Home / Young Adult / Gejolak Berbahaya Anak Bos. / Bab 5. Dipaksa menikah dengan anak bos

Share

Bab 5. Dipaksa menikah dengan anak bos

Author: Bulandari f
last update Last Updated: 2025-11-07 22:30:56

Bab 5 —

Delon sempat berpikir bahwa pagi itu adalah awal dari tawaran pekerjaan yang memalukan, atau mungkin sebuah permintaan untuk kembali menyerahkan dirinya pada posisi tawar yang rendah. Tapi ia salah. Justru lebih parah dari itu.

Mobil mulai melambat saat memasuki kawasan villa keluarga yang terlalu megah untuk ukuran orang biasa. Halaman luas dengan air mancur, dinding putih pualam, taman yang ditata seperti karya seni, dan aroma kemewahan yang menyesakkan. Delon bahkan belum sempat merasa rendah diri ketika suara di sampingnya sudah lebih dulu menjatuhkannya ke realita:

“Delon.” Suara itu rendah. Gelora menatapnya tajam tanpa kedipan. “Begitu kita masuk, kamu jangan bantah ucapan ku sedikitpun, kamu cukup menganggukkan kepala, apa pun yang aku bilang. Angguk. Senyum. Bicara seperlunya. Menurut.”

Delon menelan ludah. “G—Gelora, aku…”

“Menurut,” ulangnya, memotong dengan nada final seperti pintu besi yang dikunci. “Kalau kamu berpikir ibumu penting, kamu akan ikut permainan ini.”

Kalimat itu membuat Delon dirundung senyap. Ia benci diperas dengan kondisi ibunya, tapi ia tahu Gelora tidak salah tentang satu hal. Dia memang butuh uang. Dan Gelora memegang kunci itu.

Ia memalingkan wajah ke jendela. Tidak karena takut, tapi karena ia tidak ingin Gelora melihat getaran di matanya.

Kaca jendela belakang turun, menampilkan bangunan utama villa. Gelora meraih kunci pintu mobil.

“Siap?” tanyanya singkat.

“Siap apa?” Delon bertanya refleks.

Gelora menarik napas perlahan, lalu bicara:

“Siap jadi calon suamiku"

Delon membeku. “APA?"

Gelora menurunkan kacamatanya, menatap dari bawah ke atas seperti kilat yang siap menyambar. “Kamu janji. Kamu ikut karena aku bilang begitu. Kamu sudah setuju. Jangan bikin aku malu di depan mereka.”

Delon hampir bangkit dari kursi, tubuhnya condong ke depan seperti ia hendak melompat keluar dari kenyataan itu sendiri.

“Menikah? Calon suami? Kamu gila?! Kamu bahkan nggak cerita apa pun sama aku!”

“Tadi aku bilang menurut,” kata Gelora, suara pelan tapi berduri. “Kalau kamu bantah, aku tinggal kamu di sini. Semua akses, semua bantuan, selesai.”

Delon terdiam lagi. Ia tahu ini bukan ancaman kosong. Gelora memang mampu melakukan itu.

Gelora mendekat. Hidung mereka hampir selurus rahasia yang ia simpan sendiri.

“Delon…” lirihnya. “Papa dan Mama sudah di dalam. Mereka tahu kamu datang. Mereka tahu hari ini aku mau kenalkan calon suami. Kamu. Jadi turun dari mobil dengan sikap normal, atau aku sendiri yang tarik kamu masuk.”

Delon memejam.

Ia ingin bilang tidak sayang padamu, tidak mau nikah, ini salah besar, tapi otaknya sudah lebih dulu mengingat wajah ibunya yang lemah di ranjang rumah sakit. Dan di titik itu, semua penolakan mentalnya mencair menjadi pasrah.

Gelora membuka pintu mobil sendiri. Sepatu hak rendah yang elegan menyentuh aspal.

Delon akhirnya turun juga. Sosoknya tinggi, tampan, tapi langkahnya kaku seperti tiang bendera yang dipaksa berdiri saat angin badai.

