Mag-log inSabtu tiba dengan cepat. Tapi sesore ini, Hana masih berdiri di depan jendela kecil pantry kantor sambil memegang gelas kopinya. Wanita itu terlihat melihat kosong ke langit, tapi pikirannya dipenuhi momen kacau setelah malam mabuknya kemarin.
Wajah Adam masih sangat jelas mendominasi pikirannya. Mengingat lagi bagaimana wajah Adam yang sebelumnya masih terkekeh mengejek dan menggodanya dengan omong kosong, seketika berubah kaku dan kesal saat Hana mengungkit cerita masa lalu. “Kalau memang bukan dia, kenapa harus kesal gitu?” gumamnya bingung. Hana mulai menyeruput kopinya, “Nggak nyambung banget. Bikin orang bingung—,” “Hanaaa, selamat, yaw!” Suara Rani mengagetkan lamunan Hana, dan langsung membuatnya menoleh, “Apaan sih? Ngagetin aja!” decaknya. “Cieee, yang bentar lagi mau sold out. Padahal kalau belum tahun ini, aku mau jadiin kamu mentor aku, tau.” Celetuk Rani sambil mengambil cangkir minumnya. Hana malah semakin bingung, “Selamat buat apa sih, Ran? Mentor apaan, lagi?” Rani mendekat lalu mengulurkan tangan yang disambut ragu oleh Hana, “Yang pertama, selamat ulang tahun rekan kerjaku yang kece badai yang nggak goyah diserang lebah genit seantero, hehe.” Hana bahkan tersenyum kikuk, bingung menanggapi ucapan selamat Rani yang aneh, “I-iya. Makasih, Ran. Tapi greeting nya aneh banget tau,” “Harus spesial buat orang yang spesial.” Jawab Rani yang belum melepas jabatan tangan mereka. Dan kali ini, ia menarik Hana untuk dipeluk, “Selamat juga buat hari manis kamu, Han. Aku ikut senang karena kamu sebentar lagi nikah.” sambungnya berucap tulus. Hana termangu sejenak, baru sadar ternyata hari ulang tahun ini bersamaan dengan rencana Reza yang akan membawanya untuk dikenalkan ke keluarga. "Kok kamu yakin banget aku bentar lagi nikah, Ran?" "Amin aja kenapa, sih? Bawel!" Celetuk Rani yang kini sudah kembali ke mode ceriwis, "Ya, kali, mau tunangan terus sampai kepala empat? Nikah, dong, Hana..." "Lagian kemarin aku lihat pacar kamu, si Reza, kan, namanya? Nah, dia masuk ke store Black Jasmine, Han. Pasti dia mau beliin sesuatu di sana buat hari spesial kalian." "Tepat banget hari ulang tahun Kamu juga. Ya udah, perfect combo banget kata aku." Hana tersenyum di sepanjang penjelasan Rani, yang saat itu melihat Reza mendatangi sebuah store brand perhiasan yang mahal dan berkelas, tapi modelnya terkesan simple dan manis. Momentum yang disebutkan Rani barusan juga menambah haru Hana. 'Ternyata Reza sayang aku banget. Nyesel selalu underestimate ke dia yang gila kerja dan jadiin aku pajangan doang.' 'Di store Black Jasmine, kan, harganya mahal banget. Apa gajinya nggak langsung habis buat beliin aku kado ulang tahun begitu? Uhm... Kasihan banget kamu, Za...' Hana merenungi anggapannya yang selalu mengira kalau Reza dingin dan lebih cinta pekerjaannya daripada kekasihnya sendiri. Dan apa yang Rani sampaikan membuatnya menambah satu poin positif untuk dijadikan alasan mengapa dia masih bertahan dalam hubungan hampa itu bersama Reza. Dan nyatanya, memikirkan Reza saat ini berhasil menggeser tentang Adam yang sejak saat itu mendominasi benak dan pikiran Hana. * Waktu tanpa terasa merambat dengan cepat. Sejak pulang dari kantor, Hana seperti dikejar-kejar hantu. Ia harus mandi dan berdandan rapi serta cantik, sebelum Reza datang menjemputnya. Jemputan pun tiba, tapi bukannya menyusul Hana ke depan rumahnya, Reza hanya menelepon agar Hana keluar dengan cepat, dan dia hanya menunggu di mobil. Kesan pertama malam ini jelas kecewa, tapi itu hal biasa bagi Hana. Reza memang selalu begitu, tidak ada momen mesra yang dihadirkannya untuk Hana sejak beberapa tahun belakangan. Mirisnya, di malam spesial ini Hana malah sedikit berharap pertemuan mereka akan sedikit berbeda dan manis. Kenyataannya, terasa hambar seperti sebelum-sebelumnya. Hana masuk ke mobil, berharap tatapan Reza yang intens malam ini akan berbau pujian, tapi sayangnya tidak. "Kamu nggak pakai perhiasan? Kalung atau apa gitu? Polosan aja nih?" tanya Reza, "Nanti apa kata Mamaku, Han?" Hana bingung menanggapi. Karena memang sejatinya Hana lebih suka bergaya simple tanpa perhiasan