Share

Bab 5

“Papa mana, El?” Narthana menghampiri Elia yang tengah berjaga di kasir,

         Biasanya kalau tak ada les sehabis sekolah, Narthana akan mengunjungi Sadajiwa, entah sekadar untuk bertemu dengan papanya lalu pulang bersama atau mengerjakan tugas dengan Revian, Dafandra & Naren.

“Papanya Mas lagi ke supplier, baru setengah jam lalu berangkat,”

“Oh, gitu ya,”

“Mas mau saya buatin sesuatu?” tawar Elia.

        Meski Elia 4 tahun lebih tua dari Narthana, perempuan itu selalu memanggilnya dengan sebutan Mas, dengan niat menghargai lelaki itu sebagai anak dari bosnya. Elia pun membiarkan Narthana memanggilnya dengan nama semata, tanpa embel-embel apapun.

“Bikinin aku teh raspberi

kalau gitu, sama tiramisu,”

“Baik, Mas,”

         Narthana memilih tempat

favoritnya yang kebetulan masih kosong, tepat di ujung kafe yang langsung bersisian dengan jendela besar yang menampilkan jalanan yang tidak terlalu ramai.

“Ini, Mas,” Elia menyajikan pesanan Narthana.

          Saat gadis itu hendak kembali ke tempatnya, Narthana menahannya.

“Temenin aku disini,” pintanya.

“Tapi..,”

“Lagian kafe lagi sepi, sebentar aja,”

          Elia akhirnya mengiyakan, ia duduk disamping Narthana. Tak lama, tangan Narthana bergerak membuka laptopnya dan menyalakan film.

“Kamu udah makan, El?”

“Udah, Mas. Tadi Arin bawa dimsum,”

“Itu sih cemilan, nih tiramisunya makan aja,”

“Loh, itu kan pesanan Mas tadi. Nggak usah,”

“Udah makan aja, biar perutmu nggak kosong banget,”

         Elia menikmati kue tersebut, sambil menonton film yang tengah terputar.

“Kayaknya kamu yang lebih konsen nontonnya daripada aku,” tanggap Narthana.

“Eh? Hehe, soalnya film ini aku baru tonton setengah,”

“Ternyata kamu suka tipe film begini,”

          Kini keduanya tengah menonton film Kim Jiyoung (born 1982) , sebuah film yang mengangkat isu patriarki rumah tangga di Korea Selatan.

“Hehe, kalau sesuai moodku

aja kok,” Elia tersenyum kecil.

          Suasana hening sejenak.

“El, kalau jalan sama aku. Mau?” tanya Narthana.

          Elia memandang Narthana, bukan. Elia bukan keberatan karena Narthana lebih muda darinya, namun lebih pada posisi mereka yang cukup berbeda.

“Mau?” tanya Narthana sekali lagi.

“Mas izin sama Papa mas dulu, ya. Kalau udah izin, aku mau,”

          Narthana tersenyum senang.

Sera's Media Grup, Studio 5...

            Acara “Night-night Show” tengah menjalani proses syuting salah satu episode, dengan Jana Melodia sebagai bintang tamunya. Ia tengah menjadi bahan pembicaraan karena akhirnya mempublikasikan suami dan anaknya di media.

“Kenapa akhirnya anda memutuskan memperkenalkan suami dan anak anda ke media?” tanya MC.

“Karena saya rasa, ini waktu yang tepat. Dan ini juga keputusan bersama dengan suami,”

“Termasuk mengumumkan Jivan sebagai bagian keluarga Naratama? Sekarang dia tinggal bersama Papanya, kan?”

“Iya, sejak bercerai Jivan hidup dengan Sena. Namun hubungan dia dan saya tetap baik, kami bertemu 2-3 bulan sekali,”

“Lalu bagaimana hubungan Jivan dengan Deva? Apakah mereka cukup dekat?”

“Ya, cukup dekat. Deva menyayangi Jivan layaknya anak sendiri. Hubungan Jivan dengan Adara jauh lebih dekat, karena Jivan merasa dia punya adik sendiri,”

“Oh, begitu ternyata. Jadi, Jivan akan dijadikan penerus Naratama atau Sera?” pertanyaan itu terasa menohok.

“Penerus Naratama,” jawaban Jana berhasil memancing komentar para penonton dan staff.

“Oke, mari kita break,” MC langsung memotong.

***

“Maksud kamu apa ngomong kalau Jivan penerus Naratama?” Sena langsung masuk ke ruang tunggu ketika acara sudah selesai.

“Loh, memang iya kan?” Jana memberi kode agar manajernya keluar dari ruangan.

“Tapi perjanjiannya nggak begitu, Jana !!!”

“Nggak begitu gimana? Kalau Jivan udah 18 tahun kan, dia diasuh sama saya,”

“Diasuh sama kamu bukan berarti dia jadi penerus Naratama, Jivan lebih berhak atas Sera !!!”

         Jana tertawa sumbang.

“Deva juga ayahnya, dia perlu Jivan sebagai penerusnya. Nggak ada anak laki-laki di keluarga kami,”

“Jivan nggak punya darah Naratama, dia anak saya,”

“Berhenti jadi egois, Jana,”  tutur Sena, nada suaranya mulai menurun.

