Xavier yang Normal
Lelaki berusia lima puluh tujuh tahun, dengan rambut yang memutih di kedua pelipis itu berdiri di balkon apartemennya. Tatapannya memendar ke seluruh penjuru kota Swiss. Bahunya masih tegap, meski raut wajahnya mulai dihiasi kerutan halus.
“Suamiku,” panggil sang istri. Wanita cantik berusia tiga belas tahun lebih muda dari suaminya datang dengan nampan di tangan. Secangkir teh masih mengepulkan asap. Sepiring kukis terlihat menggoda selera.
Lelaki itu menoleh saat mendengar derap langkah istrinya semakin dekat, lalu tersenyum ramah menyambut kehadiran kekasihnya. Dua puluh satu tahun kebersamaan mereka, tidak pernah sekalipun dirinya merasa menyesal telah menikahi istrinya.
“Queen, istriku.”
“Langitnya indah, Sayang.” Queen ikut menatap langit jingga. Balkon tempatnya dan Gabriel menghabiskan sore selama di Swiss kini menjadi tempat favorit baru bagi wanita itu.
“Kamu lebih indah, Queen.”
“Jangan memujiku. Usia kita tidak lagi pantas untuk saling merayu, Sayang.” Queen tersenyum. Meski sudah puluhan tahun bersama, tetap saja dirinya merasakan getaran jika Gabriel menyematkan pujian untuknya. Sepertinya, masih cinta tidak lagi pantas untuk mengibaratkan perasaan Queen pada Gabriel. Bahkan, pujangga saja akan kehabisan prosa untuk menggambarkan kisah kedua insan itu.
“Aku tidak memuji, Sayang. Bahkan Naila tidak bisa mengalahkan indahmu,” puji Gabriel lagi. Kedua mata Gabriel berbinar saat melihat Queen yang berdiri di sebelahnya.
Dress simpel berwarna karamel serta syal tebal yang melindungi tubuhnya membuat Queen terlihat semakin menawan. Rambut wanita itu ter sanggul, memamerkan lehernya yang jenjang berhias kalung kecil dengan liontin dari berlian.
Lagi-lagi Gabriel berdebar. Rasanya seperti saat pertama kali dia melihat Queen di mal. Saat istrinya masih gadis, dan senang mengomel itu.
Sekelebat kenangan di masa lalu bermunculan di benak Gabriel. Keluarga Halim yang utuh, meski dipenuhi berbagai konflik di dalamnya membuat Gabriel merasakan rindu. Sangat rindu, hingga seakan hari-harinya telah membeku.
Tidak ada lagi Ketua Halim yang selama ini memberinya petunjuk. Tidak ada Jey, yang selalu membuatnya kerepotan karena semua permasalahan yang dibawa lelaki itu.
Tidak pula Wahyu yang sudah menikahi Ayunda dan memilik putri nakal yang diberi nama Hilda. Begitu juga Bagas dan Moly, yang memutuskan menemani Mamanya di hari tua dan menetap di Villa.
“Sayang?” Queen seakan memahami apa yang ada di benak suaminya kini. Dengan sentuhan lembut, Queen meraih tangan hangat suaminya. Mendekap erat di antara kedua tangannya sembari menikmati hangat dari tubuh Gabriel.
“Rindu pada Papa dan Jey?”
“Kamu benar-benar memahamiku, Sayang. Apa kabar Jey sekarang, ya? Apa Papa juga bahagia di sana?” Gabriel mengangkat sedikit wajahnya, kedua manik matanya yang basah tidak ingin dia tunjukkan pada istrinya.
“Aku yakin papa bahagia, Sayang. Tapi entah soal Jey, tidak ada kabar darinya sampai hari ini. Kadang, aku berpikir jika Jey membenci kita dan tidak ingin kembali ke rumah.” Queen berucap dengan nafas yang berat. Terasa jelas pada wanita itu, rasa sedih yang ada di benak Gabriel. Semakin tua umur pernikahannya, semakin Queen merasa jika keduanya telah menyatu, jiwa dan raga.
“Bahkan berita soal kemunculan Jey di pemakaman Papa juga tidak bisa dibuktikan. Suamiku juga sudah berusaha, berpindah dari satu negara ke negara lain demi mencari jejak Jey dan istrinya,” lanjut Queen.
