Bab 7: Jaga Jarak Aman, Bro!
Me time! Itulah yang dilakukan Naila saat ini. Memutari setiap lantai dari Mall sendirian.
Sebelumnya, Naila terpaksa mengganti blouse dengan potongan yang lebih panjang. Hampir saja Naila juga berganti jeans setelah mematut dirinya di cermin cukup lama, namun jika hal itu dia lakukan, sama saja dengan Naila membenarkan semua ucapan Xavier.
Pandangan Naila menyapu setiap senti Mall dari kota kembang itu. Derap langkahnya begitu percaya diri. Kemampuan finansial serta kebiasaan hidup glamour-lah yang membentuk rasa percaya diri dalam diri Naila.
Naila begitu sibuk memanjakan mata dengan deretan toko-toko barang mewah yang beberapa di antaranya adalah milik kolega gadis itu.
“Tidak! Aku sudah punya yang lebih bagus,” gumam Naila saat melihat salah satu gaun yang terpajang di etalase butik.
Gaun bernuansa biru gelap, dengan motif bunga tulip berlatar senja itu terlihat begitu anggun di tubuh manekin langsing setinggi 170 cm.
Lama Naila berdiri di sana. Dengan satu tangan menyangga dagu, dan tangan lain terlipat di dada.
Pantulan wajahnya di etalase toko tersebut membuat Naila termenung. Dirinya melihat sosok rupawan di sana, begitu mirip dengan seseorang.
“Semakin dewasa, aku semakin mirip dengan Mama Natusha,” monolog Naila dalam hati.
Tidak ingin terjebak dengan kenangan masa lalu terlalu dalam, Naila kembali melanjutkan langkahnya. Melewati satu per satu butik, sembari berulang kali bergumam pada diri sendiri,
“Sudah punya!”
“Mama sudah membelikannya.”
“Itu hadiah dari Tante Ayunda.”
“Hm, menarik! Hanya saja aku sudah punya banyak clutch.”
Begitu seterusnya, Naila tidak pernah menemukan satu barang pun yang menarik hatinya. Hingga langkah Naila terhenti pada salah satu toko yang menjual aksesoris.
Dream catcher yang tergantung di etalase display toko berhasil menarik perhatian Naila.
Benda berbentuk lingkaran dengan rumbai-rumbai yang menjuntai panjang, di setiap penghujung rumbai dipasangi bulu angsa. Di dominasi warna ungu dengan gliter telah membuat Naila jatuh cinta.
Buru-buru Naila masuk ke dalam toko. Di antara banyaknya aksesoris di sana, tujuan Naila hanya dream catcher yang tergantung di sana.
“Mbak, aku mau dream catchernya!” tegas Naila pada salah satu pegawai toko.
Pegawai yang didekati oleh Naila ikut melirik arah telunjuk pelanggannya yang satu ini. Padahal, dia sendiri sedang sibuk melayani pelanggan yang baru saja memborong banyak aksesoris wanita.
Pegawai itu tersenyum dengan penuh penyesalan, “Maaf, Mbak. Itu sudah dibeli orang.”
“Sudah dibeli? Tapi masih tergantung di etalase toko. Jangan berbohong jika Anda tidak ingin menjualnya dan hanya dipasang sebagai pajangan.” Naila berang. Ucapan dari pegawai toko itu tidak sesuai dengan apa yang terjadi saat ini.
Logikanya saja sudah berbeda. Bagaimana bisa barang yang sudah dibeli masih dipajang seperti ini?
“Benar, Mbak. Saya sendiri yang menerima pelanggannya tadi.”
“Aku tidak tanya siapa yang terima, Mbak! Kalo memang sudah dibeli, kenapa masih ada di etalase? Ini loh, yang aku tanyakan dari tadi,” protes Naila.
Pegawai tersebut sedikit menunduk, dirinya merasa malu telah lalai dalam menjalankan tugas hingga kini mengundang masalah dan menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung toko.
“Saya lupa memindahkannya, Mbak. Pembelinya tadi buru-buru membayar dan segera pergi. Katanya, dia akan kembali setelah urusannya selesai dan mengambil dream catchernya,” jelas pegawai toko masih dengan wajah yang menunduk.
