Tobat Terakhir Istri Kedua

Tobat Terakhir Istri Kedua

last update최신 업데이트 : 2022-10-23
에:  Hawa Hajari완성
언어: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
평가가 충분하지 않습니다.
31챕터
3.6K조회수
읽기
서재에 추가

공유:  

보고서
개요
목록
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.

줄거리

Aku memang salah. Sudah tahu suami orang, tapi tetap aku goda. Tapi salahkah aku jika tulus mencintai seorang lelaki beristri? Coba tanya kepada hatimu sendiri. Apakah cinta dapat memilih hati yang menjadi tempat berlabuh? Aku tahu kebanyakan orang menyebutku sebagai perebut suami. Namun aku tidak sepakat. Aku tidak merebut, tapi aku berbagi suami.

더 보기

1화

1. Bertemu Mantan

"Ma, tebak siapa yang jadi bos di perusahaan yang aku lamar barusan?" Aku menghampiri Mama yang baru pulang dari arisan di rumah tetangga.

"Siapa memangnya?" lirik Mama acuh tak acuh, sambil duduk di kursi dan mengipasi wajah yang berpeluh.

"Mas Candra, Ma!" sahutku dengan setengah menjerit girang. Sepasang mataku berbinar.

"Mas Candra? Mantan bosmu di kantor dulu? Yang kamu hampir nikah tapi enggak jadi itu?" Dahi Mama mengerut sambil melirik ke arahku.

"Iya, Ma. Mas Candra yang itu. Asyik, aku ketemu lagi dengannya. Dia tambah gagah, Ma!" kisahku penuh semangat.

"Kamu mau balikan lagi sama Mas Candra?" Mama menatapku serius.

***

Mas Candra dan aku bertemu pertama kali lima tahun yang lalu. Saat itu, aku menjadi karyawati di kantor milik Pak Brontowijaya, teman Mas Candra yang membuka usaha IT. Di kantor itu Mas Candra menjadi salah satu karyawannya yang tepercaya. Usaha jasa itu menyediakan layanan pembuatan program-program komputer bagi perusahaan dan instansi pemerintah. Kantor itu kecil saja, tapi tak pernah sepi pesanan. Oleh karena itulah, Pak Brontowijaya yang merupakan bosku dan teman Mas Candra sanggup mempekerjakan lima orang karyawan di kantor kecilnya. Empat orang tenaga pembuat program komputer, satu tenaga pemasaran yaitu Mas Candra, dan satu tenaga administrasi, yaitu aku.

Menjadi satu-satunya wanita di kantor yang dihuni lelaki, aku sudah pasti cantik sendiri. Aku sadar kehadiranku bagaikan udara segar bagi enam lelaki di kantor itu setiap hari. Mungkin diriku bagaikan bunga di dalam vas di atas meja. Hadir demi memperindah ruangan dan penyejuk pandangan. Tapi aku tak ambil pusing. Aku bukan pajangan. Aku bekerja secara profesional. Perkara diriku menjadi daya tarik bagi lawan jenis sudah merupakan hal yang biasa.

Di kantor itu, Mas Candra merupakan lelaki yang paling berwibawa dan berkarisma nomor dua setelah Pak Brontowijaya. Selain bentuk tubuhnya yang gagah, ia juga sangat pandai bicara dan mengambil hati lawan bicaranya. Cocoklah dengan pendidikannya yang dulu mengambil jurusan Komunikasi di salah satu universitas negeri ternama. Aku sangat mengagumi karakter dan kepribadiannya. Ia tipe lelaki pekerja keras, ulet, dan tidak mudah menyerah.

Empat lelaki lain yang menjadi pembuat program tidak terlalu menarik perhatianku. Mereka semua kalah pamor dibandingkan Mas Candra. Badan mereka, kalau tidak berbadan ceking ya berbadan kurus kurang gizi. Mereka juga kebanyakan tidak banyak bicara, pemalu, dan cuek. Jadilah aku dan mereka tidak akrab. Pembicaraan yang terjadi antara aku dan para pembuat program itu sebatas urusan pekerjaan dan basa basi seperlunya saja.

