LOGINBab 7.
"Aku gak bisa sayang, aku harus mengurus dia." "Jangan sampai kamu membawa nya ke atas ranjang!" tegas dan jelas, itu yang dikatakan oleh Andre padanya. Namun, alih-alih marah. Gelora justru tersenyum simpul. "Ayolah sayang, kamu tahukan betapa berartinya kamu di hatiku?" Andre menarik sedikit pinggang gelora, menahannya dan kembali menciumnya. Sementara di dalam mobil, Delon sudah mulai emosi. Hampir turun dari mobil, tapi Delon tiba-tiba menahan diri. "Untuk apa aku peduli, toh. Biarkan dia melakukan apapun yang ia mau," batin Delon seraya mencoba menenangkan diri, walaupun usahanya sedikit sia-sia, karena sepertinya Andre sengaja memperlihatkan kemesraan keduanya. Seakan-akan ada makna yang terkandung di dalamnya. "Dia milikku bukan milikku." seperti itulah isyarat yang Delon rasakan kini. Ditambah ketika Delon melihat sendiri, bagaimana perlakuan Andre pada Gelora. Apalagi keduanya sampai berciuman bibir di hadapan Delon. "Shit," decak kesalnya. Puas melakukan adegan ciuman, lantas Gelora langsung berjalan ke hadapan Delon. "Apa kamu cemburu?' Gelora langsung melempar pertanyaan yang tentunya Delon tidak suka. "Kamu tidak perlu jawab, karena aku tahu kamu cemburu." Delon langsung memutar pandangan. "Hanya suami kontrak, kan?" Gelora diam tanpa jawaban. "Mau berapa lama, satu bulan, satu tahun atau dua tahun?" Dengan bingungnya Gelora berkata, "Maksud kamu?" Kali ini, Delon memasang wajah tegas dan sedikit memajukan posisi duduknya ke hadapan Gelora. "Sudah gak usah pura-pura polos, tinggal kamu jawab aja." Gelora kian bingung. "Jawab apa?" Dengan tatapan tajam, Delon berkata, "Bukankah kamu bilang pernikahan ini pura-pura?" Gelora menganggukkan kepala. "Jadi mau berapa lama." Gelora tidak langsung menjawab. "Aku butuh kepastian, karena aku tidak bisa bekerja seperti ini." Gelora tidak suka itu, dia tidak suka dengan ucapan Delon yang seakan-akan dia yang mengatur permainan, tidak. Karena Gelora bukan wanita sembarangan. Selain dia anak bos, dia juga cukup berpengaruh dalam dunia bisnis. Ia terkenal dengan keahliannya yang pintar dalam memenangkan tender. Tidak heran kalau banyak perusahaan yang senang bekerjasama dengannya, dan tidak heran kalau rekan bisnisnya banyak yang menyukai cara kerjanya. Jadi untuk sekedar membuat Delon tidak mendapatkan pekerjaan di manapun adalah hal yang mudah untuknya. Jadi, Delon salah besar. Kalau ia berpikir Gelora akan tunduk pada ucapannya. Karena ini saja Gelora sudah marah pada Delon. Dengan nada suara membentak, Gelora berkata dengan Delon. "Apa kamu pikir ini pakai target?' Delon terdiam mendengar suara marah Gelora.. "Aku bisa saja menahan mu seumur hidupmu, semau yang aku mau. Dan jangan pikir kalau kamu bisa lolos dariku!" Kata-katanya penuh dengan peringatan, sampai akhirnya mereka sampai di rumah Delon. Delon diturunkan di depan rumahnya, tapi sebelum pergi Gelora sempat berkata, "Tidak ada seorangpun yang bisa lepas dari jeratan ku, termasuk kamu." Sekalipun tidak suka, Delon tetap memilih diam. Ia berani berkata ketika mobil Gelora melaju pergi. "Kamu pikir kamu siapa, ha?" Delon berteriak tidak karuan, sampai ia tidak sadar dengan