Seperti biasa, kebersamaan mereka berdua dilalui dengan senyap. Perjalanan pun sepi tanpa tanya jawab intens selayaknya pasangan. Sampai ketika mobil Reza memasuki perumahan elite dan berhenti di depan rumah orang tua kekasih Hana itu.
Halaman memang tidak terlalu luas, tapi taman mini di sana tertata rapi dan membuat hati teduh ketika memandang. Akan tetapi, keteduhan itu tidak berpengaruh untuk hati Hana yang sedang bergemuruh tegang. Tangan Hana meremas tas sandangnya. Sementara itu Reza di sampingnya tersenyum, “Udah siap? Masuk, yuk!” Ajaknya. Hana mengangguk sambil mencoba tersenyum, “Gimana kalau aku nanti…” Senyum Reza tersimpul, “Santai aja. Nggak bakalan gimana-gimana, kok. Aku udah cerita tentang kamu sama Mama Papa.” Nyatanya kalimat Reza belum berhasil membuat Hana tenang. Bahkan saat Reza sudah turun dan membukakan pintu untuknya jantung Hana malah semakin berdebar. ‘Bisa, Hana. Bisa yuk, bisa!’ sebutnya untuk menyemangati diri sendiri. Begitu Hana melangkah masuk ke dalam rumah, dua wanita anggun di sana menoleh ke arahnya. “Selamat datang!” sapa seorang wanita yang terlihat baru saja menyajikan teh ke meja, “Wah, tamunya udah datang.” Wanita cantik yang satunya juga menyambut Hana dengan senyum ramah, “Silahkan masuk. Ini toh yang bikin Reza betah nge-jomblo. Cantik banget.” Pujinya. Hana yang kikuk langsung mengangguk canggung, “Terima kasih…” jawabnya lalu menarik tipis lengan baju Reza, seolah bertanya siapa kedua wanita itu. “Oh, itu Kakak-kakak ipar aku. Ini, kan, hari ulang tahun Mama, jadi mereka yang masak dan nyiapin acara makan-makannya.” Jawab Reza setengah berbisik. Hana ber-oh kecil sambil mengangguk lalu tersenyum lagi ke arah calon iparnya, “Terima kasih, Mbak. Mbak berdua juga cantik.” ‘Ramah banget. Mungkin yang Reza bilang benar. Aku harus lebih santai aja.’ batinnya sedikit merasa lega. Senyumnya terus tersungging senang. Namun senyum itu perlahan memudar saat sepasang suami istri paruh baya muncul di sana. Seperti yang Hana ketahui sedikit tentang orang tua Reza, Papa Reza adalah pensiunan tentara, dan penampilan pria dengan postur tinggi tegapnya, dan memperhatikan Hana dengan mata tajam, membuatnya yakin beliau adalah ayahnya Reza. Dan penampilan wanita di sampingnya yang begitu rapi dengan blink-blink perhiasan emas yang menghiasi tubuhnya, Hana yakini sebagai ibu Reza. “Halo, Tante, Om. Selamat malam…” sapa Hana pelan, menunduk sopan, “Saya Hana.” Mama Reza tersenyum tipis, “Oh, ini yang namanya Hana?” Nada suaranya ramah, tapi tatapannya tidak sama sekali, dan cenderung membuat Hana resah. Hana menafsirkan sendiri kalau tatapan dingin Mama Reza seperti sedang menilai dan menimbang apakah gadis yang berdiri di depannya pantas ada di sana. Papa Reza bersuara, “Silakan duduk.” Ia lalu melirik Reza sekilas, “Jadi ini calonmu?” Reza tersenyum, “Iya, Pa. Ini yang namanya Hana.” Suasana awalnya tampak hangat dengan obrolan ringan. Kakak ipar Reza sesekali bercanda, mencoba mencairkan suasana. Tapi di sela tawa itu, Hana bisa merasakan aura tegang dari tatapan kedua orang tua Reza yang diam-diam mengawasinya. Sampai akhirnya, Papa Reza meletakkan cangkir tehnya dan menatap Hana langsung, “Jadi, Hana,” ucapnya tenang namun tajam, “boleh Om tanya sedikit tentang keluarga kamu?” Hana menegakkan duduknya, berusaha tetap sopan, “Ya, Om.” “Kamu bilang orang tuamu sudah nggak ada, ya?” “Iya, Om. Papa meninggal waktu saya masih SMP, Mama menyusul dua tahun kemudian.” “Oh gitu…” pria itu mengangguk perlahan, tapi pandangannya tak lepas dari wajah Hana, “Kalau boleh tahu, meninggal karena apa?” Bukannya berbelasungkawa dan berhenti mengulik kisah sedih Hana, pertanyaan lain malah menyusul, membuat Hana berat menjawab. “Papa