Seperti kebanyakan kantor, ada saja momentum para karyawan harus lembur. Begitu pula dengan kantor milik Mas Candra dulu. Sesekali ada saja proyek yang dikejar tenggat, sehingga para pembuat program harus bekerja lembur hingga malam turun. Sebagai karyawati yang menyiapkan berkas-berkas, tentu saja aku turut lembur. Mas Candra sebagai teman pemilik kantor kerap diminta menemani para karyawan yang lain saat lembur, semacam penyelia begitulah. Dia mengawasi kerja karyawan sekaligus memastikan perut para karyawannya tidak telantar. Akulah yang sering diminta memesan makan malam buat rekanku yang menjadi pembuat program.

Dari lembur ke lembur itulah kedekatan kami terjalin. Sementara para pembuat program sibuk bekerja, aku yang hanya tenaga administrasi tidak banyak pekerjaan dan banyak menganggur. Kewajibanku hanya menemani teman-temanku yang bekerja, sambil sesekali menyiapkan keperluan mereka. Mas Candra sendiri tentu juga tak mengerjakan program. Ia hanya duduk menemani para karyawan. Lantaran sama-sama tidak sibuk, kami sering mengobrol berdua.

“Kamu enggak apa-apa sering pulang malam, May?” Mas Candra bertanya pada saat aku ikut lembur untuk pertama kali.

“Enggak apa-apa, Pak. Ini sudah kewajiban saya sebagai karyawan.” Aku tersenyum meyakinkan.

“Maksud saya, apakah pacarmu atau suamimu enggak keberatan?” ulik Mas Candra.

“Saya sudah cerai, Pak. Pacar baru juga belum ada.” Aku menyahut pelan sambil menunduk. Entahlah mengapa aku mengatakan kenyataan tentang diriku dengan selugas itu kepada Mas Candra waktu itu. Mungkin di lubuk hatiku yang terdalam, aku memang ingin dia tahu bahwa aku masih bebas dan sama sekali tidak terikat dengan lelaki mana pun.

“Saya enggak menyangka. Padahal umurmu masih dua puluhan, kan? Masih muda padahal.” Mas Candra menatapku dengan pandangan terkejut yang tidak disembunyikan.

“Nasib saya, Pak. Saya menikah muda dan gagal. Hanya setahun saya menjadi istri orang,” kataku getir.

“Mantanmu rugi. Wanita secantik kamu dilepaskan.” Tak pelak, komentar Mas Candra itu membuat perasaanku melambung.

“Yah, sebetulnya mantan saya itu aktor sinetron, Pak. Jadi pasti banyak wanita di sekitarnya yang lebih cantik daripada saya.” Aku menjelaskan.

“Menurut saya, kamu enggak kalah cantik dengan aktris-aktris sinetron yang ada di televisi.”

Ah! Lagi-lagi Mas Candra membuat dada ini kembang kempis lantaran merasa senang. Semoga saja ia tak melihat betapa terbawa perasaan aku akan penghiburannya itu.

Ketukan di pintu menghentikan obrolan kami. Aku bangkit dan membukakan pintu. Seorang penjual mi ayam dengan nampan besar berisi mangkuk-mangkuk yang mengepulkan uap panas berdiri di hadapanku. Ternyata pesanan makan malam pengganjal perut acara lembur malam ini sudah datang.

“Enam mangkuk mi ayam kan, Neng?” sapa bapak penjual mi ayam yang rambutnya sudah putih semua itu seraya tersenyum lebar ke arahku.

“Betul, Pak. Sebentar saya ambilkan uang pembayarannya.” Aku meraih nampan yang disodorkan oleh si bapak dan meletakkannya di meja yang kosong. Aku kembali berjalan menyerahkan uang pembayaran mi, sementara di belakangku rekan-rekan kerjaku sudah merubung meja tempat mangkuk-mangkuk mi ayam diletakkan dengan suara-suara menyatakan rasa senang.

Sejak mengetahui statusku yang janda tak punya pacar, Mas Candra lebih berani mengobrol akrab denganku. Aku sangat senang sebab memang aku suka kepadanya. Lama kelamaan, seiring pertemuan setiap hari dan obrolan yang semakin sering, rasa suka dan kagumku berubah menjadi rasa cinta.

Semakin lama hubungan kami semakin dekat saja. Mas Candra beberapa kali mengajakku makan di luar seusai jam kerja. Biasanya kami hanya makan bakso di warung langganan yang terletak tak jauh dari kantor. Namun sayang, ketika aku mulai merasa nyaman justru hubungan kami mulai terendus oleh Indira, istri Mas Candra.