kedatangan seorang wanita yang menunggunya sedari tadi, wanita itu berdiri persis di belakangnya, kedua tangannya menggenggam erat sebuah kue ulang tahun. "Selamat ulang tahun." Sebuah lagu ia nyanyikan, sampai membuat Delon berbalik badan. "Gaby, kamu." Delon tidak menyangka, kalau sang kekasih ternyata datang dari kampung halaman. "Selamat ulang tahun, sayang." Delon masih sedikit shock, tapi mencoba meniup lilin yang ada di kue itu. "Selamat ulang tahun yah, sayang. Semoga kamu panjang umur dan sehat selalu." l Delon masih memandang lilin yang baru saja padam, seolah asap tipis yang melayang naik itu membawa serta ketenangan yang sejak tadi hilang dari dalam dirinya. Di belakangnya, suara mobil Gelora menjauh, namun bayangannya tidak. Bayangan wanita itu masih menempel di pikirannya, di napasnya, di setiap degup jantung yang memaksa dirinya tetap berdiri. Gaby tersenyum polos, tidak tahu apa pun. Rambut panjangnya sedikit berantakan karena perjalanan jauh, pipinya memerah karena angin malam. Tangannya yang masih memegang kotak kue bergetar kecil—bukan karena takut, melainkan karena harapan. Harapan untuk merayakan ulang tahun kekasihnya yang selama ini hanya ia lihat lewat layar ponsel. “Aku kangen banget sama kamu, Del…” ucap Gaby pelan, nyaris seperti gumaman yang takut mengganggu suasana. Delon menelan ludah. Tenggorokannya kering, seperti penuh pasir. “Kenapa kamu nggak bilang kamu mau datang?” suaranya pecah. Gaby terkekeh kecil, menutupi gugupnya. “Namanya juga kejutan. Kamu senang nggak?” Delon tidak menjawab. Ia tersenyum paksa, sangat paksa. Senyum yang bahkan tidak bisa menjangkau matanya. Gaby mendekat, meletakkan kue itu di kap motor Delon yang terparkir. Lalu ia mengangkat kedua tangannya, melingkarkan nya ke leher Delon. “Kamu capek, ya?” Ia menatap mata Delon dengan tatapan penuh perhatian. “Dari tadi aku lihat kamu kayak… susah banget napas.” Delon menatap wanita itu, memaksakan dirinya tersadar. Ia memegang pelan punggung Gaby, mencoba memberi rasa aman. “Aku kaget aja. Kamu tiba-tiba datang.” “Tapi kamu tetap bahagia, kan?” Pertanyaan itu menusuk perlahan, tanpa disadari. Bahagia…? Delon merasa dadanya ditekan dari dua arah. Di satu sisi, Gaby—wanita sederhana yang mencintainya tanpa syarat. Di sisi lain, Gelora—wanita berbahaya yang memegang hidupnya seperti tali jemuran yang bisa diputus kapan saja. Dan dirinya? Dirinya berdiri di tengah badai, tidak bisa bergerak, tidak bisa memilih. “Iya… aku bahagia,” jawab Delon akhirnya, meski suaranya terdengar seperti orang yang kehilangan arah. Gaby tersenyum senang. Senyum yang membuat Delon ingin memeluknya lebih erat, menahannya dari dunia yang begitu keras. --- Mereka masuk ke rumah Delon. Gaby sibuk menata kue ulang tahun kecil yang ia bawa—kue coklat sederhana dengan tulisan *Happy Birthday, Love*. Tidak ada yang mewah. Tidak ada pita emas. Tidak ada hiasan mahal. Hanya ketulusan. “Gimana perjalananmu?” tanya Delon pelan, duduk di sofa. “Capek sih, tapi senang,” jawab Gaby sambil membuka kotak hadiah kecil. “Aku bawa sweater buat kamu. Kampung lagi dingin banget akhir-akhir ini, aku pikir kamu juga pasti butuh.” Delon