INICIAR SESIÓNBAB 6 —
Atmosfer dingin malam itu menyibak kulit Delon semakin dalam, menusuk sampai ke tulang. Hembusan angin terasa seperti peringatan keras yang tak bisa ia abaikan. Ia berdiri kaku di depan Gelora, tubuhnya gemetar bukan karena cuaca, melainkan karena kenyataan pahit bahwa hidupnya kini berada sepenuhnya dalam genggaman wanita itu. Ia tidak tahu kapan tepatnya ia terlibat terlalu jauh dengan Gelora. Yang ia tahu hanyalah satu hal: dia sudah terjebak. Terjebak dalam permainan Gelora yang kejam. Wanita yang membuat hidupnya runtuh sedikit demi sedikit, seperti pasir di tangan yang perlahan hilang tertiup angin. Delon melangkah satu langkah mendekat, tanpa keraguan meski hatinya dipenuhi ketakutan. Sorot mata gelapnya tajam, namun di balik itu ia menyembunyikan kemarahan dan keputusasaan. Suaranya bergetar saat akhirnya ia bicara. “Apa nggak ada cara lain?” tanyanya dengan nada lirih namun terdengar jelas, sebuah permohonan yang nyaris terdengar seperti rintihan. “Aku tidak setuju kalau kita menikah!” serunya lebih keras dari sebelumnya, mencoba mempertahankan sedikit harga diri yang tersisa. Gelora hanya terdiam beberapa detik, sebelum bibirnya terangkat membentuk senyuman dingin—senyuman yang lebih tajam dari sebilah pisau. Suaranya meluncur pelan namun menusuk keras. “Tidak ada yang meminta persetujuanmu. Apalagi nyawa ibumu ada di tanganku.” Kalimat itu menghantamnya tanpa ampun. Dunia Delon serasa runtuh seketika. Ia tidak tahu bagaimana harus membalas, dadanya terasa sesak, napasnya tercekat. “Dan jangan lupa…,” Gelora melangkah lebih dekat, suaranya terdengar seperti bisikan neraka yang menempel di telinga Delon. “Aku sudah membayar lunas biaya pengobatan ibumu." Delon langsung menunduk, bahunya merosot seolah seluruh beban dunia diletakkan di atas kepalanya. Tangannya bergetar, namun ia berusaha menyembunyikannya. Gelora menatapnya dengan dingin, seakan ia hanya seonggok benda yang bisa ditakar nilainya. “Lagian,” ucap Gelora, nadanya meninggi, “tidak ada yang menginginkanmu sebagai seorang suami.” Delon ingin marah, ingin berteriak sampai suaranya hilang, tapi ia hanya bisa diam. Semua kata terasa membeku di tenggorokan. Gelora menatapnya tajam. “Aku butuh kamu." Dia menekankan setiap kata dengan jelas, seakan tidak ingin Delon melewatkan satu pun maksud dari ucapannya. “Hanya sebagai suami di buku nikah.” Delon harusnya merasa lega mendengar itu. ia bisa bernafas lebih lega karena Gelora tidak menginginkannya sebagai lelaki yang ia cintai. Karena itu berarti, suatu hari ia bisa bebas dari semua ini. Tapi… “Dan kamu jangan khawatir,” lanjut Gelora. “Aku hanya ingin kamu berpura-pura sebagai suamiku di hadapan keluargaku.” Delon mengangkat wajahnya perlahan, bibirnya terbuka ingin membantah. “Tapi—" Belum sempat kata itu selesai, Gelora memotong cepat. “Kamu hanya perlu melakukan apa yang aku katakan. Jadi kamu tidak usah khawatir.” Tangannya terulur menepuk pundak Delon, dua kali. Dengan nada mengejek yang sangat jelas. “Bukankah itu pekerjaan mudah?” Delon mengepalkan tangannya kuat-kuat. Rasa panas menjalar di dadanya. Ia ingin memaki, menghancurkan apa pun yang ada di dekatnya, tapi ia hanya menelan semuanya. Diam adalah satu-satunya pilihan. Sekalipun harga dirinya sebagai seorang pria di pertanyakan. "Setelah ini kamu ikut aku." Delon langsung mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Gelora. "Kemana lagi sih?" decak kesalnya. "Sekali lagi aku tegaskan, tidak ada bantahan sama sekali." Ucapan Gelora yang tajam membuat Delon merasa tersulut, ditambah saat matanya menangkap sosok pria tampan berjalan ke arah Gelora, dan pria itu penuh senyuman menatap Gelora. "Hai sayang." Si cowok yang diketahui bernama Andre itu berjalan mendekat ke arah Gelora, tidak ketinggalan dengan ciuman hangat yang