Di teras villa, seorang pria paruh baya berdiri dengan jas kasual mewah, namun aura matanya lebih tajam dari bisnisnya sendiri. Beliau adalah Papanya Gelora. Sedangkan di samping pintu, seorang perempuan anggun tersenyum ramah—Ibunya Gelora—yang langsung menyambut keberadaan Delon dengan hangat.

“Selamat pagi… kamu Delon ya?” sapa Mama.

Delon menunduk sopan, nyaris otomatis. “I—ya, Tante.”

Gelora langsung menyela, menggandeng Delon seolah itu adalah gestur paling wajar di dunia.

“Ma, Pa…” ucapnya lantang dengan percaya diri yang dibuat-buat, “ini Delon. Calon suamiku.”

Helaan angin seperti berhenti. Air mancur di halaman bahkan terdengar lebih sunyi dari perkawinan dadakan itu.

“Calon suami? Sejak kapan?” tanya Papa datar.

Gelora tersenyum lebar, terlalu cepat, terlalu terang seperti matahari yang dipaksa terbit dua kali dalam sehari. “Sejak kami yakin, Pa.”

Delon tidak bicara. Bukan karena patuh, tapi karena ia *belum pulih dari keterkejutan.*

Papa menatap Delon dari ujung rambut sampai ujung sepatu. Bukan menilai sopan santunnya—tapi mencari celah dusta yang mungkin mengiringinya.

“Hm,” gumamnya curiga. “Calon suami? Dia ini pilih kamu sendiri atau kamu yang seret?”

Gelora mendelik ke arah papanya, tapi nadanya tetap manis saat menjawab:

“Pa… tentu kami saling mencintai.”

Delon spontan menoleh, nyaris bersuara, tapi Gelora melempar tatapan yang membuatnya tersedak dalam hati. Sebuah tatapan yang berteriak. "ingat perintahmu—diam."

Papa makin curiga, alisnya terangkat rendah. “Cinta? Kamu bicara cinta ke Papa? Kamu yang tiap bulan ganti laki-laki?”

Mama Gelora langsung menepuk lengan suaminya, memberi tanda agar suaranya dilunakkan. “Pa, mungkin kali ini serius…”

“Eh, serius?” ulang Papa, masih menatap Delon yang berdiri seperti sedang memamerkan sopan santun palsu dalam ujian tanpa persiapan. “Oke. Kalau serius. Papa mau tahu latar belakangnya. Keluarganya. Kerjanya. Leluhurnya. Semua.”

Gelora panik. Tidak terlihat. Tapi ada satu detik jeda di nadinya, seperti aliran listrik yang hampir korslet.

“Pa… untuk apa?” sahutnya cepat, berusaha menutup topik. “Untuk apa latar belakang? Yang penting kebahagiaanku, kan?"

“Yang penting kebahagiaanmu?” Papa tersenyum miring. “Itu benar. Tapi Papa bukan anak kecil. Papa tahu kamu. Kamu suka main laki-laki. Jadi jangan suruh Papa percaya tanpa bukti.”

Delon ingin mati di tempat.

Papa mendekat. Selangkah. Dua langkah. Suaranya rendah seperti kontrak yang baru ditulis setengah:

“Kalau kamu mau menikah…” ia berhenti, menatap Gelora, lalu Delon, “Papa punya syarat."

Gelora menelan ludah kecil yang tidak akan kaum bangsawan sadari.

“Apa?” tanyanya setengah menantang.

“Kamu harus hamil anaknya Delon.”

“Dan kalau kamu gagal…” Papa mengangkat telunjuknya, menikam udara dengan hukum keluarga, “Tidak ada sepersen pun warisan keluarga. Anak itu harus diuji DNA. Kalau ada kecocokan, baru Papa percaya kalian cinta. Kalau tidak…” ia menggeleng, “Papa pastikan kamu hanya mau nikah demi warisan.”