펼치기
다음 화 보기
다운로드

최신 챕터

독자들에게

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

댓글

댓글 없음
31 챕터
1. Bertemu Mantan
"Ma, tebak siapa yang jadi bos di perusahaan yang aku lamar barusan?" Aku menghampiri Mama yang baru pulang dari arisan di rumah tetangga. "Siapa memangnya?" lirik Mama acuh tak acuh, sambil duduk di kursi dan mengipasi wajah yang berpeluh. "Mas Candra, Ma!" sahutku dengan setengah menjerit girang. Sepasang mataku berbinar. "Mas Candra? Mantan bosmu di kantor dulu? Yang kamu hampir nikah tapi enggak jadi itu?" Dahi Mama mengerut sambil melirik ke arahku. "Iya, Ma. Mas Candra yang itu. Asyik, aku ketemu lagi dengannya. Dia tambah gagah, Ma!" kisahku penuh semangat. "Kamu mau balikan lagi sama Mas Candra?" Mama menatapku serius. *** Mas Candra dan aku bertemu pertama kali lima tahun yang lalu. Saat itu, aku menjadi karyawati di kantor milik Pak Brontowijaya, teman Mas Candra yang membuka usaha IT. Di kantor itu Mas Candra menjadi salah satu karyawannya yang tepercaya. Usaha jasa itu menyediakan layanan pembuatan program-program komputer bagi perusahaan dan instansi pemerintah. Kan
last update최신 업데이트 : 2021-12-30
더 보기
2. Terpisah Oleh Keadaan
“Sebaiknya kita enggak terlalu sering keluar berdua lagi,” kata Mas Candra dengan wajah muram pada suatu hari. “Kenapa, Mas?” Dahiku mengerut pertanda tak rela. Baru saja aku merasakan ketenteraman berdekatan dengannya, tiba-tiba semua harus dihentikan. Aku tak rela jika kedekatan kami dibatasi begitu saja. Aku tak mau ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. “Istriku tahu soal kita.” Kabar itu bagaikan petir menyambar di siang bolong bagiku. Hal yang sebetulnya cepat atau lambat memang pasti terjadi. Tak mungkin hubunganku dengan Mas Candra akan tersimpan rapat selamanya. Meskipun sudah menyadari hal itu sejak dulu, tetap saja rasa hatiku teramat sakit mendengarnya. Sedari awal aku juga sudah tahu bahwa Mas Candra memiliki istri dan anaknya sudah dua. Namun, entahlah. Sepertinya kenyataan itu bukan merupakan halangan bagiku untuk mendapatkan kasih sayang Mas Candra. Apalagi kami berdua sama-sama suka. Pikiranku seperti tertutup kabut setiap kali bersama Mas Candra. Saat bersamanya, ba
last update최신 업데이트 : 2021-12-30
더 보기
3. Pertemuan Kembali
“Kenapa?” tanyaku dengan suara tercekat. Seketika dadaku terasa sesak. Kelopak mataku mengerjap seiring dengan memanasnya area di permukaan pupil. Tanpa dapat kucegah, air membasahi bulu-bulu mata. “Aku sedang pusing memikirkan ekonomi rumah tanggaku. Aku masih belum punya penghasilan lagi sejak kantor Pak Bronto tutup. Ada istri dan anak yang harus aku nafkahi,” jelas Mas Candra panjang lebar. Aku terdiam. Semua kalimatnya masuk di akal. Aku hanya tak rela ia pergi dariku begitu cepat. Baru saja merasakan kebahagiaan selama enam bulan terakhir, sekarang aku harus merasa kesepian lagi. Tanpa dapat aku cegah, aliran air telah menganak sungai di pipi. “Aku yakin masih banyak lelaki yang lebih baik dariku buatmu. Selamat tinggal, Maya.” Kalimat perpisahan dari Mas Candra semakin membuat deras tumpahan air mataku. Tak sanggup aku menjawab ucapannya. Ada yang memberontak di relung dada, tapi tak sanggup aku utarakan. Sepenuh rasa kecewa, aku putuskan sambungan telepon. Aku menangis seja
last update최신 업데이트 : 2021-12-30
더 보기
4. Obsesi
