LOGINBab 4
Delon menatap layar ponselnya cukup lama, seolah pesan itu bisa berubah kalau ia menunggu. Tapi tetap sama. "Jam tujuh pagi kamu sudah harus tiba di villa ku." “Villa? Villa mana lagi…” gumam Delon kesal, mulutnya mencebik, napasnya berat. “Cewek itu makin hari makin aneh… ngatur-ngatur seenaknya.” Belum sempat rasa kesalnya hilang, ponselnya kembali berbunyi. "Besok pagi kamu tunggu di depan rumahmu. Akan ada yang jemput." Delon menutup matanya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik kemudian ponselnya sudah melayang ke sofa. “Sialan…” geramnya. “Seenaknya banget dia atur hidup orang.” Ia ingin marah, ingin teriak, ingin bilang “tidak”—tapi bahkan itu pun tidak bisa. Bukan sekarang. Bukan ketika biaya obat-obatan ibunya sudah hampir tidak bisa ia tutupi. Delon memijit batang hidungnya, mencoba menekan perasaan yang muncul. Marah, kecewa, takut… bercampur jadi satu. Ia tahu persis kondisi dirinya sekarang: dia tidak punya ruang untuk memilih. “Demi ibu… aku nggak bisa lawan dia.” Suara itu keluar lirih, hampir seperti bisikan yang ia ucapkan kepada dirinya sendiri. "Maafkan aku, Bu. Aku terpaksa menjual harga diriku demi uang," ujarnya penuh dengan penyesalan, karena paginya ia sudah ditunggu oleh seorang pria berpakaian rapi berdiri di depan rumah. Pria itu mengetuk pintu rumah Delon dengan sekali sampai tiga kali ketukan, dan itu benar-benar membuat Delon terpanjat dari tempat duduknya. "Sepagi ini?" tanyanya dengan bola mata melotot. "Aku belum menyelesaikan sarapan ku," lanjutnya sedikit kesal. "Ah." sampai ia membuang nafas kasar, karena mau gak mau dia harus berdiri dan membukakan pintu. "Apa gak bisa menunggu sebentar?" Delon langsung melempar pertanyaan, tapi si pria langsung menoleh ke arah jam tangannya. "Jam tujuh pas, Bu Gelora sudah menunggu," kata-kata yang dikeluarkan oleh si pria. Delon ingin membantah, tapi tidak tahu harus berkata apa, karena si pria langsung menyuruh Delon masuk ke dalam mobil . Kaca jendela belakang turun, dan muncul wajah yang sudah ia duga. Gelora. Dengan kacamata hitam yang menutupi setengah wajahnya, rambut rapi, dan sikap arogan yang seperti sudah menyatu dengan dirinya. “Masuk,” katanya singkat. Tidak ada salam. Tidak ada penjelasan. Tidak ada nada ramah. Hanya *perintah*. Delon mengembuskan napas panjang, membuka pintu mobil, lalu duduk tanpa komentar. Ia tidak menatap Gelora—tidak sanggup. Karena setiap kali ia menatap gadis itu, ia selalu merasa seperti sedang ditarik ke jurang yang sama sekali tidak ingin ia masuki. Ketika mobil mulai melaju, Delon akhirnya bicara. “Kenapa harus ke villa? Ada apa sebenarnya?” Gelora menurunkan kacamatanya sedikit, menatapnya dari atas bingkai kacamata. Tatapan itu seperti mengukur Delon, dari kepala sampai kaki. “Ada yang perlu kita bicarakan,” jawab Gelora santai. “Dan aku nggak suka bicara di tempat ramai.” Lalu ia melanjutkan, nada suaranya tajam tapi terdengar… rapuh? “Lagi pula, kamu butuh aku.” Delon menoleh cepat. “Apa?” “Kamu butuh uang, Delon.” Gelora menatap lurus ke depan. “Kamu butuh pekerjaanmu… kamu butuh tetap di perusahaan papaku. Kamu butuh tetap di posisi aman.” Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang seharusnya. Delon mengepalkan tangan, menahan amarah. “Jadi kamu pikir aku ikut karena takut? Karena aku nggak punya pilihan?” tanya Delon, suaranya bergetar. Gelora tidak langsung menjawab. Ia menoleh pelan, menatap Delon lebih lama dari biasanya. Tatapan itu aneh… campuran antara ingin marah, ingin memeluk, dan ingin lari di saat yang sama. “Kamu ikut karena aku bilang begitu.” Lembut, tapi tegas. Delon memalingkan wajah, rahangnya mengeras. Ia benci cara Gelora bicara. Benci caranya menguasai. Benci caranya muncul seenaknya dalam hidup Delon. Tapi pada saat yang sama… ia tidak pernah benar-benar bisa membenci gadis itu sepenuhnya. Ada sesuatu di balik sikap kasar dan nakalnya. Sesuatu yang Gelora sembunyikan, bahkan dari dirinya sendiri. Dan setiap kali Gelora bicara dengan Delon, ada getaran halus di udara—getaran yang tidak pernah muncul ketika ia bersama laki-laki lain yang ia gonta-ganti. Delon tahu itu. Gelora tahu itu. Mereka berdua hanya pura-pura tidak sadar. Perjalanan terasa panjang sebelum mobil memasuki kawasan villa milik keluarga Gelora—tempat mewah, luas, sepi, terlalu sunyi untuk seseorang seperti Delon. Sebelum turun, Gelora mendekat sedikit. Jarak mereka hanya beberapa sentimeter. Suara Gelora terdengar rendah dan berbahaya. “Mulai hari ini…” Ia menahan napas sebentar. “…aku nggak mau kamu jauh-jauh dari aku.” Delon merasakan dadanya mengencang. “Kenapa?” Gelora tersenyum tipis, senyum yang justru terlihat menyakitkan. “Karena kalau kamu pergi…” ia berhenti, suaranya bergetar sangat halus. “Aku nggak suka.” Delon menatapnya lama. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan. Tapi ia sadar: Gelora belum siap mengakui apa pun. Dan Delon tidak punya kekuatan untuk meninggalkan. Tidak sekarang. Tidak ketika hidupnya sedang berada di ujung tanduk. Delon akhirnya menghela napas. “Setidaknya berikan aku sedikit penjelasan, pekerjaan apa yang kamu tawarkan ke aku?" Gelora tersenyum simpul, sedikitpun tidak terlihat raut marah di wajahnya yang cantik, hanya tersisa kan raut ketertarikan yang sulit ia ungkapkan ke Delon. "Apa perlu aku jelaskan?" Delon menganggukkan kepala. "Yah perlu," lanjutnya. Gelora tidak buru-buru menjawab, ia justru menyibukkan diri dengan ponselnya. Sampai berbicara dengan seseorang lewat sambungan teleponnya. "Malam ini aku gak bisa, apa? Malam besok?" matanya sesekali menoleh ke arah Delon. "Aku tidak janji juga," lanjutnya. Delon tidak tahu dengan siapa Gelora bicara, tapi yang Delon tahu yang menelpon seorang pria. Tapi Delon sempat menebak di dalam hatinya. Kalau pria itu adalah pria penghibur Gelora, tapi Delon memilih diam. Hingga akhirnya Gelora berkata ke Delon. "Mereka terlalu obsesi dengan tubuh ku." Delon melirik sekilas, tidak ada ketertarikan di mata Delon menatap Gelora. "Bagaimana menurut mu, Delon?" Gelora akhirnya bertanya, tapi Delon justru memalingkan wajah. Gelora kesal, hingga dia menarik badan Delon. "Aku sedang bertanya!" suara Gelora sedikit tegas. Delon memperbaiki posisi duduk, menatap kornea mata Gelora dengan lekat, tanpa berkedip, seakan tatapan mata itu menunjukkan ketegasan yang sulit dijelaskan oleh kata-kata. "Justru, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan ku?" Gelora kebingungan, tapi akhirnya memahami. "Oh, soal pekerjaan mu?" Delon menganggukkan kepala. "Kamu tidak usah kuatir, selagi kamu membuatku