Berlian yang Paling Keras
“Lihat ... lihat! Aku sudah bilang, kan? Kamu harus mengumpan bolanya padaku!”
Naila mengernyitkan dahi saat mendengar suara riuh dari Adrian dari ruang keluarga. Dengan sisa tenaga, Naila melepas heelsnya dan melangkah dengan sandal rumah.
Beberapa pekerja yang melihat kepulangan Naila di siang hari saling melirik satu sama lain. Tidak biasanya Naila yang begitu tepat waktu itu melanggar prinsipnya dan kembali ke rumah sebelum jam pulang kantor.
Naila tidak menggubris tatapan-tatapan dari para pekerja padanya. Keinginan yang tersembunyi di dada Naila adalah segera berpindah ke ruang keluarga dan melihat dengan siapa Adrian berbicara.
“Kan! Kamu tidak jago main game, Xavier!”
Deg! Langkah Naila terhenti. Adrian baru saja menyebutkan nama lelaki yang membuatnya naik pitam saban hari. Langkah Naila semakin cepat, buru-buru ingin memastikan jika lelaki itu benar-benar Xavier yang dia bayangkan.
Tepat di balik sofa ruang keluarga, berjarak lebih dari dua meter. Naila menatap dari sisi samping pada Xavier yang duduk nyaman di karpet berbulu. Tidak ada rasa segan dari raut wajah Xavier, meski lelaki itu memijak lantai rumah dari Naila, yang dia usili kemarin.
“Kenapa kamu membawa bocah ini, Adrian?” seru Naila geram. Kedua tangannya mendarat terlipat di dada. Mata Naila menyala dengan amarah yang membara.
Mendengar seruan keras dari kakaknya, Adrian segera melempar stick game di tangannya dan bergegas berdiri. Kedua tangan Adrian terkunci di balik punggung. Tatapannya sedikit menunduk, khawatir jika Naila akan menyeret Xavier dan memarahi lelaki itu.
“Jelaskan! Kenapa membawa lelaki itu ke sini? Kenapa membawa orang asing saat tidak ada Mama di rumah. Saat aku juga tidak ada di rumah.” Naila begitu beringas. Tatapannya menyoroti Adrian dan Xavier secara bergantian.
Mendapat sambutan panas begitu, Xavier ikut bangun dan berjalan mendekat ke arah Naila. Bersikap layaknya lelaki dewasa sembari memasang senyum ramah pada Naila.
“Adrian sudah izin. Aku saksinya!” ujar Xavier tanpa diminta Naila.
Naila mengangkat wajahnya begitu Xavier berdiri tepat di depannya. Tinggi Xavier yang melampaui Naila membuat gadis itu terpaksa menengadah.
“Hah, izin sama siapa?” tantang Naila.
“Sama Tante!”
“Tante?! Kamu masih memanggilku Tante?” Naila semakin berang. Semburat merah mulai memenuhi wajah Naila. Dirasakannya darahnya mendidih, puncak kepalanya seperti api yang berkobar. Ingin segera menghanguskan Xavier yang telah memancing emosi dalam dirinya.
“Lalu aku harus memanggil Anda apa?”
“Adrian! Lihat, bukan? Aku sudah bilang padamu, jangan berteman dengannya. Dia bahkan tidak tahu cara menghormati kakakmu!”
Adrian yang diseret Naila dalam perdebatan antara dirinya dan Xavier memilih diam. Berpura-pura tidak mendengar sembari memutar bola mata. Ingin sekali Adrian melarikan diri dari situasi rumit ini, namun meninggalkan Xavier di sana bersama Naila, sama saja dengan mengirim Xavier ke neraka.
“Oke, aku mengalah. Aku akan berhenti memanggil Anda tante, dan akan aku ganti dengan panggilan Kakak. Bisa kita berdamai?” ujar Xavier lagi sembari mengulurkan tangan.
Naila yang melihat hal tersebut hanya mencibir. Menolak berdamai dengan Xavier seperti permintaan lelaki itu.
“Jadi, aku boleh tetap bermain di sini, Kak?” Xavier tidak mau berhenti. Terus mengajak Naila berbicara. Tujuan Xavier saat ini, membuat Naila menerima dirinya sebagai teman dari Adrian.
Lagi-lagi Naila menolak menjawab. Naila semakin mengangkat wajahnya, menatap manik hazel di mata Xavier sembari berkata, “Jika tujuanmu mendekati Adrian tidak semanis rayuanmu, maka jangan salahkan aku jika kedua kakimu tidak lagi bisa membuatmu berdiri.” Lalu Naila berjalan melewati Xavier, dengan sengaja menyenggol Xavier, mempertahankan arogansinya agar Xavier paham jika dirinya tidak sedang bercanda.
Menerima perlakuan seperti itu, Xavier hanya tersenyum sembari berbalik pada Adrian. “Kakakmu unik, dan ... menarik.”
“Xavier!” Adrian segera mendekati sahabatnya. “Jangan bilang kamu naksir Kak Naila?” Adrian bergidik ngeri. Adrian kenal benar dengan Xavier, lelaki satu ini otaknya sudah korslet, seperti tersetrum listrik tegangan tinggi. Tidak mudah menyerah jika sudah menetapkan keinginan.
