Share

3. Tak Tahu Malu

Happy Reading

*****

Segala kesakitan dan pertanyaan masih tersimpan sampai saat ini. Alih-alih menanyakan pada sang suami, Yanti malah memikirkan bagaimana perasaan Basuki jika benda yang meruntuhkan hati itu ditanyakan pada jam kerja. Tentu fokus sang suami terpecah, jadi perempuan itu menangguhkan semua tanya hingga nanti si lelaki pulang.

Berbagai macam pikiran mulai terbayang. Isi kepala Yanti mulai merangkum beberapa kejadian sebelum-sebelumnya. Bagaimana sang suami sangat tegas mengatakan bahwa dia akan segera menikah dengan perempuan yang dibawanya kemarin. Sikap Baasuki yang makin abai dan kasar pada keluarga, mungkin benda itulah sumber segalanya.

Tugas mengurus rumah tetap perempuan itu lakukan walau hati dan pikirannya entah mengembara ke mana. Pekerjaan yang seharusnya selesai sebelum si bungsu datang, kini malah molor. Hingga Bagas pulang sekolah, masih banyak yang belum sempat tersentuh tangan.

Baju kering kemarin yang belum disetrika dibiarkan begitu saja di dalam keranjang. Yanti malah duduk termenung menatap akuarium mini yang berisi ikan hias kecil-kecil milik Bagas. Tangan kirinya menopang wajah, matanya terpejam memikirkan sesuatu. Sementara tangan kanan masih memegang benda penghancur hati. Beberapa kali jari-jarinya memijit pelipis yang makin terasa nyeri. Sering juga dia mengembuskan napas panjang. Benda kecil itu sanggup meruntuhkan kepercayaan bahwa suaminya akan segera berubah.

Bagas yang baru pulang dari sekolah, mendapati mamanya yang tampak lelah. Suara salam yang dia berikan tak juga dijawab hingga beberapa kali mengulang. Diam-diam dengan berjinjit, bocah itu mendekati Yanti. Setelah jarak mereka cukup dekat, Bagas mencium pipi kiri mamanya.

"Astagfirullah, Adik," ucap Yanti kaget, "masuk salam dululah, Nak. Kalau Mama jantungan gara-gara kaget gimana?"

"Adik tadi udah salam. Mama aja yang nggak dengar, makanya langsung cium biar tahu kalau Adik pulang," terang Bagas.

Yanti menyembunyikan benda mungil tadi di bawah paha kanan sebelum si bungsu mengetahui dan bertanya.

"Makasih, ya, Ma. Udah dibawain bekal tadi. Untung aja Mama nitipin ke Kakak kalau nggak, Adik bisa kelaparan. Mana lagi pelajaran olahraga." Bagas mengembuskan napas panjang, sebentar. Teringat kejadian tadi pagi yang membuatnya enggan sarapan.

"Sama-sama, Sayang. Udah tugas Mama merhatiin kalian semua."

Pikiran Yanti kembali mengambara. Biasanya, jika salah satu anaknya pulang sekolah perempuan itu gesit menyiapkan makan buat mereka, tetapi tidak kali ini. Dia diam saja dengan mata menatap plafon.

"Adik mau ganti baju dulu, Ma," pamit Bagas yang masih bingung dengan keadaan mamanya.

Sekitar lima belas menit kemudian, suara salam lelaki yang ditunggu-tunggu terdengar. Kebiasaan Basuki jika waktu makan siang akan pulang ke rumah dan hal itu belum berubah sampai saat ini. Yanti beranjak dari duduk menyambut sang suami. Namun, kakinya mendadak seperti tertempel lem, tatapannya tajam melihat tangan Basuki yang menggandeng seseorang.

"Ma, siapkan makan siang, ya. Dua porsi, sekalian buat dia," lirik Basuki pada perempuan yang dibawa. Kemarin pun, perempuan itu datang dan menimbulkan gonjang-ganjing di rumah mereka.

"Istrimu lelet banget, sih, Mas. Betah, ya, hidup sama perempuan kayak gitu," cibir perempuan yang mengenakan rok di atas lutut dengan kemeja berlengan pendek ketat. Lekukan tubuhnya terlihat jelas, apalagi bagian depan tampak membusung.

Yanti berjalan ke arah dapur. Malas berdebat karena di rumah ini bukan cuma ada dia, tetapi si bungsu juga. Satu jam lagi si sulung juga datang. Jika perempuan itu tidak segera melaksanakan perintah Basuki, pasti keributan seperti kemarin bakal terjadi. Psikis buah hati mereka perlu dijaga.

Semua masakan yang sudah di masak, Yanti hidangkan di meja makan. Sayur sup ditemani ayam goreng kalasan dengan sambel kecap diberi sedikit kacang terlihat menggoda. Tempe dan tahu bacem menjadi lauk pelengkap makan siang kali ini. Selesai menyiapkan semua, perempuan itu memanggil suami dan anaknya.