“Oh iya, apa kamu menghubungi Naila dan Adrian, Sayang?” Gabriel berusaha mengalihkan pembicaraan dengan senyuman. Terlalu berat untuk lelaki itu jika harus membicarakan Jey dan Papanya. Kedua orang terdekatnya yang berseteru dan akhirnya saling berjauhan. Gabriel tidak ingin jika Queen melihatnya bersedih.
Queen mengangguk meski sebenarnya dia tahu jika Gabriel berusaha mengalihkan pembicaraan. “Naila putus lagi, dan Adrian membawa temannya yang nakal ke rumah. Itu membuat Naila marah-marah seharian,” kisah Queen.
“Astaga, semua dosa-dosaku di masa lalu ditanggung oleh Naila.”
“Jangan bilang begitu, Sayang. Naila hanya harus belajar mengendalikan emosinya. Adrian juga harus berhenti mengejek Naila. Sepertinya, ini salahku, aku kurang baik dalam mendidik kedua anak-anak kita.”
“Tidak, Istriku. Semua salahku di masa lalu. Biar aku mengatur perjodohan dengan Naila, salah satu kolegaku punya anak lelaki yang baru saja menyelesaikan studi magisternya di Inggris,” jelas Gabriel.
Sontak ide yang baru saja terlintas di kepala Gabriel mendapat penolakan dari Queen, “Tidak, aku tidak setuju. Biarkan Naila belajar cara menghargai orang lain, Sayang. Jangan memaksanya lagi, hingga akhirnya membuat Naila jadi semakin keras.”
Mendengar permintaan yang konsisten dari Queen, Gabriel hanya bisa menghela nafas, “Hah, mirip siapa putriku itu, ya?”
“Siapa lagi? Mirip papanya kalau lagi bete saat muda dulu,” jawab Queen yang mengundang senyum di wajah Gabriel.
--
“Aku tidak perduli, Adrian. Pokoknya, kita harus magang di perusahaan yang sama. Kamu tega, kalo aku digoda sama Om-Om di kantor nanti? Ih, ngeri tahu,” seru Hilda sembari menggigit apel dari kulkas.
Hilda mengambil tempat di salah satu kursi yang mengelilingi meja lalu melanjutkan gigitan kedua. Sudah berjam-jam Hilda di sana, enggan pulang dengan alasan kesepian. Ayunda, Mama dari Hilda menemani suaminya ke luar kota untuk menyelesaikan perjanjian kerjasama mewakili perusahaan Neils. Membuat Hilda menjadi pemilik tunggal dari rumah mewah di komplek yang sama dengan rumah keluarga Halim.
“Papa sudah memutuskan agar aku magang di perusahaan Papa, Hild. Apa kamu ingin magang di Halim juga? Mamamu yang cerewet itu pasti sudah menyiapkan posisi untukmu di perusahaan Neils.”
Hilda meletakkan kembali apel di tangannya, “Aku tidak perduli, Adrian. Kita harus magang di kantor yang sama. Jika tidak bisa di kantor Mama, maka aku akan ikut ke Halim.”
Adrian yang sedari tadi didesak Hilda hanya bisa menurut. Percuma berdebat dengan Hilda, jika Naila ada di urutan pertama soal keras kepala, maka setelahnya itu diisi oleh Hilda.
“Apa kalian selalu seperti ini? Apa anak-anak orang kaya seperti kalian selalu berdebat soal perusahaan? Memamerkan kekuasaan dan uang?” Xavier yang menyimak mulai bersuara. Hampir satu jam lamanya Hilda merengek hal yang sama. Bahkan Adrian tidak sempat menemani Xavier mengobrol meski barang sebentar.
Hilda yang mendengar suara berat dari Xavier menoleh. “Jadi, kamu temannya Adrian? Apa kamu ada di golongan mahasiswa kutubuku? Atau ....”
“Tidak! Aku hanya mahasiswa normal,” jawab Xavier cepat.
“Ish, lalu siapa mahasiswa yang tidak normal?”
“Kalian berdua!” balas Xavier enteng sembari melirik Hilda dan Adrian bergantian.
“Sembarangan!” sahut Adrian dan Hilda serentak. Keduanya mendelik ke arah Xavier.
“Wuo ... santai Prince dan Princess. Tatapan kalian itu bisa membuat mahasiswa normal sepertiku terbakar.”
“Dasar aneh. Temanmu aneh semua, Adrian.” Hilda menunjuk Adrian dengan wajah mengerut.
