Home / Young Adult / Gejolak Berbahaya Anak Bos. / BAB 2 — JEBAKAN AURORA

Share

BAB 2 — JEBAKAN AURORA

Author: Bulandari f
last update Last Updated: 2025-05-10 22:09:57

BAB 2 — JEBAKAN AURORA

Tubuh Delon masih oleng ketika Gekor menariknya masuk kembali ke dalam Club Aurora. Musik berdentum, cahaya neon berpendar, dan aroma alkohol bercampur parfum pekat menusuk hidungnya. Keributan tipis muncul—beberapa pengunjung menoleh, penasaran melihat seorang pria dengan kemeja kerja kusut diseret petugas keamanan.

Di tengah VIP lounge, Gelora berdiri menunggu.

Tatapannya menyapu tubuh Delon dari atas ke bawah—bukan dengan ketertarikan, melainkan kepuasan atas sebuah kemenangan.

“Bagus,” katanya pelan saat Gekor melepaskan Delon di hadapannya. “Akhirnya kau kembali.”

Delon mengusap sudut bibirnya yang perih. “Apa maumu sebenarnya?”

Gelora melangkah mendekat, tumit stilettonya mengetuk lantai dalam ritme pelan tapi mengancam. Wajahnya mendekat sedekat beberapa sentimeter.

“Mauku?” ia menghela napas seolah benar-benar mempertimbangkannya. “Hanya… kejujuran. Kau membuatku penasaran. Dan aku tidak suka merasa penasaran.”

Ia menjentikkan jarinya.

Seorang pelayan datang membawa dua gelas berisi cairan keemasan.

Bukan minuman biasa—bau alkoholnya kuat.

Delon bergeming. “Aku tidak minum.”

“Sekarang kau minum,” sahut Gelora enteng. “Anggap saja… kompensasi karena kau membuatku repot.”

Teman-teman Gelora di VIP lounge cekikikan, sebagian menutupi mulut mereka sambil mengamati Delon seperti menonton hiburan gratis.

Delon menggeleng, menahan napas. “Aku tidak—”

Gelora tiba-tiba mendekat, bibirnya hampir menyentuh telinga Delon.

Napasnya hangat.

Kata-katanya lebih tajam dari minuman itu sendiri.

“Ini hukuman… karena kau berani menolak aku.”

Delon merinding, bukan karena tertarik—tapi karena merasa terkunci.

Gelora menepuk dadanya pelan, wajahnya tersenyum lembut namun tidak ada kehangatan di sana. “Tenang saja, aku hanya ingin kau… santai.”

Teman-temannya bersorak kecil.

Gekor berdiri tak jauh, mengawasi.

Delon akhirnya meraih gelas itu dengan tangan gemetar.

Ia tidak minum banyak—hanya satu tegukan. Tapi tegukan kecil itu sudah cukup membuat kepalanya berputar; minumannya sangat kuat.

Gelora bertepuk tangan pelan. “Nah. Pintar.”

Ia menoleh ke teman-temannya.

“Lihat? Tidak sulit membuatnya patuh.”

Beberapa teman Gelora tertawa. Ada yang menepuk bahu Delon terlalu keras, ada yang mengomentari kemejanya yang kusut, ada pula yang meniru gaya bicara tegasnya tadi—menjadikannya bahan candaan.

Delon mengepalkan tangan.

Wajahnya memerah, bukan karena pengaruh alkohol saja, tapi karena dipermalukan.

Gelora menyandarkan tubuhnya pada sofa VIP, menyilangkan kaki, menikmati pemandangan itu. “Kau tahu, Delon?” katanya sambil berputar-putar dengan sedotan minumannya. “Orang-orang biasanya berebut untuk sekadar mendapatkan perhatianku. Tapi kau… malah kabur.”

Delon mengalihkan pandangan.

Gelora tersenyum kecil, puas melihat reaksi itu.

Namun momen itu terputus ketika seorang pria masuk ke area VIP—berpakaian rapi, parfum mahalnya menyengat, dan senyumnya langsung tertuju pada Gelora.

“Akhirnya ketemu juga,” katanya sambil membuka tangan. “Gelora, kau janji mau keluar sebentar denganku.”

Teman-teman Gelora langsung heboh.

Viola berseru, “Wah, Evan datang!”

