Inicio / Young Adult / Gejolak Berbahaya Anak Bos. / Bab 3. Tawaran gila Gelora.

Compartir

Bab 3. Tawaran gila Gelora.

Autor: Bulandari f
last update Última actualización: 2025-10-21 00:58:30

Bab 3.

Tawaran gila Gelora.

“Menurutku,” suara Gelora lembut tapi dingin, “kau sedang main api, Delon.”

Delon mencengkeram ujung meja kecil di lorong itu, wajahnya tegang dan merah karena marah. “Aku nggak peduli. Kamu yang bikin hidupku berantakan semalam.”

Gelora memiringkan kepala, senyumnya tipis. “Berantakan? Baru semalam, Delon. Masa hidupmu rapuh begitu?”

Suara langkah para staf tertahan di belakang, tak berani bergerak. Mereka seperti menonton bom waktu yang sebentar lagi meledak.

Delon menggeram pelan. “Kamu tenang banget setelah aku bilang kamu cewek gila?”

“Ah.” Gelora tertawa kecil, mencolek dagunya sendiri seolah sedang berpikir. “Aku sudah sering dipanggil banyak hal lebih… menarik dari itu.”

Ia mendekat.

Delon refleks mundur satu langkah.

Aura Gelora begitu mendominasi, seperti seseorang yang tahu persis cara membuat orang lain merasa kecil.

Gelora menatap ke mata Delon, tidak berkedip. “Tapi jarang ada yang berani mengatakannya di depan wajahku.”

Delon melirik kanan-kiri, menyadari tatapan semua orang. “Sudahlah. Aku nggak mau ribut di sini.”

“Tapi kamu sudah memulainya,” jawab Gelora pelan. “Dan yang menarik… aku menikmatinya.”

Delon menghela napas kasar. “Aku cuma mau kerja. Itu saja.”

“Oh?” Gelora menaikkan alis. “Kerja?”

Suara langkah berat menghentikan pergerakan semua orang. Direktur Rian muncul dari balik kerumunan, menunduk hormat pada Gelora.

“Bu Gelora… saya… saya tidak tahu kalau—”

Gelora mengangkat satu tangan. “Pak Rian, kita nanti bicara soal karyawan baru Bapak ini. Ada banyak hal yang harus dievaluasi.”

Delon merasakan tengkuknya panas.

Gelora menyipitkan mata ke arahnya. “Sangat banyak.”

---

Sore itu, setelah jam kantor selesai, Delon dipanggil ke ruang direktur.

Pak Rian menatapnya dengan wajah datar tapi kaku.

“Kamu tahu apa yang kamu lakukan tadi pagi?”

“Aku cuma—”

“Diam!” bentak Rian. “Kamu sadar siapa wanita itu? Itu anak pemilik perusahaan ini. Kamu kira kamu boleh bicara seenaknya?”

Delon mengepalkan tangan. “Tapi—”

“Tidak ada tapi!” Rian membanting map ke meja. “Akan kupertimbangkan apakah kamu masih pantas bekerja di perusahaan ini.”

Delon merasakan dunia seperti runtuh.

“Aku…" suaranya serak. “Aku butuh kerja ini, Pak.”

“Semua orang butuh pekerjaan,” jawab Rian dingin. “Tapi tidak semua orang sebodoh kau sampai menyinggung keluarga pemilik perusahaan.”

Delon terdiam.

“Aku akan beri kabar besok. Sekarang pulang.”

---

Di depan gedung kantor, Delon berjalan mundur perlahan saat melihat sosok familiar dengan gaun hitam, rambut tergerai, dan kacamata hitam mahal.

Gelora.

Dua bodyguard tinggi mendampinginya, membukakan pintu mobil hitam mewah itu.

Delon mengepalkan gigi.

Ini waktunya.

Ia melangkah cepat, mendekati Gelora.

“Hey.” suaranya berat. “Kita belum selesai.”

Dua bodyguard langsung bergerak menghalangi, satu menaruh tangan di dada Delon.

“Jaga sikapmu.”

Delon menepis tangan itu. “Aku cuma mau bicara!”

Bodyguard langsung mendorongnya sedikit. “Jangan sentuh Nona.”

Gelora menoleh, lalu mengangkat satu jari.

“Biarkan dia.”

Kedua bodyguard mundur.

Gelora bersandar pada pintu mobil, menatap Delon seolah ia sedang menonton hewan liar yang baru saja lepas dari kandang.

“Ada apa lagi?” tanyanya tenang.

Delon maju satu langkah. “Apa maksudmu bikin aku seperti itu di kantor? Kau mau bikin aku dipecat?”

Gelora menghela napas panjang, seakan bosan. “Kau sendiri yang cari masalah, Delon.”