karena kecelakaan kerja,” jawab Hana pelan, menunduk. “Dan Mama karena komplikasi diabetes.” Papa Reza mengangguk lagi, kali ini lebih lama, “Terus, setelah itu kamu tinggal sama siapa?” “Awalnya sama keluarga Om saya. Tapi habis tamat SMA dan kuliah, saya memilih mandiri.” “Kenapa nggak terus tinggal di sana aja? Biasanya keluarga masih mau menampung, kan? Apalagi keponakan sendiri.” Papa Reza terus bertanya, seolah sedang menginterogasi tersangka kejahatan. Pertanyaan itu membuat senyum Hana kaku. Ia menunduk sedikit, mencari kata, “Karena… saya pikir sudah waktunya belajar hidup sendiri, Om.” Mama Reza menyisipkan komentar dengan nada halus tapi menusuk, “Oh, jadi kamu udah terbiasa hidup sendiri, ya? Hebat juga, perempuan muda bisa bertahan di Jakarta yang keras tanpa keluarga.” Senyumnya terlihat manis, tapi dingin di balik mata itu menusuk seperti belati tipis. Hana hanya bisa tersenyum tipis, “Saya cuma berusaha sebaik mungkin, Tante.” Namun dalam dadanya, rasa cemas mulai tumbuh. Ia bisa merasakan jelas bahwa senyum itu bukan sambutan hangat, melainkan ujian kesabaran. Ujian yang ketika lulus pun hasilnya belum tentu bisa membuatnya lega. Terbukti dengan pertanyaan susulan yang begitu mengiris hatinya. “Maaf kalau Tante lancang. Tapi… alasan kamu betah melajang sampai umur kepala tiga itu apa?” nada Mama Reza jelas meremehkan, “Kenapa kamu bisa sampai pengaruhi Reza buat nggak nikah-nikah sampai sekarang?"Suasana ruang tamu yang awalnya terasa hangat kini makin menegang. Hana mencoba mempertahankan senyum, meski hatinya mulai teriris oleh pertanyaan-pertanyaan yang terdengar seperti pisau tumpul. Rasanya menyakitkan tapi tak bisa dihindari.Papa Reza menyilangkan kaki dan menyandarkan tubuhnya di sofa dengan elegan, tapi nada suaranya tak kalah tajam dari istrinya tadi, “Jadi, kamu sudah berapa lama sama Reza, Hana?”“Itu… kalau kenal memang udah lama, Om. Tapi lebih dekat dan intensnya di empat tahun belakangan ini,” jawab Hana sopan.“Bertahun-tahun jalan, udah ngapain aja?” Mama Reza mengangkat alisnya tinggi, “Lama banget itu, tapi kenapa kalian belum berencana nikah? Kalian belum siap, atau memang kamu yang belum mau jadi ibu rumah tangga?”Pertanyaan itu membuat tenggorokan Hana terasa kering. Ia melirik sekilas ke arah Reza yang duduk di sampingnya, berharap pria itu bicara. Tapi yang ia dapat hanya senyum canggung dan pandangan yang berpaling ke arah lain.‘Padahal yang belum s
Seperti biasa, kebersamaan mereka berdua dilalui dengan senyap. Perjalanan pun sepi tanpa tanya jawab intens selayaknya pasangan. Sampai ketika mobil Reza memasuki perumahan elite dan berhenti di depan rumah orang tua kekasih Hana itu.Halaman memang tidak terlalu luas, tapi taman mini di sana tertata rapi dan membuat hati teduh ketika memandang. Akan tetapi, keteduhan itu tidak berpengaruh untuk hati Hana yang sedang bergemuruh tegang.Tangan Hana meremas tas sandangnya. Sementara itu Reza di sampingnya tersenyum, “Udah siap? Masuk, yuk!” Ajaknya.Hana mengangguk sambil mencoba tersenyum, “Gimana kalau aku nanti…”Senyum Reza tersimpul, “Santai aja. Nggak bakalan gimana-gimana, kok. Aku udah cerita tentang kamu sama Mama Papa.”Nyatanya kalimat Reza belum berhasil membuat Hana tenang. Bahkan saat Reza sudah turun dan membukakan pintu untuknya jantung Hana malah semakin berdebar.‘Bisa, Hana. Bisa yuk, bisa!’ sebutnya untuk menyemangati diri sendiri.Begitu Hana melangkah masuk ke da
