Home / Romansa / Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan) / Bab 4: Gelora Cinta Sang Berondong

Share

Bab 4: Gelora Cinta Sang Berondong

Author: Bemine
last update Last Updated: 2024-05-16 18:01:19

Bab 4: Perasaan yang Sesungguhnya

“Jadi, ini orangnya?” Naila hampir saja meledakkan tawa jika tidak mengingat lingkungan sekitarnya. 

Tatapan mata Rey yang melotot, mulut Rey yang mengaga lebar membuat Naila puas. Sangat puas hingga Naila ingin memamerkannya pada Adrian dan Hilda. Dua saudara yang selalu menertawai dirinya. 

“Benar, Nona. Rey adalah salah satu aktor yang mulai populer saat ini. Begitu banyak permintaan iklan datang untuk Rey. Bahkan, sudah ada tawaran film baru untuknya.” Produser menjelaskan dengan semangat yang berkobar. Sedang Naila, tertarik saja tidak untuk mendengar. 

Pikiran Naila saat ini hanya terpaut pada Rey yang mulai menundukkan wajah. Kepuasaan batin untuk Naila, saat melihat orang yang telah menyakiti dirinya tertekuk di ujung jemarinya. 

“Aku ingin menawarkan satu nama untuk film ini. Lagipula, produksinya baru dimulai, bukan?” Naila kembali melirik Sang Produser. 

“Na-nama? Untuk film ini?” 

“Yap! Aku membawa artisku sendiri. Dialah yang aku sponsori, Pak Produser. Aku bukannya mensponsori film ini secara cuma-cuma. Uang yang kukeluarkan juga tidak berlebihan jika aku meminta bagian, bukan?” Naila menaikkan sudut bibirnya. Kalimat demi kalimat yang diucapkan Naila membuang sang produser kebingungan. 

Meski proses syuting baru dimulai, namun produser dan sutradara sudah sepakat perihal aktris dan aktor yang akan berperan. Lalu, bagaimana bisa dia tiba-tiba mengganti peran?

“Aku tidak akan meminta perubahan dalam alur cerita, hanya saja, bawa aktorku ke dalam filmu. Jika tidak ada peran untuk aktorku, maka singkirkan aktor baru itu!” tunjuk Naila dengan ekor matanya. 

Hampir saja rahang Produser itu terlepas. Kedua pupilnya membesar dan keringat membanjiri pelipisnya. 

“Ba-bagaimana mungkin?” Produser itu bertanya dengan gugup. 

“Mungkin saja. Sponsor berhak untuk memberi syarat, bukan? Aku memberi Anda dan tim waktu untuk berfikir hingga besok. Jika setuju, hubungi aku melalui sekretarisku. Ingat, Pak Produser! Hanya sampai besok.” Naila terus menekan kalimatnya. 

Tanpa menunggu jawaban dari produser. Naila segera berbalik, melangkah dengan penuh percaya diri sembari menyematkan kacamatanya ke posisi awal. 

Derap langkah Naila, membawa dirinya semakin dekat dengan Rey. Hingga keduanya berselisih, dan terdengar Rey berucap pelan pada Naila, “Kamu sengaja ingin menghancurkanku, bukan?” 

“Hm? Kamu yang lebih dulu menghancurkan perasaanku, Rey. Terimalah nasibmu. Ini salahmu, Rey, berurusan dengan wanita gila sepertiku.”

Rey tercengang setelah mendengar jawaban dari Naila. Belum sempat Rey mengejar Naila, gadis itu sudah menjauh, lalu keluar dari pintu masuk lokasi syuting. 

“Rey ....” Produser menyebut namanya dengan suara berat. “Sepertinya aku harus bertemu manajermu,” lanjut Produser itu. 

--

Naila duduk dengan kaki tersilang di kursi belakang. Pandangannya menatap kosong pada bangunan-bangunan yang berjejer di luar jendela mobil. 

Rey sudah mendapat balasan, lalu apa yang membuat batinnya masih bingung? Hal apa yang masih tertinggal hingga dirinya merasa tidak tega setelah sadar baru saja menghancurkan karir yang dibangun oleh Rey? Benarkah ini jalan yang tepat? Naila begitu sibuk mencari alasan pembenaran dari sikapnya. 

