Share

Bukan Sambutan Hangat

Author: Money Angel
last update Last Updated: 2025-10-10 09:53:22

Seperti biasa, kebersamaan mereka berdua dilalui dengan senyap. Perjalanan pun sepi tanpa tanya jawab  intens selayaknya pasangan. Sampai ketika mobil Reza memasuki perumahan elite dan berhenti di depan rumah orang tua kekasih Hana itu.

Halaman memang tidak terlalu luas, tapi taman mini di sana tertata rapi dan membuat hati teduh ketika memandang. Akan tetapi, keteduhan itu tidak berpengaruh untuk hati Hana yang sedang bergemuruh tegang.

Tangan Hana meremas tas sandangnya. Sementara itu Reza di sampingnya tersenyum, “Udah siap? Masuk, yuk!” Ajaknya.

Hana mengangguk sambil mencoba tersenyum, “Gimana kalau aku nanti…”

Senyum Reza tersimpul, “Santai aja. Nggak bakalan gimana-gimana, kok. Aku udah cerita tentang kamu sama Mama Papa.”

Nyatanya kalimat Reza belum berhasil membuat Hana tenang. Bahkan saat Reza sudah turun dan membukakan pintu untuknya jantung Hana malah semakin berdebar.

‘Bisa, Hana. Bisa yuk, bisa!’ sebutnya untuk menyemangati diri sendiri.

Begitu Hana melangkah masuk ke dalam rumah, dua wanita anggun di sana menoleh ke arahnya.

“Selamat datang!” sapa seorang wanita yang terlihat baru saja menyajikan teh ke meja, “Wah, tamunya udah datang.”

Wanita cantik yang satunya juga menyambut Hana dengan senyum ramah, “Silahkan masuk. Ini toh yang bikin Reza betah nge-jomblo. Cantik banget.” Pujinya.

Hana yang kikuk langsung mengangguk canggung, “Terima kasih…” jawabnya lalu menarik tipis lengan baju Reza, seolah bertanya siapa kedua wanita itu.

“Oh, itu Kakak-kakak ipar aku. Ini, kan, hari ulang tahun Mama, jadi mereka yang masak dan nyiapin acara makan-makannya.” Jawab Reza setengah berbisik.

Hana ber-oh kecil sambil mengangguk lalu tersenyum lagi ke arah calon iparnya, “Terima kasih, Mbak. Mbak berdua juga cantik.”

‘Ramah banget. Mungkin yang Reza bilang benar. Aku harus lebih santai aja.’ batinnya sedikit merasa lega. Senyumnya terus tersungging senang.

Namun senyum itu perlahan memudar saat sepasang suami istri paruh baya muncul di sana. Seperti yang Hana ketahui sedikit tentang orang tua Reza, Papa Reza adalah pensiunan tentara, dan penampilan pria dengan postur tinggi tegapnya, dan memperhatikan Hana dengan mata tajam, membuatnya yakin beliau adalah ayahnya Reza.

Dan penampilan wanita di sampingnya yang begitu rapi dengan blink-blink perhiasan emas yang menghiasi tubuhnya, Hana yakini sebagai ibu Reza.

“Halo, Tante, Om. Selamat malam…” sapa Hana pelan, menunduk sopan, “Saya Hana.”

Mama Reza tersenyum tipis, “Oh, ini yang namanya Hana?” Nada suaranya ramah, tapi tatapannya tidak sama sekali, dan cenderung membuat Hana resah.

Hana menafsirkan sendiri kalau tatapan dingin Mama Reza seperti sedang menilai dan menimbang apakah gadis yang berdiri di depannya pantas ada di sana.

Papa Reza bersuara, “Silakan duduk.” Ia lalu melirik Reza sekilas, “Jadi ini calonmu?”

Reza tersenyum, “Iya, Pa. Ini yang namanya Hana.”

Suasana awalnya tampak hangat dengan obrolan ringan. Kakak ipar Reza sesekali bercanda, mencoba mencairkan suasana. Tapi di sela tawa itu, Hana bisa merasakan aura tegang dari tatapan kedua orang tua Reza yang diam-diam mengawasinya.

Sampai akhirnya, Papa Reza meletakkan cangkir tehnya dan menatap Hana langsung, “Jadi, Hana,” ucapnya tenang namun tajam, “boleh Om tanya sedikit tentang keluarga kamu?”

Hana menegakkan duduknya, berusaha tetap sopan, “Ya, Om.”

“Kamu bilang orang tuamu sudah nggak ada, ya?”

“Iya, Om. Papa meninggal waktu saya masih SMP, Mama menyusul dua tahun kemudian.”

