Gaby menginjak pedal rem sedalam mungkin begitu mobil memasuki area lobi hotel Xavier.
Disampingnya, Vania mencengkram tali seatbelt erat saat mobil berhenti tiba-tiba dengan suara decit yang bergema ke seantero lobi hingga memancing perhatian orang-orang yang ada disekitarnya."Hei, gila! Kamu mau mati muda ya," hardik Vania panik. "Emangnya kita mau kemana? Buru-buru banget.""Hotel Xavier." balas Gaby cuek. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menarik tuas pintu dan turun dari mobil."Lah? Ngapain kesana?" Vania mengikuti langkah Gaby yang telah turun dari mobil dan memberikan kuncinya pada petugas valet.Gaby terkekeh pelan. "Tentu saja melakukan apa yang Paman Samuel inginkan?" balasnya bersama senyum misterius."Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" Selidik Vania curiga. "Kamu mau menemui calon tunangan mu?" tanyanya ragu."Hmm … kurang lebih seperti itu." Kilah Gaby, masih berbalut sikap misterius. "Lalu, dimana Fey?""Gaby, Vania!"Teriakan dari kejauhan membuat Vania batal untuk menjawab pertanyaan Gaby."Tuh," tunjuknya pada Fey yang keluar dari balik Bugatti merah menyala."Wow," desis Gaby takjub. "Merekah sekali."Vania terkekeh pelan. "Apa kamu lupa dengan selera sahabatmu yang satu itu?""Tidak. Aku tidak pernah lupa tapi juga tak menyangka bakal secerah itu," canda Gaby.Keduanya tertawa kompak hingga mengundang rasa penasaran Fey."Kalian kenapa?"Vania mengibaskan tangannya sedangkan Gaby mengandeng lengan Fey dan menyeretnya untuk melewati pintu putar, menuju lobi utama."Kita mau makan siang disini? Tumben banget," tanya Fey antusias.Gaby dan Vania saling bertukar pandangan."Ini dalam rangka spesial case," terang Vania."Spesial case? Kenapa?""Nanti aja aku ceritakan. Yang paling penting, sekarang kita masuk restoran dan menemui seseorang setelah itu kita bisa makan sampai puas," pungkas Gaby bersemangat."Ingat, Gaby. Kamu kesini buat mutusin perjodohan. Bukan buat keributan," cetus Vania mengingatkan.Ia sedikit cemas dengan niat terselubung Gaby. Tadinya, Paman Samuel menyarankan Gaby untuk menemui langsung calon tunangannya demi menjaga tali silahturahmi tapi, melihat ekspresi Gaby saat ini—Vania yakin, wanita itu akan membuat keributan."Perjodohan? Apa Papamu menulis surat wasiat kalau menjodohkan mu dengan anak temannya?" Tebak Fey."Ah, kamu pintar," seru Gaby sambil bertepuk tangan. "Bagaimana kamu tahu?""Aku sudah terlalu sering mendengar alur cerita seperti itu di drama yang di tonton Mama setiap hari.""Jadi, apa sekarang kita mau melihat calon tunangan mu?" Imbuh Fey penasaran.Gaby mengoyangkan telunjuknya. "Jauh dari itu. Kita kesini untuk membuat si Xavier ilfill dan memutuskan perjodohan dengan sendirinya." Tukasnya."Hah? Bukannya kamu kesini mau nolak baik-baik?" Protes Vania. "Kok skenarionya jadi berubah?"Gaby menarik tangan Vania dan Fey untuk duduk di sofa area tunggu."Dengar baik-baik," ucapnya serius. Membuat kerutan di wajah para sahabatnya menegang. "Paman Sam mengatakan, aku harus mengambil alih perusahaan Papa bila tidak ingin menikah dengan pria bernama Xavier itu."Vania mengangguk membenarkan sedangkan Fey bergumam panjang, seolah mulai bisa membaca alurnya."Karena aku tidak menginginkan keduanya. Kenapa aku tidak membuat si Xavier yang menolakku?" Tandas Gaby.Vania bertepuk tangan sambil menggelengkan kepalanya kagum. "Luar biasa, Gaby. Aku bahkan tidak pernah memikirkan ide gila ini.""Emang nggak diragukan lagi IQ mantan dokter," seru Fey mengimbangi.Gaby terkekeh bangga. "Tidak butuh IQ tinggi hanya untuk mengagalkan acara perjodohan konyol ini," ujarnya dengan senyum culas. "Ayo, kita harus segera menemui Xavier Jr.""Tapi, Gaby. Gimana kalau dia setampan yang digambarkan Paman Samuel?" Tahan Vania untuk menggoyahkan tekad sahabatnya.Gaby diam sesaat untuk menerawang kembali keputusannya. Tak lama ia mengibaskan tangannya tak perduli. "Aku tidak yakin dia tampan. Standar Papa dan