“Jangan mengejek temanku, Hild. Temanmu lebih aneh. Dia menolak berkenalan denganku saat kita tidak sengaja bertemu di mall, lalu mendekatiku dengan agresif setelah tahu aku putra dari Presdir Gabriel.” Adrian membalas. Keduanya kembali terlibat perseteruan dengit yang membuat Xavier memilih mengemut jeruk dengan satu suapan besar.
“Naila ke mana?”
“Kak Naila?” Kening Hilda mengerut saat mendengar Xavier menanyakan gadis arogan itu.
“Kenapa mencariku, Bocah Nakal?”
Xavier segera mengalihkan pandangannya saat mendengar suara dari Naila. Gadis yang sedari tadi ingin dia lihat telah berdiri dekat dengan meja makan tempat ketiganya berada.
Penampilan Naila yang terlihat berbeda membuat Xavier menyoroti seluruh tubuh Naila. Jeans hitam yang membentuk lekuk tubuh, serta blus pendek sebatas pinggang membuat gadis itu terlihat sangat menawan. Belum lagi rambut Naila yang tergerai bebas, dengan ujung rambut yang sedikit curly serta riasan yang terlihat segar.
Xavier bangun dari duduknya saat melihat kejanggalan dari penampilan Naila. Lelaki itu meraih jaketnya yang tersampir di lengan kursi dan membawanya serta menemui Naila.
Tanpa permisi, Xavier menunduk. Kedua lengan jaketnya Xavier simpul dengan kuat di pinggang Naila, membuat Naila berjengit kaget dan mendorong Xavier dengan keras.
“Apa-apaan ini, hah?” Suara Naila melengking tinggi. Hilda dan Adrian yang ada di sana ikut tersiksa dengan jeritan dari Naila.
“Jangan keluar rumah dengan jeans super ketat dan baju pendek begitu. Tubuh bawahmu jadi tontonan gratis bagi laki-laki,” jelas Xavier lalu kembali ke meja makan. Meninggalkan Naila dengan ekspresi melongo tidak percaya.
Bab 48: Suatu Sore di LA“Kenapa gaun lagi, Sayang?” Pria bermanik mata hazel itu tidak henti-hentinya mengeluh setelah melihat outfit sang istri yang lebih mirip model. Padahal, jika mengikuti rencana awal, mereka hanya akan menghabiskan waktu yang indah di MacArthur Park sembari menikmati sore nan romantis bersama.“Memangnya kenapa?” balas sang istri. Dia menata ulang rambut panjangnya yang tergerai hingga punggung, sebelum akhirnya menjempit anak rambut dengan jepitan mungil yang dibelikan sang suami saat masih di negara sendiri.“Naila ... aku tidak suka jika pria-pria bule itu menatap kaki dan lenganmu! Ganti saja dengan jeans dan kemeja lengan panjang!” keluhnya lagi.“Astaga, Xavier?! Apa kamu lupa siapa penyebabnya? Apa kamu lupa betapa panjangnya malam tadi hingga bangun pagi ini, tubuhku terasa remuk? Pinggangku linu, bahkan seluruh tubuh sakit. Aku kesulitan berjalan jika mengenakan je
Dua sosok yang mengira akan bersama dua tahun lalu itu, kini duduk saling berhadapan dalam bisu. Gadis yang tersenyum tipis itu menghentikan kekakuan dengan menyodorkan selembar undangan nuansa emas serta mengeluarkan harum ke arah pemuda di hadapannya. Dia tersenyum Seraya berujar, “Semoga kamu bisa datang, ya?”“Kamu mengundangku?” selidik pemuda itu.Dia terus berusaha menahan segala tanda tanya yang terus berkecamuk saat melihat mantan kekasih yang pernah dipermainkannya itu berbesar hati mengundang dirinya. Padahal, hubungan keduanya berakhir dengan saling membalas satu sama lain.“Yap ... tidak ada alasan untuk tidak mengundangmu, Rey?!” balas gadis itu.“Setelah kamu menghancurkan karierku, Naila?”“Kamu juga menghancurkan hidupku, Rey. Kamu memanfaatkanku, demi menaiki dunia hiburan itu.” Naila terus berbicara dalam nada rendah. Sekalipun dia tidak me
