Bab 70Aku fokuskan kembali pendengaranku agar lebih baik. Entahlah karena rasa benci ku padanya juga membuat aku penasaran dengan apa sebenarnya yang mereka obrolkan. Orang-orang biasa menyebut sifatku ini kepo. Tapi aku peduli amat.Ternyata tidak meleset pendengaranku sebelumnya, bahwa laki-laki itu benar-benar menolak ajakan temannya untuk berlibur hanya karena ayah dan anak mereka.Busyet sekali. Mungkin saja dengan cara itu ia sudah merasa menjadi pahlawan untuk Aliyah. Aku yakin sekali anggapanmu itu pasti salah, Rama. Andaikan saja kau sadar pada kenyataannya akulah yang lebih lama hidup bersama aliyah dibanding kamu yang baru beberapa tahun saja menikahinya. Jadi, aku belum merasa kalah dibanding kamu. Memang itu kenyataan kok.Beberapa saat kemudian aku lihat laki-laki itu pergi meninggalkan teman yang tadi berusaha merayunya untuk pergi berlibur bersama tanpa keikutsertaan Aliyah. Kulihat ada raut kesal pada wajah temannya yang ia tinggalkan.Ingin rasanya aku merebut A
Bab 71"Itu, tetangga sebelah, Bib.""Ooh ..!" Aku ber oh ria."Katanya dia mau minta tolong juga sama kamu buat bersihin paritnya juga. Soalnya tukang kebunnya lagi cuti. Kamu mau kan?" lanjut Pak Tohir."Boleh kok.. mau banget malah. Kebetulan aku lagi butuh banyak uang nih." celetukku.Tentu saja aku sedang membutuhkan uang sekarang. Soalnya mulai besok aku ingin mencoba untuk melamar pekerjaan baru dan itu aku butuh bensin tentunya. Beli bensin sekalian rokok itu sudah cukup untuk membuatku susah mencari uangnya. Tidak seperti dulu. Kalau dulu mah dua barang itu adalah dua hal yang sangat mudah untuk aku dapatkan. Ah beginilah nasib yang diberikan tuhan. Kadang terasa tidak adil memang.Setelah beberapa saat lamanya, aku memutuskan untuk memulai pekerjaan.Dengan semangat aku menggeluti pekerjaan ini. Aku mulai menebak, berapa kira-kira uang yang akan diberikan oleh anaknya Pak Tohir nanti. Siapa tahu lima ratus ribu. atau bisa-bisa lebih mengingat anaknya ini adalah seorang dok
Bab 72Dugh!Honor pensiun?Haduh, mati aku! Kenapa Pak Tohir malah bicara soal honor pensiun sih? "Hmm ... Honor pensiun selalu kukirimkan pada mantan istriku, Pak. Menurutku anakku jauh lebih membutuhkan uang itu daripada saya." jawabku cepat.Untung aku cepat berpikir ke arah sana. Jadi tidak ketahuan kalo sebenarnya setiap bulan tidak ada yang namanya uang pensiun untukku. Lagipula aku tidak punya anak kan, he ... he ...!"Oooh, pemikiran seorang ayah yang baik." Pak Tohir menganggukkan kepalanya.Aku menghela nafas panjang, setidaknya aku bisa membuat Pak tohir percaya kalau aku memang benar-benar mendapatka uang pensiun setiap bulan. Berbohong memang tidak di larang demi bisa menjaga nama baik diri kita sendiri bukan? Memangnya siapa lagi yang akan menjaga nama baik kita selain dari diri kita sendiri?*** Pagi ini aku kembali menyetirkan sepeda motor bututku menuju ke kompleks mewah dimana kemarin aku bekerja. Huuh, untuk sementara tidak apa-apa lah aku bekerja seperti ini
Sebelumnya terimakasih telah mampir ke cerita receh saya. Kalau berkenan, dukung Mak Othor dengan follow dan subscribe yaa, jangan lupa buat komen dan tinggalkan ulasan dibawahnya.Terimakasiih... "Ma, tadi Bilna telpon Papa, besok Bilna mau minta izin ikut tinggal sama kita, kira-kira kita bolehin nggak ya, Ma?" "Bilna mau tinggal sama kita, memangnya kenapa, Pa?" "Ini, Ma. Bilna dapet kerja di bank yang lokasinya dekat dari rumah kita, jadi apa salahnya juga kita ngizinin dia buat tinggal disini saja. Menghemat pengeluarannya juga." Begitulah percakapan kami beberapa bulan lalu. Tapi setelah beberapa lama dia tinggal bersama kami, ada yang sedikit berbeda dari Habib. Dia lebih manja dan lebih perhatian padaku. Awalnya Aku begitu senang melihat perubahan sikapnya. Suatu hari, Aku pamit pulang agak sore, karena pekerjaanku sedang menumpuk di kantor. Dia menganggukkan kepala tanda setuju. Siang harinya Aku lupa ada berkas penting yang ketinggalan. Aku ber
