Langit pagi menggantung pucat, sementara kabut tipis masih menyelimuti lapangan latihan di tengah desa. Embun masih menempel di batang-batang bambu ketika suara derap kaki mulai terdengar beriringan.
Rakasura berdiri di tengah lapangan, mengenakan kain pelindung dada dari kulit kayu, sementara seikat rambutnya terikat ke belakang. Di hadapannya, dua baris warga desa berdiri tegak, sebagian memegang tongkat kayu, sebagian lagi membawa alat tani yang dimodifikasi menjadi senjata sederhana.
Hari ini, mereka sudah memasuki hari ketujuh latihan. Dan Rakasura bisa melihat perubahan kecil—cara mereka berdiri, tatapan mata yang lebih yakin, dan bahkan cara mereka menggenggam senjata.
"Siapa yang bisa menahan serangan dari tiga arah?" tanyanya, menatap kelompok itu.
Tiga pemuda m
Matahari pagi menyemburatkan cahaya keemasan di atas desa. Namun tak seperti biasanya, suasana pagi itu dipenuhi dengan aroma yang asing—bau daging yang diasapi, tercampur rempah-rempah dan kayu bakar. Beberapa warga sibuk menggantung potongan daging berwarna gelap di atas anyaman bambu, sementara yang lain mengaduk rebusan kental di dalam kuali besar.Di tengah-tengah keramaian itu, Tirta berdiri dengan tatapan terkesima. “Kau serius... ini daging siluman kemarin?” bisiknya ke salah satu warga tua.Pak Darmo mengangguk tenang. “Dia bukan siluman biasa. Tak lenyap jadi abu. Tubuhnya masih padat, seperti hewan hutan… hanya lebih galak.” Tangannya terus mengaduk pot besar berisi kuah yang menggoda.Tirta mendekat dan mencolek sepotong daging kering. “Rasanya kayak daging rusa
Mereka tiba di Rawasinga menjelang petang.Langit bergelayut jingga pucat, memandikan bukit dan reruntuhan rumah dengan warna tembaga muram. Desa itu sunyi—terlalu sunyi. Sebagian rumah terlihat utuh, sebagian lain nyaris roboh, ditelan lumut dan akar. Angin berhembus lambat, membawa aroma daun basah dan tanah yang lama tidak dijamah manusia.“Tempat ini... seperti dilupakan dunia,” bisik Ayu, mengedarkan pandangan.“Bukan dilupakan,” sahut Rakasura pelan. “Tapi ditinggalkan.”Tirta mendekatkan tombaknya, waspada. “Kita masuk nggak nih? Aku bisa rasa udara di sini aneh.”Saat mereka ragu-ragu di gerbang desa yang terbuat dari bambu lapuk, seorang lelaki tua muncul dari bal
Aroma daun basah dan jamur tua mulai terasa begitu mereka meninggalkan Rawasinga. Jalur ke utara yang ditunjukkan Samarsa bukanlah jalan besar, melainkan semacam jalur perburuan lama yang sebagian besar tertutup semak dan akar pohon. Langit mendung membuat waktu sulit ditebak. Matahari seperti malu-malu muncul dari balik celah awan, hanya untuk menghilang lagi.Tirta mengeluh pelan sambil menarik ranting dari celananya. “Kalau jalan terus begini, kita bakal makan akar pohon sore nanti.”“Kau bisa makan keluhanmu dulu,” kata Ayu datar tanpa menoleh.Rakasura berjalan di depan, langkahnya stabil. Peta kasar di tangannya hanya berisi simbol dan goresan samar yang dibuat Samarsa dengan arang. Tapi setiap lekuk jalur, setiap tanda bebatuan, terasa familiar baginya—seolah tubuhnya mengingat meski pikirannya tidak.