Delon menoleh. Evan—pria itu—mendekati Gelora lalu meraih pinggangnya dengan natural, seolah sudah terbiasa.

“Kita ke tempat biasa?” tanya Evan sambil membisikkan sesuatu di telinganya—sesuatu yang membuat Gelora tersenyum kecil.

Delon tahu senyuman itu bukan senyum manis.

Itu senyum yang berbeda:

Senyum yang penuh rencana.

Gelora menoleh sekilas ke arah Delon.

Matanya memancarkan sesuatu yang sulit diartikan—campuran kemenangan, godaan, dan… peringatan.

“Maaf,” ucap Gelora pura-pura manis. “Aku ada janji. Jangan pergi dulu, Delon. Nikmati minumannya.”

Dan tanpa menunggu jawaban, Gelora menggandeng Evan. Mereka keluar dari area VIP, menuju pintu belakang yang biasanya hanya digunakan pentolan klub atau tamu penting.

Teman-temannya menghilang satu per satu mengikuti musik, meninggalkan Delon sendirian di sofa—pusing, terhina, dan muak.

“Aku akan buat kamu puas malam ini, Gelora,” rayu Evan.

“Aku percaya denganmu,” jawabnya dingin.

---

Keesokan Harinya

Alarm ponsel Delon berbunyi pukul 06.30.

Sakit kepala masih menusuk pelipisnya.

“Ah… sial,” desisnya sambil menutup wajah dengan kedua tangan. “Semuanya gara-gara cewek itu…”

Ia berdiri sempoyongan, meraih kemeja bersih, dan bergegas ke kantor. Jalan terasa lebih panjang dari biasanya. Tubuhnya berat, dan pikirannya kacau.

Saat ia sampai di kantor, jam sudah menunjukkan pukul 09.18.

Dan atasannya—Pak Rian—sudah menunggu di pintu ruang kerja.

“Delon,” katanya tegas. “Kau pikir ini apa? Kantor taman bermain?”

Delon menunduk. “Maaf, Pak. Saya—”

“Kau baru seminggu bekerja! Seminggu! Dan kau sudah terlambat hampir satu jam? Apa kau kira kami butuh karyawan tidak disiplin?”

“Tidak, Pak. Saya—”

“Kalau begini caramu bekerja, tidak usah masuk besok juga tidak apa-apa!”

Delon mengepalkan gigi. Dalam hatinya, ia mengumpat keras:

“Sialan… ini semua gara-gara wanita gila itu. Kalau aku bertemu dia lagi…”

Tapi sebelum Rian sempat melanjutkan amarahnya, seorang staf mengetuk pintu sambil berbisik tergesa:

“Pak, anak bos datang. Semua diminta bersiap.”

Ranto langsung berubah 180 derajat.

Tubuhnya menegak.

Suaranya melembut.

Ia merapikan dasinya dan berdeham.

“Baik. Semua berdiri di lobi.”

Delon merasa ini kesempatan bagus untuk menghindar.

Ia mundur pelan, lalu kabur ke kamar mandi, berniat bersembunyi sampai acara penyambutan selesai.

Namun nasib berkata lain.

Saat ia membuka pintu kamar mandi, seseorang melangkah masuk dari arah koridor.

Seseorang dengan langkah percaya diri.

Parfum mewah.

Gaun mahal.

Dan aura yang sama dengan malam sebelumnya.

Gelora.

Mata mereka bertemu.

Waktu seakan berhenti.

Delon refleks memelototinya, rasa muak dan marah yang ia tahan sejak semalam memuncak begitu saja.

“Kau…”

Suara Delon serak dan penuh kemarahan.

“…cewek gila.”

Hening.

Lorong kantor tiba-tiba terasa lebih panjang.

Semua staf di belakang Gelora menahan napas.

Ada yang memekik kecil.

Ada yang langsung menutup mulut.

Ada pula yang berbisik:

“Aduh, habis kau Delon…”

“Berani sekali kurang ajar…”

“Itu anak bos, bodoh…”

“Gila juga ini karyawan baru…”

Tapi tidak ada yang berani menghardik Delon.

Karena Gelora mengangkat satu tangan—isyarat agar mereka diam.

Gelora menatap Delon tanpa berkedip. “Kamu ngapain disini cewek gila?”