“Kamu yang egois, Sena. Kamu yang memisahkan saya sama Jivan,”

“Kamu sendiri yang mau pisah sama saya, kamu sendiri yang bilang karirmu jadi stagnan setelah kita menikah. Lalu sekarang kamu bilang begitu? Saya masih kasih akses kamu buat bertemu, dan menjalani peran kamu sebagai Ibu. Kamu bilang saya egois? Kalau saya memang benar sejahat itu, saya sudah tutup semua akses kamu untuk bertemu Jivan,” Sena menggelengkan kepalanya.

         Jana terdiam, perempuan itu seolah kehabisan kata di depan mantan suaminya.

“Jivan sama sekali nggak ada kaitannya dengan Deva, sedekat apapun mereka. Kecuali kamu mau ditertawakan keluarga Naratama lainnya, karena memaksakan kehendak kamu atas sesuatu yang bukan haknya. Nanti kalau sudah begitu, pada akhirnya Jivan yang akan tersakiti,” setelah kalimatnya selesai, Sena meninggalkan ruangan tersebut.

***

“Anak-anak udah pada beres UTS, kan?” tanya Keenan.

         Malam ini Keenan dan tiga sahabatnya itu tengah berkumpul di rumah Johnny, sudah agak lama semenjak terakhir kali mereka bertemu.

“Iya, kenapa?” Satya menyesap tehnya.

“Lo mau ajak liburan, Nan?” tebak Johnny.

“Wah, bener juga. Ayolah, kasihan mereka kejebak di Jakarta terus,” sahut Sena.

“Iya, rencana gue begitu. Ajakin mereka aja dulu,” ujar Keenan.

“Mau kemana nih?” tanya Satya.

“Bali bosen nggak sih?” tanggap Sena.

“Labuan Bajo gimana? Mereka belum pernah kesana kan?” usul Johnny.

“Jangankan mereka, gue aja belum pernah,” Satya mengerucutkan bibirnya.

“Lo sih, mainnya Lombok mulu. Hahaha,” Sena tertawa.

“Labuan Bajo nih? Setuju?

Biar gue aturin semuanya,” kini Keenan yang bersuara.

“Siplah, 4 hari 3 malam cukup. Nanti gue bantu lo susun acaranya biar jadi maksimal,” ucap Johnny.

“Makasih, Bang. Oke, kalau gitu nanti jangan lupa tanya ke anak masing-masing,”

         Ditengah obrolan mereka, sosok Elenio dan Revian pulang bersamaan. Raut keduanya tampak lelah setelah seharian beraktivitas. Mereka langsung menyalami teman papa mereka satu persatu.

“Noh, mumpung anaknya ada. Tanyain aja,” ucap Sena.

“Tanya soal apa, Om? Pa?” pandangan Revian menyapu keempatnya.

“Kita ada rencana ngajak kalian liburan ke Labuan Bajo, kalian bisa kan?” tanya Johnny.

“Liburan? Ayooo !!!” mata Revian tampak berbinar senang.

“Maaf, Pa. Aku mau, tapi bertepatan sama sertijab himpunan, mana aku kepala bidang. Nggak mungkin aku nggak dateng,” jelas Elenio.

“Oke deh, agenda kamu sepertinya lebih penting,”

“Yaaaah...masa Kak Nio nggak ikut?”

“Maaf deh, Rev,” Elenio menatap Revian tak enak.

“Kalian kayaknya udah capek, boleh ke kamar masing-masing kok,” Keenan memberi isyarat agar keduanya bisa beranjak dari tempat.

“Kayaknya semua bisa ikut selain Nio, gue hubungin sekretaris gue kalau gitu,” ujar Keenan lagi.

“Sekretaris lo siapa namanya? Lupa gue,” tanggap Sena.

“Devina? Iya inget gue. Kenapa, Sen? Ngincer lo?” tembak Satya langsung.

“Ngaco lo, kok disangka gue ngincer,” Sena menyodok pinggang Satya.

“Lo pernah bilang kan, Nan? Kalau Arusha nanya ke lo, apa lo nggak perlu istri buat gantiin Divya,” ujar Johnny.

“Ya, terus?” Keenan menaikkan alisnya.

“Halah lola dia mah, maksud bang Johnny tuh kan anak lo tanya begitu. Lo kagak mau pendekatan sama Devina? Kali cocok,” ucap Satya.

“Oh,” mulut Keenan membulat.

“Anjir lah, oh doang. Percuma gue usul,” Johnny menggelengkan kepalanya.

“Sama Keenan mah jangan kodean, Bang. Geplak aja langsung,” Sena tanpa ampun memukul kepala Keenan.

“Anjir, sakit Sen !!! Lo mah,” Keenan misuh-misuh.

“Beneran anjir, kelakuan lo pada lebih bocah dari anak masing-masing,” Johnny menggelengkan kepalanya.

“Udah ah, balik aja kita. Kasihan Nio sama Revian malah stress denger ocehan kita,” Satya menyuruh Keenan dan Sena untuk berdiri.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status