Share

Sampai Kapan

Author: Money Angel
last update Huling Na-update: 2025-10-06 16:28:43

Beberapa menit setelah kekacauan pagi itu, suara air dari kamar mandi meredam suasana. 

Adam masih duduk di tepi ranjang, menyandarkan punggungnya sambil memandangi langit-langit kamar. 

Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Hana keluar dengan rambut yang kini diikat rapi, wajah bersih, dan pakaian formal yang kembali tertata. 

Tidak ada lagi ekspresi panik atau salah tingkah seperti sebelumnya, yang tersisa hanya ketenangan dingin dan tatapan yang tegas.

Adam yang semula hendak membuka mulut untuk bercanda, langsung terdiam ketika mendengar kalimat Hana. 

“Saya tau kalau tadi malam saya mabuk,” ucap Hana tenang, suaranya terdengar tegas, “Tapi saya yakin nggak berbuat apapun sama Bapak.”

Nada bicaranya terdengar janggal, tapi justru menohok. Adam menaikkan satu alisnya, “Bapak?”

Hana tetap menjaga nada bicaranya yang datar, “Yakin seratus persen. Karena bagi saya, mau dulu atau sekarang,  kamu itu adiknya saya.”

"Kamu mau ngaku ingat atau nggak ke saya, saya udah nggak peduli. Tapi satu yang pasti, saya nggak mungkin ngelakuin hal konyol begitu sama adik sendiri.”

Hening merajai ruangan. Beberapa detik di sana terasa panjang.

Kini, tatapan Adam tidak lagi dengan senyum, melainkan pandangan gelap yang sulit dibaca. 

Namun Hana tidak peduli. Tanpa menunggu balasan, ia hanya menunduk sopan, mengambil tas, lalu melangkah menuju pintu.

“Terima kasih udah bantuin saya semalam, Pak.” ucapnya pelan tanpa menoleh, “Saya bakalan balas jasa Bapak lain hari. Permisi…” 

Dan dengan langkah ringan, Hana meninggalkan kamar itu, membiarkan pintu menutup pelan dengan sendirinya.

Keheningan kembali memenuhi kamar. Adam menunduk, jarinya mengepal kuat. 

Suara tawa kecil lolos dari bibirnya. Tapi itu bukan tawa bahagia, melainkan tawa getir yang menekan luka.

“Adik, ya…” gumamnya lirih, pandangannya kosong menatap pintu yang baru saja tertutup, “Sampai kapan kamu bakal anggap aku anak kecil, Hana?”

Ingatan Adam berputar perlahan, seolah waktu kembali menyeretnya ke masa silam. Saat di mana segalanya masih sederhana dan kecil, sebelum perasaan itu tumbuh besar menjadi sesuatu yang rumit.

Saat itu, Adam kecil baru berusia sepuluh tahun. Anak laki-laki kurus yang baru saja pindah ke sebuah rumah susun di pinggiran Jakarta. 

Lingkungannya padat, suara kendaraan dan teriakan anak kecil bersahutan hampir setiap hari. Namun bagi Adam kecil, semua itu terasa asing dan berisik.

Ia bukan anak yang mudah bergaul. Setelah bertahun-tahun hidup di panti asuhan pedalaman desa luar Jakarta, Adam belajar untuk tidak berharap banyak dari siapapun. 

Apalagi setelah dijemput mendadak oleh pria yang terbukti valid adalah ayah kandungnya sendiri. 

Sejak saat itu, ayah dan anak itu nyaris tidak memulai apapun. Tepatnya, keduanya canggung karena harus dipertemukan dengan takdir se-aneh yang mereka alami.

Saat itu yang Adam tahu hanya informasi kecil dari ibu panti, bahwa Nenek dari pihak ayah yang menyerahkannya pada Panti Pelita Suci saat Adam masih bayi.

Tanpa menjelaskan siapa orang tua si bayi dan hanya memberi segepok uang untuk biaya merawat Adam.

Hingga usianya sepuluh tahun, barulah sosok sang ayah muncul dengan air mata penyesalan, menjemputnya untuk hidup yang lebih baik. Tapi, Adam masih belum dibolehkan dibawa ke keluarga karena satu hal yang tidak diketahui.