Gelora tersentak. “Pa!! Itu keterlaluan!!”

“Iya, memang keterlaluan,” potong Papa cepat. “Tapi kamu mau keterlaluan Papa, atau kamu mau kehilangan sepenuhnya harta Papa? Pilih.”

Gelora mendengus. “Pa pikir aku nggak bisa?”

“Bukan begitu,” jawab Papa. “Papa pikir kamu bisa, tapi Papa nggak tahu Delon bisa apa nggak. Itu kenapa Papa mau tahu dia siapa.”

Gelora makin gelisah. Ia tidak mau bilang kalau Delon hanya karyawan di perusahaan Papanya, itu akan membuat semuanya terdengar lebih terpaksa. Ini bukan drama cinta di novel—ini realita yang berbau kepentingan.

Jadi ia memilih jurus pamungkas:

“Untuk apa gelar, Pa? Untuk apa leluhur? **Yang penting aku bahagia. Dan Delon membuatku bahagia.”

Mama tersenyum kecil, mulai percaya sebagian. “Ya, memang yang penting kebahagiaan anak kita…”

“Ma,” protes Papa ke istrinya pelan, “kamu lihat dia nggak? Itu cowok berdiri seperti papan reklame yang kehabisan kata.”

Gelora hampir memotong lagi, tapi bapaknya mengangkat tangan.

“Kamu takut syarat Papa, Gelora?” tanyanya lembut, tapi pedas. “Kalau takut, ya sudah. Lupakan pernikahan. Dan lupakan harta Papa juga. Kamu keluar dari silsilah warisan.”

Gelora tercekat.

Di titik itu, Delon akhirnya membuka suaranya. Napasnya tertahan. Ia hanya bergumam:

“Ini beneran makin kacau…”

Gelora langsung menyiku Delon, lalu melotot. Menurut, Delon.

Papa melihat itu. Jelas. Ia bukan jagoan bisnis kalau tidak paham bahasa tubuh.

“Gelora…” suara Papa kini lebih dingin dari tes DNA, “kamu maksa dia ya? Kamu paksa nikah demi Papa juga kan?”

Gelora panik. “Tidak, Pa! Tidak! Kami saling mencintai!"

Papa menyeringai. “Cintai kamu? Atau cintai syarat kamu?"

Gelora langsung menatap papanya lebih dalam. "Ini bukan soal warisan."

“Pa… jangan ragu sama aku. Aku pilih Delon. Bukan Papa. Bukan harta. Delon.”

Pepohonan di taman villa hanya jadi saksi kebohongan yang bersembunyi di balik kalimat romantis itu. Tidak ada yang tahu apakah benar ada cinta, atau hanya ada dua orang yang sama-sama butuh sesuatu dari satu sama lain.

Mama Gelora mulai luluh, menatap Delon yang walau kaku, tetap sopan dan tidak meninggi. “Ya... dari sikapnya, Tante rasa dia baik…”

Tapi Papa Gelora punya gelengan berbeda. “Baik aja belum cukup buat anak Papa.”

“Kamu nggak takut syarat Papa?” ulangnya sekali lagi, menatap Gelora dalam.

Gelora hendak menjawab, tapi bapaknya langsung menahan:

“Papa nggak perlu jawaban. Papa cuma mau lihat nanti hasilnya.”

Mama menepuk lengan suaminya. Delon menatap lantai. Gelora menatap Delon. Dan semua atmosfer cinta palsu itu masih menggantung.

Gelora menggenggam tangan Delon lagi. Kali ini lebih erat.

Delon tidak tahu apakah itu genggaman cinta… atau genggaman perintah terakhir sebelum takdir menikam mereka dengan bayi dan DNA.

“Delon…” bisiknya, “kamu nggak akan gagal, kan?"

Delon menoleh ragu.

Gelora balas menatap, tapi ada satu cahaya kecil yang melintas di irisnya. Bukan kelembutan. Bukan perintah. Ketakutan yang ia tak sanggup ucapkan.