menempel di bibir Gelora. Sampai-sampai Delon merasa risih melihatnya. "Akhirnya kamu datang juga sayang," ujar Gelora dengan senyum manis yang mekar di wajahnya. Membuat rasa penasaran di hati Delon. "Siapa pria itu? Apa itu kekasihnya Gelora? Tapi kenapa tidak pria itu yang ia ajak menikah Berhubung kamu ingin **melanjutkan cerita + memperpanjang dialog**, aku akan melanjutkan BAB 6 ini **tepat setelah bagian terakhir yang kamu tulis**, tetap menjaga gaya bahasa, tone emosional, dan tensi antara Delon–Gelora, serta menghadirkan Andre sebagai pemicu konflik awal. Aku lanjutkan sekarang ― tanpa mengubah gaya penulisanmu, hanya memperkuat dialog, ekspresi, dan konflik. Berikut lanjutan ceritanya: --- ### **BAB 6 — Lanjutan** Delon terus memperhatikan adegan di depannya. Gelora yang sejak tadi bersikap dingin padanya kini terlihat sangat berbeda. Ekspresinya melunak, bahkan sedikit malu-malu saat Andre—pria yang baru saja muncul—mencium bibirnya dengan penuh percaya diri. Delon merasakan perutnya mual. Bukan karena cemburu, tapi karena ketidaksukaannya melihat bagaimana Gelora memainkan hidupnya, sementara wanita itu bisa bersikap manis seperti ini pada pria lain. “**Akhirnya kamu datang juga, sayang,**” ujar Gelora sambil merapikan helai rambutnya yang sedikit berantakan akibat ciuman tadi. Andre tersenyum lebar, tatapannya hangat, seolah dunia hanya berisi mereka berdua. “Aku gak mungkin biarin kamu nunggu lama, kan?” Gelora terkekeh kecil. Suara tawa yang **tak pernah** Delon dengar sebelumnya. Senyum yang **tak pernah** Gelora tunjukkan saat bersamanya. Delon berdiri kaku, seperti batu. Tatapannya tertuju pada keduanya dengan bingung dan kesal yang campur aduk. *Siapa pria itu sebenarnya?* *Kenapa Gelora bisa sedekat itu?* *Kalau dia punya pacar… kenapa semua tekanan pernikahan diarahkan ke aku?* Delon menggigit bibir, menahan emosi, tapi Gelora sempat menangkap ekspresi itu. Ia mendengus pelan. “Jangan pasang muka kayak gitu,” ucap Gelora ketus. “Itu tidak penting buatmu.” “Tentu penting,” Delon menjawab lebih cepat dari seharusnya. “Kalau kamu punya pacar, kenapa aku yang dipaksa buat nikah sama kamu?” Andre menaikkan alis, baru sadar keberadaan Delon. “Ini siapa?” tanyanya dengan nada heran. Gelora menarik napas panjang, seakan tidak ingin menjelaskan apa pun. Tapi tatapan Andre yang menginginkan jawaban membuat Gelora akhirnya membuka suara. “Ini Delon,” jawabnya singkat. Andre mengamati Delon dari ujung kepala hingga kaki, dengan wajah meremehkan. “Temanmu?” “Bukan,” Gelora menggeleng. “Dia… calon suamiku.” Andre langsung terdiam. Senang? Kaget? Tersinggung? Delon tidak tahu. Tapi reaksi Andre jelas bukan reaksi yang menyenangkan. “Calon suami?” ulang Andre, suaranya merendah tapi jelas tidak bisa menerima. “Tenang, bukan karena cinta,” Gelora menambahkan cepat, seolah harus memperbaiki situasi. “Hanya… kebutuhan. Urusan keluarga. Formalitas.” Andre mendengus, lalu kembali memeluk Gelora, menarik pinggangnya agar lebih menempel. Ancaman yang seolah ditujukan pada Delon. “Oh… jadi aku tetap pacarmu?” Andre mendekat, suaranya sengaja dibuat menantang. “Dan dia cuma tempelan di buku nikah?” Gelora tersenyum tipis. “Kurang lebih begitu.” Delon mengepalkan tangan. “Jadi… aku cuma boneka?” Gelora menatapnya datar. “Kamu bisa menyebutnya begitu.” Andre terkekeh sambil memeluk Gelora dari belakang. “Kasihan banget… disuruh nikah tapi malah cuma jadi pajangan.” Delon menahan napas keras. Dadanya terasa panas, bukan karena cemburu, tapi karena harga dirinya diinjak-injak. “Aku nggak ngerti,” gumam Delon lirih. “Kalau kamu punya dia… kenapa aku yang ‘dipilih’ buat jadi suami?” Gelora menoleh, menatap Delon dengan sorot mata yang menusuk. “Karena Andre tidak memenuhi syarat untuk urusan keluargaku.” Senyum dinginnya muncul lagi. “Dan kamu… tepat