Jalanan begitu macet, bisa-bisa aku sampai tengah malam kalau terus-terusan begini. Ku belokkan arah mobilku, mencari rute jalan lain. Agak jauh memang, tapi dari pada harus menunggu berjam-jam. Terpaksa Aku berputar haluan. Cuaca yang panas, membuat Kerongkonganku terasa begitu kering. Kuputuskan untuk berhenti sejenak di sebuah toko, mungkin sebotol minuman dingin bisa meredakan haus ku. Aliran minuman yang sejuk dibkerongkonganku berhasil membuat hausku hilang. Tiba-tiba mataku menangkap dua sosok yang ku kenal, menuju sebuah klinik. Ku tajamkan mataku. Benar, itu mereka. Habib dan Bilna. Apa tujuan suami dan Adikku itu kesana?. Dengan pelan, ku buntuti mereka. Kali ini sepertinya Aku tidak boleh membuat keributan di sini. Ku ambil gawaiku dan ku potret mereka. Habib merangkul pundak Bilna. Hubungan mereka tidak nampak seperti layaknya kakak beradik. Tapi sepertinya lebih dari itu. Beberapa lama kemudian, mereka keluar kembali. Mereka bergandengan tangan layak
Perutku keroncongan. Sepertinya minta di isi. Aku melangkah ke meja makan. Tapi di mana Ibu mertuaku? Ada baiknya Aku mengajaknya makan siang bersama. Ku cari kesana- kemari. Samar-samar ku dengar Ibu sedang mengobrol bersama Bilna di taman belakang. Memang ku akui, Bilna begitu pimtar mengambil hati beliau. Sehingga dia mampu akrab dengan Ibu mertuaku, dalam waktu yang belum lama. "Tante. Sepertinya Tante harus lebih cepat memiliki cucu deh. Kalau tidak kan kasihan perusahaan Om Yura akan jatuh ke tangan siapa. Mas Habib anak satu-satunya pula." "Iya, Bil. Tante juga berpikiran demikian. Tapi mau bagaimana lagi, Aliyah tidak kunjung hamil. Bagaimana menurutmu?" "Tan, maaf sebelumnya bukan Bilna mau ikut campur masalah keluarga Tante ya. Sebaiknya mereka itu lekas melakukan tes kesuburan. Biar kita tahu yang bermasalah siapa?. Kalau kita sudah tahu, maka kita bisa mencari inisiatif jalan keluarnya. Seperti bantuan medis gitukan. Atau siapa tahu juga si Mbak Aliyah
Aku tetap pura-pura tidak mengetahui akan pengkhianatan dua manusia yang justru orang-orang terdekatku itu. Aku lebih fokus ke pekerjaanku. "Tante Eri jangan pulang dulu ya, Tan. Hari ini kita mau lihat hasil tes kesuburan Mas Habib dan Mbak Bilna. Nanti biar Bilna juga ikut untuk nemenin Mbak Aliyah buat ambilkan hasil tesnya. Sekalian mau membezuk teman Bilna di rumah sakit. Mas Habib tetaplah untuk bekerja. Hitung-hitung saya mau turut membantu." "Niatmu sangat baik Bil. Tante nggak keberatan dengan niatmu. "Kemarin saya sudah menghubungi bos saya, Tante. Dia mengizinkan saya untuk tidak masuk hari ini." Lagi-lagi Bilna seperti terlalu bersemangat dengan hasil tes itu. Mengapa dia terlalu bersemangat bahkan cuma mau mengambil hasil tes saja dia rela meliburkan diri. Aneh. Aku saja biasa-biasa saja. Kok dia yang lebih sibuk di banding Aku. "Kalau sampai kamu mengorbankan hari kerjamu, mendingan nggak usah Bil. Biar Mbak saja yang ambil nanti." "Ng
Sejak hasil tes kami keluar, Ibu mertua dan suamiku mulai perlahan berubah sikap. Tidak lagi begitu peduli denganku. Aku bisa merasakan perubahan itu. Bahkan Ibu lebih perhatian ke Bilna dari pada kepadaku. Sedangkan Bilna tampak semakin berkuasa saja di rumah ini. Pagi hari di meja makan, Aku berniat sarapan bersama-sama dengan mereka. Ku ambil piring untuk mengambilkan nasi buat suamiku, tapi lagi-lagi Bilna mendahuluiku. "Nggak usah Mbak, biar Bilna saja yang ambilkan Mas Habib nasi!" Ujarnya cepat, sambil tangannya dengan cekatan menaruh sarapan buat suamiku. Lalu buat mertuaku. Seolah-olah dia mau mengambil peranku di rumah ini. "Iya, Aliyah. Nggak apa-apa Bilna yang ambilkan." Suamiku membenarkan kata-kata Bilna. Dari sudut bibirnya Aku melihat ada senyuman tipis yang menggambarkan kebahagiaannya. Apa yang dia bahagiakan? Sedangkan Aku masih saja terbawa-bawa rasa pilu karena surat keputusan dokter itu. Apakah Habib tidak merasakan kesedihanku.