Sang Ayah hanya terus mengatakan suatu hari nanti kamu akan bahagia bersama keluarga mereka yang utuh.

Suatu hari, ayahnya mengenalkan seorang gadis yang tinggal bersebelahan dengan tempat tinggal mereka.

‘Adam, mulai besok kamu baik-baik, ya. Kak Hana bakal bantuin Papa ngurus kamu selama Papa bolak-balik ke luar kota.’

Anak itu hanya mengangguk kecil tanpa ekspresi. Ia tidak tahu siapa ‘Kak Hana’ yang dimaksud itu.

Sampai kemudian pintu rumah diketuk dan seorang gadis muda muncul dengan senyum cerah di wajahnya.

“Hai, kamu Adam, ya? Aku Hana.”

Suaranya lembut, hangat, dan tidak menghakimi. Adam tidak menjawab, hanya menunduk, memeluk guling lusuh yang dibawanya dari panti. 

Tapi Hana tidak menyerah. Ia berjongkok di depan anak itu, menyodorkan sekotak susu dan sepotong roti, lalu berkata pelan.

"Nggak apa-apa kalau belum mau ngomong. Tapi kamu makan dulu, gih. Kalau kamu nggak suka, nanti aku buatin yang lain, deh. Kak Hana jago masak loh!”

Entah kenapa, sejak hari itu, rumah kecil itu terasa lebih hidup.

Peran Ayah Adam digantikan dengan Hana yang setiap pagi membangunkannya, menyiapkan sarapan, menemaninya belajar, bahkan menjemputnya di sekolah saat hujan. 

Ia bukan sekadar pengasuh bagi Adam, tapi rumah. Meskipun semua biaya dan kebutuhan Adam tercukupi, tapi kasih sayang yang ia dapatkan dan membuatnya nyaman hanya berasal dari Hana.

Bahkan dalam tiga tahun penuh, Hana menjadi satu-satunya orang yang bersama Adam, saat ayahnya diharuskan kembali ke Australia karena mengurus sang Nenek yang sakit parah di sana. 

Hana mengajarkan hal-hal kecil seperti mengikat tali sepatu, mencuci piring, atau menata buku. Tapi yang paling Adam ingat adalah senyumnya setiap kali ia berbuat salah.

‘Namanya juga belajar, Dam. Nggak apa-apa kalau salah. Kalau belum dicoba, nggak bakalan tau hasilnya, kan?’

Perlahan, Adam kecil mulai berubah. Dari anak pendiam yang tak berani menatap mata siapa pun, menjadi bocah yang bisa tertawa meski hanya di depan Hana.

Dan dari sanalah segalanya tumbuh. Awalnya hanya rasa sayang seperti adik kepada kakaknya. Tapi semakin lama, semakin banyak ia belajar untuk bergantung padanya, semakin kuat pula keinginannya untuk melindungi Hana.

Hana selalu tampak kuat di luar. Sibuk kuliah, kerja paruh waktu mengajar les privat anak SD, dan mengurus dirinya. 

Tapi Adam tahu, kadang ia menangis diam-diam di dapur ketika menerima telepon dari keluarga pamannya. Ia tahu dan bahkan selalu jadi tempat Hana menyandarkan kepalanya ketika patah hati oleh pacar.

Adam tahu bagaimana gadis itu menahan semuanya sendiri, dan tetap tersenyum keesokan paginya seolah tak terjadi apa-apa.

Dari situ, hati kecil Adam mulai berbisik. Ia tidak ingin Hana terus sendirian. Ia ingin menjadi seseorang yang bisa membuat Hana bersandar dan bahagia

Dan ketika usianya menginjak remaja, perasaan itu semakin jelas. Bukan lagi sekadar kasih seorang adik, tapi sesuatu yang ia sendiri tak berani menyebutkan.

Tak mampu menahan gejolak terlarangnya untuk Hana, Adam menghubungi ayahnya untuk dijemput dan disekolahkan ke luar negeri, dengan tekad ketika ia kembali nanti, ia sudah pantas menjadi pria yang bisa membuat Hana bahagia.