Delon hanya sempat mendengus:

“Ini makin seru ya…”

BERSAMBUNG…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 6. ajakan menikah

    BAB 6 — Atmosfer dingin malam itu menyibak kulit Delon semakin dalam, menusuk sampai ke tulang. Hembusan angin terasa seperti peringatan keras yang tak bisa ia abaikan. Ia berdiri kaku di depan Gelora, tubuhnya gemetar bukan karena cuaca, melainkan karena kenyataan pahit bahwa hidupnya kini berada sepenuhnya dalam genggaman wanita itu. Ia tidak tahu kapan tepatnya ia terlibat terlalu jauh dengan Gelora. Yang ia tahu hanyalah satu hal: dia sudah terjebak.Terjebak dalam permainan Gelora yang kejam. Wanita yang membuat hidupnya runtuh sedikit demi sedikit, seperti pasir di tangan yang perlahan hilang tertiup angin.Delon melangkah satu langkah mendekat, tanpa keraguan meski hatinya dipenuhi ketakutan. Sorot mata gelapnya tajam, namun di balik itu ia menyembunyikan kemarahan dan keputusasaan. Suaranya bergetar saat akhirnya ia bicara.“Apa nggak ada cara lain?” tanyanya dengan nada lirih namun terdengar jelas, sebuah permohonan yang nyaris terdengar seperti rintihan.“Aku tidak setuju k

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 5. Dipaksa menikah dengan anak bos

    Bab 5 — Delon sempat berpikir bahwa pagi itu adalah awal dari tawaran pekerjaan yang memalukan, atau mungkin sebuah permintaan untuk kembali menyerahkan dirinya pada posisi tawar yang rendah. Tapi ia salah. Justru lebih parah dari itu.Mobil mulai melambat saat memasuki kawasan villa keluarga yang terlalu megah untuk ukuran orang biasa. Halaman luas dengan air mancur, dinding putih pualam, taman yang ditata seperti karya seni, dan aroma kemewahan yang menyesakkan. Delon bahkan belum sempat merasa rendah diri ketika suara di sampingnya sudah lebih dulu menjatuhkannya ke realita:“Delon.” Suara itu rendah. Gelora menatapnya tajam tanpa kedipan. “Begitu kita masuk, kamu jangan bantah ucapan ku sedikitpun, kamu cukup menganggukkan kepala, apa pun yang aku bilang. Angguk. Senyum. Bicara seperlunya. Menurut.”Delon menelan ludah. “G—Gelora, aku…”“Menurut,” ulangnya, memotong dengan nada final seperti pintu besi yang dikunci. “Kalau kamu berpikir ibumu penting, kamu akan ikut permainan ini

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 4. Apa yang sedang kamu pikirkan

    Bab 4 Delon menatap layar ponselnya cukup lama, seolah pesan itu bisa berubah kalau ia menunggu. Tapi tetap sama. "Jam tujuh pagi kamu sudah harus tiba di villa ku." “Villa? Villa mana lagi…” gumam Delon kesal, mulutnya mencebik, napasnya berat. “Cewek itu makin hari makin aneh… ngatur-ngatur seenaknya.” Belum sempat rasa kesalnya hilang, ponselnya kembali berbunyi. "Besok pagi kamu tunggu di depan rumahmu. Akan ada yang jemput." Delon menutup matanya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik kemudian ponselnya sudah melayang ke sofa. “Sialan…” geramnya. “Seenaknya banget dia atur hidup orang.” Ia ingin marah, ingin teriak, ingin bilang “tidak”—tapi bahkan itu pun tidak bisa. Bukan sekarang. Bukan ketika biaya obat-obatan ibunya sudah hampir tidak bisa ia tutupi. Delon memijit batang hidungnya, mencoba menekan perasaan yang muncul. Marah, kecewa, takut… bercampur jadi satu. Ia tahu persis kondisi dirinya sekarang: dia tidak punya ruang untuk memilih. “Demi ibu… a

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 3. Tawaran gila Gelora.