Paman Samuel tak setinggi itu.""Gaby, kalau ternyata si Xavier tampan. Buat ku aja ya?" canda Fey."Wokeh," angguk Gaby setuju."Yey …" Sorak Fey senang."Gila," umpat Vania melihat tingkah aneh kedua sahabatnya."Itu restorannya," tunjuk Fey begitu melihat pintu masuk."Tunggu," tahan Vania.Gaby menghentikan langkahnya mendadak hingga hampir terjungkal ke depan. "Kenapa lagi sih, Vania," keluhnya."Jangan-jangan kamu mau laporan sama Paman Samuel ya?" tuduh Gaby curiga."Bukan itu," sanggah Vania. "Aku cuma mau nanya. Ini siapa yang bayar?"Fey menepuk jidatnya. "Vania, untuk menjadi klien mu, aku harus merogoh ratusan juta dan sekarang kamu masih mengeluh karena harga makanan?" Sergahnya tak percaya."Tapi kan, secangkir teh di hotel ini harganya ratusan ribu," rengek Vania.Gaby menepuk pundak Vania. "Tenang, Fey baru saja menyebutkan ratusan juta. Berarti menambahkan beberapa juta tidak akan membuatnya bangkrut."Vania menyambut usulan Gaby dengan penuh semangat. Keduanya saling berangkulan sambil bersiul nyaring. Meninggalkan Fey yang masih mencerna maksud dari kalimat Gaby."Apa? Hei, Gaby!" teriak Vani panik dan buru-buru mengikuti langkah Gaby yang mendekati meja di ujung restoran.Gaby dan kedua sahabatnya menuju meja yang di huni tiga pria. Salah satunya berambut pirang sedangkan dua pria lainnya duduk menghadap jendela hingga Gaby tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas."Selamat siang, Tuan Xavier," sapa Gaby."Ah, kamu," tunjuk pria pirang ke arah Fey.Ketiga wanita saling bertatapan bingung."Kamu kenal?" tanya Vania tapi Fey menggeleng cepat sebagai jawaban.Tak lama sosok dua pria yang duduk membelakangi, bangkit dari kursinya dan berbalik untuk menyambut para tamu."Gaby, apa yang kamu lakukan disini?"Tubuh Gaby mendadak kaku begitu melihat pemilik suara yang mati-matian berusaha dihindarinya.'Mike!'*****Alex mengedarkan pandangannya ke sekeliling Bar. Mencari keberadaan kedua temannya yang sejak dua jam llau terus menerornya untuk segera datang."Kenapa, Sob? Ada masalah?" Sapanya sambil menepuk pundak yang menekuk wajahnya.Alex sudah bisa menebak apa yang terjadi, selama ini ia dan Ben telah menjadi saksi pasang surut hubungan Mike dengan Erika dan betapa pria itu tak pernah bisa melupakan sosok cinta pertamanya."Kamu udah makan malam, Alex?" tanya Ben yang datang dengan sepiring besar lasagna."Belum," sahut Alex lalu melirik Mike yang masih terpekur menatap lantai. "Bagaimana dengannya?"Ben mendesah pelan sambil menunjuk puluhan kaleng minuman yang berserakan di meja hingga lantai. Ia meletakkan piring di atas meja dan membuka kantong sampah yang di bawanya dari dapur, ia mengumpulkan semua kaleng kosong ke dalamnya."Apa yang terjadi? Kamu bertengkar dengan Gaby?" tanya Alex penasaran. Ia mengambil tempat disamping Mike lalu menyendok potongan lasagna ke dalam mulutnya."Aku
"Terima kasih sudah mengantar ku ke sini." Alex mengusap pipi kanan kekasihnya. "Tidak ada kata terima kasih atau maaf dalam sebuah hubungan.""Ini kewajiban, Sayang. Aku tidak akan bisa tidur malam ini kalau membiarkan mu pergi sendirian."Fey berkaca-kaca. Ia menarik Alex lebih dekat dan memeluknya erat. "Alex, izinkan aku mengatakannya untuk terakhir kali,""Terimakasih karena kamu mau bersabar menghadapi ku dan maaf karena membuat mu menunggu lama."Alex mengeratkan pelukan dan membelai punggung Fey penuh kasih sayang."Ehm, ehm ...""Masih lama? Di sini dingin."Alex dan Fey melepaskan pelukan. Keduanya tersenyum canggung pada Gaby dan Vania yang menatap keduanya penuh minat."Apa yang kalian lakukan di luar?" Kata Fey berusaha mengalihkan perhatian kedua wanita itu."Oh, ini." Gaby melambaikan kantong belanjaan di tangannya. "Late snack.""Hah? Gaby, bukannya kamu diet?""Diet apaan! Dia menguras seluruh isi kulkas ku," debat Vania. "Lagian buat apa jomblo diet.""Sejak kapan ka