Namun sayangnya, bahkan sampai sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu dan bertemu kembali, Hana masih menganggapnya adik kecil.

Dan setiap kali mendengar sebutan itu, bagian dalam diri Adam yang hangat karena kasih sayang, kini terasa perih karena tembok status yang Hana bangun untuknya. 

Adam menatap pantulan dirinya di cermin kamar hotel. Tatapan itu kini jelas bukan milik anak kecil yang dulu. 

Dia sudah menjadi pria dewasa yang akhirnya tahu bahwa rasa sayangnya pada Hana sudah terlalu dalam untuk bisa disebut kasih sayang saudara.

“Sekarang berbeda, Hana…” gumamnya lirih, jarinya menyentuh kaca dingin di depannya, “Kalau aku bersikap lebih berani lagi, apa kamu masih bakal tetap nyebut aku adik kecil?”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Fakta Miris Masa Lalu

    Ruang belakang rumah makan kecil itu sunyi. Hanya suara angin malam yang berdesis lembut di celah jendela. Bunga atau Flo, berdiri dengan kedua tangannya saling meremas, sementara Surya menutup pintu perlahan, seolah takut suara itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh di antara mereka.Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap. Tatapan dua orang yang pernah saling mencintai, lalu terpisah oleh takdir yang kejam.Surya menghela napas panjang. Bahunya turun, wajahnya melemah. “Flo… aku–,”Suaranya pecah. Ia menunduk, menutup mata, berusaha menarik kekuatan dari udara yang terasa berat.Bunga memandangnya dengan mata yang mulai berkaca, “Kamu bisa bicara, Julian. Aku akan mendengar.”Surya tersenyum getir mendengar nama itu. Nama lama yang hanya dia dan Flo kenal. Nama yang pernah ia pikir sudah mati bersama masa mudanya.“Aku dulu berpikir kamu… meninggal,” katanya pelan. “Aku benar-benar percaya kabar itu, Flo.”Bunga mengerjap. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku bukan cum

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   82 Fakta Miris Masa Lalu

    Ruang belakang rumah makan kecil itu sunyi. Hanya suara angin malam yang berdesis lembut di celah jendela. Bunga—atau Flo—berdiri dengan kedua tangannya saling meremas, sementara Surya menutup pintu perlahan, seolah takut suara itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh di antara mereka.Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap.Tatapan dua orang yang pernah saling mencintai, lalu terpisah oleh takdir yang kejam.Surya menghela napas panjang. Bahunya turun, wajahnya melemah. “Flo… aku—”Suaranya pecah. Ia menunduk, menutup mata, berusaha menarik kekuatan dari udara yang terasa berat.Bunga memandangnya dengan mata yang mulai berkaca. “Kamu bisa bicara, Julian. Aku di sini.”Surya tersenyum getir mendengar nama itu. Nama lama yang hanya dia dan Flo kenal. Nama yang pernah ia pikir sudah mati bersama masa mudanya.“Aku dulu berpikir kamu… meninggal,” katanya pelan. “Aku benar-benar percaya kabar itu, Flo.”Bunga mengerjap. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku tahu. Aku dengar it

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Dia Mamaku

    Suasana sore di dapur rumah Hana terasa tenang, hanya terdengar suara sendok beradu pelan di cangkir teh yang baru saja ia aduk. Udara membawa aroma jahe hangat yang menenangkan. Tapi hati Hana justru sebaliknya, penuh tanda tanya yang menumpuk sejak kejadian di pasar tadi.Ia memandangi jendela, di mana bayangan pepohonan menari karena hembusan angin. “Papa kenal Tante Bunga…” gumamnya lirih, seolah mengulang potongan adegan yang baru saja berlalu. Tatapan Surya kepada Bunga atau Flo, seperti yang ia dengar tadi, masih tergambar jelas di kepalanya. Tatapan yang terlalu dalam untuk sekadar pertemuan antara orang lama.Langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu. Adam baru pulang dari meeting luar, wajahnya tampak lelah tapi mata itu… mata itu melirik sesuatu yang berbeda dari Hana.Ada kekosongan, juga resah yang tidak biasa.“Sayang,” sapa Hana pelan sambil mendekat, “Kamu pulang? Kok aku nggak dengar suara mobil, ya?" Adam menatapnya sebentar, mencoba tersenyum, tapi senyum, “Hayo

