*“Banci kamu, Bian! Kenapa kau malah melaporkanku ke polisi?” tanya wanita itu tanpa basa-basi saat Bian menemuinya.“Kalau tidak ada alasan mana mungkin aku melaporkanmu ke polisi?”Kulihat dan kudengar dari jauh Bian masih menjaga nada suaranya walau mantan istrinya itu sudah teriak-teriak.Sejak dulu Miranda memang tak pernah berubah. dan herannya Bian masih juga terlihat sabar menghadapinya. “Pasti gundik itu yang ngadu bukan-bukan ke kamu, kan?”“Tidak bisakah kau menjaga ucapanmu?”“Tak perlulah kau memintaku berkata yang manis pada wanita munafik seperti istrimu itu. suami hasil merampas saja bangga dia!” Miranda tak berhenti ngomel-ngomel. Aku yang jadi tak sabaran. Suamiku itu pasti tak bisa melawan mantan istrinya itu. bukannya tidak bisa, tapi Bian memang begitu orangnya. Tidak mau kasar pada wanita tanpa alasan yang urgent. Jadi kudatangi saja mereka. Untungnya Bian tak keberatan melihatku datang.“Hhg. Keluar juga kamu?!” desisnya.“Kau menungguku keluar, ya?” kul
*“Mas sudah tahu itu tapi kenapa bersikap seolah aku narapidana yang harus dipenjarakan?”Tiba-tiba aku bertambah kesal mendengar kata-kata Bian. Dia sudah mengetahui semuanya tapi kenapa beberapa hari ini malah membuatku seperti orang gila karena sikap dinginnya itu?“Mas kejam sama aku! Aku sampai enggak bisa nelen makanan dan minuman karena cemas Mas Bian tidak percaya padaku.""Mas Bian enggak tahu bagaimana takutnya aku membayangkan Mas Bian menceraikanku karena lebih percaya apa kata orang daripada pada istrimu sendiri.”Aku tak menahan diriku ngereog di depannya karena tidak mengerti bagaimana pria itu bertahan dengan kemarahannya padahal sudah tahu aku hanya dijebak.“Maaf, Sayang!” Bian mencoba mendekatiku untuk memelukku.Tapi kutolak dengan segera.Kecewa aku dengannya.Jadi aku langsung keluar saja mencari Vier.“Ada apa mama?” tanya anak manisku yang langsung datang saat aku memanggilnya. Bian juga terlihat ke luar dari kamar. kusengaja berkata sedikit keras, “Mama kan
*“Bukannya nelpon Andik kenapa malah pulang naik taksi?” Bian tidak terima dengan ucapan Tom Lee jadi mengingtakanku.Kalau dia mengatakan hal itu, apa Bian tahu aku tadi di rumah sakit?Tadi sekilas aku melihat Bian menoleh ke arahku, tapi pria baik—yang saking baiknya sampai mau mengantar sekretarisnya periksa kehamilan itu—tak menyadari keberadaan istrinya sendiri.Apa sesulit itu mengenaliku?Sebal, bukan?Jadi, kulupakan dulu bagaimana tadi aku sempat down membayangkan takut kehilangan pria ini. Karena aku juga berhak untuk melampiaskan marahku.Aku bangkit menyibak selimutku karena ingin pergi ke kamar mandi. Baru juga mereda sakit kepalaku, sekarang hatiku yang kembali sakit.“Hati-hati!” Bian langsung berusaha membantuku namun dengan cepat kutolak dia.Aku lumayan lama di kamar mandi, tapi begitu keluar Bian ternyata masih menungguku di luar pintu.“Kau kenapa? Apa muntah-muntah lagi?” tanyanya.Kalau Bian sudah menyadari akulah yang dilhatnya tadi di kursi tunggu pasien po
*“Apa yang sudah kau lakukan padaku sekarang juga terjadi padamu. Aku yakin, Bian pasti akan percaya kalau kau memang berbuat serong dengan gigolo itu!”“Kau sudah ada di posisiku waktu itu sekarang. Dan Bian juga mengetahui skandalmu walau secara tidak langsung. Ini namanya karma. Lihat saja nanti, Bian akan segera menceraikanmu. Catat ucapanku, Bian a-kan men-ce-rai-kan-mu!”Dan kata-kata Miranda itu sudah sukses membuatku menciut hingga wanita itu mendesis seperti ular berlalu mendorong kursi roda itu dengan begitu puas.Aku merasa sangat tidak nyaman sekali dengan semua ini sekarang.“Nyonya?” panggil dokter yang memeriksaku diruang pemeriksaan.“I-iya, Dokter?” jawabku tergagap.“Selamat Anda hamil. Baru 6 minggu.”Kucoba tersenyum untuk menutupi sedihku dan menunjukan rasa bahagiaku saat dokter itu memberikan ucapan selamat.“Apa ada keluhan ahir-ahir ini, Nyonya?” aku ditanya lagi.“Morning sicknes, Dok,” jawabku.“Iya, Nyonya. Itu sudah biasa. Tapi kalau lihat Nyonya sampai
~ POV Melati ~Dini memberitahu bahwa Bian berpesan agar aku sarapan dan diperiksa Dokter Resti.Bukannya senang mendengar itu, tapi hatiku dongkol sekali.Ternyata dia benar-benar marah padaku. Ternyata dia benar-benar menuduhku ada main bersama pria lain.Kalau tidak, tentu dia tidak akan seperti ini.Setidaknya datanglah ke kamar dan melihat kondisiku sendiri. Apa aku baik-baik saja atau tidak? Malah pagi-pagi sudah pergi saja. Seolah sengaja agar tidak bertemu denganku. semuak apa dia padaku? Bahkan sepagi ini aku muntah-muntah lagi pun, apa dia peduli?Tega dia padaku!“Tidak perlu panggil Dokter Resti, Din!” ujarku menolak.“Tapi Bu Melati terlihat pucat. Nanti Pak Bian marah sama saya, Bu.” Dini memelas karena takut dimarahi tuannya itu.Buat apa juga melakukan itu? perhatiannya itu sebatas tanggung jawab saja. Tapi hati dan perasaannya sama sekali acuh padaku.“Aku mau ke rumah sakit saja!” gumamku bangkit bahkan sarapanku pun tak bisa kutelan dengan baik.Masih untung seten
*Lamunanku tak berlanjut lantaran kulihat seorang perawat membawa kursi roda kosong.Kutahan dia untuk meminta bantuannya. “Boleh pinjam? Dia sedang kesusahan karena perutnya sakit.”Dan perawat itu tak keberatan. Hanya saja tidak bisa membantuku mendorong Lia.“Tidak usah, Pak. Saya tidak enak.” Lia tampak segan.“Sudah duduk saja!” Aku memaksanya.Pikirku agar cepat selesai saja.Dan ketika sampai di antrian para pasien di spesialis obstetric dan ginekologi, tiba-tiba tatapanku sekilas menangkap seseorang yang ada di antara antrian itu. Hanya saja barusan ada perawat yang mendorong pasien hingga menutupi padanganku. “Melati?!” ujarku. “Ada Bu Melati, Pak?” Lia langsung menoleh ketika aku memanggil nama Melati.Aku menghentikan langkahku dan begitu pandanganku terbebas kutoleh lagi di mana tadi aku sekilas melihat Melati.Tapi aku tidak melihat siapapun. Apa hanya salah lihat saja?Setelah mengambilkan antrian untuk Lia, aku bilang padanya mau langsung balik. Lia tentu tida