mewah yang mencolok. Jika pun mengenakan aksesoris, dia lebih menyukai aksesoris dari batu-batuan berwarna warni. Bukan tidak memiliki perhiasan, tapi Hana memang suka kesederhanaan. Lagipula, mendengar Reza mengangkat topik perhiasan, ia berharap besar kekasihnya itu akan menghadiahi perhiasan yang dibelinya dari Black Jasmine. Model terbaru Black Jasmine, terutama liontin kecil berbentuk melati hitam bermata putih di sana, ternyata masuk ke wishlist Hana ketika gajinya cukup membeli. "Hmm, aku lupa pakai, Za. Lagian punyaku model lama semua. Ada rencana beli Melati Hitam di Black Jasmine, tapi uangnya udah kepake buat ngebom cicilan rumah kita nanti." jawab Hana ragu, mengangkat nama brand perhiasan tersebut. Reza menghela napas berat, "Ya udah, deh. Nanti pandai-pandai aja jawab kalau Mama tanya ke kamu soal begituan." nada bicaranya terdengar kesal. "Terus, kalau bisa jangan beli perhiasan di sana. Kemahalan banget buat kamu. Nanti duit kamu habis, malah minta aku lagi." Mendengar tanggapan Reza seketika menghancurkan harapan Hana. Tapi, sepertinya ia masih belum menyerah. "Tapi, Za. Kata teman kantorku tadi. Kemarin dia lihat kamu masuk store Black Jasmine dan beli sesuatu di sana. Kamu beli apaan di sana? Beli kado buat ulang tahunku, kan?" Menyampingkan kekecewaannya, Hana masih mencoba gembira bertanya pada Reza yang sejak awal sudah datar. Reza mengerutkan dahi, "Kado kamu?" Hana mengangguk cepat, "Ya nggak mungkinlah aku beliin kamu kado dari sana, Han? Baru kalung secuil aja harganya nyampai tiga puluh juta. Gajiku ya habislah." "Lagian temen kamu memang nggak salah lihat aku di sana. Waktu itu bos tim aku minta tolong ambilin pesanannya di store itu. Itu hadiah ulang tahun pernikahan buat istrinya." "Kalau aku, ya nggak mungkin beli barang di situ lah. Gila apa?" “Bersyukur banget aku punya kamu, Han. Kamu nggak neko-neko pengen beli hal nggak penting tapi harganya selangit." Semangat dan harapan Hana kontan pupus. Ia kini tidak berharap apapun lagi setelah mendengar jawaban Reza. Bahkan dalam hatipun, Hana sudah kehilangan kalimat untuk mendeskripsikan kekecewaannya pada sang pacar.Ruang belakang rumah makan kecil itu sunyi. Hanya suara angin malam yang berdesis lembut di celah jendela. Bunga atau Flo, berdiri dengan kedua tangannya saling meremas, sementara Surya menutup pintu perlahan, seolah takut suara itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh di antara mereka.Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap. Tatapan dua orang yang pernah saling mencintai, lalu terpisah oleh takdir yang kejam.Surya menghela napas panjang. Bahunya turun, wajahnya melemah. “Flo… aku–,”Suaranya pecah. Ia menunduk, menutup mata, berusaha menarik kekuatan dari udara yang terasa berat.Bunga memandangnya dengan mata yang mulai berkaca, “Kamu bisa bicara, Julian. Aku akan mendengar.”Surya tersenyum getir mendengar nama itu. Nama lama yang hanya dia dan Flo kenal. Nama yang pernah ia pikir sudah mati bersama masa mudanya.“Aku dulu berpikir kamu… meninggal,” katanya pelan. “Aku benar-benar percaya kabar itu, Flo.”Bunga mengerjap. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku bukan cum
Ruang belakang rumah makan kecil itu sunyi. Hanya suara angin malam yang berdesis lembut di celah jendela. Bunga—atau Flo—berdiri dengan kedua tangannya saling meremas, sementara Surya menutup pintu perlahan, seolah takut suara itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh di antara mereka.Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap.Tatapan dua orang yang pernah saling mencintai, lalu terpisah oleh takdir yang kejam.Surya menghela napas panjang. Bahunya turun, wajahnya melemah. “Flo… aku—”Suaranya pecah. Ia menunduk, menutup mata, berusaha menarik kekuatan dari udara yang terasa berat.Bunga memandangnya dengan mata yang mulai berkaca. “Kamu bisa bicara, Julian. Aku di sini.”Surya tersenyum getir mendengar nama itu. Nama lama yang hanya dia dan Flo kenal. Nama yang pernah ia pikir sudah mati bersama masa mudanya.“Aku dulu berpikir kamu… meninggal,” katanya pelan. “Aku benar-benar percaya kabar itu, Flo.”Bunga mengerjap. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku tahu. Aku dengar it