Naila mencebik, kesal sekali rasanya tidak berhasil mendapatkan dream catcher yang dia sukai setelah sedari tadi berkeliling.
Seharian, mood Naila berantakan. Tidak cukup karena tingkah laku Xavier yang terlalu berlebihan, kini untuk mendapatkan dream catcher saja Naila kesusahan.
“Maaf, Mbak. Hm, bagaimana jika saya membawa dream catcher yang lain?” tawar si pegawai. Berharap jika Naila setuju dengan idenya dan berhenti mengomel.
“Tidak, Mbak! Aku tidak suka barang pengganti,” sahut Naila ketus.
Naila segera berbalik dengan langkahnya yang tetap arogan. Tanpa sengaja, Naila menubruk seseorang yang telah berdiri di belakangnya sedari tadi.
Hampir saja Naila terjatuh, jika lelaki dengan tubuh kekar itu tidak tangkas menangkap Naila. Kedua tangan kekarnya seirama membantu Naila berdiri, lalu meminta maaf pada gadis cantik tersebut.
“Maaf, Mbak?!”
“Oke!”
Naila seakan enggan membuang waktu lebih lama dengan lelaki yang baru saja dia tabrak. Sejatinya, Nailalah yang harus meminta maaf, bukan sebaliknya.
Langkah Naila membawanya keluar dari toko. Diiringi tatapan heran dari pegawai dan beberapa pengunjung, serta langkah cepat dari lelaki berkemeja pekat.
“Kamu, Naila?” serunya keras.
Naila berhenti, lalu mendengus sebal. Entah siapa yang telah mengenali dirinya dan menyebut namanya di tempat ramai ini. Merusak me time berharganya yang hanya bisa dia lakukan sesekali.
“Kamu lupa padaku?”
Berulang kali Naila mengumpat di dalam hati. Giginya gemeretak kesal. Ingin sekali menghardik lelaki yang telah membuat moodnya semakin hancur berantakan.
“Aku, Adam!” seru sang lelaki tidak mau berhenti.
Sejenak, alis Naila hampir bertemu. Gadis itu berpikir keras setelah mendengar nama Adam disebutkan.
Meski enggan, Naila memutuskan untuk berbalik. Di belakang punggungnya, Adam sudah berdiri dengan senyum yang terpahat di parasnya yang bak lukisan.
Kemeja pekat yang terlihat kontras dengan kulit, jeans coklat tua, serta pantofel yang masih mengkilap membuat Adam terlihat sangat memesona. Belum lagi, gaya rambut serta postur tubuh Adam, memperlihatkan jika lelaki ini tidak berasal dari kalangan biasa.
“Adam?” balas Naila. Gadis itu masih menjaga jarak. Bahkan, tidak terkesima dengan paras rupawan Adam.
“Iya! Adam, teman masa TK-mu dulu. Kamu lupa? Kita bertengkar saat TK gara-gara aku mengataimu tidak punya Mama,” ujar Adam.
Pupil Naila membesar saat Adam menyebut kata Mama. Ingatan Naila seakan terbuka pada masa lalu.
Hari itu, saat Naila kecil kehilangan kesabaran dan memukuli teman sekelasnya sendiri, masih terekam di ingatannya.
“Hah, jadi kamu, Adam si mulut jahat.” Naila mencebik, sudut bibirnya naik, menandakan jika Naila memandang remeh pada Adam.
Adam yang melihat respons dari Naila hanya bisa tersenyum, “Aku tidak bermaksud membela diriku, Naila. Namun, saat itu aku masih terlalu kecil untuk memahami soal perceraian dan ibu sambung. Bukankah seharusnya kamu sudah memaafkanku?”
Adam berusaha mendekat ke arah Naila. Namun Naila segera mengambil langkah mundur.
“Jangan dekat-dekat, aku masih alergi dengan anak manja itu!”
“Anak manja? Maksudmu, aku?” Adam menunjuk dadanya sendiri.
“Siapa lagi? Apa mungkin aku berbicara dengan etalase toko ini?” sahut Naila sembari melirik etalase toko di sebelahnya.
“Kamu masih sama kerasnya, sangat mudah mengenalimu meski 20 tahun sudah berlalu.” Adam lagi-lagi mengambil langkah mendekat. Membuat Naila terus terdesak untuk mundur.