Dian yang sedari tadi mengikuti pergerakan Naila di kursi belakang bersuara, “Bu Naila, apa ada hal yang ingin Anda lakukan? Bagaimana jika berbelanja lagi? Di Mall tadi, saya melihat banyak barang-barang baru yang akan sesuai dengan selera Anda, Bu.” 

“Belanja? Ah, kamu sudah selesai belanja.” Naila membenarkan duduknya. Kemana saja pikirannya hingga dirinya lupa telah memberi tugas pada Dian. 

“Iya, sudah selesai. Saya mencoba mengingat bagaimana penampilan Anda selama ini dan mencocokkan beberapa pakaian di sana. Sepertinya, pilihan saya tidak akan sesuai dengan Anda, Bu. Apa perlu kita kembalikan dan Anda bisa memilih yang baru?” Dian berucap sembari melirik Naila dari spion tengah. Kedua tangan Dian begitu lincah menyetir. Setir kemudi mobil bergerak halus, tidak ada hentakan dari mobil yang membuat Naila berdecak kesal. 

“Kembalikan? Aku membelikannya untukmu,” sahut Naila enteng.

“U-untuk saya?” Dian hampir saja menoleh ke belakang sebelum akhirnya Dian ingat jika dirinya sedang menyetir. 

“Iya, bawa pulang semuanya dan gunakan mulai besok, Dian! Sekretarisku tidak boleh terlihat kolot dan ketinggalan jaman. Pola pikirmu terlalu cerdas untuk ditutupi dengan blouse kusam itu.” 

Untaian kalimat pedas dari Naila tidak membuat Dian berwajah masam. Melainkan, senyum di wajahnya mengembang, bahkan kedua matanya memerah haru. Sudah berkali-kali Dian berganti atasan di banyak perusahaan berbeda, dan Naila adalah satu-satunya atasan yang terlihat jahat, namun ternyata memperhatikan dirinya. 

“Terima kasih, Bu,” ujar Dian dengan suara sengau. 

“Kamu menangis? Jangan menangis, Dian. Papa akan marah jika aku membuat bawahanku menangis.” Naila kembali membuang pandangannya ke luar jendela. 

Dian berusaha keras menahan harunya dengan menggigit bibir bawahnya. Hampir saja isak harunya terdengar pada Naila. 

“Papa begitu keras mengajariku, Dian. Hanya Mama Queen yang sesekali menahan Papa dan meminta Papa agar berhenti menekanku. Kata Papa, hidup kami berat, keras dan tidak berbelas kasih,” kisah Naila. 

Dian mulai melirik Naila kembali. Didapatinya Naila bersandar pada pintu mobil dengan tatapan sayu. Seakan-akan ada kesedihan yang ingin Naila tumpahkan. Dian memilih diam, berpura-pura tidak melihat dan membiarkan Naila dengan perasaannya. 

“Kami harus menahan sakit, agar orang-orang yang bernaung di perusahaan tidak merasakan sakit, Dian. Aku sudah berusaha, namun di mata anggota dewan, aku belum layak menggantikan Papa. Padahal, posisi Ketua telah kosong sejak Kakek meninggal 5 tahun lalu,” lanjut Naila. 

“Hah, seandainya semua hal yang berhubungan dengan perasaan bisa dibeli dengan uang. Sudah pasti, akan aku habiskan isi rekeningku untuk membelinya.” 

“Anda sudah berhasil membelinya, Bu.” Dian berkata setelah lama diam. 

Perhatian Naila teralihkan dengan perkataan Dian. Naila tertarik, mendengar nasihat lebih banyak dari wanita kuat yang sebulan ini bersamanya. 

“Anda membeli banyak barang mahal untuk saya, itu juga memberi ada kebahagiaan, bukan? Anda membeli kebahagiaan, bukan berarti Anda jahat. Anda hanya melakukan kebaikan dengan cara Anda sendiri. Sedangkan saya yang tidak mampu, membentuk kebahagiaan dengan cara saya sendiri. Soal perusahaan, bukan berarti Anda tidak layak. Menurut saya, waktu untuk Anda menjabat saja yang belum tiba.” 