“Naksir? Memangnya salah? Hah, tenang saja, Adrian. Aku juga tahu batasan. Ayo lanjutkan gamenya,” kilah Xavier sembari melirik stick game yang tergeletak di karpet berbulu.
“Engga ah, kamu ga bisa main game, Xavier. Permainanmu buruk, hanya omonganmu saja yang bagus.”
“Kamu memang adiknya Naila, Adrian. Omonganmu sama pedasnya,” balas Xavier sebelum akhirnya kembali duduk di karpet berbulu.
--
Ayunan tua di halaman belakang rumah keluarga Halim terus berderit. Naila yang mengisi ayunan terus duduk diam sembari bersandar. Kepalanya terasa berat, ada banyak hal yang berkelebat di dalam sana.
Suasana sore di halaman rumah Halim terasa damai. Semilir angin yang sejuk, gemercik air dari kolam koi yang berumur lebih tua dari Naila serta pepohonan yang sama tuanya memberi efek tenang pada Naila.
Lima menit pertama, Naila merasa berat. Lima menit berikutnya, Naila merasa nyaman.
Hanya bunyi berderit yang terus menggema pelan. Naila diam dengan kedua mata terpejam.
Pikiran Naila berkelana, mengunjungi masa lalunya saat masih mungil dulu. Saat dirinya dibesarkan sendirian oleh Gabriel hingga berusia lima tahun, lalu Queen datang sebagai ibu sambung untuknya.
Naila masih ingat setiap detik yang Queen habiskan demi dirinya. Setiap air mata yang Queen tumpahkan saat dirinya terluka. Bahkan, cinta dari ibu kandungnya saja tidak bisa sedalam itu.
“Hah, Mama kapan pulangnya?” Naila bergumam masih dengan mata terpejam.
“Kamu rindu mamamu?” Sebuah suara berat menginterupsi angan Naila.
Kedua mata Naila terbuka. Tatapannya jatuh pada lelaki yang datang dan bergabung dengannya di ayunan tanpa permisi. Ayunan sedikit berderit, lalu berhenti mengayun setelah Xavier menahannya dengan kedua kakinya yang panjang.
“Ngapain, sih?” tanya Naila tidak terima. Baru saja dirinya merasa damai, malah Xavier datang merusak kedamaiannya.
“Jangan kasar begitu, Naila.”
“Naila? Kamu ingin dipukul?” Sengit, Naila tidak mau tinggal diam.
“Kita hanya terpaut usia lima tahun. Tidak nyaman memanggilmu Kakak.” Xavier membalas tanpa perduli jika sebenarnya Naila tidak menyukai kehadirannya.
“Kamu pikir ini di luar negeri? Seenak hati memanggil orang yang lebih tua dengan namanya.”
“Hei, Naila, aku memang dilahirkan di luar negeri. Jadi wajar dong, aku memanggilmu dengan nama saja,” balas Xavier. Xavier memilih bersandar di ayunan. Berpura-pura memejamkan mata, bersikap tenang dan tidak terintimidasi dengan penolakan beruntun dari Naila.
“Dasar bocah nakal. Duduk saja sendiri!” gerutu Naila. Gadis itu segera turun dari ayunan. Membiarkan ayunan bergoyang keras hingga kedua kaki Xavier yang menahan ikut terseret.
Xavier membuka mata, menatap punggung Naila yang baru saja berpindah dari hadapannya. “Astaga, kenapa ada berlian sekeras ini, sih? Sepertinya perkakasku harus lebih tajam.”
