Beberapa menit setelah kekacauan pagi itu, suara air dari kamar mandi meredam suasana.
Adam masih duduk di tepi ranjang, menyandarkan punggungnya sambil memandangi langit-langit kamar. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Hana keluar dengan rambut yang kini diikat rapi, wajah bersih, dan pakaian formal yang kembali tertata. Tidak ada lagi ekspresi panik atau salah tingkah seperti sebelumnya, yang tersisa hanya ketenangan dingin dan tatapan yang tegas. Adam yang semula hendak membuka mulut untuk bercanda, langsung terdiam ketika mendengar kalimat Hana. “Saya tau kalau tadi malam saya mabuk,” ucap Hana tenang, suaranya terdengar tegas, “Tapi saya yakin nggak berbuat apapun sama Bapak.” Nada bicaranya terdengar janggal, tapi justru menohok. Adam menaikkan satu alisnya, “Bapak?” Hana tetap menjaga nada bicaranya yang datar, “Yakin seratus persen. Karena bagi saya, mau dulu atau sekarang, kamu itu adiknya saya.” "Kamu mau ngaku ingat atau nggak ke saya, saya udah nggak peduli. Tapi satu yang pasti, saya nggak mungkin ngelakuin hal konyol begitu sama adik sendiri.” Hening merajai ruangan. Beberapa detik di sana terasa panjang. Kini, tatapan Adam tidak lagi dengan senyum, melainkan pandangan gelap yang sulit dibaca. Namun Hana tidak peduli. Tanpa menunggu balasan, ia hanya menunduk sopan, mengambil tas, lalu melangkah menuju pintu. “Terima kasih udah bantuin saya semalam, Pak.” ucapnya pelan tanpa menoleh, “Saya bakalan balas jasa Bapak lain hari. Permisi…” Dan dengan langkah ringan, Hana meninggalkan kamar itu, membiarkan pintu menutup pelan dengan sendirinya. Keheningan kembali memenuhi kamar. Adam menunduk, jarinya mengepal kuat. Suara tawa kecil lolos dari bibirnya. Tapi itu bukan tawa bahagia, melainkan tawa getir yang menekan luka. “Adik, ya…” gumamnya lirih, pandangannya kosong menatap pintu yang baru saja tertutup, “Sampai kapan kamu bakal anggap aku anak kecil, Hana?” Ingatan Adam berputar perlahan, seolah waktu kembali menyeretnya ke masa silam. Saat di mana segalanya masih sederhana dan kecil, sebelum perasaan itu tumbuh besar menjadi sesuatu yang rumit. Saat itu, Adam kecil baru berusia sepuluh tahun. Anak laki-laki kurus yang baru saja pindah ke sebuah rumah susun di pinggiran Jakarta. Lingkungannya padat, suara kendaraan dan teriakan anak kecil bersahutan hampir setiap hari. Namun bagi Adam kecil, semua itu terasa asing dan berisik. Ia bukan anak yang mudah bergaul. Setelah bertahun-tahun hidup di panti asuhan pedalaman desa luar Jakarta, Adam belajar untuk tidak berharap banyak dari siapapun. Apalagi setelah dijemput mendadak oleh pria yang terbukti valid adalah ayah kandungnya sendiri. Sejak saat itu, ayah dan anak itu nyaris tidak memulai apapun. Tepatnya, keduanya canggung karena harus dipertemukan dengan takdir se-aneh yang mereka alami. Saat itu yang Adam tahu hanya informasi kecil dari ibu panti, bahwa Nenek dari pihak ayah yang menyerahkannya pada Panti Pelita Suci saat Adam masih bayi. Tanpa menjelaskan siapa orang tua si bayi dan hanya memberi segepok uang untuk biaya merawat Adam. Hingga usianya sepuluh tahun, barulah sosok sang ayah muncul dengan air mata penyesalan, menjemputnya untuk hidup yang lebih baik. Tapi, Adam masih belum dibolehkan dibawa ke keluarga karena satu hal yang tidak diketahui. Sang Ayah hanya terus mengatakan suatu hari nanti kamu akan bahagia bersama keluarga mereka yang utuh. Suatu hari, ayahnya mengenalkan seorang gadis yang tinggal bersebelahan dengan tempat tinggal mereka. ‘Adam, mulai besok kamu baik-baik, ya. Kak Hana bakal bantuin Papa ngurus kamu selama Papa bolak-balik ke luar kota.’ Anak itu hanya mengangguk kecil tanpa ekspresi. Ia tidak tahu siapa ‘Kak Hana’ yang dimaksud itu. Sampai kemudian pintu rumah diketuk dan seorang gadis muda muncul dengan senyum cerah di wajahnya. “Hai, kamu Adam, ya? Aku Hana.” Suaranya lembut, hangat, dan tidak menghakimi. Adam tidak menjawab, hanya menunduk, memeluk guling lusuh yang dibawanya dari panti. Tapi Hana tidak menyerah. Ia berjongkok di depan anak itu, menyodorkan sekotak susu dan sepotong roti, lalu berkata pelan. "Nggak apa-apa kalau belum mau ngomong. Tapi kamu makan dulu, gih. Kalau kamu nggak suka, nanti aku buatin yang lain, deh. Kak Hana jago masak loh!” Entah kenapa, sejak hari itu, rumah kecil itu terasa lebih hidup. Peran Ayah Adam digantikan dengan Hana yang setiap pagi membangunkannya, menyiapkan sarapan, menemaninya belajar, bahkan menjemputnya di sekolah saat hujan. Ia bukan sekadar pengasuh bagi Adam, tapi rumah. Meskipun semua biaya dan kebutuhan Adam tercukupi, tapi kasih sayang yang ia dapatkan dan membuatnya nyaman hanya berasal dari Hana. Bahkan dalam tiga tahun penuh, Hana menjadi satu-satunya orang yang bersama Adam, saat ayahnya diharuskan kembali ke Australia karena mengurus sang Nenek yang sakit parah di sana. Hana mengajarkan hal-hal kecil seperti mengikat tali sepatu, mencuci piring, atau menata buku. Tapi yang paling Adam ingat adalah senyumnya setiap kali ia berbuat salah. ‘Namanya juga belajar, Dam. Nggak apa-apa kalau salah. Kalau belum dicoba, nggak bakalan tau hasilnya, kan?’ Perlahan, Adam kecil mulai berubah. Dari anak pendiam yang tak berani menatap mata siapa pun, menjadi bocah yang bisa tertawa meski hanya di depan Hana. Dan dari sanalah segalanya tumbuh. Awalnya hanya rasa sayang seperti adik kepada kakaknya. Tapi semakin lama, semakin banyak ia belajar untuk bergantung padanya, semakin kuat pula keinginannya untuk melindungi Hana. Hana selalu tampak kuat di luar. Sibuk kuliah, kerja paruh waktu mengajar les privat anak SD, dan mengurus dirinya. Tapi Adam tahu, kadang ia menangis diam-diam di dapur ketika menerima telepon dari keluarga pamannya. Ia tahu dan bahkan selalu jadi tempat Hana menyandarkan kepalanya ketika patah hati oleh pacar. Adam tahu bagaimana gadis itu menahan semuanya sendiri, dan tetap tersenyum keesokan paginya seolah tak terjadi apa-apa. Dari situ, hati kecil Adam mulai berbisik. Ia tidak ingin Hana terus sendirian. Ia ingin menjadi seseorang yang bisa membuat Hana bersandar dan bahagia Dan ketika usianya menginjak remaja, perasaan itu semakin jelas. Bukan lagi sekadar kasih seorang adik, tapi sesuatu yang ia sendiri tak berani menyebutkan. Tak mampu menahan gejolak terlarangnya untuk Hana, Adam menghubungi ayahnya untuk dijemput dan disekolahkan ke luar negeri, dengan tekad ketika ia kembali nanti, ia sudah pantas menjadi pria yang bisa membuat Hana bahagia. Namun sayangnya, bahkan sampai sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu dan bertemu kembali, Hana masih menganggapnya