senang. Aku pastikan kamu akan mendapatkan apapun yang kamu mau." Kata-kata membuat ku senang itu justru bergema di pikiran Delon. "Apa dia akan memintaku untuk melayaninya?" Pikirannya jadi kacau, sampai tidak berani menatap Gelora, tidak sama seperti Gelora yang justru menggenggam erat tangan Delon, membuat jantung Delon berdetak kencang. "Kamu kenapa, Delon? Kenapa kamu diam?" Pertanyaan sederhana itu justru membuat Delon langsung mengendikkan bahunya. "Aku tidak bekerja sebagai pria pemuas, kan?" Gelora membulatkan matanya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" bersambungBAB 6 — Atmosfer dingin malam itu menyibak kulit Delon semakin dalam, menusuk sampai ke tulang. Hembusan angin terasa seperti peringatan keras yang tak bisa ia abaikan. Ia berdiri kaku di depan Gelora, tubuhnya gemetar bukan karena cuaca, melainkan karena kenyataan pahit bahwa hidupnya kini berada sepenuhnya dalam genggaman wanita itu. Ia tidak tahu kapan tepatnya ia terlibat terlalu jauh dengan Gelora. Yang ia tahu hanyalah satu hal: dia sudah terjebak.Terjebak dalam permainan Gelora yang kejam. Wanita yang membuat hidupnya runtuh sedikit demi sedikit, seperti pasir di tangan yang perlahan hilang tertiup angin.Delon melangkah satu langkah mendekat, tanpa keraguan meski hatinya dipenuhi ketakutan. Sorot mata gelapnya tajam, namun di balik itu ia menyembunyikan kemarahan dan keputusasaan. Suaranya bergetar saat akhirnya ia bicara.“Apa nggak ada cara lain?” tanyanya dengan nada lirih namun terdengar jelas, sebuah permohonan yang nyaris terdengar seperti rintihan.“Aku tidak setuju k
Bab 5 — Delon sempat berpikir bahwa pagi itu adalah awal dari tawaran pekerjaan yang memalukan, atau mungkin sebuah permintaan untuk kembali menyerahkan dirinya pada posisi tawar yang rendah. Tapi ia salah. Justru lebih parah dari itu.Mobil mulai melambat saat memasuki kawasan villa keluarga yang terlalu megah untuk ukuran orang biasa. Halaman luas dengan air mancur, dinding putih pualam, taman yang ditata seperti karya seni, dan aroma kemewahan yang menyesakkan. Delon bahkan belum sempat merasa rendah diri ketika suara di sampingnya sudah lebih dulu menjatuhkannya ke realita:“Delon.” Suara itu rendah. Gelora menatapnya tajam tanpa kedipan. “Begitu kita masuk, kamu jangan bantah ucapan ku sedikitpun, kamu cukup menganggukkan kepala, apa pun yang aku bilang. Angguk. Senyum. Bicara seperlunya. Menurut.”Delon menelan ludah. “G—Gelora, aku…”“Menurut,” ulangnya, memotong dengan nada final seperti pintu besi yang dikunci. “Kalau kamu berpikir ibumu penting, kamu akan ikut permainan ini
Bab 4 Delon menatap layar ponselnya cukup lama, seolah pesan itu bisa berubah kalau ia menunggu. Tapi tetap sama. "Jam tujuh pagi kamu sudah harus tiba di villa ku." “Villa? Villa mana lagi…” gumam Delon kesal, mulutnya mencebik, napasnya berat. “Cewek itu makin hari makin aneh… ngatur-ngatur seenaknya.” Belum sempat rasa kesalnya hilang, ponselnya kembali berbunyi. "Besok pagi kamu tunggu di depan rumahmu. Akan ada yang jemput." Delon menutup matanya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik kemudian ponselnya sudah melayang ke sofa. “Sialan…” geramnya. “Seenaknya banget dia atur hidup orang.” Ia ingin marah, ingin teriak, ingin bilang “tidak”—tapi bahkan itu pun tidak bisa. Bukan sekarang. Bukan ketika biaya obat-obatan ibunya sudah hampir tidak bisa ia tutupi. Delon memijit batang hidungnya, mencoba menekan perasaan yang muncul. Marah, kecewa, takut… bercampur jadi satu. Ia tahu persis kondisi dirinya sekarang: dia tidak punya ruang untuk memilih. “Demi ibu… a