Bab 46: Peringatan!Kekerasan tidak menyelesaikan segalanya. Adegan di dalamnya hanya sebagai alur dari cerita dan bukan sebagai contoh dalam menghadapi sesuatu di dalam kehidupan.--“Heh! Tikus got kemarin sore nantangin kita, Bro!” Pria bertopi bannie berujar dengan nada merendahkan. Sudut bibir kanannya naik, karena merasa jika Net tidak sebanding dengan dirinya apalagi melawan mereka berdua. Ditambah lagi, pemuda yang berdiri dengan wajah melongo di belakang Net terlihat lebih lemah dari Naila, sehingga rasa percaya dirinya naik berkali-kali lipat hanya dalam waktu yang sangat singkat.“Sebentar, sepertinya gadis ini bukan gadis biasa,” lirih pria berperut buncit dengan tatapan penuh selidik. Dia terus memperhatikan kuda-kuda dari Net serta bentuk tubuh dari gadis itu.Merasa yakin dengan firasatnya, dia kembali memperkuat genggamannya pada belati yang sedari tadi dia gunakan u
Bab 45: Dua Penjahat II“Berhentilah menjerit, kamu akan aman bersamaku, Sayang,” bisik seseorang itu. Naila yang sedari tadi menatap paras penolongnya mulai bersikap tenang. Gadis itu berhenti menjerit, dan memilih untuk mengatur napasnya yang berkejaran.“Kemarilah, peluk aku, Nail.” Pemuda itu melepaskan bekapannya di mulut Naila setelah melihat gadisnya, lalu mengulurkan kedua tangannya demi menyambut gadisnya yang masih begitu ketakutan. Naila yang mengenali dan merindukan pemuda itu, segera menghambur, memeluk seerat mungkin pemuda yang semalam hampir tidak bisa dilihatnya lagi.Keduanya berbagi pelukan dalam. Xavier terus berusaha menghentikan Naila yang menangis terisak dengan membelai punggungnya, sedang Naila semakin mempererat pelukannya pada Xavier, membenamkan wajahnya di pelukan pemuda itu demi memastikan sekali lagi jika pria yang menolong dirinya benar-benar kekasihnya sendiri.“Ke mana gadis
Bab 44: Dua PenjahatHampir satu jam lamanya gadis dengan rambut kuncir kuda atau pony tail itu berdiri di jendela kamarnya yang tertutup tirai putih gading. Tatapannya terus menyisir ke seluruh bagian dari taman belakang rumah yang menjadi pemandangan dari kamarnya. Berulang kali, gadis yang diberi nama Naila itu mencebik, sebab jumlah penjaga yang berjaga hari ini jadi dua kali lipat dibanding sebelumnya.Pagi tadi, tidak ada angin ataupun hujan, sebelum berangkat bekerja, Gabriel memberi perintah pada para penjaga untuk meningkatkan keamanan dan tidak memberi Naila izin untuk keluar tanpa keamanan. Itulah sebabnya, gadis berparas cantik itu menjelma menjadi burung dalam sangkar emas. Tidak ada teman yang bisa menemaninya saat ini, hanya kesunyian yang menjadi sahabat baik gadis itu di kamarnya yang feminin.Di tengah keputusasaan itu, Naila mendengar seseorang bersuara keras dari luar sana. Gelak tawanya memecah sunyi hingga menembus
Bab 43: Keputusan“Xavier, berhentilah! Kamu keterlaluan,” seru Naila. Gadis itu terus mengulangi permintaannya terhadap pemuda yang semakin beringgas merengkuh dirinya.Xavier mengendus dalam-dalam aroma harum dari tubuh Naila, lalu dihadiahinya sebuah kecupan di setiap senti pundak gadis itu. Tanpa henti, tanpa rasa puas. Xavier berubah menjadi monster dengan sorot mata yang kelam hingga tidak mampu mendengar jerit putus asa dari gadis yang disukainya.“Xavier, ada apa denganmu? Hentikan! Kamu menyakitiku, Xavier?!” Naila terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke setiap bagian yang bisa dia raih dari tubuh pemuda itu. Namun, semakin beringas pula cumbuan di lehernya yang jenjang serta wajahnya yang lembab.“Aku tidak mau kehilanganmu, Nail,” desah Xavier setelah berhenti mencumbu Naila. Pemuda itu memutuskan untuk merebahkan wajahnya yang menghangat di pundak Naila yang terus bergerak turun dan naik.