Gadis itu meronta dengan segala cara ketika ciuman Enrico dengan ganas melibas lehernya. Hisapan dan sentuhan bibir lembut itu memberikan sensasi yang tidak ingin dia rasakan.
Semakin lama berada di dekat monster bermata biru ini, membuat kewarasannya seolah tenggelam dalam dasar lautan.Sentuhan yang awalnya sangat ia benci dan selalu membuatnya mual, lambat laun seringkali menjadikan dirinya merasa terbiasa.Francesca sekuat tenaga berusaha untuk menjaga kesadaran dirinya. Tangannya sudah terasa sakit dan pegal dalam cengkeraman tangan Enrico. Dia meronta bahkan mengigit pundak pria itu.Lelaki itu menggunakan cara diluar dugaan Francesca untuk menghentikan serangannya. Tangan kekar itu merambat ke punggung dan menurunkankan resleting gaun. "Aaa! Jangannn!" bentaknya marah, "aku akan berteriak jika kau terus melakukannya!" serunya lagi dengan napas tersenggal-senggal.Gadis itu menghimpitkan bahu dan pan"Tuan, kita sudah sampai di Mansion."Kata-kata itu telah menyelamatkan Francesca. Dia memanfaatkan jedah waktu untuk mendorong tubuh Enrico, sekaligus menjejakan kakinya ke perut pria itu dengan keras.Francesca membuka pintu mobil dan lari dengan sempoyongan sambil membenahi gaunnya. Dia terus berlari masuk ke dalam mansion lalu menuju kamar dan menutupnya dengan keras.Sementara Francesca membanting tubuh dan menangis dengan keras, Enrico menyeringai mendapatkan perlakuan kasar dari dirinya.Pria itu duduk bersandar dengan kemeja kusutnya sesaat sebelum akhirnya keluar dari dalam mobil.Dia masih terkekeh ketika sudah berdiri di luar mobil, sambil merapikan kemeja yang dia kenakan."Tuan ...," panggil Serra perlahan."Katakan.""Kenapa kau tidak menikahi saja nona Francesca?" ujar Serra perlahan."Menikahinya?""Iya, Tuan. Jika anda ing
"Nona ... bangunlah. Saya membawakan makan malam untuk Anda." Serra meletakan nampan berisi makanan di meja.Gadis pelayan itu kemudian mendekati Francesca dan berjongkok di hadapannya.Mata Francesca sudah terbuka, tetapi gadis itu hanya diam saja tak menghiraukan perkataan Serra."Nona, kau baik-baik saja, bukan?" Serra meletakan tangannya di kening Francesca.Dia merasa lega ketika tidak merasakan panas di tubuh Francesca. Dirapikannya rambut gadis cantik yang tergerai menutupi wajahnya."Makanlah, Nona. Hari sudah malam.""Aku tidak lapar," sahut Francesca lemah."Kau harus makan, Nona. Kau harus kuat. Bukankah kau ingin bertemu dengan saudaramu?" Perkataan Serra membuat Francesca mengalihkan pandangan ke arah wanita itu, menatap penuh harap."Serra ... kakakku mencariku, bukan? Mereka ada di kota ini, kan?" gumaman Francesca terdengar sangat lemah."Nona ...." Serra tak kuasa
Francesca mengerjapkan matanya saat merasakan sentuhan hangat di wajahnya. Sentuhan lembut itu sesaat membuatnya merasa nyaman dan terlindungi.Andaikan saja kehangatan itu datang dari sosok pangeran yang mencintainya dengan tulus, bukan sosok yang membenci dan menyiksa dirinya, gadis itu pasti akan merasa bahagia.Saat mata indah lentik dengan manik berwarna hazel itu terbuka, yang ia lihat adalah sosok pria bermata biru yang selalu menyiksa dirinya.Tangannya memegang tangan kekar yang berlabuh di wajahnya. Ia terdiam sejenak terpesona dengan mata biru yang menatapnya dengan lembut.Mata biru secerah langit dan sedingin samudra itu seakan hendak menembus jauh ke dalam batinnya. Keheningan malam dalam keremangan lampu, membuat dua pasang mata itu saling terpaku mencari makna di balik tatapan.Francesca menepiskan tangan Enrico dari wajahnya. Dia beringsut dari tidur dan duduk bersandar pada din
"Aku memang Monster. Dan semua keputusan ada di tanganmu, Malaikatku." bisik Enrico lagi menekankan kalimat sebelumnya.Bibir Francesca menjadi kelu. Dia tidak tahu harus berkata apa. Batinnya memberontak untuk membuat keputusan. Dia tidak mau menikah dengan cara seperti ini.Air matanya terus mengalir, kedua tangannya mencengkeram kemeja Enrico. Pria itu bagaikan seonggok mesin, tidak bereaksi terhadap tangisan pilu gadis dalam dekapannya.Lutut-lutut kaki Francesca bergetar dan menjadi lemas, gadis itu tak berdaya dan dia ambruk dalam dekapan Monster. Pria yang sudah memberinya pilihan sulit.Monster itu tersenyum tipis dengan mendekap tubuh rapuh Malaikat cantiknya. Dia membiarkan air mata gadis itu membasahi kemejanya. Bahkan tangan pria itu membelai rambut Francesca dengan lembut."Sssttt ... menangislah sepuasmu. Kau masih punya waktu satu jam lagi."Kata-kata lembut Enrico tidak membuat Francesca menjadi