Dari arah kamar, Bagas keluar. Tepat di pintu yang menghubungkan dapur dan meja makan dia melihat perempuan yang ditemuinya kemarin. Kakinya berbelok arah, enggan makan siang bersama papanya dan hal itu diketahui Yanti.

"Dik, ayo makan siang. Dari pulang sekolah tadi kamu 'kan belum makan," pinta Yanti.

"Adik nggak laper, Ma. Nanti aja nunggu Kakak." Bagas berjalan ke kamar lagi.

"Silakan kalian makan dan nikmati hidangan itu tanpa memikirkan perasaan kami," sindir perempuan berkulit sawo matang itu. Namun, dia tetap berada di meja makan.

"Masakan sederhana gini, mana bisa aku makan dengan nikmat, Mas. Istrimu nggak bisa apa masak yang lebih wah, gitu," ujar perempuan yang dibawa Basuki.

"Ini aja udah lezat, Sayang. Aku 'kan harus nabung buat pernikahan kita nanti." Basuki mencoba merayu si perempuan.

Cemburu, jelas Yanti rasakan. Tak ada satu perempuan pun sudi melihat kejadian seperti yang dialaminya di depan mata. Kata-kata manis dan rayuan suaminya pada sang perempuan berbanding terbalik dengan perlakuan kepadanya. Yanti mengelus dada, menahan emosi yang mulai merayap di hati.

"Mas, setelah makan nanti kita perlu bicara. Ada hal penting yang ingin aku tanyakan." Setelah mengambil piring berisi makanan, Yanti meninggalkan mereka berdua.

"Mau ngomong apa perempuan itu, Mas?" tanya wanita yang bernama Ilyana.

Basuki mengangkat kedua bahu dan melanjutkan acara makan siang. Memasukkan makanan yang sudah di masak sang istri ke dalam mulut. Tak memungkiri keahlian Yanti dalam mengolah masakan, lelaki itu selalu puas dengan hasilnya.

Selesai menghabiskan makananan, Basuki meninggalkan Ilyana. "Bereskan meja, ya. Aku mau temui istriku."

"Lho, kok, aku? Aku kan nggak bisa ngerjain yang berat-berat, Mas. Kalau sampai dia kenapa-kenapa, nyesel, lho." Ilyana mengusap perutnya yang belum terlihat membuncit.

"Apanya yang berat? Cuma naruh piring kotor ke cucian aja. Jangan malas, deh. Perempuan hamil juga butuh gerak." Basuki meninggalkan Ilyana tanpa menatap lagi.

Hentakan kaki merupakan protes dari sikap Basuki. Ilyana merengut, marah. Apa-apaan dia? Aku kan males kalau suruh ngerjain beginian.

Setengah hati, perempuan itu membereskan peralatan yang ada di meja. Menaruhnya pada wastafel di dapur tanpa berniat mencuci. Setelah itu, Ilyana menghampiri sang kekasih.

"Ya, itu memang punya Ilyana. Terus kamu mau apa? Nggak terima kalau aku nikah lagi?" kata Basuki penuh emosi.

"Mas, lihat anak-anak. Bayangkan perasaan mereka saat tahu papanya menghamili perempuan lain. Kamu itu abdi masyarakat." Yanti berkata disertai isakan kecil.

"Ya, mau gimana lagi. Dia terlanjur hamil. Lagian semua ini terjadi juga gara-gara kamu."

Yanti mendelik, tak percaya ucapan suaminya. "Salahku di mana, Mas?"

"Ya, salah. Kamu jarang nemenin aku ke acara-acara kantor. Kalau diajak keluar sekedar bersenang-senang alasanmu banyak banget. Belum lagi saat aku membutuhkan kehangatan malam hari. Kamu sering menolak dengan alasan capek."

Yanti terhuyung ke belakang hingga terjatuh di pinggir ranjang. Teganya lelaki itu berkata menyakitkan seperti barusan. Seluruh pengorbanannya tak berarti apa pun.

"Tuh, denger. Makanya jadi istri yang becus ngurus suami." Ilyana nyelonong masuk ke kamar mereka berdua.

Sesuatu yang seharusnya tak boleh dilakukan oleh seorang tamu.

Basuki menggandeng tangan Ilyana keluar, meninggalkan istrinya yang meratapi kesedihan. Tak ada penyesalan atau permintaan maaf. Semua seolah biasa saja bagi lelaki itu dan sang kekasih.

Di mana rasa malu saat berbuat dosa yang telah mereka lakukan? Semua dilakukan secara terang-terangan di depan mata perempuan yang telah sah sebagai pasangan Basuki. Jika sudah seperti ini di mana letak kesalahan itu?

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status