Share

Chapter 5 - Perjodohan

Mike memasang raut serius di wajahnya, tangannya sibuk membolak balik laporan kerja yang dikumpulkan para mahasiswa.

Perhatian Mike teralihkan kala terdengar suara ketukan di depan pintu ruang kerja, membuatnya mengangkat kepala dan segera bangkit untuk menyambut orang yang muncul dari balik pintu kaca.

"Paman Samuel, silahkan masuk," sambut Mike sembari menggeser pintu.

"Kamu sibuk?" Samuel menepuk pelan pundak dari salah satu anak didiknya.

Mike menggeleng pelan. "Tidak. Hanya sedang memeriksa laporan mahasiswa."

"Aku harap kehadiran ku tidak menganggu pekerjaan seorang Professor," ungkap Samuel setengah bercanda.

Mike terkekeh pelan. "Rektor akan langsung mengirim surat SP, bila tahu aku merasa keberatan akan kehadiran almamater terbaik dari kampus ini," balasnya.

Samuel mengibaskan tangannya sambil tertawa. "Selalu menyenangkan bicara dengan mu, Mike."

"Ayo, Paman." Mike mengajak Samuel duduk di satu-satunya sofa panjang yang ada di ruang kerjanya. "Paman ingin kopi atau teh?"

"Cukup berikan aku apapun yang ada di dalam lemari kecil mu itu." Tunjuk Samuel ke arah mini freeze di sudut ruangan. "Belakangan ini, udara di luar sangat menyengat."

Mike mengangguk mengerti sambil mengeluarkan dua botol orange jus dingin dan meletakkannya di atas meja.

"Apa paman menjadi pembicara di seminar profesi?"

Samuel menyesap jus, mengusir dahaga dari efek suhu ibukota yang semakin meninggi setiap harinya.

"Salah satunya," sahutnya. "Tapi tujuan utama ku kesini untuk menemuimu."

"Aku?" Mike menatap pengacara kawakan itu dengan tatapan bingung. "Apakah ada masalah serius?"

"Ya. Sangat serius."

Samuel mengeluarkan map cokelat dari balik tas tangannya dan meletakkannya dihadapan lawan bicaranya. "Ini adalah surat yang di tulis oleh Deuremham sehari sebelum kematiannya."

Mike membuka map itu dan menarik keluar kertas di dalamnya.

"Saat ini DH Grup tengah mengalami masa kritis setelah ditinggalkan oleh sosok pemimpin. Beberapa orang yang selama ini berperan sebagai penjilat mulai melebarkan sayap untuk mendapatkan kesempatan duduk di kursi pimpinan." Tutur Samuel.

"Deuremham sangat ingin putrinya kembali dan mengambil alih jabatan di perusahaan tapi dia cukup sadar akan watak Gaby, wanita itu bukanlah putri penurut."

Mike mengangguk kecil, setuju akan paparan sang pengacara.

"Karena itu, Deuremham secara pribadi ingin memintamu untuk mengantikan kedudukannya di perusahaan sampai Gaby siap," lanjut Samuel, mencoba untuk menjelaskan permintaan kliennya secara ringkas.

Mike terdiam lama. Sulit baginya untuk memberi keputusan.

"Mike, ini satu-satunya cara untuk mengikat Gaby. Dengan begini, akan sulit baginya untuk kembali meninggalkan negara ini lagi." Imbuh Samuel untuk memupuskan keraguan di hati Professor muda itu.

"Tapi Paman, ini akan menyebabkan konflik internal di dalam perusahaan bahkan di dalam rumah," ujar Mike ragu.

Samuel mengangguk paham. Ini ketiga kalinya, Deuremham meminta menantunya untuk terlibat secara langsung di dalam perusahaan yang dibangunnya dengan jerih payah.

"Mike, ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan DH Grup sekaligus memaksa Gaby untuk tetap tinggal."

"Apa Paman yakin Gaby akan setuju?"

Sudut bibir Samuel berkedut senang kala Mike mengigit umpannya. "Kita akan buat dia setuju. Bagaimanapun caranya," desisnya misterius.

***

"Gaby?" Vania yang baru saja keluar dari ruang rapat, berlari kecil begitu melihat wajah sahabatnya. "Ngapain kamu disini?"

"Biasa'lah, pak tua itu selalu saja menyuruh ku kesana-kemari seenak udelnya," gerutu Gaby. "Kamu sendiri?"

"Oh, aku baru selesai rapat dan sekarang mau konsultasi sama Paman Samuel."

"Barengan aja. Aku bosan mendengar ceramah pak tua," ajak Gaby.

Vania mengangguk dengan penuh semangat, mengandeng lengan Gaby dan menyeretnya untuk mempercepat langkah.

"Siang, Paman." Sapa Vania bersemangat begitu melangkahkan kakinya ke dalam ruang kerja pengacara senior yang telah memiliki lima cabang kantor hukum.

"Siang, Vania. Kamu datang bersama Gaby?" Samuel beranjak dari meja kerjanya untuk menyambut dua wanita muda yang sudah dianggapnya sebagai keponakan.

Gaby melengos malas melihat tingkah Vania yang tetap saja tak bisa menutupi rasa kagumnya pada pengacara tua itu.

"Kalian sudah makan siang?" Samuel tergelitik oleh raut wajah kusut dari putri semata wayang sahabatnya.

"Aku sengaja datang dengan perut kosong karena yakin bisa mengigit seseorang di kantor ini," sahut Gaby bernada sarkas.