    Bab 3. Tawaran gila Gelora. “Menurutku,” suara Gelora lembut tapi dingin, “kau sedang main api, Delon.”Delon mencengkeram ujung meja kecil di lorong itu, wajahnya tegang dan merah karena marah. “Aku nggak peduli. Kamu yang bikin hidupku berantakan semalam.”Gelora memiringkan kepala, senyumnya tipis. “Berantakan? Baru semalam, Delon. Masa hidupmu rapuh begitu?”Suara langkah para staf tertahan di belakang, tak berani bergerak. Mereka seperti menonton bom waktu yang sebentar lagi meledak.Delon menggeram pelan. “Kamu tenang banget setelah aku bilang kamu cewek gila?”“Ah.” Gelora tertawa kecil, mencolek dagunya sendiri seolah sedang berpikir. “Aku sudah sering dipanggil banyak hal lebih… menarik dari itu.”Ia mendekat.Delon refleks mundur satu langkah.Aura Gelora begitu mendominasi, seperti seseorang yang tahu persis cara membuat orang lain merasa kecil.Gelora menatap ke mata Delon, tidak berkedip. “Tapi jarang ada yang berani mengatakannya di depan wajahku.”Delon melirik kanan-

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   BAB 2 — JEBAKAN AURORA

    BAB 2 — JEBAKAN AURORATubuh Delon masih oleng ketika Gekor menariknya masuk kembali ke dalam Club Aurora. Musik berdentum, cahaya neon berpendar, dan aroma alkohol bercampur parfum pekat menusuk hidungnya. Keributan tipis muncul—beberapa pengunjung menoleh, penasaran melihat seorang pria dengan kemeja kerja kusut diseret petugas keamanan.Di tengah VIP lounge, Gelora berdiri menunggu.Tatapannya menyapu tubuh Delon dari atas ke bawah—bukan dengan ketertarikan, melainkan kepuasan atas sebuah kemenangan.“Bagus,” katanya pelan saat Gekor melepaskan Delon di hadapannya. “Akhirnya kau kembali.”Delon mengusap sudut bibirnya yang perih. “Apa maumu sebenarnya?”Gelora melangkah mendekat, tumit stilettonya mengetuk lantai dalam ritme pelan tapi mengancam. Wajahnya mendekat sedekat beberapa sentimeter.“Mauku?” ia menghela napas seolah benar-benar mempertimbangkannya. “Hanya… kejujuran. Kau membuatku penasaran. Dan aku tidak suka merasa penasaran.”Ia menjentikkan jarinya.Seorang pelayan da

  • Gejolak Berbahaya Anak Bos.   Bab 1. Gelora liar anak bos

    Di bawah cahaya neon yang berpendar lembut dan dentuman bass yang menggetarkan lantai, Club Aurora malam itu tampak seperti semesta kecil yang berputar dalam ritmenya sendiri. Lampu-lampu berwarna ungu dan biru menari di antara kabut tipis yang dihembuskan mesin asap, sementara aroma campuran parfum dan koktail memenuhi udara. Suasana hangat, bising, dan penuh tawa—tempat di mana waktu seolah melebur. Di tengah keramaian itu, Glora melangkah dengan percaya diri. Gaunnya memantulkan cahaya lampu, dan rambutnya tergerai sempurna. Ia ditemani beberapa sahabat yang sama riuh dan glamornya. Mereka duduk di VIP lounge, menatap kerumunan sambil sesekali saling menilai lelaki yang lalu-lalang. Beberapa pria mencoba datang mendekat—ada yang menawarkan minuman, ada yang berusaha memulai percakapan. Tapi tidak ada satu pun yang mampu menembus dinding di hati Glora. Senyumnya ramah, namun matanya tak tertarik. Pesona lelaki-lelaki itu memudar begitu saja sebelum sempat mendekat lebih jauh. Hin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status