“Oh gitu…” pria itu mengangguk perlahan, tapi pandangannya tak lepas dari wajah Hana, “Kalau boleh tahu, meninggal karena apa?”

Bukannya berbelasungkawa dan berhenti mengulik kisah sedih Hana, pertanyaan lain malah menyusul, membuat Hana berat menjawab.

“Papa karena kecelakaan kerja,” jawab Hana pelan, menunduk. “Dan Mama karena komplikasi diabetes.”

Papa Reza mengangguk lagi, kali ini lebih lama, “Terus, setelah itu kamu tinggal sama siapa?”

“Awalnya sama keluarga Om saya. Tapi habis tamat SMA dan kuliah, saya memilih mandiri.”

“Kenapa nggak terus tinggal di sana aja? Biasanya keluarga masih mau menampung, kan? Apalagi keponakan sendiri.” Papa Reza terus bertanya, seolah sedang menginterogasi tersangka kejahatan.

Pertanyaan itu membuat senyum Hana kaku. Ia menunduk sedikit, mencari kata, “Karena… saya pikir sudah waktunya belajar hidup sendiri, Om.”

Mama Reza menyisipkan komentar dengan nada halus tapi menusuk, “Oh, jadi kamu udah terbiasa hidup sendiri, ya? Hebat juga, perempuan muda bisa bertahan di Jakarta yang keras tanpa keluarga.”

Senyumnya terlihat manis, tapi dingin di balik mata itu menusuk seperti belati tipis.

Hana hanya bisa tersenyum tipis, “Saya cuma berusaha sebaik mungkin, Tante.”

Namun dalam dadanya, rasa cemas mulai tumbuh. Ia bisa merasakan jelas bahwa senyum itu bukan sambutan hangat, melainkan ujian kesabaran.

Ujian yang ketika lulus pun hasilnya belum tentu bisa membuatnya lega. Terbukti dengan pertanyaan susulan yang begitu mengiris hatinya.

“Maaf kalau Tante lancang. Tapi… alasan kamu betah melajang sampai umur kepala tiga itu apa?” nada Mama Reza jelas meremehkan, “Kenapa kamu bisa sampai pengaruhi Reza buat nggak nikah-nikah sampai sekarang?" 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Fakta Miris Masa Lalu

    Ruang belakang rumah makan kecil itu sunyi. Hanya suara angin malam yang berdesis lembut di celah jendela. Bunga atau Flo, berdiri dengan kedua tangannya saling meremas, sementara Surya menutup pintu perlahan, seolah takut suara itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh di antara mereka.Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap. Tatapan dua orang yang pernah saling mencintai, lalu terpisah oleh takdir yang kejam.Surya menghela napas panjang. Bahunya turun, wajahnya melemah. “Flo… aku–,”Suaranya pecah. Ia menunduk, menutup mata, berusaha menarik kekuatan dari udara yang terasa berat.Bunga memandangnya dengan mata yang mulai berkaca, “Kamu bisa bicara, Julian. Aku akan mendengar.”Surya tersenyum getir mendengar nama itu. Nama lama yang hanya dia dan Flo kenal. Nama yang pernah ia pikir sudah mati bersama masa mudanya.“Aku dulu berpikir kamu… meninggal,” katanya pelan. “Aku benar-benar percaya kabar itu, Flo.”Bunga mengerjap. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku bukan cum

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   82 Fakta Miris Masa Lalu

    Ruang belakang rumah makan kecil itu sunyi. Hanya suara angin malam yang berdesis lembut di celah jendela. Bunga—atau Flo—berdiri dengan kedua tangannya saling meremas, sementara Surya menutup pintu perlahan, seolah takut suara itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh di antara mereka.Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap.Tatapan dua orang yang pernah saling mencintai, lalu terpisah oleh takdir yang kejam.Surya menghela napas panjang. Bahunya turun, wajahnya melemah. “Flo… aku—”Suaranya pecah. Ia menunduk, menutup mata, berusaha menarik kekuatan dari udara yang terasa berat.Bunga memandangnya dengan mata yang mulai berkaca. “Kamu bisa bicara, Julian. Aku di sini.”Surya tersenyum getir mendengar nama itu. Nama lama yang hanya dia dan Flo kenal. Nama yang pernah ia pikir sudah mati bersama masa mudanya.“Aku dulu berpikir kamu… meninggal,” katanya pelan. “Aku benar-benar percaya kabar itu, Flo.”Bunga mengerjap. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku tahu. Aku dengar it