Francesca menghela napasnya dengan berat. Dia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sudah cukup lama dirinya tidak pernah berdiri dan mematut diri di depan cermin.Saat ini Francesca hampir tidak dapat mengenali dirinya sendiri. Seorang penata rias sudah menyulap wajahnya menjadi sangat cantik. Polesan sederhana namun sangat menonjolkan mata lebar dan bibir penuhnya, membuat Francesca nyaris tak mengenali dirinya sendiri.Rambutnya yang lurus panjang sudah di bentuk bergelombang. Tergerai sempurna dan indah di bahunya yang terbuka. Gaun putih bergelombang seindah bulu-bulu angsa yang mengembang membebat tubuh mungilnya.Gadis itu mendesah melihat tampilan dirinya. Begitu cantik dan anggun di depan cermin tapi terasa beban berat yang mengganjal di dalam diri. Ia menghela napas dengan berat, berusaha untuk belajar tersenyum.Francesca memutar tubuhnya ketika mendengar pintu di buka. Dia mundur selangkah dan berpegangan pada
Francesca melangkah menuju altar dengan Devonte yang mengamit lengannya. Pernikahan yang sangat sederhana di dalam Capel di Mansion Enrico.Di depan altar sudah berdiri Enrico yang menatapnya dengan lembut. Namun, Francesca tidak merasakan kelembutan dari mata dingin tersebut. Hatinya di liputi pergolakan dan keinginan untuk lari.Tidak ada tamu undangan, hanya Leonardo dan seluruh pelayan Mansion. Tidak ada yang berani menyuarakan keberatan akan pernikahan ini, ketika Pastor menanyakan."Apakah ada yang keberatan dengan pernikahan ini, jika ada berbicaralah sekarang atau diam selamanya."Hati Francesca terasa miris mendengarnya. Dia ingin berteriak menyuarakan kegundahan hatinya, namun pandangan tajam Devonte yang menujukan pistol di balik jas yang dia kenakan, membuat Francesca bungkam."Aku Enrico Torres, menerimamu Francesca Knight, sebagai istriku. Untuk memiliki satu sama lain dalam duka, bahagia, mis
"Kak Conrad! Aaronn!" Francesca berlari ke pelukan kedua saudara laki-lakinya.Gadis itu tak dapat membendung rasa bahagia, ketika Enrico menepati janjinya. Hari ini pria itu mengirim seorang pengawalnya untuk membawa Conrad dan Aaron ke Mansion.Mereka bertiga berpelukan dengan sangat erat menumpahkan kerinduan. Hati Francesca merasa terharu dan bahagia karena setelah berbulan-bulan, akhirnya dia bisa bertemu dengan mereka.Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan, hingga tak satupun yang bisa membedakan apakah tangisan itu ungkapan kebahagiaan atau kesedihan.Conrad memeluk Francesca dengan penuh kasih sayang, mengelus rambut adiknya penuh kerinduan. Ciuman di kening yang ia daratkan, cukup membuat Enrico mengeraskan rahangnya.Pria itu sebenarnya tidak rela melihat Francesca berada dalam pelukan kedua pemuda tampan dengan tubuh atheleteis dan penampilan yang memukau. Pemuda yang hanya dengan berdiri di
"Francesca! Tatap mataku dan katakan, apakah kau benar sudah menikah?" tanya Conrad dengan lembut namun tegas.Francesca yang masih menyembunyikan dirinya dalam pelukan Enrico, perlahan melepaskan gigitannya pada bahu pria itu. Pertanyaan yang sama sudah dilontarkan Conrad sebanyak dua kali, membutuhkan jawaban.Dari sudut pandang Conrad dan Aaron, mereka bisa melihat tatapan Enrico yang tampak begitu hangat. Tangan pria itu tak pernah berhenti membelai rambut Francesca, sementara tangan satunya menggenggam tangan mungil gadis itu seolah memberinya semangat dan perlindungan.Perlahan Francesca menegakan kepalanya, mengusap wajah dengan sebelah tangan, kemudian menoleh pada kedua saudara prianya.Senyuman terukir di wajahnya malu-malu."Maafkan aku Kakak, Aaron ... aku sudah bertindak di luar batas," ujarnya perlahan."Jadi ... kau benar sudah menikah, Francesca?" tanya Aaron dengan berang."Iya ...,"