merasa jantungnya diremas. Cinta Gaby itu lembut. Tidak memaksa. Tidak mengancam. Tidak mematahkan. Berbeda dengan Gelora. Sangat berbeda. “Del…” Gaby menatap Delon lagi, tapi kali ini sorot matanya berbeda. Ada keraguan. Ada sesuatu yang ia tahan. “Kamu kenapa?” Gaby mendekat, duduk di sampingnya. “Sejak aku datang tadi, kamu beda banget. Kamu kayak orang yang lagi dikejar… sesuatu.” Delon memalingkan wajah. “Aku cuma lelah.” Gaby menatapnya lama—terlalu lama. Seolah ingin membaca apa yang sebenarnya tersembunyi di balik mata Delon. “Kamu yakin nggak apa-apa?” Delon mengangguk pelan. “Iya.” “Kalau ada apa-apa… kamu ceritain ke aku, ya?” Gaby tersenyum. “Aku pacar kamu. Aku harus tahu dunia kamu seperti apa.” Delon turun menatap lantai. Dunia? Ia bahkan tidak tahu bagaimana harus menjelaskan bahwa ia terjebak dalam pernikahan ilegal yang dikendalikan oleh seorang wanita berpengaruh yang bisa menghancurkan hidupnya kapan saja. Sementara wanita di depannya… hanya ingin mencintainya. --- Waktu berjalan perlahan. Gaby menyiapkan teh. Delon diam menatap meja. Malam itu seharusnya malam penuh kebahagiaan—ulang tahunnya. Namun yang ia rasakan justru ketakutan yang semakin menguat. Ketika Gaby kembali membawa cangkir teh, telepon Delon berdering. Nama itu muncul di layar. **Gelora.** Delon membeku. Gaby memperhatikan. “Kamu nggak angkat?” Delon mematikan deringnya. “Bukan siapa-siapa.” Gaby mengernyit. “Kamu yakin?” “Ya.” Delon memasukkan ponselnya ke saku hoodie. Tapi tidak sampai sepuluh detik kemudian, ponsel itu berbunyi lagi. Kali ini, Gaby sempat melihat sekilas nama yang tertulis. Ekspresi Gaby berubah. “Gelora?” ulang Gaby pelan. Delon menelan ludah. Gaby tidak menunggu jawaban. Ia mengambil jarak, duduk lebih tegak. “Siapa dia, Del?” Pertanyaan itu menghantam keras. Delon membuka bibir, tapi tidak ada suara yang keluar. Ponselnya terus bergetar, namanya terus muncul seperti ancaman. Gaby menatapnya lekat-lekat, lebih lama dari sebelumnya. “Delon…” suaranya merendah, hampir retak. “Aku cuma mau tahu.” Delon menggenggam ponselnya erat. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Gelora tidak akan berhenti sampai ia mengangkat. Ia tahu itu. Ia tahu wanita itu tidak bisa dibiarkan menunggu lama. Gaby menatap ponsel itu, lalu menatap Delon lagi. “Kamu kenapa nggak berani angkat? Dia siapa?” Delon menutup mata. Semuanya seperti runtuh sekaligus. Diam. Mati. Sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar di ruangan kecil itu. Sampai akhirnya, Gaby mengeluarkan pertanyaan yang menusuk lebih dalam dari apa pun sebelumnya. “Del…” suaranya bergetar. “Kamu disini… sama **siapa** selama aku nggak ada?” Delon membuka mata perlahan. Dan di saat yang sama, ponselnya kembali bergetar. Nama itu muncul lagi. **Gelora Arsenia.