Tidak marah.

Tidak terkejut.

Hanya… tajam.

Sangat tajam.

Senyum kecil muncul di sudut bibirnya.

“Gak nyangka yah kita ketemu di sini,” katanya pelan. “Siapa namamu?”

Delon diam tanpa jawaban.

“Delon, Bu,” timpal sang direktur utama.

“Delon,” katanya sambil mengelilingi badan Delon. “Aku gak nyangka kita bertemu di tempat ini.”

Delon melotot marah. “Aku sial bertemu denganmu.”

Semua yang ada di situ justru gemetar mendengar jawaban Delon yang lancang.

“Tamat riwayatmu, Delon,” bisik seorang karyawan, tapi Gelora, ia justru dengan santai menanggapi ucapan kasar Delon. “Tapi aku merasa beruntung bisa bertemu kamu, Delon.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 6. ajakan menikah

    BAB 6 — Atmosfer dingin malam itu menyibak kulit Delon semakin dalam, menusuk sampai ke tulang. Hembusan angin terasa seperti peringatan keras yang tak bisa ia abaikan. Ia berdiri kaku di depan Gelora, tubuhnya gemetar bukan karena cuaca, melainkan karena kenyataan pahit bahwa hidupnya kini berada sepenuhnya dalam genggaman wanita itu. Ia tidak tahu kapan tepatnya ia terlibat terlalu jauh dengan Gelora. Yang ia tahu hanyalah satu hal: dia sudah terjebak.Terjebak dalam permainan Gelora yang kejam. Wanita yang membuat hidupnya runtuh sedikit demi sedikit, seperti pasir di tangan yang perlahan hilang tertiup angin.Delon melangkah satu langkah mendekat, tanpa keraguan meski hatinya dipenuhi ketakutan. Sorot mata gelapnya tajam, namun di balik itu ia menyembunyikan kemarahan dan keputusasaan. Suaranya bergetar saat akhirnya ia bicara.“Apa nggak ada cara lain?” tanyanya dengan nada lirih namun terdengar jelas, sebuah permohonan yang nyaris terdengar seperti rintihan.“Aku tidak setuju k

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 5. Dipaksa menikah dengan anak bos

    Bab 5 — Delon sempat berpikir bahwa pagi itu adalah awal dari tawaran pekerjaan yang memalukan, atau mungkin sebuah permintaan untuk kembali menyerahkan dirinya pada posisi tawar yang rendah. Tapi ia salah. Justru lebih parah dari itu.Mobil mulai melambat saat memasuki kawasan villa keluarga yang terlalu megah untuk ukuran orang biasa. Halaman luas dengan air mancur, dinding putih pualam, taman yang ditata seperti karya seni, dan aroma kemewahan yang menyesakkan. Delon bahkan belum sempat merasa rendah diri ketika suara di sampingnya sudah lebih dulu menjatuhkannya ke realita:“Delon.” Suara itu rendah. Gelora menatapnya tajam tanpa kedipan. “Begitu kita masuk, kamu jangan bantah ucapan ku sedikitpun, kamu cukup menganggukkan kepala, apa pun yang aku bilang. Angguk. Senyum. Bicara seperlunya. Menurut.”Delon menelan ludah. “G—Gelora, aku…”“Menurut,” ulangnya, memotong dengan nada final seperti pintu besi yang dikunci. “Kalau kamu berpikir ibumu penting, kamu akan ikut permainan ini

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 4. Apa yang sedang kamu pikirkan

    Bab 4 Delon menatap layar ponselnya cukup lama, seolah pesan itu bisa berubah kalau ia menunggu. Tapi tetap sama. "Jam tujuh pagi kamu sudah harus tiba di villa ku." “Villa? Villa mana lagi…” gumam Delon kesal, mulutnya mencebik, napasnya berat. “Cewek itu makin hari makin aneh… ngatur-ngatur seenaknya.” Belum sempat rasa kesalnya hilang, ponselnya kembali berbunyi. "Besok pagi kamu tunggu di depan rumahmu. Akan ada yang jemput." Delon menutup matanya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik kemudian ponselnya sudah melayang ke sofa. “Sialan…” geramnya. “Seenaknya banget dia atur hidup orang.” Ia ingin marah, ingin teriak, ingin bilang “tidak”—tapi bahkan itu pun tidak bisa. Bukan sekarang. Bukan ketika biaya obat-obatan ibunya sudah hampir tidak bisa ia tutupi. Delon memijit batang hidungnya, mencoba menekan perasaan yang muncul. Marah, kecewa, takut… bercampur jadi satu. Ia tahu persis kondisi dirinya sekarang: dia tidak punya ruang untuk memilih. “Demi ibu… a

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 3. Tawaran gila Gelora.

