“Papa mana, El?” Narthana menghampiri Elia yang tengah berjaga di kasir,
Biasanya kalau tak ada les sehabis sekolah, Narthana akan mengunjungi Sadajiwa, entah sekadar untuk bertemu dengan papanya lalu pulang bersama atau mengerjakan tugas dengan Revian, Dafandra & Naren.
“Papanya Mas lagi ke supplier, baru setengah jam lalu berangkat,”
“Oh, gitu ya,”
“Mas mau saya buatin sesuatu?” tawar Elia.
Meski Elia 4 tahun lebih tua dari Narthana, perempuan itu selalu memanggilnya dengan sebutan Mas, dengan niat menghargai lelaki itu sebagai anak dari bosnya. Elia pun membiarkan Narthana memanggilnya dengan nama semata, tanpa embel-embel apapun.
“Bikinin aku teh raspberi
kalau gitu, sama tiramisu,”“Baik, Mas,”
Narthana memilih tempat
favoritnya yang kebetulan masih kosong, tepat di ujung kafe yang langsung bersisian dengan jendela besar yang menampilkan jalanan yang tidak terlalu ramai.“Ini, Mas,” Elia menyajikan pesanan Narthana.
Saat gadis itu hendak kembali ke tempatnya, Narthana menahannya.
“Temenin aku disini,” pintanya.
“Tapi..,”
“Lagian kafe lagi sepi, sebentar aja,”
Elia akhirnya mengiyakan, ia duduk disamping Narthana. Tak lama, tangan Narthana bergerak membuka laptopnya dan menyalakan film.
“Kamu udah makan, El?”
“Udah, Mas. Tadi Arin bawa dimsum,”
“Itu sih cemilan, nih tiramisunya makan aja,”
“Loh, itu kan pesanan Mas tadi. Nggak usah,”
“Udah makan aja, biar perutmu nggak kosong banget,”
Elia menikmati kue tersebut, sambil menonton film yang tengah terputar.
“Kayaknya kamu yang lebih konsen nontonnya daripada aku,” tanggap Narthana.
“Eh? Hehe, soalnya film ini aku baru tonton setengah,”
“Ternyata kamu suka tipe film begini,”
Kini keduanya tengah menonton film Kim Jiyoung (born 1982) , sebuah film yang mengangkat isu patriarki rumah tangga di Korea Selatan.
“Hehe, kalau sesuai moodku
aja kok,” Elia tersenyum kecil.Suasana hening sejenak.
“El, kalau jalan sama aku. Mau?” tanya Narthana.
Elia memandang Narthana, bukan. Elia bukan keberatan karena Narthana lebih muda darinya, namun lebih pada posisi mereka yang cukup berbeda.
“Mau?” tanya Narthana sekali lagi.
“Mas izin sama Papa mas dulu, ya. Kalau udah izin, aku mau,”
Narthana tersenyum senang.
Sera's Media Grup, Studio 5...
Acara “Night-night Show” tengah menjalani proses syuting salah satu episode, dengan Jana Melodia sebagai bintang tamunya. Ia tengah menjadi bahan pembicaraan karena akhirnya mempublikasikan suami dan anaknya di media.
“Kenapa akhirnya anda memutuskan memperkenalkan suami dan anak anda ke media?” tanya MC.
“Karena saya rasa, ini waktu yang tepat. Dan ini juga keputusan bersama dengan suami,”
“Termasuk mengumumkan Jivan sebagai bagian keluarga Naratama? Sekarang dia tinggal bersama Papanya, kan?”
“Iya, sejak bercerai Jivan hidup dengan Sena. Namun hubungan dia dan saya tetap baik, kami bertemu 2-3 bulan sekali,”
“Lalu bagaimana hubungan Jivan dengan Deva? Apakah mereka cukup dekat?”
“Ya, cukup dekat. Deva menyayangi Jivan layaknya anak sendiri. Hubungan Jivan dengan Adara jauh lebih dekat, karena Jivan merasa dia punya adik sendiri,”
“Oh, begitu ternyata. Jadi, Jivan akan dijadikan penerus Naratama atau Sera?” pertanyaan itu terasa menohok.
“Penerus Naratama,” jawaban Jana berhasil memancing komentar para penonton dan staff.
“Oke, mari kita break,” MC langsung memotong.
***
“Maksud kamu apa ngomong kalau Jivan penerus Naratama?” Sena langsung masuk ke ruang tunggu ketika acara sudah selesai.
“Loh, memang iya kan?” Jana memberi kode agar manajernya keluar dari ruangan.