Samuel terkekeh maklum. Ia sudah terbiasa dengan sikap Gaby yang jutek. "Duduklah."

"Tidak usah bertele-tele, Paman. Langsung saja," sergah Gaby cepat.

Melihat gelagat sahabatnya yang tak terkontrol, Vania menarik paksa Gaby untuk duduk di sampingnya.

"Gaby, Paman memanggilmu kemari untuk memberitahukan informasi penting," kata Samuel memulai percakapan.

"Baiklah, karena kamu tampaknya tak sabar. Paman akan langsung ke inti masalah," tutur Samuel memulai penjelasannya. "Sebulan sebelum meninggal, Papamu dan rekan bisnisnya mengatur perjodohan antara kamu dengan—"

“Apa! Perjodohan?” teriak Gaby nyaring begitu mendengar kata tabu keluar dari bibir sang pengacara.

"Ya. Papamu dan—"

"Paman Samuel," potong Gaby cepat. "Aku tidak ingin mendengar intro, bisakah kita langsung lompat pada kesimpulan."

Vania langsung panik dengan sikap frontal Gaby. "Hei, tenangkan dirimu," bisiknya demi mencegah Gaby bersikap semakin tak terkendali.

"Intinya perjodohan mu telah ditetapkan. Sekarang kita hanya perlu mengatur tanggal pertunangan," jelas Samuel lugas. Ia tetap bersikap tenang meski mata bulat Gaby terbelalak dan siap untuk menelannya.

"Tunggu dulu, Paman. Aku menolak tegas."

Samuel mendesah pelan. "Gaby, Papamu akan sangat kecewa bila tahu anak kandungnya tidak mau memenuhi permintaan terakhirnya sebelum meninggal."

Gaby terdiam. 'Mereka selalu tahu cara untuk menyerang titik lemah ku!' batinnya geram.

"Tapi aku tidak mungkin menikah dengan pria antah berantah yang tak jelas asal usulnya," runut Gaby, masih tetap mencari celah.

"Tidak, Nak. Papamu sangat selektif mencari pasangan untukmu. Beliau memilih pria tampan dan mapan."

Gaby menyugar rambutnya, frustasi. "Paman Samuel, aku tidak ingin menikah," rengeknya.

"Lagipula, sekarang ini aku sedang dekat dengan seseorang," imbuhnya beralasan.

"Apa?" Samuel menarik punggungnya untuk duduk dengan tegak. "Kenapa kamu tidak pernah memberitahu kami?"

Ia melirik Vania, mencari pembenaran namun wanita itu mengelengkan kepalanya cepat.

"Kenapa aku harus mempublikasikan pada semua orang?" Gaby mengendikkan bahunya sambil tertawa datar.

Samuel berdeham dalam. "Paling tidak, kamu harus memberi tahu Papamu. Selama ini dia cemas karena kamu terlalu menutup diri dari pria lain."

Gaby mengibaskan tangannya malas. "Berhenti membahas masalah ini karena ada yang lebih penting dari itu,"

"tolong lakukan sesuatu untuk mengagalkan pertunangan ini," mohonnya putus asa.

Samuel mengangguk teratur. "Ada satu cara untuk membatalkan pertunangan mu."

Senyum di bibir Gaby seketika merekah. "Apa, katakan Paman? Aku akan melakukan apapun selama pertunangan ini batal."

"Perusahaan," ucap Samuel tegas. "Kamu harus bekerja di perusahaan untuk membantu Mike."

"Apa-apaan ini? Paman mau menjebakku ya?" tuding Gaby curiga.

Samuel menautkan alisnya. "Kalau kamu tidak percaya, paman punya rekaman video saat Papamu mengutarakan niatnya untuk menjodohkan mu dengan Alexander Xavier."

"Kamu mau lihat?" Samuel berjalan ke lemari kaca di sudut ruangannya.

Gaby memijit keningnya yang mendadak berdenyut nyeri. "Beri aku waktu untuk berpikir," selanya. Gaby tahu, tak ada gunanya berdebat dengan pengacara licik itu. Ia tak akan pernah menang.

Samuel berbalik, kembali duduk di sofa. "Tidak Gaby. Kamu harus memutuskannya sekarang juga karena kita tak punya banyak waktu. Aku harus segera memberi jawaban kepada pihak keluarga Xavier."

Gaby menatap nyalang. Ingin sekali dia mengigit pria yang telah dianggapnya sebagai Paman kandung sejak kecil.

"Baiklah. Lakukan apapun yang Paman inginkan," putusnya pasrah.

Samuel mengeram puas. "Baiklah, karena kamu sudah mengambil keputusan akan lebih baik bila kamu datang dan bicara langsung dengan calon tunangan mu."

"Kenapa aku harus melakukannya?" desis Gaby tak senang.

"Lakukanlah, Nak. Paling tidak kamu harus menjaga hubungan baik antara kedua keluarga."

Gaby mendesah pasrah. "Ayo pergi, Vania." Ia menarik tangan Vania untuk keluar dari ruangan.

"Eh, tunggu. Ada masalah yang harus aku diskusikan dengan Paman Samuel."

Protes Vania seolah angin lalu karena Gaby menyeretnya secepat mungkin meninggalkan ruangan sang pengacara.

"Berhenti mencari alasan untuk bersama pria tua itu," sergah Gaby sambil mempercepat langkahnya menuju parkiran.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status