Allah, sampai kapan aku akan menerima ujian ini? Rasanya ingin menyerah saja," ucapnya lirih.

Cuaca yang semakin panas membuat perempuan itu bangkit dari duduk. Sekilas melirik arloji di tangan kiri dan segera pergi dari sana. Sudah terlalu lama dia keluar rumah, sebentar lagi Bagas dan suaminya pasti pulang begitu pikir Yanti.

Perempuan dua anak itu melajukan kendaraan di atas rata-rata, demi mencapai rumah dengan cepat. Jangan sampai anak dan suaminya pulang terlebih dahulu. Namun, ketika dia sampai di depan pagar rumah, mobil Basuki sudah masuk garasi. Pelan, Yanti membuka gerbang dan memarkirkan motor.

Baru saja perempuan itu menurunkan dongkrak motor, suara Basuki melengking memanggil namanya. Kelopak mata lelaki itu membuka sempurna, berwarna kemerahan. Nyali Yanti menciut, menatap suaminya.

"Dari mana kamu? Suami kerja bukannya diam di rumah malah keluyuran nggak jelas," kata Basuki kasar.

"Mas, dengar dulu," pinta Yanti yang berjalan mendekati sang suami. "Aku keluar memang ada keperluan. Kita masuk dan aku jelaskan semua. Malu kalau sampai tetangga dengar pertengkaran kita."

"Biar saja mereka tahu kelakuan burukmu. Jadi istri kok keluyuran aja. Udah nggak ngapa-ngapain juga." Yanti tak menghiraukan perkataan Basuki. Dia berjalan begitu saja melewati sang suami.

"Ardiyanti!" teriak Basuki, "apa kamu tuli, ha?"

Perempuan itu masih terus berjalan hingga dia benar-benar di dalam rumahnya. Duduk di sofa depan ruang televisi dan memijit pelipisnya ringan. Rasanya dia sudah akan menyerah dengan pernikahan ini.

Basuki menarik rambut Yanti. "Kupingmu ada berapa sampai nggak dengar omonganku," katanya kasar.

"Aduh! Sakit, Mas," rintih Yanti.

"Benar kata Ilyana. Aku harus menceraikanmu secepatnya."

Air mata itu jatuh, masihkah Yanti akan bertahan jika Basuki tak mengharapkan kehadirannya sebagai pendamping lagi.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status