“Cih! Siapa juga yang tidak mengenaliku? Wajahku tercetak di banyak media, Adam. Jangan berpura-pura manis. Maaf, aku terlalu sibuk untuk meladeni dirimu.”
Naila lekas berbalik. Langkah Naila begitu cepat demi menghindari Adam. Namun lelaki itu begitu sigap mempersempit jarak antara dirinya dengan Naila.
“Kamu menginginkan dream catcher itu?” tahan Adam. Dia sudah berdiri di depan Naila, demi menahan langkah Naila.
“Tidak sopan menguping pembicaraan orang lain,” sahut Naila lagi.
Tubuh Adam sedikit condong ke arah Naila. Lelaki itu berbisik dengan gaya sensual. “Aku tidak menguping. Tetapi suaramu yang itu membuat siapa pun bisa mendengar jika kamu menginginkan dream catcher itu, Naila.”
“Sekarang sudah tidak! Minggir atau aku teriak, Adam. Kamu ingin sekuriti datang dan membuat kegaduhan?” ancam Naila. Gadis itu lagi-lagi tersulut emosi.
“Naila ....”
“Maaf, Brother! Cukup!” Suara sanggahan menghentikan aksi dari Adam.
Naila dan Adam serentak menoleh. Jika Adam merasa sebal dengan sanggahan tersebut, maka Naila sudah bersiap-siap untuk menyumpahi siapa pun yang ingin kembali mengganggu dirinya.
“Xavier?!” Naila menutup mulutnya yang membulat saat melihat pemuda yang menyebalkan lainnya sudah berdiri di belakang Adam.
Lengkap dengan tas selempang khas anak SMA, lalu jaket yang tersampir di tali tas dan kemeja yang tidak terkancing lengkap.
“Jaga jarak aman dengan pacarku, Bro!” Xavier berucap dengan tatapan marah pada Adam.
Bab 48: Suatu Sore di LA“Kenapa gaun lagi, Sayang?” Pria bermanik mata hazel itu tidak henti-hentinya mengeluh setelah melihat outfit sang istri yang lebih mirip model. Padahal, jika mengikuti rencana awal, mereka hanya akan menghabiskan waktu yang indah di MacArthur Park sembari menikmati sore nan romantis bersama.“Memangnya kenapa?” balas sang istri. Dia menata ulang rambut panjangnya yang tergerai hingga punggung, sebelum akhirnya menjempit anak rambut dengan jepitan mungil yang dibelikan sang suami saat masih di negara sendiri.“Naila ... aku tidak suka jika pria-pria bule itu menatap kaki dan lenganmu! Ganti saja dengan jeans dan kemeja lengan panjang!” keluhnya lagi.“Astaga, Xavier?! Apa kamu lupa siapa penyebabnya? Apa kamu lupa betapa panjangnya malam tadi hingga bangun pagi ini, tubuhku terasa remuk? Pinggangku linu, bahkan seluruh tubuh sakit. Aku kesulitan berjalan jika mengenakan je
Dua sosok yang mengira akan bersama dua tahun lalu itu, kini duduk saling berhadapan dalam bisu. Gadis yang tersenyum tipis itu menghentikan kekakuan dengan menyodorkan selembar undangan nuansa emas serta mengeluarkan harum ke arah pemuda di hadapannya. Dia tersenyum Seraya berujar, “Semoga kamu bisa datang, ya?”“Kamu mengundangku?” selidik pemuda itu.Dia terus berusaha menahan segala tanda tanya yang terus berkecamuk saat melihat mantan kekasih yang pernah dipermainkannya itu berbesar hati mengundang dirinya. Padahal, hubungan keduanya berakhir dengan saling membalas satu sama lain.“Yap ... tidak ada alasan untuk tidak mengundangmu, Rey?!” balas gadis itu.“Setelah kamu menghancurkan karierku, Naila?”“Kamu juga menghancurkan hidupku, Rey. Kamu memanfaatkanku, demi menaiki dunia hiburan itu.” Naila terus berbicara dalam nada rendah. Sekalipun dia tidak me