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Dia Mamaku

    Suasana sore di dapur rumah Hana terasa tenang, hanya terdengar suara sendok beradu pelan di cangkir teh yang baru saja ia aduk. Udara membawa aroma jahe hangat yang menenangkan. Tapi hati Hana justru sebaliknya, penuh tanda tanya yang menumpuk sejak kejadian di pasar tadi.Ia memandangi jendela, di mana bayangan pepohonan menari karena hembusan angin. “Papa kenal Tante Bunga…” gumamnya lirih, seolah mengulang potongan adegan yang baru saja berlalu. Tatapan Surya kepada Bunga atau Flo, seperti yang ia dengar tadi, masih tergambar jelas di kepalanya. Tatapan yang terlalu dalam untuk sekadar pertemuan antara orang lama.Langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu. Adam baru pulang dari meeting luar, wajahnya tampak lelah tapi mata itu… mata itu melirik sesuatu yang berbeda dari Hana.Ada kekosongan, juga resah yang tidak biasa.“Sayang,” sapa Hana pelan sambil mendekat, “Kamu pulang? Kok aku nggak dengar suara mobil, ya?" Adam menatapnya sebentar, mencoba tersenyum, tapi senyum, “Hayo

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Aku Belum Siap

    Suara itu nyaris tak terdengar, hanya getar di udara.Surya menunduk sedikit, menatapnya dengan mata yang basah tapi tenang,.“Iya, Flo. Aku.”Bisikan itu cukup untuk membuat beberapa orang yang masih mengamati menahan napas. Ibu penjual daging yang tadi lantang kini sibuk menutup mulut dengan tangan, wajahnya merah padam, “Ma–maaf, saya… saya nggak tahu…”Suara itu gemetar, tapi Surya hanya menatapnya sebentar, lalu menghela napas.“Tidak apa-apa, Bu. Tapi lain kali, berhati-hatilah menilai seseorang. Lidah bisa lebih tajam dari pisau daging di depan Anda.”Kalimat itu membuat beberapa orang mengangguk pelan. Ada yang bahkan menepuk bahu Bunga, memberi senyum simpati, sementara Surya menggenggam tangannya dengan mantap, seolah takut jika melepaskan, semuanya akan hilang lagi.Di kejauhan, Hana yang baru selesai menawar ikan menatap dengan dahi berkerut, belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dari cara Surya berdiri, ia tahu itu bukan orang asing. Kerumunan pasar mulai mencair,

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Pertemuan Julian Dan Flo

    Pagi itu langit belum terlalu terik. Pasar tradisional penuh suara teriakan pedagang, gesekan plastik, dan aroma sayur segar yang berpadu dengan bau tanah basah sisa hujan semalam.Surya berjalan di belakang Hana, membawa tas belanjaan besar yang setengah penuh. Menantunya itu asyik menawar ikan tenggiri, suaranya riang, seperti biasa. Tapi Surya tidak benar-benar mendengar. Ada sesuatu di udara pagi itu yang membuat langkahnya melambat. Entah kenapa, dada kirinya terasa sesak tanpa sebab yang jelas.Ia memalingkan wajah ketika samar-samar terdengar suara perempuan paruh baya yang sedang berbicara dengan nada tinggi di lapak daging beberapa meter dari tempatnya berdiri.“Jangan jual daging kita ke perempuan itu, ya! Aku udah bilang ke kamu!”Suara itu membuatnya menoleh. Di antara lalu-lalang pembeli dan deretan meja kayu, Surya melihat sosok wanita bersahaja dengan pakaian sederhana, memngenakan kemeja lengan panjang, dan dengan rambut yang disanggul seadanya.Gerak-geriknya tenang,

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Sama-sama Menunggu

    Sore itu, aroma masakan memenuhi seluruh rumah. Bunga dan Hana sibuk di dapur sejak siang. Meja makan sudah tertata rapi dengan sup ayam bening, ikan bakar kesukaan Adam, dan puding mangga favorit Hana.“Wah, Tante serius banget, nih,” kata Hana sambil tersenyum kagum. Bunga hanya tertawa kecil. “Namanya juga tamu penting. Masa mau disambut asal-asalan.”Adam ikut membantu menata gelas, sesekali mencuri pandang ke arah pintu. “Kayaknya Papa bentar lagi sampai. Tadi udah balas pesan aku, katanya udah di jalan.”Waktu berjalan. Langit di luar mulai memerah, lalu perlahan gelap. Empat piring sudah tersaji, empat gelas berisi teh hangat menunggu, tapi kursi keempat di ujung meja masih kosong.Jam menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh saat ponsel Adam berdering. Ia melihat nama yang muncul di layar, lalu cepat mengangkat.“Pa?” suaranya agak ceria, tapi itu hanya di awal.Beberapa detik kemudian ekspresinya berubah.“Iya, Pa… oh… gitu… baik, Pa. Hati-hati di jalan.” Nada suaranya menuru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status