** Gaby melihatnya jelas kali ini. Lebih jelas dari sebelumnya. Hening menusuk di antara mereka. “Del…” Gaby bersuara lagi, pelan tapi sangat tajam. “Siapa perempuan itu?” Delon membuka bibir, siap menjawab— Namun sebelum satu kata pun keluar… Ponsel Delon berbunyi lagi, kali ini disertai pesan masuk. Layar ponsel menyala — Gaby tanpa sengaja membaca baris pertama. **“Keluar sekarang. Kita perlu bicara. Jangan buat aku mencari kamu.” — Gelora** Gaby membeku. Tatapan matanya berubah sepenuhnya. Kosong. Terlukai. Penuh pertanyaan yang belum terjawab. Ia menatap Delon… dengan sorot yang tidak pernah Delon lihat selama ini. “Del…” Gaby berbisik lirih, nyaris tak terdengar. “Aku tanya sekali lagi…” “Siapa wanita itu?""Bab 8Malam seakan membeku, ketika sebuah pesan masuk ke ponsel Delon. "Keluar sekarang!" Kata-kata itu bukan sekedar permintaan, tapi sebuah perintah yang tidak bisa ia tentang, tapi masalahnya. Ia tidak begitu berani keluar, bukan karena takut ke Gelora. Melainkan ada perasaan yang harus ia jaga. Jadinya dia terdiam cukup lama. "Sayang."Gaby mencoba menghangatkan suasana. "Kamu kenapa?"Delon menggelengkan kepala, tapi lama-kelamaan memilih memegang tangan Gaby. Lalu menatapnya dengan lekat. "Apa aku boleh meminta sesuatu?'Gaby yang kebingungan menganggukkan kepalanya, dan itu membuat Delon sedikit lega. "Aku ingin kamu tidak keluar, tetap di sini.""Kenapa?"Gaby tidak sepenuhnya menurut, ia bahkan langsung memberontak. "Kenapa memangnya kalau aku ikut keluar denganmu?"Delon kian bimbang, lagian dia tidak mau kalau Gelora juga marah padanya. Apalagi Gelora sudah menginginkan Delon sebagai suaminya. "Kenapa sayang?" kali ini Gaby yang memegang erat tangan Delon, membalas tatapa
Bab 7."Aku gak bisa sayang, aku harus mengurus dia.""Jangan sampai kamu membawa nya ke atas ranjang!" tegas dan jelas, itu yang dikatakan oleh Andre padanya. Namun, alih-alih marah. Gelora justru tersenyum simpul. "Ayolah sayang, kamu tahukan betapa berartinya kamu di hatiku?" Andre menarik sedikit pinggang gelora, menahannya dan kembali menciumnya. Sementara di dalam mobil, Delon sudah mulai emosi. Hampir turun dari mobil, tapi Delon tiba-tiba menahan diri. "Untuk apa aku peduli, toh. Biarkan dia melakukan apapun yang ia mau," batin Delon seraya mencoba menenangkan diri, walaupun usahanya sedikit sia-sia, karena sepertinya Andre sengaja memperlihatkan kemesraan keduanya. Seakan-akan ada makna yang terkandung di dalamnya. "Dia milikku bukan milikku." seperti itulah isyarat yang Delon rasakan kini. Ditambah ketika Delon melihat sendiri, bagaimana perlakuan Andre pada Gelora. Apalagi keduanya sampai berciuman bibir di hadapan Delon. "Shit," decak kesalnya. Puas melakukan adegan c
BAB 6 — Atmosfer dingin malam itu menyibak kulit Delon semakin dalam, menusuk sampai ke tulang. Hembusan angin terasa seperti peringatan keras yang tak bisa ia abaikan. Ia berdiri kaku di depan Gelora, tubuhnya gemetar bukan karena cuaca, melainkan karena kenyataan pahit bahwa hidupnya kini berada sepenuhnya dalam genggaman wanita itu. Ia tidak tahu kapan tepatnya ia terlibat terlalu jauh dengan Gelora. Yang ia tahu hanyalah satu hal: dia sudah terjebak.Terjebak dalam permainan Gelora yang kejam. Wanita yang membuat hidupnya runtuh sedikit demi sedikit, seperti pasir di tangan yang perlahan hilang tertiup angin.Delon melangkah satu langkah mendekat, tanpa keraguan meski hatinya dipenuhi ketakutan. Sorot mata gelapnya tajam, namun di balik itu ia menyembunyikan kemarahan dan keputusasaan. Suaranya bergetar saat akhirnya ia bicara.“Apa nggak ada cara lain?” tanyanya dengan nada lirih namun terdengar jelas, sebuah permohonan yang nyaris terdengar seperti rintihan.“Aku tidak setuju k