“Tapi perjanjiannya nggak begitu, Jana !!!”
“Nggak begitu gimana? Kalau Jivan udah 18 tahun kan, dia diasuh sama saya,”
“Diasuh sama kamu bukan berarti dia jadi penerus Naratama, Jivan lebih berhak atas Sera !!!”
Jana tertawa sumbang.
“Deva juga ayahnya, dia perlu Jivan sebagai penerusnya. Nggak ada anak laki-laki di keluarga kami,”
“Jivan nggak punya darah Naratama, dia anak saya,”
“Berhenti jadi egois, Jana,” tutur Sena, nada suaranya mulai menurun.
“Kamu yang egois, Sena. Kamu yang memisahkan saya sama Jivan,”
“Kamu sendiri yang mau pisah sama saya, kamu sendiri yang bilang karirmu jadi stagnan setelah kita menikah. Lalu sekarang kamu bilang begitu? Saya masih kasih akses kamu buat bertemu, dan menjalani peran kamu sebagai Ibu. Kamu bilang saya egois? Kalau saya memang benar sejahat itu, saya sudah tutup semua akses kamu untuk bertemu Jivan,” Sena menggelengkan kepalanya.
Jana terdiam, perempuan itu seolah kehabisan kata di depan mantan suaminya.
“Jivan sama sekali nggak ada kaitannya dengan Deva, sedekat apapun mereka. Kecuali kamu mau ditertawakan keluarga Naratama lainnya, karena memaksakan kehendak kamu atas sesuatu yang bukan haknya. Nanti kalau sudah begitu, pada akhirnya Jivan yang akan tersakiti,” setelah kalimatnya selesai, Sena meninggalkan ruangan tersebut.
***
“Anak-anak udah pada beres UTS, kan?” tanya Keenan.
Malam ini Keenan dan tiga sahabatnya itu tengah berkumpul di rumah Johnny, sudah agak lama semenjak terakhir kali mereka bertemu.
“Iya, kenapa?” Satya menyesap tehnya.
“Lo mau ajak liburan, Nan?” tebak Johnny.
“Wah, bener juga. Ayolah, kasihan mereka kejebak di Jakarta terus,” sahut Sena.
“Iya, rencana gue begitu. Ajakin mereka aja dulu,” ujar Keenan.
“Mau kemana nih?” tanya Satya.
“Bali bosen nggak sih?” tanggap Sena.
“Labuan Bajo gimana? Mereka belum pernah kesana kan?” usul Johnny.
“Jangankan mereka, gue aja belum pernah,” Satya mengerucutkan bibirnya.
“Lo sih, mainnya Lombok mulu. Hahaha,” Sena tertawa.
“Labuan Bajo nih? Setuju?
Biar gue aturin semuanya,” kini Keenan yang bersuara.“Siplah, 4 hari 3 malam cukup. Nanti gue bantu lo susun acaranya biar jadi maksimal,” ucap Johnny.
“Makasih, Bang. Oke, kalau gitu nanti jangan lupa tanya ke anak masing-masing,”
Ditengah obrolan mereka, sosok Elenio dan Revian pulang bersamaan. Raut keduanya tampak lelah setelah seharian beraktivitas. Mereka langsung menyalami teman papa mereka satu persatu.
“Noh, mumpung anaknya ada. Tanyain aja,” ucap Sena.
“Tanya soal apa, Om? Pa?” pandangan Revian menyapu keempatnya.
“Kita ada rencana ngajak kalian liburan ke Labuan Bajo, kalian bisa kan?” tanya Johnny.
“Liburan? Ayooo !!!” mata Revian tampak berbinar senang.
“Maaf, Pa. Aku mau, tapi bertepatan sama sertijab himpunan, mana aku kepala bidang. Nggak mungkin aku nggak dateng,” jelas Elenio.
“Oke deh, agenda kamu sepertinya lebih penting,”
“Yaaaah...masa Kak Nio nggak ikut?”
“Maaf deh, Rev,” Elenio menatap Revian tak enak.
“Kalian kayaknya udah capek, boleh ke kamar masing-masing kok,” Keenan memberi isyarat agar keduanya bisa beranjak dari tempat.
“Kayaknya semua bisa ikut selain Nio, gue hubungin sekretaris gue kalau gitu,” ujar Keenan lagi.
“Sekretaris lo siapa namanya? Lupa gue,” tanggap Sena.
“Devina? Iya inget gue. Kenapa, Sen? Ngincer lo?” tembak Satya langsung.