Bab 46: Peringatan!Kekerasan tidak menyelesaikan segalanya. Adegan di dalamnya hanya sebagai alur dari cerita dan bukan sebagai contoh dalam menghadapi sesuatu di dalam kehidupan.--“Heh! Tikus got kemarin sore nantangin kita, Bro!” Pria bertopi bannie berujar dengan nada merendahkan. Sudut bibir kanannya naik, karena merasa jika Net tidak sebanding dengan dirinya apalagi melawan mereka berdua. Ditambah lagi, pemuda yang berdiri dengan wajah melongo di belakang Net terlihat lebih lemah dari Naila, sehingga rasa percaya dirinya naik berkali-kali lipat hanya dalam waktu yang sangat singkat.“Sebentar, sepertinya gadis ini bukan gadis biasa,” lirih pria berperut buncit dengan tatapan penuh selidik. Dia terus memperhatikan kuda-kuda dari Net serta bentuk tubuh dari gadis itu.Merasa yakin dengan firasatnya, dia kembali memperkuat genggamannya pada belati yang sedari tadi dia gunakan u
Bab 45: Dua Penjahat II“Berhentilah menjerit, kamu akan aman bersamaku, Sayang,” bisik seseorang itu. Naila yang sedari tadi menatap paras penolongnya mulai bersikap tenang. Gadis itu berhenti menjerit, dan memilih untuk mengatur napasnya yang berkejaran.“Kemarilah, peluk aku, Nail.” Pemuda itu melepaskan bekapannya di mulut Naila setelah melihat gadisnya, lalu mengulurkan kedua tangannya demi menyambut gadisnya yang masih begitu ketakutan. Naila yang mengenali dan merindukan pemuda itu, segera menghambur, memeluk seerat mungkin pemuda yang semalam hampir tidak bisa dilihatnya lagi.Keduanya berbagi pelukan dalam. Xavier terus berusaha menghentikan Naila yang menangis terisak dengan membelai punggungnya, sedang Naila semakin mempererat pelukannya pada Xavier, membenamkan wajahnya di pelukan pemuda itu demi memastikan sekali lagi jika pria yang menolong dirinya benar-benar kekasihnya sendiri.“Ke mana gadis
Bab 44: Dua PenjahatHampir satu jam lamanya gadis dengan rambut kuncir kuda atau pony tail itu berdiri di jendela kamarnya yang tertutup tirai putih gading. Tatapannya terus menyisir ke seluruh bagian dari taman belakang rumah yang menjadi pemandangan dari kamarnya. Berulang kali, gadis yang diberi nama Naila itu mencebik, sebab jumlah penjaga yang berjaga hari ini jadi dua kali lipat dibanding sebelumnya.Pagi tadi, tidak ada angin ataupun hujan, sebelum berangkat bekerja, Gabriel memberi perintah pada para penjaga untuk meningkatkan keamanan dan tidak memberi Naila izin untuk keluar tanpa keamanan. Itulah sebabnya, gadis berparas cantik itu menjelma menjadi burung dalam sangkar emas. Tidak ada teman yang bisa menemaninya saat ini, hanya kesunyian yang menjadi sahabat baik gadis itu di kamarnya yang feminin.Di tengah keputusasaan itu, Naila mendengar seseorang bersuara keras dari luar sana. Gelak tawanya memecah sunyi hingga menembus
Bab 43: Keputusan“Xavier, berhentilah! Kamu keterlaluan,” seru Naila. Gadis itu terus mengulangi permintaannya terhadap pemuda yang semakin beringgas merengkuh dirinya.Xavier mengendus dalam-dalam aroma harum dari tubuh Naila, lalu dihadiahinya sebuah kecupan di setiap senti pundak gadis itu. Tanpa henti, tanpa rasa puas. Xavier berubah menjadi monster dengan sorot mata yang kelam hingga tidak mampu mendengar jerit putus asa dari gadis yang disukainya.“Xavier, ada apa denganmu? Hentikan! Kamu menyakitiku, Xavier?!” Naila terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke setiap bagian yang bisa dia raih dari tubuh pemuda itu. Namun, semakin beringas pula cumbuan di lehernya yang jenjang serta wajahnya yang lembab.“Aku tidak mau kehilanganmu, Nail,” desah Xavier setelah berhenti mencumbu Naila. Pemuda itu memutuskan untuk merebahkan wajahnya yang menghangat di pundak Naila yang terus bergerak turun dan naik.