“Aku cuma bilang yang sebenarnya.”

“Dan aku cuma membalasnya dengan caraku.” Gelora tersenyum kecil. “Adil, kan?”

Delon merasakan dadanya panas. “Aku minta pertanggungjawaban mu.”

Bodyguard di sampingnya langsung menegang.

Gelora mengangkat tangan sedikit. “Tenang. Aku suka caranya bicara.”

Ia mendekat, menatap Delon dari jarak sangat dekat.

“Kau mau pertanggungjawabanku?” bisiknya.

Delon menahan napas.

“Begini saja,” lanjut Gelora manis, tapi tatapannya gelap. “Aku bisa membantumu tetap bekerja di perusahaan ini. Bahkan aku bisa membuat Pak Rian minta maaf padamu.”

Delon terkejut. “Serius?”

Gelora mengangguk. “Tentu. Aku hanya punya satu syarat.”

“Apapun itu…” Delon menatap lurus. “Asal aku tetap kerja.”

Gelora menaikkan satu jari dan meletakkannya di dada Delon.

“Kau mengikuti maunya aku.”

Delon mengerutkan kening. “Maksudmu…?”

“Aku akan bilang kapan kau datang, kapan kau pulang, kapan kau harus ke ruanganku, kapan kau harus menjawab pesanku.” Senyumnya melebar. “Kau milikku. Untuk sementara.”

Delon mengendurkan bahu perlahan. “Kau pikir aku gila? Aku bisa dapat kerja lain!”

Gelora tertawa pelan. “Tentu saja bisa.”

Ia menepuk bahu Delon dua kali lalu masuk ke mobil.

Mobil itu pergi meninggalkannya.

Delon mengumpat dalam hati.

“Aku bisa kerja di tempat lain. Gampang.”

---

Tapi seminggu kemudian…

Tidak ada satu pun perusahaan yang memanggilnya.

Bahkan bukan sekadar tidak dipanggil—emailnya tidak dibalas, lamaran ditolak dalam hitungan jam, bahkan beberapa perusahaan menolak sebelum membaca resume.

Hari ketiga, salah satu HRD menghubunginya diam-diam lewat nomor pribadi.

“Mas Delon… maaf ya. Namamu… kayaknya diblacklist dari beberapa perusahaan besar di kota ini.”

Delon terpaku. “Apa… maksudnya?”

“Saya dapat info… ada orang berpengaruh yang menghalangi.”

Nama itu muncul di kepala Delon secepat petir.

Gelora.

Delon membanting ponselnya ke sofa. “Sialan kamu…”

---

Sementara itu, di ruangan penthouse mewah, Gelora duduk sambil memandangi layar tablet.

Foto-foto Delon muncul satu per satu—CV, riwayat pekerjaan, akun media sosial, alamat rumah.

“Lulusan bagus. Karakter keras kepala. Tidak mudah tunduk.” Gelora tersenyum kecil. “Menarik.”

Viola berdiri di sampingnya. “Kamu cari tahu semua tentang dia?”

“Tentu saja. Aku suka pria yang melawan.” Gelora menutup tablet. “Yang tunduk itu membosankan.”

Viola tertawa kecil. “Lalu? Akan kamu apakan?”

Gelora memutar sedotan dari gelasnya. “Biarkan dia merangkak dulu.”

---

Seminggu kemudian, keadaan Delon semakin buruk.

Ibunya jatuh sakit. Pengobatan butuh uang.

Banyak uang.

Delon menghitung uang di dompetnya dengan gemetar. “Mana cukup…”

Ia pulang pergi melamar ke ratusan tempat.

Bahkan restoran kecil pun menolaknya.

“Maaf, Mas. Ada… masalah dengan nama Mas.”

Delon akhirnya mendengar kata itu lagi:

“Blacklist.”

Dia duduk di trotoar malam itu, tangan gemetar, bahunya naik-turun menahan napas.

“Kenapa hidupku jadi gini…”

Ia memejamkan mata.

Dan hanya satu nama yang muncul di kepalanya. Siapa lagi kalau bukan Gelora.

Pukul 22.17.

Depan gedung apartemen mewah Gelora.

Delon berdiri di depan layar interkom, wajahnya letih, mata merah.

Security menatapnya curiga. “Mas mau apa?”

Delon menelan ludah. “Aku mau ketemu Gelora. Bilang… Delon datang.”

Security mengangkat alis. “Nggak bisa sembarang orang—“

Tapi suara wanita terdengar di speaker interkom.

“Biar dia masuk.”

Pintu otomatis terbuka.

Security bahkan ikut menegakkan badan, tanda kalau suara itu tak bisa dibantah.

Delon naik ke lantai 37, jantungnya berdegup keras.