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Aku Belum Siap

    Suara itu nyaris tak terdengar, hanya getar di udara.Surya menunduk sedikit, menatapnya dengan mata yang basah tapi tenang,.“Iya, Flo. Aku.”Bisikan itu cukup untuk membuat beberapa orang yang masih mengamati menahan napas. Ibu penjual daging yang tadi lantang kini sibuk menutup mulut dengan tangan, wajahnya merah padam, “Ma–maaf, saya… saya nggak tahu…”Suara itu gemetar, tapi Surya hanya menatapnya sebentar, lalu menghela napas.“Tidak apa-apa, Bu. Tapi lain kali, berhati-hatilah menilai seseorang. Lidah bisa lebih tajam dari pisau daging di depan Anda.”Kalimat itu membuat beberapa orang mengangguk pelan. Ada yang bahkan menepuk bahu Bunga, memberi senyum simpati, sementara Surya menggenggam tangannya dengan mantap, seolah takut jika melepaskan, semuanya akan hilang lagi.Di kejauhan, Hana yang baru selesai menawar ikan menatap dengan dahi berkerut, belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dari cara Surya berdiri, ia tahu itu bukan orang asing. Kerumunan pasar mulai mencair,

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Pertemuan Julian Dan Flo

    Pagi itu langit belum terlalu terik. Pasar tradisional penuh suara teriakan pedagang, gesekan plastik, dan aroma sayur segar yang berpadu dengan bau tanah basah sisa hujan semalam.Surya berjalan di belakang Hana, membawa tas belanjaan besar yang setengah penuh. Menantunya itu asyik menawar ikan tenggiri, suaranya riang, seperti biasa. Tapi Surya tidak benar-benar mendengar. Ada sesuatu di udara pagi itu yang membuat langkahnya melambat. Entah kenapa, dada kirinya terasa sesak tanpa sebab yang jelas.Ia memalingkan wajah ketika samar-samar terdengar suara perempuan paruh baya yang sedang berbicara dengan nada tinggi di lapak daging beberapa meter dari tempatnya berdiri.“Jangan jual daging kita ke perempuan itu, ya! Aku udah bilang ke kamu!”Suara itu membuatnya menoleh. Di antara lalu-lalang pembeli dan deretan meja kayu, Surya melihat sosok wanita bersahaja dengan pakaian sederhana, memngenakan kemeja lengan panjang, dan dengan rambut yang disanggul seadanya.Gerak-geriknya tenang,

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Sama-sama Menunggu

    Sore itu, aroma masakan memenuhi seluruh rumah. Bunga dan Hana sibuk di dapur sejak siang. Meja makan sudah tertata rapi dengan sup ayam bening, ikan bakar kesukaan Adam, dan puding mangga favorit Hana.“Wah, Tante serius banget, nih,” kata Hana sambil tersenyum kagum. Bunga hanya tertawa kecil. “Namanya juga tamu penting. Masa mau disambut asal-asalan.”Adam ikut membantu menata gelas, sesekali mencuri pandang ke arah pintu. “Kayaknya Papa bentar lagi sampai. Tadi udah balas pesan aku, katanya udah di jalan.”Waktu berjalan. Langit di luar mulai memerah, lalu perlahan gelap. Empat piring sudah tersaji, empat gelas berisi teh hangat menunggu, tapi kursi keempat di ujung meja masih kosong.Jam menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh saat ponsel Adam berdering. Ia melihat nama yang muncul di layar, lalu cepat mengangkat.“Pa?” suaranya agak ceria, tapi itu hanya di awal.Beberapa detik kemudian ekspresinya berubah.“Iya, Pa… oh… gitu… baik, Pa. Hati-hati di jalan.” Nada suaranya menuru

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status