Suasana sore di dapur rumah Hana terasa tenang, hanya terdengar suara sendok beradu pelan di cangkir teh yang baru saja ia aduk. Udara membawa aroma jahe hangat yang menenangkan. Tapi hati Hana justru sebaliknya, penuh tanda tanya yang menumpuk sejak kejadian di pasar tadi.Ia memandangi jendela, di mana bayangan pepohonan menari karena hembusan angin. “Papa kenal Tante Bunga…” gumamnya lirih, seolah mengulang potongan adegan yang baru saja berlalu. Tatapan Surya kepada Bunga atau Flo, seperti yang ia dengar tadi, masih tergambar jelas di kepalanya. Tatapan yang terlalu dalam untuk sekadar pertemuan antara orang lama.Langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu. Adam baru pulang dari meeting luar, wajahnya tampak lelah tapi mata itu… mata itu melirik sesuatu yang berbeda dari Hana.Ada kekosongan, juga resah yang tidak biasa.“Sayang,” sapa Hana pelan sambil mendekat, “Kamu pulang? Kok aku nggak dengar suara mobil, ya?" Adam menatapnya sebentar, mencoba tersenyum, tapi senyum, “Hayo
Suara itu nyaris tak terdengar, hanya getar di udara.Surya menunduk sedikit, menatapnya dengan mata yang basah tapi tenang,.“Iya, Flo. Aku.”Bisikan itu cukup untuk membuat beberapa orang yang masih mengamati menahan napas. Ibu penjual daging yang tadi lantang kini sibuk menutup mulut dengan tangan, wajahnya merah padam, “Ma–maaf, saya… saya nggak tahu…”Suara itu gemetar, tapi Surya hanya menatapnya sebentar, lalu menghela napas.“Tidak apa-apa, Bu. Tapi lain kali, berhati-hatilah menilai seseorang. Lidah bisa lebih tajam dari pisau daging di depan Anda.”Kalimat itu membuat beberapa orang mengangguk pelan. Ada yang bahkan menepuk bahu Bunga, memberi senyum simpati, sementara Surya menggenggam tangannya dengan mantap, seolah takut jika melepaskan, semuanya akan hilang lagi.Di kejauhan, Hana yang baru selesai menawar ikan menatap dengan dahi berkerut, belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dari cara Surya berdiri, ia tahu itu bukan orang asing. Kerumunan pasar mulai mencair,
Pagi itu langit belum terlalu terik. Pasar tradisional penuh suara teriakan pedagang, gesekan plastik, dan aroma sayur segar yang berpadu dengan bau tanah basah sisa hujan semalam.Surya berjalan di belakang Hana, membawa tas belanjaan besar yang setengah penuh. Menantunya itu asyik menawar ikan tenggiri, suaranya riang, seperti biasa. Tapi Surya tidak benar-benar mendengar. Ada sesuatu di udara pagi itu yang membuat langkahnya melambat. Entah kenapa, dada kirinya terasa sesak tanpa sebab yang jelas.Ia memalingkan wajah ketika samar-samar terdengar suara perempuan paruh baya yang sedang berbicara dengan nada tinggi di lapak daging beberapa meter dari tempatnya berdiri.“Jangan jual daging kita ke perempuan itu, ya! Aku udah bilang ke kamu!”Suara itu membuatnya menoleh. Di antara lalu-lalang pembeli dan deretan meja kayu, Surya melihat sosok wanita bersahaja dengan pakaian sederhana, memngenakan kemeja lengan panjang, dan dengan rambut yang disanggul seadanya.Gerak-geriknya tenang,
Sore itu, aroma masakan memenuhi seluruh rumah. Bunga dan Hana sibuk di dapur sejak siang. Meja makan sudah tertata rapi dengan sup ayam bening, ikan bakar kesukaan Adam, dan puding mangga favorit Hana.“Wah, Tante serius banget, nih,” kata Hana sambil tersenyum kagum. Bunga hanya tertawa kecil. “Namanya juga tamu penting. Masa mau disambut asal-asalan.”Adam ikut membantu menata gelas, sesekali mencuri pandang ke arah pintu. “Kayaknya Papa bentar lagi sampai. Tadi udah balas pesan aku, katanya udah di jalan.”Waktu berjalan. Langit di luar mulai memerah, lalu perlahan gelap. Empat piring sudah tersaji, empat gelas berisi teh hangat menunggu, tapi kursi keempat di ujung meja masih kosong.Jam menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh saat ponsel Adam berdering. Ia melihat nama yang muncul di layar, lalu cepat mengangkat.“Pa?” suaranya agak ceria, tapi itu hanya di awal.Beberapa detik kemudian ekspresinya berubah.“Iya, Pa… oh… gitu… baik, Pa. Hati-hati di jalan.” Nada suaranya menuru