    Bab 3. Tawaran gila Gelora. “Menurutku,” suara Gelora lembut tapi dingin, “kau sedang main api, Delon.”Delon mencengkeram ujung meja kecil di lorong itu, wajahnya tegang dan merah karena marah. “Aku nggak peduli. Kamu yang bikin hidupku berantakan semalam.”Gelora memiringkan kepala, senyumnya tipis. “Berantakan? Baru semalam, Delon. Masa hidupmu rapuh begitu?”Suara langkah para staf tertahan di belakang, tak berani bergerak. Mereka seperti menonton bom waktu yang sebentar lagi meledak.Delon menggeram pelan. “Kamu tenang banget setelah aku bilang kamu cewek gila?”“Ah.” Gelora tertawa kecil, mencolek dagunya sendiri seolah sedang berpikir. “Aku sudah sering dipanggil banyak hal lebih… menarik dari itu.”Ia mendekat.Delon refleks mundur satu langkah.Aura Gelora begitu mendominasi, seperti seseorang yang tahu persis cara membuat orang lain merasa kecil.Gelora menatap ke mata Delon, tidak berkedip. “Tapi jarang ada yang berani mengatakannya di depan wajahku.”Delon melirik kanan-

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   BAB 2 — JEBAKAN AURORA

    BAB 2 — JEBAKAN AURORATubuh Delon masih oleng ketika Gekor menariknya masuk kembali ke dalam Club Aurora. Musik berdentum, cahaya neon berpendar, dan aroma alkohol bercampur parfum pekat menusuk hidungnya. Keributan tipis muncul—beberapa pengunjung menoleh, penasaran melihat seorang pria dengan kemeja kerja kusut diseret petugas keamanan.Di tengah VIP lounge, Gelora berdiri menunggu.Tatapannya menyapu tubuh Delon dari atas ke bawah—bukan dengan ketertarikan, melainkan kepuasan atas sebuah kemenangan.“Bagus,” katanya pelan saat Gekor melepaskan Delon di hadapannya. “Akhirnya kau kembali.”Delon mengusap sudut bibirnya yang perih. “Apa maumu sebenarnya?”Gelora melangkah mendekat, tumit stilettonya mengetuk lantai dalam ritme pelan tapi mengancam. Wajahnya mendekat sedekat beberapa sentimeter.“Mauku?” ia menghela napas seolah benar-benar mempertimbangkannya. “Hanya… kejujuran. Kau membuatku penasaran. Dan aku tidak suka merasa penasaran.”Ia menjentikkan jarinya.Seorang pelayan da

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 1. Gelora liar anak bos

    Di bawah cahaya neon yang berpendar lembut dan dentuman bass yang menggetarkan lantai, Club Aurora malam itu tampak seperti semesta kecil yang berputar dalam ritmenya sendiri. Lampu-lampu berwarna ungu dan biru menari di antara kabut tipis yang dihembuskan mesin asap, sementara aroma campuran parfum dan koktail memenuhi udara. Suasana hangat, bising, dan penuh tawa—tempat di mana waktu seolah melebur. Di tengah keramaian itu, Glora melangkah dengan percaya diri. Gaunnya memantulkan cahaya lampu, dan rambutnya tergerai sempurna. Ia ditemani beberapa sahabat yang sama riuh dan glamornya. Mereka duduk di VIP lounge, menatap kerumunan sambil sesekali saling menilai lelaki yang lalu-lalang. Beberapa pria mencoba datang mendekat—ada yang menawarkan minuman, ada yang berusaha memulai percakapan. Tapi tidak ada satu pun yang mampu menembus dinding di hati Glora. Senyumnya ramah, namun matanya tak tertarik. Pesona lelaki-lelaki itu memudar begitu saja sebelum sempat mendekat lebih jauh. Hin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status