Pintu penthouse terbuka sebelum ia mengetuk.

Gelora berdiri di sana, bergaun satin tipis, rambut terurai, menatapnya seperti menatap hadiah yang baru datang telat.

“Delon. Akhirnya.”

Delon masuk, menahan napas. “Aku… butuh bantuanmu.”

Gelora mendekat perlahan.

“Aku tahu.”

Delon menggertakkan gigi. “Aku butuh uang… buat berobat ibu. Tolong aku…”

Gelora menatapnya lama.

Lalu ia tersenyum.

Senyuman pemenang.

“Aku bisa bantu kau dapat pekerjaan lagi, Delon.”

Delon menunduk pasrah. “Apa syaratmu kali ini…”

Gelora menyentuh dagunya, mengangkat wajah Delon agar menatapnya.

“Syaratnya sama,” bisiknya.

Delon menahan napas.

“Kau mengikuti maunya aku.”

Ia menatap Delon dengan tatapan gelap, obsesi yang perlahan mulai terlihat di balik senyumnya.

“Kau milikku.”

Delon memejamkan mata.

Ini adalah pilihan yang paling ia benci.

Tapi ia tidak punya pilihan lain.

Untuk ibunya.

Ia mengangguk pelan.

Gelora tersenyum puas.

“Bagus.” Ia menarik dagunya lebih dekat. “Kita mulai besok.”

Dan malam itu, Gelora tahu satu hal pasti:

Delon akhirnya jatuh ke dalam jebakan yang ia buat sejak awal.

Dan yang membuatnya semakin berbahaya adalah—

Gelora menyukai setiap detik dari proses itu, apalagi Delon adalah satu-satunya cara agar ia bisa bebas dari tekanan orang tuanya.

"Pekerjaan apa yang akan diberikan wanita gila itu padaku?"

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 6. ajakan menikah

    BAB 6 — Atmosfer dingin malam itu menyibak kulit Delon semakin dalam, menusuk sampai ke tulang. Hembusan angin terasa seperti peringatan keras yang tak bisa ia abaikan. Ia berdiri kaku di depan Gelora, tubuhnya gemetar bukan karena cuaca, melainkan karena kenyataan pahit bahwa hidupnya kini berada sepenuhnya dalam genggaman wanita itu. Ia tidak tahu kapan tepatnya ia terlibat terlalu jauh dengan Gelora. Yang ia tahu hanyalah satu hal: dia sudah terjebak.Terjebak dalam permainan Gelora yang kejam. Wanita yang membuat hidupnya runtuh sedikit demi sedikit, seperti pasir di tangan yang perlahan hilang tertiup angin.Delon melangkah satu langkah mendekat, tanpa keraguan meski hatinya dipenuhi ketakutan. Sorot mata gelapnya tajam, namun di balik itu ia menyembunyikan kemarahan dan keputusasaan. Suaranya bergetar saat akhirnya ia bicara.“Apa nggak ada cara lain?” tanyanya dengan nada lirih namun terdengar jelas, sebuah permohonan yang nyaris terdengar seperti rintihan.“Aku tidak setuju k

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 5. Dipaksa menikah dengan anak bos

    Bab 5 — Delon sempat berpikir bahwa pagi itu adalah awal dari tawaran pekerjaan yang memalukan, atau mungkin sebuah permintaan untuk kembali menyerahkan dirinya pada posisi tawar yang rendah. Tapi ia salah. Justru lebih parah dari itu.Mobil mulai melambat saat memasuki kawasan villa keluarga yang terlalu megah untuk ukuran orang biasa. Halaman luas dengan air mancur, dinding putih pualam, taman yang ditata seperti karya seni, dan aroma kemewahan yang menyesakkan. Delon bahkan belum sempat merasa rendah diri ketika suara di sampingnya sudah lebih dulu menjatuhkannya ke realita:“Delon.” Suara itu rendah. Gelora menatapnya tajam tanpa kedipan. “Begitu kita masuk, kamu jangan bantah ucapan ku sedikitpun, kamu cukup menganggukkan kepala, apa pun yang aku bilang. Angguk. Senyum. Bicara seperlunya. Menurut.”Delon menelan ludah. “G—Gelora, aku…”“Menurut,” ulangnya, memotong dengan nada final seperti pintu besi yang dikunci. “Kalau kamu berpikir ibumu penting, kamu akan ikut permainan ini

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 4. Apa yang sedang kamu pikirkan