seperti yang aku butuhkan.” Andre melirik sebal, tapi tidak menyangkal. Delon mendengus tak percaya. “Kamu ngerusak hidupku cuma karena ‘butuh’?” Gelora mendekat, menatap Delon dari jarak sangat dekat, cukup dekat untuk membuat Delon merasa terancam. “Aku sudah bilang sejak awal…” Suaranya merendah, namun tajam seperti pecahan kaca. “Nyawa ibumu ada di tanganku. Kamu tidak dalam posisi menawar.” Andre ikut menatap Delon dengan wajah puas, seolah senang melihat lelaki itu terpojok. “Ya sudahlah, sayang,” Andre kembali menatap Gelora. “Biarin aja dia. Yang penting kamu sama aku.” Delon hampir saja menyumpah, tapi Gelora kembali memotong geraknya. “Kita pergi,” perintah Gelora. “Tunggu,” Andre menarik tangan Gelora, menahan langkahnya. “Kamu ikut aku dulu. Aku mau ngomong berdua.” Tatapan Andre berubah serius. Ia memiringkan kepala ke arah Delon. “Gak usah ikut,” katanya sinis. Gelora menatap Delon sebentar sebelum bicara dengan nada perintah. “Kamu tunggu di mobil. Jangan kemana-mana.” Ia kemudian menggandeng Andre dan berjalan beberapa langkah menjauh. Berbisik. Berpelukan. Delon mengepalkan tangan sampai buku jarinya memutih. *Dia memaksaku menikahi dia… tapi dia peluk-pelukan sama cowok lain? Di depan mataku?* Delon merasa egonya dihancurkan, ditampar, diinjak. Dan Gelora tidak terlihat peduli sedikit pun. Saat melihat Andre mencium pipi Gelora, Delon menunduk, menelan rasa sakit yang tidak seharusnya ia rasakan. Namun ada satu hal yang Delon tahu dengan pasti: **Wanita itu bukan hanya kejam. Tapi juga berbahaya.** Dan perlahan-lahan, rasa benci itu tumbuh… berkobar… memenuhi dadanya seperti api yang tidak bisa dipadamkan.Bab 8Malam seakan membeku, ketika sebuah pesan masuk ke ponsel Delon. "Keluar sekarang!" Kata-kata itu bukan sekedar permintaan, tapi sebuah perintah yang tidak bisa ia tentang, tapi masalahnya. Ia tidak begitu berani keluar, bukan karena takut ke Gelora. Melainkan ada perasaan yang harus ia jaga. Jadinya dia terdiam cukup lama. "Sayang."Gaby mencoba menghangatkan suasana. "Kamu kenapa?"Delon menggelengkan kepala, tapi lama-kelamaan memilih memegang tangan Gaby. Lalu menatapnya dengan lekat. "Apa aku boleh meminta sesuatu?'Gaby yang kebingungan menganggukkan kepalanya, dan itu membuat Delon sedikit lega. "Aku ingin kamu tidak keluar, tetap di sini.""Kenapa?"Gaby tidak sepenuhnya menurut, ia bahkan langsung memberontak. "Kenapa memangnya kalau aku ikut keluar denganmu?"Delon kian bimbang, lagian dia tidak mau kalau Gelora juga marah padanya. Apalagi Gelora sudah menginginkan Delon sebagai suaminya. "Kenapa sayang?" kali ini Gaby yang memegang erat tangan Delon, membalas tatapa
Bab 7."Aku gak bisa sayang, aku harus mengurus dia.""Jangan sampai kamu membawa nya ke atas ranjang!" tegas dan jelas, itu yang dikatakan oleh Andre padanya. Namun, alih-alih marah. Gelora justru tersenyum simpul. "Ayolah sayang, kamu tahukan betapa berartinya kamu di hatiku?" Andre menarik sedikit pinggang gelora, menahannya dan kembali menciumnya. Sementara di dalam mobil, Delon sudah mulai emosi. Hampir turun dari mobil, tapi Delon tiba-tiba menahan diri. "Untuk apa aku peduli, toh. Biarkan dia melakukan apapun yang ia mau," batin Delon seraya mencoba menenangkan diri, walaupun usahanya sedikit sia-sia, karena sepertinya Andre sengaja memperlihatkan kemesraan keduanya. Seakan-akan ada makna yang terkandung di dalamnya. "Dia milikku bukan milikku." seperti itulah isyarat yang Delon rasakan kini. Ditambah ketika Delon melihat sendiri, bagaimana perlakuan Andre pada Gelora. Apalagi keduanya sampai berciuman bibir di hadapan Delon. "Shit," decak kesalnya. Puas melakukan adegan c