adik kecil. Dan setiap kali mendengar sebutan itu, bagian dalam diri Adam yang hangat karena kasih sayang, kini terasa perih karena tembok status yang Hana bangun untuknya. Adam menatap pantulan dirinya di cermin kamar hotel. Tatapan itu kini jelas bukan milik anak kecil yang dulu. Dia sudah menjadi pria dewasa yang akhirnya tahu bahwa rasa sayangnya pada Hana sudah terlalu dalam untuk bisa disebut kasih sayang saudara. “Sekarang berbeda, Hana…” gumamnya lirih, jarinya menyentuh kaca dingin di depannya, “Kalau aku bersikap lebih berani lagi, apa kamu masih bakal tetap nyebut aku adik kecil?”Seperti biasa, kebersamaan mereka berdua dilalui dengan senyap. Perjalanan pun sepi tanpa tanya jawab intens selayaknya pasangan. Sampai ketika mobil Reza memasuki perumahan elite dan berhenti di depan rumah orang tua kekasih Hana itu.Halaman memang tidak terlalu luas, tapi taman mini di sana tertata rapi dan membuat hati teduh ketika memandang. Akan tetapi, keteduhan itu tidak berpengaruh untuk hati Hana yang sedang bergemuruh tegang.Tangan Hana meremas tas sandangnya. Sementara itu Reza di sampingnya tersenyum, “Udah siap? Masuk, yuk!” Ajaknya.Hana mengangguk sambil mencoba tersenyum, “Gimana kalau aku nanti…”Senyum Reza tersimpul, “Santai aja. Nggak bakalan gimana-gimana, kok. Aku udah cerita tentang kamu sama Mama Papa.”Nyatanya kalimat Reza belum berhasil membuat Hana tenang. Bahkan saat Reza sudah turun dan membukakan pintu untuknya jantung Hana malah semakin berdebar.‘Bisa, Hana. Bisa yuk, bisa!’ sebutnya untuk menyemangati diri sendiri.Begitu Hana melangkah masuk ke da
Sabtu tiba dengan cepat. Tapi sesore ini, Hana masih berdiri di depan jendela kecil pantry kantor sambil memegang gelas kopinya. Wanita itu terlihat melihat kosong ke langit, tapi pikirannya dipenuhi momen kacau setelah malam mabuknya kemarin.Wajah Adam masih sangat jelas mendominasi pikirannya. Mengingat lagi bagaimana wajah Adam yang sebelumnya masih terkekeh mengejek dan menggodanya dengan omong kosong, seketika berubah kaku dan kesal saat Hana mengungkit cerita masa lalu.“Kalau memang bukan dia, kenapa harus kesal gitu?” gumamnya bingung. Hana mulai menyeruput kopinya, “Nggak nyambung banget. Bikin orang bingung—,”“Hanaaa, selamat, yaw!”Suara Rani mengagetkan lamunan Hana, dan langsung membuatnya menoleh, “Apaan sih? Ngagetin aja!” decaknya.“Cieee, yang bentar lagi mau sold out. Padahal kalau belum tahun ini, aku mau jadiin kamu mentor aku, tau.” Celetuk Rani sambil mengambil cangkir minumnya.Hana malah semakin bingung, “Selamat buat apa sih, Ran? Mentor apaan, lagi?”Rani m
Beberapa menit setelah kekacauan pagi itu, suara air dari kamar mandi meredam suasana. Adam masih duduk di tepi ranjang, menyandarkan punggungnya sambil memandangi langit-langit kamar. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Hana keluar dengan rambut yang kini diikat rapi, wajah bersih, dan pakaian formal yang kembali tertata. Tidak ada lagi ekspresi panik atau salah tingkah seperti sebelumnya, yang tersisa hanya ketenangan dingin dan tatapan yang tegas.Adam yang semula hendak membuka mulut untuk bercanda, langsung terdiam ketika mendengar kalimat Hana. “Saya tau kalau tadi malam saya mabuk,” ucap Hana tenang, suaranya terdengar tegas, “Tapi saya yakin nggak berbuat apapun sama Bapak.”Nada bicaranya terdengar janggal, tapi justru menohok. Adam menaikkan satu alisnya, “Bapak?”Hana tetap menjaga nada bicaranya yang datar, “Yakin seratus persen. Karena bagi saya, mau dulu atau sekarang, kamu itu adiknya saya.”"Kamu mau ngaku ingat atau nggak ke saya, saya udah nggak peduli