    Bab 4 Delon menatap layar ponselnya cukup lama, seolah pesan itu bisa berubah kalau ia menunggu. Tapi tetap sama. "Jam tujuh pagi kamu sudah harus tiba di villa ku." “Villa? Villa mana lagi…” gumam Delon kesal, mulutnya mencebik, napasnya berat. “Cewek itu makin hari makin aneh… ngatur-ngatur seenaknya.” Belum sempat rasa kesalnya hilang, ponselnya kembali berbunyi. "Besok pagi kamu tunggu di depan rumahmu. Akan ada yang jemput." Delon menutup matanya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik kemudian ponselnya sudah melayang ke sofa. “Sialan…” geramnya. “Seenaknya banget dia atur hidup orang.” Ia ingin marah, ingin teriak, ingin bilang “tidak”—tapi bahkan itu pun tidak bisa. Bukan sekarang. Bukan ketika biaya obat-obatan ibunya sudah hampir tidak bisa ia tutupi. Delon memijit batang hidungnya, mencoba menekan perasaan yang muncul. Marah, kecewa, takut… bercampur jadi satu. Ia tahu persis kondisi dirinya sekarang: dia tidak punya ruang untuk memilih. “Demi ibu… a

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 3. Tawaran gila Gelora.

    Bab 3. Tawaran gila Gelora. “Menurutku,” suara Gelora lembut tapi dingin, “kau sedang main api, Delon.”Delon mencengkeram ujung meja kecil di lorong itu, wajahnya tegang dan merah karena marah. “Aku nggak peduli. Kamu yang bikin hidupku berantakan semalam.”Gelora memiringkan kepala, senyumnya tipis. “Berantakan? Baru semalam, Delon. Masa hidupmu rapuh begitu?”Suara langkah para staf tertahan di belakang, tak berani bergerak. Mereka seperti menonton bom waktu yang sebentar lagi meledak.Delon menggeram pelan. “Kamu tenang banget setelah aku bilang kamu cewek gila?”“Ah.” Gelora tertawa kecil, mencolek dagunya sendiri seolah sedang berpikir. “Aku sudah sering dipanggil banyak hal lebih… menarik dari itu.”Ia mendekat.Delon refleks mundur satu langkah.Aura Gelora begitu mendominasi, seperti seseorang yang tahu persis cara membuat orang lain merasa kecil.Gelora menatap ke mata Delon, tidak berkedip. “Tapi jarang ada yang berani mengatakannya di depan wajahku.”Delon melirik kanan-

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   BAB 2 — JEBAKAN AURORA

    BAB 2 — JEBAKAN AURORATubuh Delon masih oleng ketika Gekor menariknya masuk kembali ke dalam Club Aurora. Musik berdentum, cahaya neon berpendar, dan aroma alkohol bercampur parfum pekat menusuk hidungnya. Keributan tipis muncul—beberapa pengunjung menoleh, penasaran melihat seorang pria dengan kemeja kerja kusut diseret petugas keamanan.Di tengah VIP lounge, Gelora berdiri menunggu.Tatapannya menyapu tubuh Delon dari atas ke bawah—bukan dengan ketertarikan, melainkan kepuasan atas sebuah kemenangan.“Bagus,” katanya pelan saat Gekor melepaskan Delon di hadapannya. “Akhirnya kau kembali.”Delon mengusap sudut bibirnya yang perih. “Apa maumu sebenarnya?”Gelora melangkah mendekat, tumit stilettonya mengetuk lantai dalam ritme pelan tapi mengancam. Wajahnya mendekat sedekat beberapa sentimeter.“Mauku?” ia menghela napas seolah benar-benar mempertimbangkannya. “Hanya… kejujuran. Kau membuatku penasaran. Dan aku tidak suka merasa penasaran.”Ia menjentikkan jarinya.Seorang pelayan da

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 1. Gelora liar anak bos

    Di bawah cahaya neon yang berpendar lembut dan dentuman bass yang menggetarkan lantai, Club Aurora malam itu tampak seperti semesta kecil yang berputar dalam ritmenya sendiri. Lampu-lampu berwarna ungu dan biru menari di antara kabut tipis yang dihembuskan mesin asap, sementara aroma campuran parfum dan koktail memenuhi udara. Suasana hangat, bising, dan penuh tawa—tempat di mana waktu seolah melebur. Di tengah keramaian itu, Glora melangkah dengan percaya diri. Gaunnya memantulkan cahaya lampu, dan rambutnya tergerai sempurna. Ia ditemani beberapa sahabat yang sama riuh dan glamornya. Mereka duduk di VIP lounge, menatap kerumunan sambil sesekali saling menilai lelaki yang lalu-lalang. Beberapa pria mencoba datang mendekat—ada yang menawarkan minuman, ada yang berusaha memulai percakapan. Tapi tidak ada satu pun yang mampu menembus dinding di hati Glora. Senyumnya ramah, namun matanya tak tertarik. Pesona lelaki-lelaki itu memudar begitu saja sebelum sempat mendekat lebih jauh. Hin

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status