Hening ... Naila tidak memberi balasan. “Ah, maaf Bu. Saya keterlaluan,” ucap Dian setelah sadar jika dirinya baru saja menasihati Naila. 

“Tidak, Dian. Ucapanmu benar. Mungkin aku terlalu terburu-buru, padahal Papa sendiri menjadi Presdir setelah Kakek mundur. Terima kasih sudah menemaniku mengobrol, Dian. Biasanya, Mama Queen yang akan menemaniku. Tapi akhir-akhir ini, Papa menguasai Mama hingga 100 persen.” 

“Aku akan tidur sebentar, Dian. Kita pulang saja, moodku tidak terlalu bagus untuk bekerja,” titah Naila sembari merebahkan tubuhnya pada jok kursi belakang. 

“Baik, Bu. Saya akan membatalkan sisa jadwal Anda sore ini.” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)   (TAMAT) Bab 48 : Gelora Cinta Sang Berondong

    Bab 48: Suatu Sore di LA“Kenapa gaun lagi, Sayang?” Pria bermanik mata hazel itu tidak henti-hentinya mengeluh setelah melihat outfit sang istri yang lebih mirip model. Padahal, jika mengikuti rencana awal, mereka hanya akan menghabiskan waktu yang indah di MacArthur Park sembari menikmati sore nan romantis bersama.“Memangnya kenapa?” balas sang istri. Dia menata ulang rambut panjangnya yang tergerai hingga punggung, sebelum akhirnya menjempit anak rambut dengan jepitan mungil yang dibelikan sang suami saat masih di negara sendiri.“Naila ... aku tidak suka jika pria-pria bule itu menatap kaki dan lenganmu! Ganti saja dengan jeans dan kemeja lengan panjang!” keluhnya lagi.“Astaga, Xavier?! Apa kamu lupa siapa penyebabnya? Apa kamu lupa betapa panjangnya malam tadi hingga bangun pagi ini, tubuhku terasa remuk? Pinggangku linu, bahkan seluruh tubuh sakit. Aku kesulitan berjalan jika mengenakan je

  • Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)   Bab 47: Gelora Cinta Sang Berondong

    Dua sosok yang mengira akan bersama dua tahun lalu itu, kini duduk saling berhadapan dalam bisu. Gadis yang tersenyum tipis itu menghentikan kekakuan dengan menyodorkan selembar undangan nuansa emas serta mengeluarkan harum ke arah pemuda di hadapannya. Dia tersenyum Seraya berujar, “Semoga kamu bisa datang, ya?”“Kamu mengundangku?” selidik pemuda itu.Dia terus berusaha menahan segala tanda tanya yang terus berkecamuk saat melihat mantan kekasih yang pernah dipermainkannya itu berbesar hati mengundang dirinya. Padahal, hubungan keduanya berakhir dengan saling membalas satu sama lain.“Yap ... tidak ada alasan untuk tidak mengundangmu, Rey?!” balas gadis itu.“Setelah kamu menghancurkan karierku, Naila?”“Kamu juga menghancurkan hidupku, Rey. Kamu memanfaatkanku, demi menaiki dunia hiburan itu.” Naila terus berbicara dalam nada rendah. Sekalipun dia tidak me

  • Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)   Bab 46: Gelora Cinta Sang Berondong

    Bab 46: Peringatan!Kekerasan tidak menyelesaikan segalanya. Adegan di dalamnya hanya sebagai alur dari cerita dan bukan sebagai contoh dalam menghadapi sesuatu di dalam kehidupan.--“Heh! Tikus got kemarin sore nantangin kita, Bro!” Pria bertopi bannie berujar dengan nada merendahkan. Sudut bibir kanannya naik, karena merasa jika Net tidak sebanding dengan dirinya apalagi melawan mereka berdua. Ditambah lagi, pemuda yang berdiri dengan wajah melongo di belakang Net terlihat lebih lemah dari Naila, sehingga rasa percaya dirinya naik berkali-kali lipat hanya dalam waktu yang sangat singkat.“Sebentar, sepertinya gadis ini bukan gadis biasa,” lirih pria berperut buncit dengan tatapan penuh selidik. Dia terus memperhatikan kuda-kuda dari Net serta bentuk tubuh dari gadis itu.Merasa yakin dengan firasatnya, dia kembali memperkuat genggamannya pada belati yang sedari tadi dia gunakan u

  • Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)   Bab 45: Gelora Cinta Sang Berondong

    Bab 45: Dua Penjahat II“Berhentilah menjerit, kamu akan aman bersamaku, Sayang,” bisik seseorang itu. Naila yang sedari tadi menatap paras penolongnya mulai bersikap tenang. Gadis itu berhenti menjerit, dan memilih untuk mengatur napasnya yang berkejaran.“Kemarilah, peluk aku, Nail.” Pemuda itu melepaskan bekapannya di mulut Naila setelah melihat gadisnya, lalu mengulurkan kedua tangannya demi menyambut gadisnya yang masih begitu ketakutan. Naila yang mengenali dan merindukan pemuda itu, segera menghambur, memeluk seerat mungkin pemuda yang semalam hampir tidak bisa dilihatnya lagi.Keduanya berbagi pelukan dalam. Xavier terus berusaha menghentikan Naila yang menangis terisak dengan membelai punggungnya, sedang Naila semakin mempererat pelukannya pada Xavier, membenamkan wajahnya di pelukan pemuda itu demi memastikan sekali lagi jika pria yang menolong dirinya benar-benar kekasihnya sendiri.“Ke mana gadis

  • Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)   Bab 44: Gelora Cinta Sang Berondong

    Bab 44: Dua PenjahatHampir satu jam lamanya gadis dengan rambut kuncir kuda atau pony tail itu berdiri di jendela kamarnya yang tertutup tirai putih gading. Tatapannya terus menyisir ke seluruh bagian dari taman belakang rumah yang menjadi pemandangan dari kamarnya. Berulang kali, gadis yang diberi nama Naila itu mencebik, sebab jumlah penjaga yang berjaga hari ini jadi dua kali lipat dibanding sebelumnya.Pagi tadi, tidak ada angin ataupun hujan, sebelum berangkat bekerja, Gabriel memberi perintah pada para penjaga untuk meningkatkan keamanan dan tidak memberi Naila izin untuk keluar tanpa keamanan. Itulah sebabnya, gadis berparas cantik itu menjelma menjadi burung dalam sangkar emas. Tidak ada teman yang bisa menemaninya saat ini, hanya kesunyian yang menjadi sahabat baik gadis itu di kamarnya yang feminin.Di tengah keputusasaan itu, Naila mendengar seseorang bersuara keras dari luar sana. Gelak tawanya memecah sunyi hingga menembus

  • Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)   Bab 43: Gelora Cinta Sang Berondong

    Bab 43: Keputusan“Xavier, berhentilah! Kamu keterlaluan,” seru Naila. Gadis itu terus mengulangi permintaannya terhadap pemuda yang semakin beringgas merengkuh dirinya.Xavier mengendus dalam-dalam aroma harum dari tubuh Naila, lalu dihadiahinya sebuah kecupan di setiap senti pundak gadis itu. Tanpa henti, tanpa rasa puas. Xavier berubah menjadi monster dengan sorot mata yang kelam hingga tidak mampu mendengar jerit putus asa dari gadis yang disukainya.“Xavier, ada apa denganmu? Hentikan! Kamu menyakitiku, Xavier?!” Naila terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke setiap bagian yang bisa dia raih dari tubuh pemuda itu. Namun, semakin beringas pula cumbuan di lehernya yang jenjang serta wajahnya yang lembab.“Aku tidak mau kehilanganmu, Nail,” desah Xavier setelah berhenti mencumbu Naila. Pemuda itu memutuskan untuk merebahkan wajahnya yang menghangat di pundak Naila yang terus bergerak turun dan naik.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status