"Siapa?" Tanya Fey begitu Mama Alex keluar dari mobil.Setelah pertemuan mereka dengan wanita di mall tadi. Alex dan Ibunya mendadak bisu dan menyibukkan diri mereka dengan pikiran masing-masing.Alex menatap Fey dalam. "Hmm, mantan istriku, Fey."Fey menganggukkan kepalanya, mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Sebelumnya dia sudah membaca banyak rumor di media sosial tentang sosok Alex, termasuk tentang mantan istrinya. "Alex, boleh aku tahu penyebab kalian berpisah?" Fey menatap mata Alex. Mencari kejujuran disana."Melissa memilih pria lain," ucap Alex santai. "Tapi itu tidak sepenuhnya salah Melissa.""Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan hampir tidak punya waktu bersamanya." Lanjutnya.Fey mengengam tangan Alex. "Kamu menyesal?""Di tahun pertama perpisahan kami, aku sangat menyesal. Lambat laun aku bisa mengatasinya dan setelah bertemu dengan mu, aku yakin tuhan punya rencana lain untuk ku."Fey terdiam. Ia bisa merasakan kejujuran dibalik suara Alex. Pria itu tidak
Gaby mengerjapkan matanya bingung. Begitu membuka pintu rumahnya, ia langsung disambut buket bunga mawar merah yang sangat besar, nyaris memenuhi lebar pintu masuk rumahnya."Apaan nih?"Wajah Harry muncul dari balik buket. "Buat kamu," ucapnya sambil menyerahkan buket itu ke dalam dekapan Gaby. Mengabaikan wajah bingung sang wanita, Harry melenggang masuk ke dalam melewati pintu apartemen."Semalam kamu menginap disini?"Gaby menutup pintu dan mengikuti langkah Harry yang telah duduk di sofa. "Ya." Ia menuju pantry dan kembali dengan membawa dua kaleng soda."Ngapain kamu ke sini?" tanyanya langsung sambil menyerahkan salah satu kaleng pada Harry.Tiba-tiba tubuh Gaby limbung, jatuh terduduk dalam pangkuan Harry karena pria itu menarik tangannya."Aku kangen banget sama kamu, Gaby," bisik Harry. Hidungnya masuk ke balik geraian rambut Gaby, menghirup aroma yang ia rindukan.Bibir Harry menyentuh lipatan di leher Gaby. Mengigit kecil untuk meninggalkan bercak merah yang menunjukkan t
"Aaa ... Jauhkan itu dari ku, Dilan!" Teriak Fey histeris begitu melihat Dilan—keponakan Alex berlari kearahnya sambil mengayunkan cacing tanah—gemuk dan panjang. Orang-orang yang tengah sibuk memetik stroberi, berhenti untuk melihat keributan apa yang sedang terjadi. Mereka tersenyum geli bahkan beberapa sampai tertawa keras melihat kelakuan Fey dan Dilan."Ini lucu dan menggemaskan, loh," ujar Dilan sambil mengayunkan cacing ditangannya dan mengejar Fey yang berlari ketakutan."Nggak mau, aku jijik. Alex ..." Rengek Fey. Ia berlari kearah Alex dan segera memeluk lengan kekar itu erat.Alex menggelengkan kepala melihat tingkah dua bocah disampingnya. Fey dan Dilan di tugaskan memetik stroberi untuk dikumpulkan ke dalam keranjang besar tapi, sedari tadi keduanya hanya mengisi perut masing-masing dan berlarian kesana-kemari."Kalian berdua, berhenti bercanda," sela Alex untuk memisahkan keduanya."Ayolah, ini hanya cacing," ejek Dilan. Dia semakin bersemangat melihat wajah pucat Fey s
"Sintia, apa jadwal ku untuk besok?" tanya Alex pada sekretarisnya yang tengah sibuk menyiapkan nota rapat.Sang sekretaris mengalihkan perhatiannya dari laptop untuk menatap layar tablet. "Ada dua jadwal rapat.""Jam sepuluh dengan pihak manajemen dan jam dua siang anda ada rapat perdana penentuan desain bunga untuk dekorasi hotel baru.""Hmm." Alex mengetuk jari telunjuk nya berulangkali di permukaan meja. "Untuk rapat jam dua, kamu saja yang wakilkan dan rapat dengan pihak manajemen pindahkan ke hari Senin," putusnya setelah menimbang-nimbang.Sang sekretaris mengangguk mengerti lalu mengetikkan beberapa perubahan di jadwal yang telah dia susun. "Ada lagi, Pak?""Tidak. Besok saya cuti, kalau ada hal yang mendesak kamu bisa menghubungi ponsel pribadi saja."Sintia kembali mengangguk. "Baik Pak. Nota rapat sudah saya kirimkan ke email anda.""Ok." Alex melirik arloji di tangannya. "Jadwal hari ini selesai. Kamu sudah bisa pulang." Sintia segera merapikan barangnya dan buru-buru kelu