Bab 5 — Delon sempat berpikir bahwa pagi itu adalah awal dari tawaran pekerjaan yang memalukan, atau mungkin sebuah permintaan untuk kembali menyerahkan dirinya pada posisi tawar yang rendah. Tapi ia salah. Justru lebih parah dari itu.Mobil mulai melambat saat memasuki kawasan villa keluarga yang terlalu megah untuk ukuran orang biasa. Halaman luas dengan air mancur, dinding putih pualam, taman yang ditata seperti karya seni, dan aroma kemewahan yang menyesakkan. Delon bahkan belum sempat merasa rendah diri ketika suara di sampingnya sudah lebih dulu menjatuhkannya ke realita:“Delon.” Suara itu rendah. Gelora menatapnya tajam tanpa kedipan. “Begitu kita masuk, kamu jangan bantah ucapan ku sedikitpun, kamu cukup menganggukkan kepala, apa pun yang aku bilang. Angguk. Senyum. Bicara seperlunya. Menurut.”Delon menelan ludah. “G—Gelora, aku…”“Menurut,” ulangnya, memotong dengan nada final seperti pintu besi yang dikunci. “Kalau kamu berpikir ibumu penting, kamu akan ikut permainan ini
Bab 4 Delon menatap layar ponselnya cukup lama, seolah pesan itu bisa berubah kalau ia menunggu. Tapi tetap sama. "Jam tujuh pagi kamu sudah harus tiba di villa ku." “Villa? Villa mana lagi…” gumam Delon kesal, mulutnya mencebik, napasnya berat. “Cewek itu makin hari makin aneh… ngatur-ngatur seenaknya.” Belum sempat rasa kesalnya hilang, ponselnya kembali berbunyi. "Besok pagi kamu tunggu di depan rumahmu. Akan ada yang jemput." Delon menutup matanya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik kemudian ponselnya sudah melayang ke sofa. “Sialan…” geramnya. “Seenaknya banget dia atur hidup orang.” Ia ingin marah, ingin teriak, ingin bilang “tidak”—tapi bahkan itu pun tidak bisa. Bukan sekarang. Bukan ketika biaya obat-obatan ibunya sudah hampir tidak bisa ia tutupi. Delon memijit batang hidungnya, mencoba menekan perasaan yang muncul. Marah, kecewa, takut… bercampur jadi satu. Ia tahu persis kondisi dirinya sekarang: dia tidak punya ruang untuk memilih. “Demi ibu… a
Bab 3. Tawaran gila Gelora. “Menurutku,” suara Gelora lembut tapi dingin, “kau sedang main api, Delon.”Delon mencengkeram ujung meja kecil di lorong itu, wajahnya tegang dan merah karena marah. “Aku nggak peduli. Kamu yang bikin hidupku berantakan semalam.”Gelora memiringkan kepala, senyumnya tipis. “Berantakan? Baru semalam, Delon. Masa hidupmu rapuh begitu?”Suara langkah para staf tertahan di belakang, tak berani bergerak. Mereka seperti menonton bom waktu yang sebentar lagi meledak.Delon menggeram pelan. “Kamu tenang banget setelah aku bilang kamu cewek gila?”“Ah.” Gelora tertawa kecil, mencolek dagunya sendiri seolah sedang berpikir. “Aku sudah sering dipanggil banyak hal lebih… menarik dari itu.”Ia mendekat.Delon refleks mundur satu langkah.Aura Gelora begitu mendominasi, seperti seseorang yang tahu persis cara membuat orang lain merasa kecil.Gelora menatap ke mata Delon, tidak berkedip. “Tapi jarang ada yang berani mengatakannya di depan wajahku.”Delon melirik kanan-