Langkah Rakasura menggema pelan saat ia memasuki lorong tengah. Dinding-dindingnya kasar, dibentuk dari lapisan tanah keras dan batu yang seperti pernah terbakar. Setiap hembusan napas terasa berat, seolah udara di dalam ruangan itu membawa beban ribuan tahun ambisi yang gagal ditebus.Tak ada cahaya selain semburat samar dari batu-batu kecil yang tertanam di dinding, berkilau pucat seperti bara yang hampir padam. Tapi cukup untuk menunjukkan jalannya.Lorong itu melengkung, memutar ke dalam, seperti menuntunnya turun ke pusat dirinya sendiri.Di tengah perjalanan, ia mulai mendengar suara. Bukan bisikan asing seperti tadi. Kali ini, suaranya sendiri.“Kau gagal. Kau kehilangan gelang itu. Bahkan kau tak tahu di mana bagian-ba
Langkah Tirta terasa lebih cepat dari seharusnya. Bukan karena semangat, tapi karena gugup yang makin lama makin menyesak di dada. Lorong hijau tua yang ia lewati penuh akar menggantung dan dinding lembab yang seolah bergerak sedikit setiap kali ia lewat.Ia tak mau menengok ke belakang. Karena begitu pintu batu menutup di belakangnya tadi, ruangan itu terasa seperti hidup—seperti tempat yang diam-diam memerhatikan.“Yah… bagus, Tirta,” gumamnya. “Kau ikut dua orang petarung, masuk kuil misterius, sekarang disuruh jalan sendiri. Ini ide brilian nomor satu sepanjang hidupmu.”Langkahnya pelan. Nafasnya mulai pendek. Dinding-dinding lorong seperti menyesuaikan diri dengannya—makin lama makin menyempit, seakan tahu bahwa ia paling tak suka tempat sempit dan sunyi.Tiba-tiba, suara bisikan datang. Tapi tak seperti bisikan mistis yang berat dan menyeramkan. Suara ini… familiar.“Kau pikir kau cukup kuat?” “Kau cuma bocah. Lari-lari di hutan, main t
Jalan setapak menuju timur laut tidak seterjal jalur mereka sebelumnya, tapi tetap menyimpan tantangan. Setelah keluar dari Purwa Lemah, mereka melewati hutan yang lebih rimbun namun juga lebih hidup—burung-burung bersuara, angin berbisik di antara daun-daun, dan matahari menembus pepohonan dalam garis-garis emas.Bisa dibilang... ini hari pertama sejak mereka meninggalkan desa dengan dada lebih ringan.Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap, tapi tidak tergesa. Tangannya menyentuh kain di pinggang tempat fragmen gelang disimpan. Benda itu terasa tenang kini, tidak lagi berdenyut seperti saat di kuil. Mungkin karena sudah menemukan sebagian dirinya.Di belakang, Tirta dan Ayu saling bersahutan.“Aku tetap heran,” kata Tirta sambil mengangkat
Mereka berdiri di puncak bukit yang menghadap ke sebuah desa kecil yang tertutup kabut tipis. Pepohonan tinggi menjulang di sekeliling perkampungan itu, menciptakan semacam dinding alami yang membuatnya tampak terasing dari dunia luar. Atap-atap rumah sederhana tampak dari kejauhan, beberapa ditumbuhi lumut, lainnya menghitam oleh usia. Yang paling mencolok bukanlah rumah-rumah tua itu, melainkan sungai yang membelah desa dari timur ke barat. Aliran airnya tampak stagnan, berwarna kehijauan, nyaris seperti cairan herba yang terlalu lama disimpan.“Kau lihat?” Rakasura menyipitkan mata, menatap lekat ke arah sungai.Ayu mengangguk. “Airnya tidak bergerak. Dan... warnanya salah.”“Air nggak harus bening," Tirta ikut angkat suara dari belakang, mencoba mencairkan suasana. "Tapi kalau warna
