‘Kalau aku besar nanti, aku janji bakalan selalu ada di setiap ulang tahun Kakak.’‘Aku yang udah besar nanti nggak akan biarin Kakak nangis lagi karena apa pun.’Suara bocah laki-laki itu terngiang lembut di kepala Hana, seiring kilatan cahaya lilin kecil di hadapannya. Dulu, ucapan itu cuma terdengar seperti janji polos anak remaja yang belum mengerti dunia. Tapi sekarang, di ruangan kerja yang gelap dan sepi, kenangan itu justru menyesakkan dada.Hana tertegun. Air mata yang sempat dihapus pria di hadapannya, kini kembali menetes. Ia pun berbisik di sela isak tangisnya, “Kamu ternyata ingat aku, kan? Kenapa terus bohong?”Langkah kaki mendekat dari belakang. Tangan hangat menyentuh kedua pundaknya, “Kebiasaan banget ngalihin pertanyaan. Jawab aku dulu, siapa yang buat kamu sedih dan nangis begini?” Nada suara Adam terdengar dalam dan tenang, tapi itu menyimpan kegelisahan.Hana cepat-cepat menyeka air matanya, mencoba tersenyum di balik gemetar suaranya. Ia tidak mungkin bilang kal
Hana melangkah ke teras depan dengan ponsel di telinganya, berusaha terdengar sibuk di telinga keluarga Reza di dalam sana.“Ya, Ran… aku paham,” ujarnya pelan sambil menatap ke arah taman kecil yang berlampu redup, “Iya, ini aku langsung ke kantor. Kamu fokus jagain ibu kamu aja.” Nada suaranya lembut tapi tegas, terdengar seolah benar-benar sedang membahas sesuatu yang penting. Padahal saat ini ada rasa lega menjalar cepat di hati. Ia tidak harus membuat alasan canggung untuk menghindari hujan pertanyaan orang tua Reza.Setelah menutup telepon, Hana menghela napas panjang dan menatap ke dalam. Melihat Reza yang tetap tenang walau sang mama saat ini terlihat menegurnya. Ya, mungkin menegur Reza karena memilih pasangan yang salah di mata mereka.‘Apa aku yakin mau masuk ke keluarga ini?’ Hana membatin miris, memikirkan masa depannya bersama Reza akan seperti apa ketika mereka menikah nanti.Ia pun masuk kembali dengan memaksakan senyum tipis ke semua orang yang menoleh padanya, “Maaf
Suasana ruang tamu yang awalnya terasa hangat kini makin menegang. Hana mencoba mempertahankan senyum, meski hatinya mulai teriris oleh pertanyaan-pertanyaan yang terdengar seperti pisau tumpul. Rasanya menyakitkan tapi tak bisa dihindari.Papa Reza menyilangkan kaki dan menyandarkan tubuhnya di sofa dengan elegan, tapi nada suaranya tak kalah tajam dari istrinya tadi, “Jadi, kamu sudah berapa lama sama Reza, Hana?”“Itu… kalau kenal memang udah lama, Om. Tapi lebih dekat dan intensnya di empat tahun belakangan ini,” jawab Hana sopan.“Bertahun-tahun jalan, udah ngapain aja?” Mama Reza mengangkat alisnya tinggi, “Lama banget itu, tapi kenapa kalian belum berencana nikah? Kalian belum siap, atau memang kamu yang belum mau jadi ibu rumah tangga?”Pertanyaan itu membuat tenggorokan Hana terasa kering. Ia melirik sekilas ke arah Reza yang duduk di sampingnya, berharap pria itu bicara. Tapi yang ia dapat hanya senyum canggung dan pandangan yang berpaling ke arah lain.‘Padahal yang belum s
Seperti biasa, kebersamaan mereka berdua dilalui dengan senyap. Perjalanan pun sepi tanpa tanya jawab intens selayaknya pasangan. Sampai ketika mobil Reza memasuki perumahan elite dan berhenti di depan rumah orang tua kekasih Hana itu.Halaman memang tidak terlalu luas, tapi taman mini di sana tertata rapi dan membuat hati teduh ketika memandang. Akan tetapi, keteduhan itu tidak berpengaruh untuk hati Hana yang sedang bergemuruh tegang.Tangan Hana meremas tas sandangnya. Sementara itu Reza di sampingnya tersenyum, “Udah siap? Masuk, yuk!” Ajaknya.Hana mengangguk sambil mencoba tersenyum, “Gimana kalau aku nanti…”Senyum Reza tersimpul, “Santai aja. Nggak bakalan gimana-gimana, kok. Aku udah cerita tentang kamu sama Mama Papa.”Nyatanya kalimat Reza belum berhasil membuat Hana tenang. Bahkan saat Reza sudah turun dan membukakan pintu untuknya jantung Hana malah semakin berdebar.‘Bisa, Hana. Bisa yuk, bisa!’ sebutnya untuk menyemangati diri sendiri.Begitu Hana melangkah masuk ke da
Sabtu tiba dengan cepat. Tapi sesore ini, Hana masih berdiri di depan jendela kecil pantry kantor sambil memegang gelas kopinya. Wanita itu terlihat melihat kosong ke langit, tapi pikirannya dipenuhi momen kacau setelah malam mabuknya kemarin.Wajah Adam masih sangat jelas mendominasi pikirannya. Mengingat lagi bagaimana wajah Adam yang sebelumnya masih terkekeh mengejek dan menggodanya dengan omong kosong, seketika berubah kaku dan kesal saat Hana mengungkit cerita masa lalu.“Kalau memang bukan dia, kenapa harus kesal gitu?” gumamnya bingung. Hana mulai menyeruput kopinya, “Nggak nyambung banget. Bikin orang bingung—,”“Hanaaa, selamat, yaw!”Suara Rani mengagetkan lamunan Hana, dan langsung membuatnya menoleh, “Apaan sih? Ngagetin aja!” decaknya.“Cieee, yang bentar lagi mau sold out. Padahal kalau belum tahun ini, aku mau jadiin kamu mentor aku, tau.” Celetuk Rani sambil mengambil cangkir minumnya.Hana malah semakin bingung, “Selamat buat apa sih, Ran? Mentor apaan, lagi?”Rani m
Beberapa menit setelah kekacauan pagi itu, suara air dari kamar mandi meredam suasana. Adam masih duduk di tepi ranjang, menyandarkan punggungnya sambil memandangi langit-langit kamar. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Hana keluar dengan rambut yang kini diikat rapi, wajah bersih, dan pakaian formal yang kembali tertata. Tidak ada lagi ekspresi panik atau salah tingkah seperti sebelumnya, yang tersisa hanya ketenangan dingin dan tatapan yang tegas.Adam yang semula hendak membuka mulut untuk bercanda, langsung terdiam ketika mendengar kalimat Hana. “Saya tau kalau tadi malam saya mabuk,” ucap Hana tenang, suaranya terdengar tegas, “Tapi saya yakin nggak berbuat apapun sama Bapak.”Nada bicaranya terdengar janggal, tapi justru menohok. Adam menaikkan satu alisnya, “Bapak?”Hana tetap menjaga nada bicaranya yang datar, “Yakin seratus persen. Karena bagi saya, mau dulu atau sekarang, kamu itu adiknya saya.”"Kamu mau ngaku ingat atau nggak ke saya, saya udah nggak peduli