“Ngaco lo, kok disangka gue ngincer,” Sena menyodok pinggang Satya.
“Lo pernah bilang kan, Nan? Kalau Arusha nanya ke lo, apa lo nggak perlu istri buat gantiin Divya,” ujar Johnny.
“Ya, terus?” Keenan menaikkan alisnya.
“Halah lola dia mah, maksud bang Johnny tuh kan anak lo tanya begitu. Lo kagak mau pendekatan sama Devina? Kali cocok,” ucap Satya.
“Oh,” mulut Keenan membulat.
“Anjir lah, oh doang. Percuma gue usul,” Johnny menggelengkan kepalanya.
“Sama Keenan mah jangan kodean, Bang. Geplak aja langsung,” Sena tanpa ampun memukul kepala Keenan.
“Anjir, sakit Sen !!! Lo mah,” Keenan misuh-misuh.
“Beneran anjir, kelakuan lo pada lebih bocah dari anak masing-masing,” Johnny menggelengkan kepalanya.
“Udah ah, balik aja kita. Kasihan Nio sama Revian malah stress denger ocehan kita,” Satya menyuruh Keenan dan Sena untuk berdiri.
***
Satu minggu berlalu, akhirnya rombongan ayah dan anak akhirnya sampai di Bandara Komodo setelah 2 jam terbang, mereka sampai tepat pukul 1 siang. Cuaca cukup panas karena matahari tengah bersemangat memancarkan sinarnya, mereka sampai setengah berlari memasuki bandara dan tak lupa sunglasses yang bertengger di wajah mereka. Ketika menunggu koper keluar dari konveyor, netra Narthana menjelajahi isi bandara yang tidak terlalu ramai. Tiba-tiba ia melihat sesuatu, ada sosok perempuan yang amat dikenalinya—Elia. Gadis itu sepertinya juga baru mendarat, namun ia sudah mendapatkan kopernya. Disampingnya ada seorang laki-laki yang tengah mendorong troliyang berisi barang-barang dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya merangkul pundak Elia. Meski kini gadis itu memakai masker dan hoodie, namun Narthana masih bisa mengenalinya.“Kak? Lihat apa sih? Kok k
Suggestion Playlist :1. Kali Kedua (Raisa)2. Angel (NCT 127) Setelah liburan selama 4 hari, mereka kembali ke Jakarta. Di bandara, beberapa dari mereka ternyata sudah dijemput.“Dijemput ehem,” Satya berdeham kala melihat sosok Jilaine dari jauh. Perempuan itu datang dengan Elenio, sementara disampingnya terdapat sosok Jana & Adara yang ternyata datang untuk menjemput Jivan.“Berisik lo, Sat. Kalau lo ngomong aneh-aneh gue tampol,” Johnny memperingati.“Hai, semua,” Jilaine tersenyum manis sambil mengedarkan pandangannya.“Revian yang minta dijemput, ya? Padahal nggak usah, Jila,” ujar Johnny.“Nggak kok, John. Inisiatifku sendiri, lagian hari ini agendaku juga lagi kosong,”“Oh, gitu. Ya, udah kita pulang,” tangan Johnny memberi kode agar
“Jila..,” ujar Johnny kala teleponnya tersambung.“Ya? Kenapa, John?”“Kamu tahu dimana tempat bubur yang kata kamu waktu itu enak?”“Oh, iya. Kenapa, John? Kamu lagi sakit? Atau anak-anak?”“Mamaku lagi nggak begitu enak badan, terus tadi kirim pesan keaku. Katanya minta bubur yang pernah dibawain kamu,”“Gitu, ya. Lumayan jauh kalau dari kantormu, John. Aku kirim via ojek online aja ke Mamamu, ya? Kalau nunggu nanti kamu pulang, takutnya Mamamu keburu nggak mau,”“Bener? Nanti aku transfer uangnya, Jila,”“Nggak usah, kayak ke siapa aja. Nanti aku kirimin, kamu kabari aja Mamamu kalau makanannya sudah dikirim,”“Makasih ya, Jila,”“Sama-sama, John,” Meski 10 tahun berlalu, sosok Jilaine sepertinya tak tergantikan dalam keluarga Kivandra. Baik untuk Johnny, El