"Aku ingin kamu kerja secara profesional. Anggap saja aku dan kamu tidak pernah saling kenal sebelumnya. Bagaimana?" tanya Mas Candra. "Ba--baik, Mas," lirihku dengan tubuh yang lemas. Hilang sudah harapan dapat berdekatan lagi dengannya. Padahal kami sudah sedekat ini. Sayang sekali. *** Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba bisa berterus terang kepada Darnia tentang masalahku, sore hari itu. Pengakuan itu terlontar begitu saja dari mulutku, padahal Darnia sama sekali tidak mengorek-ngorek apalagi mendesakku untuk mengeluarkan isi hati. “Tumben cuci baju sore-sore, May.” Darnia menyapa saat melihatku menjemur pakaian di belakang rumah. Ia datang dari ujung jalan sempit, membawa bungkusan plastik hitam kecil di salah satu tangannya. Melihat gayanya yang hanya mengenakan pakaian santai rumahan, aku menduga Darnia baru pulang dari warung yang berada di kelokan jalan. “Iya, Dar. Besok aku mulai kerja di kantoran lagi.” Tebersit rasa bangga di dalam suaraku. Bangga karena aku memiliki peke
last update최신 업데이트 : 2021-12-30
더 보기
5. Nyai Sekar Kanti
Sepuluh menit kami berkendara, melewati deretan rumah-rumah. Kemudian kelebat rumah berjarak semakin panjang, diselingi dengan pepohonan tinggi di kanan dan kiri jalan. Sampai akhirnya motor Darnia berhenti. Kami berdua turun dari motor. Kupandangi rumah di hadapanku. Biasa saja. Rumah tembok sederhana bercat putih pudar dengan halaman yang tak seberapa luas. Atapnya genteng yang mulai berlumut. Sebatang pohon mangga tumbuh kokoh di halaman, sementara daun-daunnya yang mengering berjatuhan ke tanah yang ditutupi dengan paving blok. Tidak terlihat seram ataupun istimewa. Orang-orang yang lewat pasti tidak tahu bahwa di rumah ini tinggal orang yang disebut oleh kebanyakan masyarakat sebagai “orang pintar”. Nyai Sekar Kanti, pemasang susuk yang sudah teruji kesaktiannya, terkenal sampai ke ibukota. Begitu informasi yang aku peroleh dari Darnia. “Kamu sudah siap, May?” Darnia setengah berbisik di sebelahku. Aku menoleh, lalu mengangguk mantap seraya menatap mata tetangga rumahku ini. Da
last update최신 업데이트 : 2021-12-30
더 보기
6. Panggilan Telepon
“Ehm. Aku mau banget, Mas. Tapi bagaimana dengan motorku?” tanyaku bingung. “Gampang. Kamu titipkan saja di kantor. Sekarang kamu pulang saja sama aku. Motormu bisa kamu bawa pulang besok.” Mas Candra memberi solusi. Aku mengangguk dan tersenyum sebagai tanda persetujuan. Akhirnya motorku dimasukkan ke dalam ruangan utama, sebelum Mas Candra mengunci pintu depan kantor. Aku masuk ke dalam mobil Mas Candra dengan senang hati. Memang ini yang aku dambakan setiap hari setelah kembali bertemu dengan Mas Candra. Tampaknya, susuk dari Nyai Sekar Kanti tidak gagal. Apakah sikap Mas Candra karena susuk atau hanya kebetulan? Aku tak dapat memastikan. “Mas masih ingat jalan ke rumahku?” tanyaku sambil menikmati sejuknya AC mobil. Musik lembut juga terdengar pelan dari radio di dalam mobil, menjadi pengiring percakapan kami saat ini. “Rumahmu masih yang lama? Agak lupa-lupa ingat, sih.” Mas Candra melajukan mobil dengan kecepatan pelan. Jam pulang kantor begini, jalan raya memang lebih banya
last update최신 업데이트 : 2021-12-30
더 보기
7. Dusta
Kelopak mata Indira sudah terpejam separuh saat bunyi derum mobil yang memasuki halaman terdengar oleh gendang telinganya yang sensitif. Seketika mata mengantuk Indira melebar. Ia hapal betul bunyi derum mobil suaminya. Indira yang sudah bersandar lemas di sofa ruang tamu, kembali duduk tegak. Satu jam menanti suami, akhirnya yang ditunggu datang juga. Indira berdiri dan merapikan pakaiannya yang sudah kusut. Ikatan rambut yang longgar ia eratkan kembali. Meskipun tahu penampilannya tidak akan paripurna, tapi setidaknya rambutnya tidak terlalu acak-acakan saat dilihat suaminya nanti. Indira mengintip dari kaca jendela di depan. Ia melihat suaminya keluar dari pintu pengemudi, lalu berjalan lesu ke teras rumah. Tampak sekali bahwa suaminya sangat lelah. Belum sampai kaki Candra menginjak teras, Indira telah memutar anak kunci dan membuka daun pintu lebar-lebar. Candra terkejut memandang sosok istrinya yang berdiri agak di dalam. “Lho belum tidur, Ma? Papa kira sudah tidur sama Cantik