Bab 3. Tawaran gila Gelora. “Menurutku,” suara Gelora lembut tapi dingin, “kau sedang main api, Delon.”Delon mencengkeram ujung meja kecil di lorong itu, wajahnya tegang dan merah karena marah. “Aku nggak peduli. Kamu yang bikin hidupku berantakan semalam.”Gelora memiringkan kepala, senyumnya tipis. “Berantakan? Baru semalam, Delon. Masa hidupmu rapuh begitu?”Suara langkah para staf tertahan di belakang, tak berani bergerak. Mereka seperti menonton bom waktu yang sebentar lagi meledak.Delon menggeram pelan. “Kamu tenang banget setelah aku bilang kamu cewek gila?”“Ah.” Gelora tertawa kecil, mencolek dagunya sendiri seolah sedang berpikir. “Aku sudah sering dipanggil banyak hal lebih… menarik dari itu.”Ia mendekat.Delon refleks mundur satu langkah.Aura Gelora begitu mendominasi, seperti seseorang yang tahu persis cara membuat orang lain merasa kecil.Gelora menatap ke mata Delon, tidak berkedip. “Tapi jarang ada yang berani mengatakannya di depan wajahku.”Delon melirik kanan-
BAB 2 — JEBAKAN AURORATubuh Delon masih oleng ketika Gekor menariknya masuk kembali ke dalam Club Aurora. Musik berdentum, cahaya neon berpendar, dan aroma alkohol bercampur parfum pekat menusuk hidungnya. Keributan tipis muncul—beberapa pengunjung menoleh, penasaran melihat seorang pria dengan kemeja kerja kusut diseret petugas keamanan.Di tengah VIP lounge, Gelora berdiri menunggu.Tatapannya menyapu tubuh Delon dari atas ke bawah—bukan dengan ketertarikan, melainkan kepuasan atas sebuah kemenangan.“Bagus,” katanya pelan saat Gekor melepaskan Delon di hadapannya. “Akhirnya kau kembali.”Delon mengusap sudut bibirnya yang perih. “Apa maumu sebenarnya?”Gelora melangkah mendekat, tumit stilettonya mengetuk lantai dalam ritme pelan tapi mengancam. Wajahnya mendekat sedekat beberapa sentimeter.“Mauku?” ia menghela napas seolah benar-benar mempertimbangkannya. “Hanya… kejujuran. Kau membuatku penasaran. Dan aku tidak suka merasa penasaran.”Ia menjentikkan jarinya.Seorang pelayan da
Di bawah cahaya neon yang berpendar lembut dan dentuman bass yang menggetarkan lantai, Club Aurora malam itu tampak seperti semesta kecil yang berputar dalam ritmenya sendiri. Lampu-lampu berwarna ungu dan biru menari di antara kabut tipis yang dihembuskan mesin asap, sementara aroma campuran parfum dan koktail memenuhi udara. Suasana hangat, bising, dan penuh tawa—tempat di mana waktu seolah melebur. Di tengah keramaian itu, Glora melangkah dengan percaya diri. Gaunnya memantulkan cahaya lampu, dan rambutnya tergerai sempurna. Ia ditemani beberapa sahabat yang sama riuh dan glamornya. Mereka duduk di VIP lounge, menatap kerumunan sambil sesekali saling menilai lelaki yang lalu-lalang. Beberapa pria mencoba datang mendekat—ada yang menawarkan minuman, ada yang berusaha memulai percakapan. Tapi tidak ada satu pun yang mampu menembus dinding di hati Glora. Senyumnya ramah, namun matanya tak tertarik. Pesona lelaki-lelaki itu memudar begitu saja sebelum sempat mendekat lebih jauh. Hin