Project baru akan segera dimulai, itu tandanya kesibukan Keenan akan meningkat. Dia sibuk memantau konsep setiap divisi agar sesuai dengan kesepakatan awal, apalagi ini melibatkan kerjasama dengan salah satu perusahaan di Singapura. Semuanya harus tertata dan terstruktur, jika tidak nama Sagara yang akan dipertaruhkan. Kalau sudah begini, maka kertas-kertas file dan komputer yang selalu menyala akan jadi teman setia Keenan.“Pak..,” ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Keenan.“Ya, masuk,” sahutnya. Ternyata sosok itu Devina—ditangannya terdapat paper bag yang berlabelkan resto ternama.“Kenapa?” netra Keenan sama sekali tidak berpaling dari file.“Ada kiriman makanan dari Arusha, Pak. Katanya dia mau Ayahnya makan tepat waktu,”“Kamu sudah makan?” tanya pria itu dengan nada tegas
“Ke rumah gue, pada mau nggak?” ajak Revian tiba-tiba saat bubar sekolah.“Dadakan nih?” tanya Naren.“Kayak tahu bulat. Gurih-gurih enyoy,” lanjut Dafandra.“Lo dibayar berapa anjir? Sampe nyanyi begitu,”“Gue nggak bisa, ada latihan nih,” ucap Naren.“Yah, lo mau nggak, Daf?” tanya Revian.“Nggak juga, gue disuruh nganter Mama,” jawab Dafandra.“Ajakin para bocah aja kalau gitu, Rev,” ucap Narthana.“Oke deh, ayo,” Revian melambaikan tangan kearah Dafandra & Revian lalu merangkul Narthana menuju kelas Jivan & Arusha. Suasana kelas 11 masih ramai, sepertinya belum ada tanda mereka untuk pulang dalam waktu dekat.“Hai, Kak,” datangnya Revian & Narthana bertepatan dengan Jiandra yang hendak keluar kelas.“Cieee,” Narthana menyodok pi
“Nih, makan dulu,” Arusha membawakan sepiring spaghetti kehadapan Jivan. Arusha cukup kaget saat mendapati Jivan tiba-tiba datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu, apalagi teman baiknya itu membawa tas yang cukup gendut dan ternyata berisi baju dan laptopnya.“Gue nggak lapar,” ujar Jivan.“Makan dulu, heh. Nanti gue dimarahin ayah lo,” Arusha setengah memaksa.“Gue juga makan nih, lo juga harus,” Arusha memperlihatkan piringnya.“Iya, bawel,” Jivan menikmati makanannya.“Enak nggak?”“Om Keenan yang masak?”“Gue,”“Ah, jangan bohong lo,”“Dih, lo mah nggak percaya. Orang tinggal campurin minya sama bumbu,”“Iya sih,” Sepertinya Jivan benar-benar lapar, makanannya habis dalam sekejap.“Jadi ada masalah apa
Hubungan Revian & Jiandra semakin dekat, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Entah berjalan-jalan di akhir minggu, belajar bersama dan Revian yang sering berkunjung ke rumah Jiandra.“Nih,” Jiandra mengangsurkan kotak bekal saat dijemput Revian.“Itu kotak bekal Kakak lho, jelas dari Ibu lah. Bingung aku, sekarang anak Ibu tuh aku atau Kakak,” Jiandra memajukan bibirnya.“Hahaha, makasih lho. Kebetulan nanti gue ada kelas olahraga, jadi nggak usah jajan,” Revian mengambil kotak makan tersebut dan lalu memakaikan helm pada Jiandra. Tak sampai setengah jam, mereka sudah sampai di sekolah. Suasana cukup ramai karena 15 menit lagi bel masuk akan berbunyi.“Jian, gue mau ngomong sama lo,” saat baru saja turun dari motor Revian, Jiandra sudah dikagetkan dengan Naren yang mencegatnya. Gadis itu malah menatap Revian, seolah meminta persetujuan. Revian
“Ma, anakmu yang ganteng pulang,” Revian berteriak riang kala masuk ke rumahnya.“Kak, tungguin sebentar,” Jiandra tampak kesusahan membuka sepatunya. Tadi sepulang sekolah, ia sengaja mengajak gadis itu ke rumahnya. Tentu saja dengan izin dari Ibu terlebih dahulu.“Udah diluar sekolah, Jian. Nggak usah pakai kakak segala,” Revian menaruh sepatu gadis itu di rak.“Maaf, kebiasaan,” “Ada siapa, Rev? teman-temanmu? Oh, yang baru ternyata,” Jilaine tersenyum ramah. Jujur, Jiandra terkesiap sesaat. Ini ternyata sosok Mama yang selalu diceritakan Revian—cantik sekali, tubuhnya tampak begitu proporsional untuk seorang Ibu dengan dua anak lelaki yang sudah beranjak dewasa.“Ternyata ini ya, yang naman