Sinar matahari menyusup tirai putih tebal bangunan tinggi hotel bintang lima itu, menyapa wajah Hana yang masih damai dalam tidur. Kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka. Hana mengerjap beberapa kali setelah merasa aneh dengan tempat asing yang jauh berbeda dari kamarnya, “Ini di mana?” gumamnya serak.Ia mulai bergerak duduk perlahan, dengan pandangan yang masih buram dan sakit kepala sisa mabuk semalam. Akan tetapi, belum sempat Hana berpikir panjang, matanya langsung dikejutkan sesuatu. Di sampingnya, ada sosok pria yang tidur dengan bertelanjang dada.Hana seketika menutup mulutnya yang refleks terbuka karena kaget. “Si-siapa dia?” ucapnya pelan. Tapi sayang sekali otaknya belum sinkron karena saat ini ia sedang memuji tanpa malu dalam hati.‘Gila banget, punggungnya… aduh.’ Karena memang punggung terbuka yang ia lihat saat ini begitu lebar dan menunjukkan otot-otot yang jelas, dan dengan kulit yang tanpa celah. Bahkan mata Hana liar menyusuri setiap garis otot itu hing
Ruang restoran itu masih riuh dengan suara gelas berdenting, tawa karyawan, dan aroma hidangan yang menggoda. Tapi bagi Hana, suasana yang seharusnya menyenangkan itu terasa menyesakkan.‘Tidak semua orang ingin mendengar kabar bahagia orang lain, katanya?’ kalimat Adam sebelumnya masih terngiang jelas di kepala Hana, ‘Jadi, dia benar-benar nggak mau mengaku kalau kami saling kenal, ya?’ sambungnya bergumam miris dalam hati.Setiap senyum dan canda rekan kerja rasanya seperti tembok yang menekan. Hana menarik napas pelan, mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa dipaksakan. Wanita itu tidak pernah biasa minum-minum seperti itu, apalagi alkohol. Akan tetapi, di suasana hati serapuh ini, dan ketika salah seorang staff mengangkat gelas dan mengajak semua orang bersulang, untuk menyambut Adam, Hana merasa terpanggil untuk ikut.‘Masa bodoh. Kalau dia mau seperti itu, jadi biarkan saja.’ Hana bergumam lagi sambil mengangkat gelas kecil berisi minuman bergelembung. Sekali teguk, hangatnya
Suasana ruang rapat kembali hening setelah para staf mulai keluar satu persatu dari ruangan. Tapi Hana masih di sana, berdiri memegang mapnya. Jantungnya terasa berdegup kencang melihat Adam ada di hadapannya saat ini.Adam sedang merapikan dokumen di meja, seolah benar-benar tidak terusik oleh keberadaannya atau apapun.Hana menggigit bibir bawahnya, tertekan rasa penasaran yang semakin kuat, ‘Dia Adam-ku, kan? Aku nggak mungkin salah lihat.’Dengan langkah pelan, Hana mendekat, “Maaf, Pak Adam,” ucapnya ragu. Suaranya terdengar lebih kecil dari yang diharapkan.Adam mengangkat wajah, menatapnya dengan mata dingin yang membuat tenggorokan Hana seolah kering.“Ada yang ingin kamu sampaikan, Miss Hana?” nada suaranya tetap datar, profesional.Hana menelan ludah. Ia menunduk sedikit mencoba menutupi kegugupan, “Ini mungkin kedengaran aneh, Pak…”Adam diam, setuju menunggu.Hana menarik napas dalam, “Apa… apa Bapak tidak mengenal saya?”Adam mengerutkan alis tipis, tapi tidak langsung me