last update최신 업데이트 : 2021-12-30
더 보기
8. Terungkap
Jalan di depan sekolah Cantika tak seramai waktu bubar sekolah. Jalan yang biasanya macet dan ramai dengan kendaraan para orang tua yang menjemput anak-anaknya tidak lagi terlihat berjubel. Sebagian besar murid sudah dijemput dan sekolah mulai lengang. Indira bergegas keluar dari mobil usai memarkir di halaman sekolah Cantika yang luas. Sekolah Cantika terkenal sebagai sekolah swasta paling diminati oleh kalangan menengah di kota ini. Sebuah kebanggaan bagi para orang tua apabila dapat menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Begitu pun dengan Indira. Ia sangat bersyukur Cantika dapat sekolah di sekolah ini, meskipun uang masuknya mencapai puluhan juta rupiah. Tatkala Cantika balita, tak terbayangkan oleh Indira dapat menyekolahkan Cantika di sekolah favorit ini. Apalagi ketika suaminya Candra terpaksa menganggur karena kantor tempat kerjanya ditutup oleh sang pemilik, Pak Brontowijaya. Keluarga mereka terpuruk, bahkan Indira sempat berpikir bahwa anaknya mungkin tidak bisa sekolah pada
last update최신 업데이트 : 2022-01-10
더 보기
9. Penemuan
Hati Indira gundah. Belum pernah Candra berbohong kepadanya selama ini. Ralat. Belum pernah ketahuan berbohong. Jangan-jangan sebelum ini pun Candra berbohong kepadanya namun tidak ketahuan? Ada rasa nyeri yang tercipta di hati Indira. “Halo? Tante?” Niko terdengar bingung lantaran Indira mendadak bungkam. “Oh, eh. Begitu ya, Nik. Ini Tante sedang bingung karena Om belum juga sampai di rumah. Mungkin ada halangan di jalan. Oke deh, Nik. Terima kasih, ya.” Indira mengakhiri sambungan telepon. Sekarang hatinya bertambah gundah. Ke mana perginya Candra? Ia khawatir telah terjadi sesuatu kepada suaminya. Pikiran Indira kalut. Dering telepon membuat Indira terlonjak. Lekas Indira meraih ponselnya yang tergeletak. Ia berpikir, mungkin suaminya yang menelepon kembali. “Ma? Mama di mana? Kok rumah gelap begini?” Suara Ando membuat Indira menepuk dahi sendiri. Astaga! Saking fokusnya kepada Cantika, ia sampai lupa dengan anak sulungnya. Ando memang bersekolah sampai sore. Dia juga sudah b
last update최신 업데이트 : 2022-01-10
더 보기
10. Wajah Dari Masa Lalu
Pagi menjelang. Kabut tipis masih tersisa di udara, menebarkan hawa dingin yang menusuk pori-pori kulit meskipun manusia tengah berada di bawah selimut. Ini hari pertama Cantika berada di rumah lagi, setelah beberapa minggu berada di rumah sakit. Indira merasa wajar bila malam pertama Cantika ditemani olehnya semalaman. “Papa pergi ke kantor dulu, Ma.” Candra melongokkan kepala ke dalam kamar Cantika yang sudah setengah terbuka. Sejak azan Subuh berkumandang, sebetulnya Indira sudah bangun dan menunaikan kewajiban sebagai muslim. Namun lepas salat ia memang kembali bergelung di bawah selimut, menemani Cantika yang masih tertidur pulas. Indira berpikir untuk menghangatkan diri barang lima belas menit, sebelum melakukan aktivitas pagi. Udara yang dingin membuatnya kembali terlelap, hingga lalai tidak menemui suaminya untuk mengecek keperluannya. Indira terbangun begitu mendengar suara Candra di ambang pintu. Seketika matanya bulat terbuka. Candra telah siap dengan pakaian kerja yang r
last update최신 업데이트 : 2022-01-10
더 보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status