Fajar baru saja menggeliat dari balik pegunungan saat Rakasura berdiri di tepi sungai. Udara pagi masih menggigit, menusuk lewat celah-celah pakaian. Kabut tipis mengambang di atas permukaan air, membuat sungai tampak seperti lorong menuju dunia lain.Ia berdiri tanpa suara, memandang air yang diam. Pantulan di permukaan tidak bergerak, meskipun daun-daun berguguran satu per satu dari pohon di atasnya. Angin bertiup pelan, menyibak rambutnya, tapi pantulan Rakasura tetap utuh. Tak berkedip. Tak berubah.Ayu muncul dari balik ilalang, langkahnya ringan.“Kau tidak tidur?”Rakasura menggeleng pelan. “Bayangan itu datang lagi. Tapi kali ini, ia menunjuk ke arah sungai. Aku rasa... kita harus masuk.”Ayu m
Kabut masih menyelimuti lembah saat mereka keluar dari lorong batu. Langit mulai berubah warna, mengguratkan semburat jingga di ujung cakrawala. Malam nyaris usai, tapi udara tetap dingin. Tirta menggigil pelan sambil merapatkan jubahnya."Kita harus cari tempat berteduh," gumamnya. "Aku tidak yakin kabut ini cuma kabut."Ayu menoleh, matanya menyapu lembah yang tampak asing meski mereka baru saja melewatinya beberapa jam lalu. Tanaman menjalar di dinding-dinding tebing kini tampak layu, dan tanah di sekitar kaki mereka terasa lembek seperti baru disiram hujan.Rakasura berdiri diam di tempatnya, mata terpejam. Fragmen ketiga yang baru saja ia peroleh kini menggantung di lehernya, disatukan dengan dua lainnya oleh tali kulit sederhana."Airnya mengalir ke tempat yang tidak semestinya," ucapnya pelan. "Ada sesuatu yang mengubah aliran unsur di lembah ini."Tirta mengangkat alis. "Maksudmu... ada yang mengacaukan energi alam?"Rakasura mengang
Kabut masih menyelimuti lembah ketika langkah mereka menyusuri jalan berbatu yang perlahan menurun. Matahari hanya menembus samar-samar melalui celah tebing tinggi di kedua sisi, membuat seluruh tempat tampak seperti berada dalam senja abadi. Setelah percakapan penuh ketegangan dengan Purnama, kini Rakasura, Ayu, dan Tirta melanjutkan perjalanan mereka menuju bagian terdalam dari Lembah Kabut."Kau yakin tempat ini ada hubungannya dengan fragmen ketiga?" tanya Ayu, matanya tak lepas dari belukar yang mereka lewati."Ya. Aku bisa merasakannya," jawab Rakasura, suaranya rendah. Ia membuka telapak tangan kirinya, tempat serpihan logam — dua bagian gelang yang telah mereka temukan — berdenyut lembut dengan cahaya kebiruan.
Pagi itu, kabut menggantung rendah di atas Kota Maruta. Rakasura, Ayu, dan Tirta duduk di sudut belakang sebuah kedai kecil, jauh dari jalan utama. Suara pasar terdengar sayup dari luar: langkah tergesa, tawar-menawar, dan derit roda gerobak. Tapi di dalam ruangan, semuanya terasa tenang. Terlalu tenang.Di atas meja kayu kasar, terbentang serpihan logam yang mereka ambil dari lorong bawah tanah. Saat disinari cahaya pagi, guratan-guratannya menampilkan pola samar: bukan sekadar ukiran, tapi garis-garis yang perlahan membentuk sebuah peta.Ayu menyipitkan mata. "Ini bukan peta kota. Tapi... semacam jalur."Tirta memiringkan kepalanya. "Kalau ini jalur rahasia, kenapa bisa tergambar di pecahan gelang? Apa peta ini muncul karena fragmen lain bereaksi?"Rakasura mengangguk
Kota Maruta saat pagi tidak seperti kota lain. Kabut tipis menggantung di udara bahkan setelah matahari naik. Pasar mulai hidup dengan suara besi bertemu besi, bau roti hangat, dan teriakan pedagang yang bersaing dengan denting palu pandai besi.Rakasura, Ayu, dan Tirta berjalan menyusuri jalur utama pasar, mata mereka waspada. Di antara keramaian, mereka mencari petunjuk yang hanya bisa dilihat jika tahu apa yang dicari: lambang tersembunyi, kata-kata berkode, bisikan tentang lorong-lorong yang tidak tercantum dalam peta."Pasar ini padat tapi... terlalu rapi," gumam Ayu.Tirta melirik sekeliling. "Kau yakin ini bukan karena kota ini memang disiplin? Mungkin rajanya perfeksionis.""Bukan. Lebih seperti... ada sesuatu yang disembunyikan."