Bab 48: Suatu Sore di LA“Kenapa gaun lagi, Sayang?” Pria bermanik mata hazel itu tidak henti-hentinya mengeluh setelah melihat outfit sang istri yang lebih mirip model. Padahal, jika mengikuti rencana awal, mereka hanya akan menghabiskan waktu yang indah di MacArthur Park sembari menikmati sore nan romantis bersama.“Memangnya kenapa?” balas sang istri. Dia menata ulang rambut panjangnya yang tergerai hingga punggung, sebelum akhirnya menjempit anak rambut dengan jepitan mungil yang dibelikan sang suami saat masih di negara sendiri.“Naila ... aku tidak suka jika pria-pria bule itu menatap kaki dan lenganmu! Ganti saja dengan jeans dan kemeja lengan panjang!” keluhnya lagi.“Astaga, Xavier?! Apa kamu lupa siapa penyebabnya? Apa kamu lupa betapa panjangnya malam tadi hingga bangun pagi ini, tubuhku terasa remuk? Pinggangku linu, bahkan seluruh tubuh sakit. Aku kesulitan berjalan jika mengenakan je
Dua sosok yang mengira akan bersama dua tahun lalu itu, kini duduk saling berhadapan dalam bisu. Gadis yang tersenyum tipis itu menghentikan kekakuan dengan menyodorkan selembar undangan nuansa emas serta mengeluarkan harum ke arah pemuda di hadapannya. Dia tersenyum Seraya berujar, “Semoga kamu bisa datang, ya?”“Kamu mengundangku?” selidik pemuda itu.Dia terus berusaha menahan segala tanda tanya yang terus berkecamuk saat melihat mantan kekasih yang pernah dipermainkannya itu berbesar hati mengundang dirinya. Padahal, hubungan keduanya berakhir dengan saling membalas satu sama lain.“Yap ... tidak ada alasan untuk tidak mengundangmu, Rey?!” balas gadis itu.“Setelah kamu menghancurkan karierku, Naila?”“Kamu juga menghancurkan hidupku, Rey. Kamu memanfaatkanku, demi menaiki dunia hiburan itu.” Naila terus berbicara dalam nada rendah. Sekalipun dia tidak me
Bab 46: Peringatan!Kekerasan tidak menyelesaikan segalanya. Adegan di dalamnya hanya sebagai alur dari cerita dan bukan sebagai contoh dalam menghadapi sesuatu di dalam kehidupan.--“Heh! Tikus got kemarin sore nantangin kita, Bro!” Pria bertopi bannie berujar dengan nada merendahkan. Sudut bibir kanannya naik, karena merasa jika Net tidak sebanding dengan dirinya apalagi melawan mereka berdua. Ditambah lagi, pemuda yang berdiri dengan wajah melongo di belakang Net terlihat lebih lemah dari Naila, sehingga rasa percaya dirinya naik berkali-kali lipat hanya dalam waktu yang sangat singkat.“Sebentar, sepertinya gadis ini bukan gadis biasa,” lirih pria berperut buncit dengan tatapan penuh selidik. Dia terus memperhatikan kuda-kuda dari Net serta bentuk tubuh dari gadis itu.Merasa yakin dengan firasatnya, dia kembali memperkuat genggamannya pada belati yang sedari tadi dia gunakan u
Bab 45: Dua Penjahat II“Berhentilah menjerit, kamu akan aman bersamaku, Sayang,” bisik seseorang itu. Naila yang sedari tadi menatap paras penolongnya mulai bersikap tenang. Gadis itu berhenti menjerit, dan memilih untuk mengatur napasnya yang berkejaran.“Kemarilah, peluk aku, Nail.” Pemuda itu melepaskan bekapannya di mulut Naila setelah melihat gadisnya, lalu mengulurkan kedua tangannya demi menyambut gadisnya yang masih begitu ketakutan. Naila yang mengenali dan merindukan pemuda itu, segera menghambur, memeluk seerat mungkin pemuda yang semalam hampir tidak bisa dilihatnya lagi.Keduanya berbagi pelukan dalam. Xavier terus berusaha menghentikan Naila yang menangis terisak dengan membelai punggungnya, sedang Naila semakin mempererat pelukannya pada Xavier, membenamkan wajahnya di pelukan pemuda itu demi memastikan sekali lagi jika pria yang menolong dirinya benar-benar kekasihnya sendiri.“Ke mana gadis
Bab 44: Dua PenjahatHampir satu jam lamanya gadis dengan rambut kuncir kuda atau pony tail itu berdiri di jendela kamarnya yang tertutup tirai putih gading. Tatapannya terus menyisir ke seluruh bagian dari taman belakang rumah yang menjadi pemandangan dari kamarnya. Berulang kali, gadis yang diberi nama Naila itu mencebik, sebab jumlah penjaga yang berjaga hari ini jadi dua kali lipat dibanding sebelumnya.Pagi tadi, tidak ada angin ataupun hujan, sebelum berangkat bekerja, Gabriel memberi perintah pada para penjaga untuk meningkatkan keamanan dan tidak memberi Naila izin untuk keluar tanpa keamanan. Itulah sebabnya, gadis berparas cantik itu menjelma menjadi burung dalam sangkar emas. Tidak ada teman yang bisa menemaninya saat ini, hanya kesunyian yang menjadi sahabat baik gadis itu di kamarnya yang feminin.Di tengah keputusasaan itu, Naila mendengar seseorang bersuara keras dari luar sana. Gelak tawanya memecah sunyi hingga menembus
Bab 43: Keputusan“Xavier, berhentilah! Kamu keterlaluan,” seru Naila. Gadis itu terus mengulangi permintaannya terhadap pemuda yang semakin beringgas merengkuh dirinya.Xavier mengendus dalam-dalam aroma harum dari tubuh Naila, lalu dihadiahinya sebuah kecupan di setiap senti pundak gadis itu. Tanpa henti, tanpa rasa puas. Xavier berubah menjadi monster dengan sorot mata yang kelam hingga tidak mampu mendengar jerit putus asa dari gadis yang disukainya.“Xavier, ada apa denganmu? Hentikan! Kamu menyakitiku, Xavier?!” Naila terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke setiap bagian yang bisa dia raih dari tubuh pemuda itu. Namun, semakin beringas pula cumbuan di lehernya yang jenjang serta wajahnya yang lembab.“Aku tidak mau kehilanganmu, Nail,” desah Xavier setelah berhenti mencumbu Naila. Pemuda itu memutuskan untuk merebahkan wajahnya yang menghangat di pundak Naila yang terus bergerak turun dan naik.