BAB 6 — Atmosfer dingin malam itu menyibak kulit Delon semakin dalam, menusuk sampai ke tulang. Hembusan angin terasa seperti peringatan keras yang tak bisa ia abaikan. Ia berdiri kaku di depan Gelora, tubuhnya gemetar bukan karena cuaca, melainkan karena kenyataan pahit bahwa hidupnya kini berada sepenuhnya dalam genggaman wanita itu. Ia tidak tahu kapan tepatnya ia terlibat terlalu jauh dengan Gelora. Yang ia tahu hanyalah satu hal: dia sudah terjebak.Terjebak dalam permainan Gelora yang kejam. Wanita yang membuat hidupnya runtuh sedikit demi sedikit, seperti pasir di tangan yang perlahan hilang tertiup angin.Delon melangkah satu langkah mendekat, tanpa keraguan meski hatinya dipenuhi ketakutan. Sorot mata gelapnya tajam, namun di balik itu ia menyembunyikan kemarahan dan keputusasaan. Suaranya bergetar saat akhirnya ia bicara.“Apa nggak ada cara lain?” tanyanya dengan nada lirih namun terdengar jelas, sebuah permohonan yang nyaris terdengar seperti rintihan.“Aku tidak setuju k
Bab 5 — Delon sempat berpikir bahwa pagi itu adalah awal dari tawaran pekerjaan yang memalukan, atau mungkin sebuah permintaan untuk kembali menyerahkan dirinya pada posisi tawar yang rendah. Tapi ia salah. Justru lebih parah dari itu.Mobil mulai melambat saat memasuki kawasan villa keluarga yang terlalu megah untuk ukuran orang biasa. Halaman luas dengan air mancur, dinding putih pualam, taman yang ditata seperti karya seni, dan aroma kemewahan yang menyesakkan. Delon bahkan belum sempat merasa rendah diri ketika suara di sampingnya sudah lebih dulu menjatuhkannya ke realita:“Delon.” Suara itu rendah. Gelora menatapnya tajam tanpa kedipan. “Begitu kita masuk, kamu jangan bantah ucapan ku sedikitpun, kamu cukup menganggukkan kepala, apa pun yang aku bilang. Angguk. Senyum. Bicara seperlunya. Menurut.”Delon menelan ludah. “G—Gelora, aku…”“Menurut,” ulangnya, memotong dengan nada final seperti pintu besi yang dikunci. “Kalau kamu berpikir ibumu penting, kamu akan ikut permainan ini
Bab 4 Delon menatap layar ponselnya cukup lama, seolah pesan itu bisa berubah kalau ia menunggu. Tapi tetap sama. "Jam tujuh pagi kamu sudah harus tiba di villa ku." “Villa? Villa mana lagi…” gumam Delon kesal, mulutnya mencebik, napasnya berat. “Cewek itu makin hari makin aneh… ngatur-ngatur seenaknya.” Belum sempat rasa kesalnya hilang, ponselnya kembali berbunyi. "Besok pagi kamu tunggu di depan rumahmu. Akan ada yang jemput." Delon menutup matanya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik kemudian ponselnya sudah melayang ke sofa. “Sialan…” geramnya. “Seenaknya banget dia atur hidup orang.” Ia ingin marah, ingin teriak, ingin bilang “tidak”—tapi bahkan itu pun tidak bisa. Bukan sekarang. Bukan ketika biaya obat-obatan ibunya sudah hampir tidak bisa ia tutupi. Delon memijit batang hidungnya, mencoba menekan perasaan yang muncul. Marah, kecewa, takut… bercampur jadi satu. Ia tahu persis kondisi dirinya sekarang: dia tidak punya ruang untuk memilih. “Demi ibu… a
Bab 3. Tawaran gila Gelora. “Menurutku,” suara Gelora lembut tapi dingin, “kau sedang main api, Delon.”Delon mencengkeram ujung meja kecil di lorong itu, wajahnya tegang dan merah karena marah. “Aku nggak peduli. Kamu yang bikin hidupku berantakan semalam.”Gelora memiringkan kepala, senyumnya tipis. “Berantakan? Baru semalam, Delon. Masa hidupmu rapuh begitu?”Suara langkah para staf tertahan di belakang, tak berani bergerak. Mereka seperti menonton bom waktu yang sebentar lagi meledak.Delon menggeram pelan. “Kamu tenang banget setelah aku bilang kamu cewek gila?”“Ah.” Gelora tertawa kecil, mencolek dagunya sendiri seolah sedang berpikir. “Aku sudah sering dipanggil banyak hal lebih… menarik dari itu.”Ia mendekat.Delon refleks mundur satu langkah.Aura Gelora begitu mendominasi, seperti seseorang yang tahu persis cara membuat orang lain merasa kecil.Gelora menatap ke mata Delon, tidak berkedip. “Tapi jarang ada yang berani mengatakannya di depan wajahku.”Delon melirik kanan-