Langit sore menjingga pucat saat tiga sosok berjalan melintasi jalur sempit di antara bukit-bukit kecil yang mulai gersang. Udara berubah; tidak lagi segar seperti di pinggir hutan Aranira, melainkan lebih kering, berdebu, dan membawa bau tanah terbakar. Daerah ini adalah perbatasan menuju wilayah utara — arah Kota Maruta.Tirta mengibas debu dari wajahnya. "Kita udah jalan berapa hari, sih? Rasanya punggungku udah menua sepuluh tahun."Ayu, yang berjalan di depan, tak menjawab. Ia menatap horison di kejauhan, tempat bayang-bayang tembok kota mulai terlihat samar.Rakasura berjalan pelan di belakang mereka, satu tangannya menyentuh bagian dada tempat fragmen-fragmen disimpan. Ada denyut samar di sana. Energi yang semakin kuat, semakin resah, seolah tahu mereka mendekati sesuatu.
Langkah kaki Rakasura bergema saat ia menaiki lempeng logam besar yang tergeletak di tengah ruang bawah tanah. Setiap pijakan terasa berat, bukan karena logam itu menolak, tapi karena sesuatu di dalam dirinya mulai bergetar. Seolah-olah fragmen yang tersembunyi di bawah permukaan lempeng itu... mengenalinya.Bayangan melingkar yang berdiri di belakang Rasim menyusut pelan, bentuknya bergelombang, seperti asap pekat yang ditarik mundur oleh kekuatan yang lebih dalam. Tapi mata makhluk itu tetap menyala samar, menyisakan tatapan yang tidak pernah benar-benar pergi.“Rasim,” panggil Rakasura pelan, “Kau bisa dengar aku?”Pemuda itu berdiri kaku di atas lingkaran. Matanya terbuka, tapi tatapannya kosong. Mulutnya sedikit terbuka, napas teratur, namun... ia tidak hadir. Seperti tubuh yang ditingga
Malam di perkemahan terasa lebih hangat dari biasanya. Api unggun menjilat udara dengan tenang, mengusir hawa dingin yang turun dari pegunungan. Tirta mengunyah makanan dengan lahap, duduk di antara para pedagang yang mulai kembali tenang setelah insiden siang tadi. Suara obrolan rendah, gelak tawa kecil, dan aroma teh hangat menciptakan suasana yang menipu: seolah dunia tidak sedang berada di ambang kekacauan.Rakasura duduk agak jauh, di sisi luar lingkaran cahaya api. Ia menatap ke kegelapan lembah yang terbentang tak jauh dari kemah. Di balik ketenangan itu, matanya tetap tajam, menyisir bayangan di antara pepohonan dan batu besar.“Kau masih merasa sesuatu mengawasi kita?” Ayu datang dan duduk di sampingnya. Suaranya rendah, tapi cukup jelas.Rakasura tidak langsung menjawab. Ia menoleh sedikit ke a
Pagi di luar Desa Kemiripan menjanjikan udara segar dan langit yang lebih cerah dari biasanya. Embun masih menggantung di ujung rumput saat langkah kaki Rakasura, Ayu, dan Tirta mengayun meninggalkan batas desa. Tak ada perayaan, tak ada arak-arakan, tapi ketiganya merasa telah mengukir sesuatu yang lebih penting daripada tepuk tangan: kedamaian yang kembali.Jalan kecil yang mereka pilih membelah dua perbukitan yang menjulur panjang seperti lengan raksasa yang melindungi dataran rendah. Menurut peta kasar yang mereka peroleh dari Denatra, di ujung jalan ini ada sebuah celah sempit di antara dua gunung kembar. Celah itu dikenal oleh orang-orang setempat sebagai Lorong Wesi, tempat banyak kafilah dan peziarah melewati jalur dagang ke utara.“Jadi... jalur kita berikutnya
Fajar baru saja menggeliat dari balik pegunungan saat Rakasura berdiri di tepi sungai. Udara pagi masih menggigit, menusuk lewat celah-celah pakaian. Kabut tipis mengambang di atas permukaan air, membuat sungai tampak seperti lorong menuju dunia lain.Ia berdiri tanpa suara, memandang air yang diam. Pantulan di permukaan tidak bergerak, meskipun daun-daun berguguran satu per satu dari pohon di atasnya. Angin bertiup pelan, menyibak rambutnya, tapi pantulan Rakasura tetap utuh. Tak berkedip. Tak berubah.Ayu muncul dari balik ilalang, langkahnya ringan.“Kau tidak tidur?”Rakasura menggeleng pelan. “Bayangan itu datang lagi. Tapi kali ini, ia menunjuk ke arah sungai. Aku rasa... kita harus masuk.”Ayu m