Sabtu tiba dengan cepat. Tapi sesore ini, Hana masih berdiri di depan jendela kecil pantry kantor sambil memegang gelas kopinya. Wanita itu terlihat melihat kosong ke langit, tapi pikirannya dipenuhi momen kacau setelah malam mabuknya kemarin.Wajah Adam masih sangat jelas mendominasi pikirannya. Mengingat lagi bagaimana wajah Adam yang sebelumnya masih terkekeh mengejek dan menggodanya dengan omong kosong, seketika berubah kaku dan kesal saat Hana mengungkit cerita masa lalu.“Kalau memang bukan dia, kenapa harus kesal gitu?” gumamnya bingung. Hana mulai menyeruput kopinya, “Nggak nyambung banget. Bikin orang bingung—,”“Hanaaa, selamat, yaw!”Suara Rani mengagetkan lamunan Hana, dan langsung membuatnya menoleh, “Apaan sih? Ngagetin aja!” decaknya.“Cieee, yang bentar lagi mau sold out. Padahal kalau belum tahun ini, aku mau jadiin kamu mentor aku, tau.” Celetuk Rani sambil mengambil cangkir minumnya.Hana malah semakin bingung, “Selamat buat apa sih, Ran? Mentor apaan, lagi?”Rani m
Beberapa menit setelah kekacauan pagi itu, suara air dari kamar mandi meredam suasana. Adam masih duduk di tepi ranjang, menyandarkan punggungnya sambil memandangi langit-langit kamar. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Hana keluar dengan rambut yang kini diikat rapi, wajah bersih, dan pakaian formal yang kembali tertata. Tidak ada lagi ekspresi panik atau salah tingkah seperti sebelumnya, yang tersisa hanya ketenangan dingin dan tatapan yang tegas.Adam yang semula hendak membuka mulut untuk bercanda, langsung terdiam ketika mendengar kalimat Hana. “Saya tau kalau tadi malam saya mabuk,” ucap Hana tenang, suaranya terdengar tegas, “Tapi saya yakin nggak berbuat apapun sama Bapak.”Nada bicaranya terdengar janggal, tapi justru menohok. Adam menaikkan satu alisnya, “Bapak?”Hana tetap menjaga nada bicaranya yang datar, “Yakin seratus persen. Karena bagi saya, mau dulu atau sekarang, kamu itu adiknya saya.”"Kamu mau ngaku ingat atau nggak ke saya, saya udah nggak peduli
Sinar matahari menyusup tirai putih tebal bangunan tinggi hotel bintang lima itu, menyapa wajah Hana yang masih damai dalam tidur. Kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka. Hana mengerjap beberapa kali setelah merasa aneh dengan tempat asing yang jauh berbeda dari kamarnya, “Ini di mana?” gumamnya serak.Ia mulai bergerak duduk perlahan, dengan pandangan yang masih buram dan sakit kepala sisa mabuk semalam. Akan tetapi, belum sempat Hana berpikir panjang, matanya langsung dikejutkan sesuatu. Di sampingnya, ada sosok pria yang tidur dengan bertelanjang dada.Hana seketika menutup mulutnya yang refleks terbuka karena kaget. “Si-siapa dia?” ucapnya pelan. Tapi sayang sekali otaknya belum sinkron karena saat ini ia sedang memuji tanpa malu dalam hati.‘Gila banget, punggungnya… aduh.’ Karena memang punggung terbuka yang ia lihat saat ini begitu lebar dan menunjukkan otot-otot yang jelas, dan dengan kulit yang tanpa celah. Bahkan mata Hana liar menyusuri setiap garis otot itu hing
Ruang restoran itu masih riuh dengan suara gelas berdenting, tawa karyawan, dan aroma hidangan yang menggoda. Tapi bagi Hana, suasana yang seharusnya menyenangkan itu terasa menyesakkan.‘Tidak semua orang ingin mendengar kabar bahagia orang lain, katanya?’ kalimat Adam sebelumnya masih terngiang jelas di kepala Hana, ‘Jadi, dia benar-benar nggak mau mengaku kalau kami saling kenal, ya?’ sambungnya bergumam miris dalam hati.Setiap senyum dan canda rekan kerja rasanya seperti tembok yang menekan. Hana menarik napas pelan, mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa dipaksakan. Wanita itu tidak pernah biasa minum-minum seperti itu, apalagi alkohol. Akan tetapi, di suasana hati serapuh ini, dan ketika salah seorang staff mengangkat gelas dan mengajak semua orang bersulang, untuk menyambut Adam, Hana merasa terpanggil untuk ikut.‘Masa bodoh. Kalau dia mau seperti itu, jadi biarkan saja.’ Hana bergumam lagi sambil mengangkat gelas kecil berisi minuman bergelembung. Sekali teguk, hangatnya